Ini gila.
Selama hidupnya dia tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Prinsip yang selalu ia percayai adalah cinta karena terbiasa. Kenapa? Karena dia sendiri sudah pernah mengalaminya.
Dia tidak pernah tertarik dengan lawan jenis saat pertama kali lihat, memang beberapa kali dia akan mengagumi jika melihat gadis cantik. Tapi tidak pernah sampai berdebar seperti ini.
Peneliti mengatakan orang bisa jatuh cinta hanya dalam waktu sembilan detik sampai empat menit di awal pertemuan mereka. Itulah kenapa Kaivan Putra yakin dia sudah jatuh cinta.
Senyum manis, mata cerah, hidung mancung, pipi bulat, dan bibir plum yang terlihat manis milik Sifabella Embun mampu membuat Kaivan senyum-senyum tidak jelas di tempatnya.
"Kalau engga salah gue kayaknya pernah lihat dia deh sebelumnya," ujar Radit melihat Embun yang kini fokus dengan laptop di depannya.
Kaivan melirik, masih dengan tangan menopang dagu dia menyahut. "Dimana? Gue baru kali ini lihat ada cewek cantik kayak gitu."
Radit berdecih. Buaya memang pandai bermulut manis.
"Raya engga cantik?"
"Cantik. Tapi masih cantikan dia," katanya menunjuk Embun dengan dagu.
Suara lonceng cafe langsung terdengar begitu pintu masuk di dorong oleh seorang gadis cantik dengan tubuh tingginya. Kaivan dan Radit kompak menoleh, mengikuti langkah kaki gadis itu dengan pandangan mereka.
Kedua pemuda itu saling tatap sebentar sebelum kembali menoleh pada gadis itu. Yuri, adik dari Radit mendudukkan dirinya di depan Embun, gadis yang dari tadi mereka perhatikan.
"Ah iya, kalau engga salah tuh cewek pernah main ke rumah, deh. Pantesan aja kayak gak asing, temennya Yuri ternyata," kata Radit.
Kaivan mengerjap. Kalau cewek itu temannya Yuri, berarti dia adik tingkatnya di kampus. Kaivan menarik ujung bibirnya membentuk senyum manis. Pemuda itu menggebrak meja pelan, sebuah ide muncul di kepalanya.
"Ayo kesana," ajak Kaivan.
"Ngapain?"
"Kenalan lah," balas Kaivan santai.
Tanpa menunggu jawaban dari Radit, Kaivan berdiri. Ia melangkahkan kakinya menuju meja Yuri dan Embun. Dengan santai dan tingkah sok akrabnya, Kaivan langsung mendudukkan diri di sebelah Embun.
Yuri menatap Kaivan dengan terkejut, menendang pelan kaki Kaivan dibawah meja. "Ngapain lu disini?"
Embun yang tadi fokus mengedit naskah di word menoleh, melihat ada orang lain yang duduk di mejanya selain Yuri. Embun menaikkan sebelah alisnya. "Kenal dia, Ri?"
Yuri mencomot kentang di atas piring dan mengangguk. "Temen abang gue."
Embun langsung mengingat wajah Kaivan. "Oh, yang elo bilang populer itu gak, sih?" tanya Embun dengan wajah innocent-nya.
Kaivan yang senang karena kepopulerannya di ketahui oleh Embun langsung tersenyum bangga. Ia menepuk dadanya pelan dengan wajah congkak.
Radit di tempatnya menepuk dahi, ia akhirnya berdiri juga dan duduk disebelah adiknya. "Sorry ya ganggu. Gue lupa nali anjing gue tadi," ujar Radit yang di sambut tawa dari Yuri dan kekehan pelan dari Embun.
Kaivan mendelik dan mengumpat tanpa suara. Maunya sih langsung menendang Radit ke segitiga bermuda supaya tidak bisa balik lagi, tapi Kaivan harus memasang image yang tenang dan memukau kali ini. First impression Embun ke dirinya haruslah apik.
"Ngapain sih kalian kesini?" tanya Yuri.
Embun menutup laptopnya. Rasanya tidak baik kalau ia fokus ke laptop sedangkan yang lain mengobrol. Embun tidak mau dibilang ansos.
Kaivan berdehem. Ia mengulurkan tangannya pada Embun. "Kaivan Putra, usia dua puluh jurusan arsitektur semester lima."
Embun menyambut tangan Kaivan sebentar. "Embun."
Jawaban yang singkat, jelas, dan padat.
