Embun membuka matanya perlahan. Ia melihat atap berwarna putih dan merasakan nyeri di tangannya. Embun menoleh ke kanan, melihat mamanya yang tertidur di atas sofa bersama papanya. Embun melirik jam dinding, pukul satu dini hari.
Embun mengangkat tangan kanannya, memijat pelipisnya yang sakit.
"Embun?"
Safira membangunkan suaminya. "Pa, Embun sadar."
Kedua orang tua itu langsung menghampiri putri mereka. "Papa panggilin dokter, ya?"
Embun menggeleng. Ia merasa baik-baik saja, cuma merasakan nyeri di sekujur tubuhnya saja. "Aku engga papa kok, tapi sakit banget tubuhku. Pegel gitu," ujar Embun.
Gadis itu mengangkat tangannya yang di perban. Ia berusaha mengingat apa yang membuatnya sampai di rawat di rumah sakit dengan banyaknya luka di tubuhnya seperti ini. Orang yang menaiki motor hitam terlintas di pikirannya.
"Aku di tabrak, ya?"
Mama Embun mengangguk. Ia mengusap air matanya yang kembali mengalir di pipi. Papa Embun mengusap puncak kepala putrinya. "Kamu jangan khawatir, Papa sudah minta bantuan Om Andi untuk ngelacak siapa yang nabrak kamu. Dia harus bertanggung jawab."
Embun mengangguk sebagai jawaban. Tidak mau ambil pusing, dia biarkan saja orang tuanya yang mengurus si penabrak dirinya.
"Kamu istirahat aja, ya. Lagian kok bisa sadarnya pukul satu begini?" Safira mengelus lembut tangan putrinya.
***
Kaivan memainkan kunci motor di tangannya dengan riang. Mulutnya terus bersiul sejak dia melepaskan helm tadi. Tas yang dari tadi ada di punggungnya langsung ia lemparkan ke meja sebelah Radit yang lagi menaruh kepalanya di atas meja."Heh anjir!"
Kaivan terkekeh melihat reaksi latah dari Radit.
"Tumben masih belum ada dosen, kirain gue udah telat tadi," kata Kaivan.
Radit menaikkan kacamatanya sebelum berdehem. "Telat lima belas menit katanya."
Suara oh panjang keluar dari bibir Kaivan. Pemuda itu membuka ponsel. Tiba-tiba teringat dengan Embun, gadis yang ia temui kemarin di cafe. Kaivan menepuk dahinya, ingat kalau dia kemarin pergi begitu saja. Gagal sudah rencana berkenalan dengan sempurna yang ia rencanakan kemarin.
"Yuri nomornya masih sama engga kayak yang sebelumnya?"
"Masih," jawab Radit. "Kenapa?"
"Mau minta nomor Embun," jawab Kaivan santai.
Radit menoleh dengan wajah kagetnya. "Buset, elo beneran ngincer dia?"
"Iyalah, dia cantik banget gitu, siapa coba yang engga mau," jawab Kaivan jujur.
Kaivan tidak munafik jika ditanya alasan kenapa dia menyukai gadis bernama Embun, alasannya jelas, karena gadis itu memiliki wajah yang cantik. Diajak mengobrol pun juga asik. Tipe yang sempurna untuk dijadikan pasangan.
"Gue kira elo bakal sama Raya," ujar Radit.
Kaivan mengerjap, menatap chat yang akan ia kirimkan ke Yuri sekali lagi. Ia mengingat Raya, gadis itu baru saja di tinggal. Raya adalah gadis yang selalu ia inginkan sejak dulu, sejak masih anak-anak. Sekarang gadis itu sudah jomblo, membuat Kaivan punya kesempatan untuk maju.
Benar, ini adalah kesempatan untuknya!
"Dia ditinggalin lagi, kayaknya ini menjadi kesempatan yang bagus deh buat gue deketin Raya," kata Kaivan.
Radit memutar bola matanya malas. Sudah bisa di duga, Kaivan memang akan selalu jatuh untuk seorang Raya.