Kaivan menipiskan bibir. Embun orang yang cuek dan dingin, itu yang Kaivan tahu di pertemuan pertama mereka. Maka, ia harus berusaha mencari topik lain lagi. Cewek cuek tidak bisa dibiarkan diam saja, nanti bukannya semakin dekat malah tambah jauh.
"Tadi sibuk ngetik apa? Nugas ya?"
Embun melirik dengan bingung. "Elo merhatiin gue? Wow, kalau gue sih cuma bakal merhatiin orang yang gue suka doang."
Kaivan tersenyum miring. Embun bukan gadis cuek yang dingin banget, tidak seperti yang ia pikirkan sebelumnya. Dia gadis yang menarik. Jantung Kaivan semakin berdebar.
Radit dan Yuri saling pandang. Yuri dengan wajah penuh tanya dan Radit dengan wajah tidak tahunya. Sebagai teman Kaivan yang bisa dibilang cukup lama, Radit merasa heran dengan Kaivan yang mendekati seorang gadis terang-terangan seperti ini.
Kaivan menaruh tangan di belakang kursinya. Menatap Embun dengan tatapan nakalnya, ia menyerahkan ponsel. "Boleh minta kontak lo, gak? Kali aja cocok."
Embun tersenyum sinis. Ia mendorong kembali ponsel Kaivan. "Gue engga mau sama yang main-main."
"Gue serius." Embun mengangkat sebelah alisnya, melihat Kaivan yang memasang wajah santai. "Kalau gue serius buat fokus ke elo aja gimana?"
Embun menggeleng-gelengkan kepala. Memasang wajah tidak percaya. "Muka lu kayak buaya."
Kaivan menaikkan sebelah alis. Ia memiliki tampang yang manis dengan lesung di kedua pipinya. Jadi, dimana wajah mirip buayanya?
Yuri yang melihat Kaivan mau membuka mulut langsung menyela. "Raya gimana, Mas?"
Kaivan menoleh dengan tatapan mengancam. Ini dia mau merayu kenapa malah menyebut nama lain, sih. Yuri menjulurkan lidah tidak peduli.
"Jangan mau sama dia, Mas Kaivan tuh fuck boy. Semua cewek di deketin." Raya tidak berbohong, Kaivan memang kayak nyamuk, hinggap sana hinggap sini.
"Fitnahnya kejam bener, bunda," balas Kaivan dengan nada manis tapi tatapannya sewot.
Embun mengulum bibir ke dalam, menahan ketawa. Sikap Kaivan menurutnya sangat lucu. "Kelihatan juga, sih."
Kaivan memutar bola matanya malas. Ini jangan sampai image dia jadi buruk ya setelah ini. Kaivan tuh bukan fuck boy, dia bukan cowok brengsek yang suka main perempuan.
"Gue tipe setia tahu, dek," kata Kaivan. Pemuda itu menopang dagu menatap Embun.
Embun mengerjapkan mata, ditatap seperti itu membuatnya kurang nyaman. Ia jadi salting sendiri. Yuri yang melihat itu memutar bola matanya malas. Ia menyikut kakaknya. "Bawa ke kandang dong buayanya."
Radit mendengus sedangkan Kaivan berdecak sebelum menatap Yuri. "Gak suka banget lo ada gue disini? Kenapa?" tanya Kaivan sewot.
Kaivan merasakan ponsel di saku celananya bergetar. Ia menerima chat dari Raya, Kaivan menghela napas. "Gue cabut dulu, ada urusan bentar," katanya lalu pergi.
Entah kenapa, ada setitik rasa kecewa di hati Embun melihat Kaivan pergi. Embun meremat tangannya, tidak mungkin dia jatuh cinta pada pandangan pertama kan.
"Kalau pergi dadakan gitu pasti soal Raya," ujar Yuri. Gadis itu lalu menatap Embun. "Jangan sampai baper sama dia, hatinya masih buat yang lain."
"Cenayang lo bisa tahu isi hati Kaivan?" Radit dalam hati memang membenarkan ucapan Yuri, tapi, ia juga tidak terima kalau temannya di jelek-jelekkan seperti itu walau sama adiknya sendiri.
Embun menghela napas, tidak mau ambil pusing. Lagi pula ini pertemuan pertamanya dengan Kaivan. Bisa saja pemuda itu hanya ingin mengenalnya saja, tidak lebih.
Embun melihat ponselnya bergetar di atas meja. Ada notifikasi dari sang mama. Embun menghela napasnya lelah, lagi-lagi ia diminta mengantar mamanya belanja bulanan.
"Gue balik duluan ya." Embun berdiri dan membawa laptopnya.
Yuri mengernyit. "Tumben, gue baru datang lo ini."
Embun tersenyum tipis menanggapi, ia menyodorkan ponsel, menunjukkan isi chat mamanya. Yuri mendengus kecewa. "Yaah, gue sendirian dong disini."
"Gue lo anggap apaan, nyet?" sewot Radit.
***
Kaivan memainkan kunci motor di tangan kanan sebelum menekan bel rumah Raya. Ia baru menekannya sekali tapi pintu langsung terbuka, menampilkan Raya dengan wajah sembapnya. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan Kaivan.
"Kenapa?"
Kaivan bertanya lembut, di usapnya punggung Raya dengan pelan untuk menenangkan gadis itu yang terisak. Ini bukan pertama kalinya melihat Raya menangis, tapi hatinya belum terbiasa. Ia seperti di tusuk ribuan jarum saat melihat gadis itu terluka.
"Dia ngomong apa lagi?"
Raya menggelengkan kepalanya. "Dia pergi, engga ngabarin lagi. Dia bilang sudah gak bisa sama aku lagi."
Kaivan menipiskan bibirnya. Perasaannya campur aduk. Ia senang karena Raya artinya sudah sendiri sekarang, ia bisa bergerak maju. Selamat tinggal friendzone!
"Aku engga bisa hidup tanpa dia," ujar Raya.
Kaivan membawa Raya untuk duduk di teras. Pemuda itu mengusap pundak gadis itu lembut. "Engga papa, ada aku kok."
Raya mengusap air matanya, ia menoleh melihat Kaivan. Gadis itu tahu Kaivan memiliki perasaan untuknya, hal itu membuat Raya sedikit senang. Kaivan tidak pernah meninggalkannya sendirian walau ia tidak bisa membalas perasaan pemuda itu.
"Kamu baik banget, Kai. Aku beruntung punya teman kayak kamu."
Kaivan tersenyum tipis. Rasanya ingin membalikkan meja sekarang juga, mendengar kata teman dari mulut Raya membuat angan-angannya buyar.
"Aku mau ke rumah sakit jenguk ayah, kamu mau anterin aku engga?"
Kaivan mengangguk. Ia tidak bisa menolak Raya. "Iya, ini udah ada sini akunya. Siap-siap sana!"
Embun membawa belanjaan mamanya dengan berat hati. Ia menaruh beberapa kresek putih itu ke bagasi mobil dengan jengkel. Bagaimana tidak, mamanya bilang hanya beli buah saja tapi yang dibeli malah hampir seluruh market.
"Mama sukanya bohong terus, bilangnya beli ini tapi yang dibeli ini itu." Embun mengerucutkan bibir. Menjadi anak tunggal ya begini nasibnya, di suruh terus-menerus.
Safira, mamanya menepuk bahu Embun. "Yang ikhlas nolongin orang tua, kamu mah bisanya protes mulu."
Embun mengusap bahunya. Sedangakan Safira melihat Embun dengan perasaan tidak tega juga. Resiko tidak memiliki pembantu ya begini, harus belanja sendiri. "Mama mau lihat kain dulu di toko seberang sana, kamu diem aja di mobil kalau capek."
Embun memandang jauh toko yang mamanya maksud. Toko kain seberang jalan yang ramai banget, kalau dia ikut pasti akan pusing nanti. Apalagi mamanya pasti lama.
"Embun nunggu di mobil aja deh, Mama."
Safira mengangguk. "Oke, kalau gitu mama pergi dulu bentar."
Embun tahu sebentarnya ibu-ibu itu pasti berjam-jam. Sudah hapal dia tuh. Embun mengawasi mamanya yang akan menyebarang jalan. Embun mendengus, tidak tega juga membiarkan mamanya menyebarang seorang diri.
"Aku bantuin nyebarang deh, Ma."
Safira menoleh, ia tersenyum tipis. Walau Embun kadang suka membantah tapi ia tahu pasti kalau hati anaknya itu lembut dan hangat.
"Kamu mau nyebrang lagi habis ini?"
Embun mengangguk. "Iya, mau nunggu di mobil aja."
Embun kembali menyebrang jalan saat di rasanya jalanan cukup sepi. Ia menoleh ke kanan dengan mengangkat tangan, meminta orang yang berkendara untuk pelan-pelan. Tapi justru dari arah kiri ada motor yang melaju dengan kencang sampai membuat Embun terpental jauh.
Orang-orang di sekitar langsung menghampiri Embun, begitu juga dengan Safira yang sudah histeris melihat anaknya terluka cukup parah. Beberapa orang yang mengerumuni Embun berteriak meminta sang pengendara yang menabrak tadi berhenti walau percuma, pengendara motor hitam tadi justru menambah kecepatannya.