"Elo sadar engga, ini bukan pertama kalinya, entar Raya balikan lagi elo sakit hati lagi. Engga capek apa stuck di dia terus?"
Kaivan menyugar rambutnya, sedikit setuju dengan apa yang dikatakan Radit. Hubungan Raya dengan pacarnya memang bisa dibilang labil, mereka bertengkar lalu putus kemudian balikan lagi. Kaivan cuma di anggap saat gadis itu butuh saja. Tapi selama ini Kaivan tidak masalah. Dia sudah terbiasa walau tidak tahu akan sampai kapan.
Kemarin melihat Embun, Kaivan sudah memutuskan untuk mengenal gadis itu lebih lanjut. Karena Embun saja yang bisa membuat jantungnya berdebar selain Raya. Kaivan jadi bingung harus bagaimana sekarang.
"Gue bingung," kata Kaivan. Pemuda itu menopang dagunya. "Gue minta nomer Embun dulu deh."
Radit mencebikkan bibir, memang benar yang dibilang sama Yuri kemarin kalau Kaivan itu buaya. Semoga saja Embun percaya dengan peringatan adiknya kemarin. Kaivan memang bodoh dalam hal memutuskan.
Ah, ngomong soal Embun, Radit jadi teringat sesuatu.
"Kata Yuri tadi pagi, Embun kecelakaan kemarin, ditabrak orang dia," ujar Radit.
Kaivan menolehkan kepala kaget, ia menegakkan tubuh. Jadi teringat kemarin dia menabrak orang juga. Tapi tidak mungkin itu Embun, waktu dia pergi dari cafe Embun masih bersama Radit dan Yuri.
"Masa? Kapan? Gimana kok bisa?"
Radit mengangkat kedua bahunya, tanda tidak tahu. "Mana gue tahu, Yuri aja baru nanti mau ke rumah sakit."
Kaivan menipiskan bibir. Walau hatinya terus menyangkal kalau kemarin yang ia tabrak bukan Embun, tapi tetap saja hatinya tidak tenang. Kayak, kebetulan banget gitu, lho!
Kemaren dia menabrak orang dan sekarang Embun di rumah sakit karena di tabrak orang.
"Kemaren kalian pulang jam berapa?"
Radit mengerutkan dahi, melihat wajah Kaivan yang panik membuatnya heran. "Gue sama Yuri cabut setelah Embun cabut juga, dia pergi gak lama setelah elo."
"Kenapa?"
"Hah?" beo Radit.
Kaivan berdecak. Di saat seperti ini Radit masih saja bisa membuatnya kesal.
"Dia gak bilang kenapa pergi?"
"Oh, katanya mau nganterin nyokap belanja," balas Radit.
Bahu Kaivan menurun. Ia tidak akan punya wajah lagi kalau sampai Embun adalah orang yang ia tabrak.
Kaivan melihat pinselnya yang menyala. Membaca notif yang muncul. Biasanya pesan dari Raya selalu membuatnya tersenyum tidak jelas, sekarang terasa biasa saja. Kaivan sudah tidak bersemangat.
****
Embun memakan potongan buah yang diberikan Safira ketika Om Andi, sahabat sekaligus pengacara masuk ke dalam kamar pasien. Papanya langsung menyambut hangat. Embun hanya tersenyum tipis dan menjawab seadanya ketika di tanyai keadaan.
"Aku sudah menemukan siapa yang menabrak Embun, aku mengecek kamera CCTV di beberapa toko yang mengarah ke jalanan," kata Om Andi.
Beliau lalu menyodorkan beberapa kertas. Ada tangkapan layar yang memperlihatkan plat motor si pengendara dengan jelas. Safira mengambil salah satu kertas, melihat biodata orang yang menabrak putrinya.
"Dia masih sangat muda, ganteng pula. Tapi gak punya attitude sama sekali," kata Safira dengan kesal.
Embun terkekeh, mamanya memang blak-blakan kalau berbicara. Sepertinya Embun tahu darimana sikap ceplas ceplosnya berasal. Gadis itu melongokkan kepala, berusaha melihat siapa yang menabraknya. Safira yang sadar langsung memberikan kertasnya.
Embun membulatkan mata melihat foto yang ada di atas kertas. Itu wajah cowok yang ia lihat kemarin. Kakak tingkat dengan gaya ingusannya yang berusaha mengajaknya berkenalan.
"Kaivan Putra?"
Reaksi Embun membuat Safira mengernyitkan dahinya. "Kamu kenal, Embun?"
Embun mengangguk. Mereka sudah berkenalan kemarin. Wajar bukan jika ia mengangguk sebagai jawabannya. "Dia kating di kampus aku, kemarin juga sempet ketemu. Dia emang berandalan, sih, gayanya."
Papa Embun mengangguk-anggukan kepala. Otaknya berusaha mencerna dengan baik informasi yang ia peroleh. Intinya adalah si penabrak putrinya adalah kakak tingkatnya di kampus.
"Kita tuntut aja," putusnya. Embun mendongak, ia menggeleng. Bukan apa-apa, dia tidak suka memperumit keadaan.
Kalau Kaivan sampai di laporkan, beritanya akan langsung tersebar luas ke seluruh kampus. Ia bisa di cincang sama fans fanatik pemuda itu. Embun bukannya takut, dia hanya tidak suka kalau hidupnya tidak akan tenang.
"Jalur damai aja, Pa. Minta dia tanggung jawab aja, deh," kata Embun dengan wajah melasnya.
Safira ikut mengangguk, jalur hukum akan sangat ribet urusannya nanti. "Bener yang dibilang Embun, aku kurang setuju kalau lewat jalur hukum," katanya.
Safira bukan berarti tidak marah, tapi kalau Kaivan nanti ada itikad baiknya untuk minta maaf dan tanggung jawab maka itu akan cukup.
"Seriusan? Ini masuk kasus tabrak lari." Papa Embun masih belum menyerah dengan kemauannya. Melihat Safira yang masih dengan santai menyuapi Embun buah.
"Kita temui aja dulu, kalau dia mau tanggung jawab engga usah dilaporin. Ribet kalau urusannya lewat hukum," balas Safira dengan kalem.
"Yaudah, oke," kata Papa Embun. Jika istri dan anaknya mau begitu yasudah. Dia kalah suara.
***
Kaivan membawa sekantong buah pesanan Raya untuk ayahnya. Pemuda itu menutup mulutnya yang terus menguap.
"Lho, kamu?"
Kaivan menghentikan langkah ketika seorang bapak-bapak menunjuknya dengan wajah menahan amarah. Kaivan melihat kanan kiri, bahkan belakang tubuhnya. Siapa tahu orang di depannya salah orang.
"Bapak kenal saya?" tanya Kaivan dengan menunjuk dirinya sendiri.
Papa Embun menghela napas. Ia harus tenang, masalah ini harus di selesaikan dengan kepala dingin.
"Kamu Kaivan Putra, 'kan?"
Kaivan mengangguk dengan polos. Dari mana informasi data pribadinya bocor. Apa datanya disebarluaskan oleh hacker. Walau terlihat berandal begini kan Kaivan juga termasuk orang penting.
Tapi, jantung Kaivan langsung mencelos ketika orang di depannya mengatakan sesuatu yang sempat ia lupakan. Hatinya kembali tidak tenang, jantungnya terus berdebar semakin kencang.
"Kamu menabrak putri kesayangan saya, Embun."
Kaivan menyatukan tangan di depan badannya, pemuda itu juga menunduk. Merasa malu pada Embun dan keluarganya, karena tingkah cerobohnya kemarin sekarang gadis itu harus di rawat di rumah sakit. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Embun dan keluarga, saya merasa bersalah. Saya akan bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang saya buat." Kaivan membungkukkan badannya. Embun melirik papa dan mamanya yang masih diam saja, belum memberikan respon apapun. Embun berdehem, membuat kedua orang tuanya akhirnya menatapnya sebentar sebelum kembali fokus pada Kaivan. "Saya kecewa sebenarnya karena kamu kemarin kabur gitu aja, tapi saya merasa lega kamu berniat baik menemui kami dan meminta maaf," kata Safira. Wanita itu lalu menyikut suaminya yang masih bungkam. "Saya maunya ini dibawa ke hukum saja," kata papa Selena membuat Kaivan mendongak dan Embun melotot kaget. Tadikan sudah dibicarakan kalau mau jalur damai, k
"Bukan siapa-siapa," jawab Kaivan cepat. Ia langsung menyerahkan helm pada Raya dan mengusir Yuri agar segera pergi. Yuri itu mirip seperti Radit, memiliki mulut yang sama-sama Ember. Bahaya kalau ada dia. "Gue kasih tau Embun nih, biar dia engga kemakan sama buaya kayak elo." Kaivan menyipitkan mata dan mengumpat tanpa suara. Pemuda dengan lesung pipi yang manis itu langsung meminta Raya untuk naik ke atas motornya. Selama di jalan, Raya memikirkan apa yang di katakan Yuri tadi. Ia memang tidak memiliki perasaan pada Kaivan tapi mendengar pemuda itu mendekati gadis lain membuat hatinya merasa aneh. Padahal, selama ini Raya selalu menginginkan Kaivan memiliki pacar agar perasaannya pada Raya menghilang. Apakah ini perasaan cemburu? Raya menggeleng, tidak mungkin. Di hatinya hanya ada satu cowok dan itu bukan Kaivan. Jadi, Raya tidak mungkin merasa cemburu. Lagian bagus kalau Kaivan suka sama cewek lain, jadi Raya tidak merasa
Embun menuruni tangga kampus dengan terburu-buru. Ia beberapa kali menampar pipinya sendiri karena merasa bersalah. Embun sudah janji pada pacarnya kalau dia akan menonton pemuda itu tanding basket. Tapi lihatlah dirinya, ia keasikan menulis sampai lupa waktu. Kalau saja Fahra tidak mengingatkan maka sudah pasti Embun akan kena amuk nanti. Embun menyentuh lututnya, napasnya terengah-engah. Pertandingan basket sudah selesai, orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka. Embun mengumpat kesal. "Mati deh gue." Embun melihat para pemain yang mulai memasuki ruang ganti. Embun berlari menghampiri seorang pemuda dengan bandana hitam di dahinya. "Dit, Kaivan mana?" Radit yang di hampiri mendengus. "Dit siapa? Panggil gue kakak, gue kating njir!" Embun menjilat bibirnya, ia menyentuh dahinya yang berkeringat. "Serah dah, mana tuh anak?" "Elo gak lihat pertandingan lagi ya? Wah para
Ini gila. Selama hidupnya dia tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Prinsip yang selalu ia percayai adalah cinta karena terbiasa. Kenapa? Karena dia sendiri sudah pernah mengalaminya. Dia tidak pernah tertarik dengan lawan jenis saat pertama kali lihat, memang beberapa kali dia akan mengagumi jika melihat gadis cantik. Tapi tidak pernah sampai berdebar seperti ini. Peneliti mengatakan orang bisa jatuh cinta hanya dalam waktu sembilan detik sampai empat menit di awal pertemuan mereka. Itulah kenapa Kaivan Putra yakin dia sudah jatuh cinta. Senyum manis, mata cerah, hidung mancung, pipi bulat, dan bibir plum yang terlihat manis milik Sifabella Embun mampu membuat Kaivan senyum-senyum tidak jelas di tempatnya. "Kalau engga salah gue kayaknya pernah lihat dia deh sebelumnya," ujar Radit melihat Embun yang kini fokus dengan laptop di depannya. Kaivan melirik, masih dengan