Kaivan membuka helmnya. Ia menghembuskan napas dengan kasar. Tangannya gemetar dengan jantung yang berdebar. Ia baru saja menabrak orang tapi bukannya berhenti ia malah kabur. Kaivan menampar pipinya pelan.
"Sialan!"
Raya turun dari motor Kaivan. Ia mengelus pundak pemuda itu. "Engga papa kan kamu engga sengaja tadi. Ayo masuk."
Kaivan berjalan dengan tidak tenang. Rasa bersalah di hatinya membuat ia gelisah.
Embun membuka matanya perlahan. Ia melihat atap berwarna putih dan merasakan nyeri di tangannya. Embun menoleh ke kanan, melihat mamanya yang tertidur di atas sofa bersama papanya. Embun melirik jam dinding, pukul satu dini hari. Embun mengangkat tangan kanannya, memijat pelipisnya yang sakit. "Embun?" Safira membangunkan suaminya. "Pa, Embun sadar." Kedua orang tua itu langsung menghampiri putri mereka. "Papa panggilin dokter, ya?" Embun menggeleng. Ia merasa baik-baik saja, cuma merasakan nyeri di sekujur tubuhnya saja. "Aku engga papa kok, tapi sakit banget tubuhku. Pegel gitu," ujar Embun. Gadis itu mengangkat tangannya yang di perban. Ia berusaha mengingat apa yang membuatnya sampai di rawat di rumah sakit dengan banyaknya luka di tubuhnya seperti ini. Orang yang menaiki motor hitam terlintas di pikirannya. "Aku di tabrak, ya?" Mama Embun mengangguk. Ia mengusap air matanya yang
Kaivan menyatukan tangan di depan badannya, pemuda itu juga menunduk. Merasa malu pada Embun dan keluarganya, karena tingkah cerobohnya kemarin sekarang gadis itu harus di rawat di rumah sakit. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Embun dan keluarga, saya merasa bersalah. Saya akan bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang saya buat." Kaivan membungkukkan badannya. Embun melirik papa dan mamanya yang masih diam saja, belum memberikan respon apapun. Embun berdehem, membuat kedua orang tuanya akhirnya menatapnya sebentar sebelum kembali fokus pada Kaivan. "Saya kecewa sebenarnya karena kamu kemarin kabur gitu aja, tapi saya merasa lega kamu berniat baik menemui kami dan meminta maaf," kata Safira. Wanita itu lalu menyikut suaminya yang masih bungkam. "Saya maunya ini dibawa ke hukum saja," kata papa Selena membuat Kaivan mendongak dan Embun melotot kaget. Tadikan sudah dibicarakan kalau mau jalur damai, k
"Bukan siapa-siapa," jawab Kaivan cepat. Ia langsung menyerahkan helm pada Raya dan mengusir Yuri agar segera pergi. Yuri itu mirip seperti Radit, memiliki mulut yang sama-sama Ember. Bahaya kalau ada dia. "Gue kasih tau Embun nih, biar dia engga kemakan sama buaya kayak elo." Kaivan menyipitkan mata dan mengumpat tanpa suara. Pemuda dengan lesung pipi yang manis itu langsung meminta Raya untuk naik ke atas motornya. Selama di jalan, Raya memikirkan apa yang di katakan Yuri tadi. Ia memang tidak memiliki perasaan pada Kaivan tapi mendengar pemuda itu mendekati gadis lain membuat hatinya merasa aneh. Padahal, selama ini Raya selalu menginginkan Kaivan memiliki pacar agar perasaannya pada Raya menghilang. Apakah ini perasaan cemburu? Raya menggeleng, tidak mungkin. Di hatinya hanya ada satu cowok dan itu bukan Kaivan. Jadi, Raya tidak mungkin merasa cemburu. Lagian bagus kalau Kaivan suka sama cewek lain, jadi Raya tidak merasa
Embun menuruni tangga kampus dengan terburu-buru. Ia beberapa kali menampar pipinya sendiri karena merasa bersalah. Embun sudah janji pada pacarnya kalau dia akan menonton pemuda itu tanding basket. Tapi lihatlah dirinya, ia keasikan menulis sampai lupa waktu. Kalau saja Fahra tidak mengingatkan maka sudah pasti Embun akan kena amuk nanti. Embun menyentuh lututnya, napasnya terengah-engah. Pertandingan basket sudah selesai, orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka. Embun mengumpat kesal. "Mati deh gue." Embun melihat para pemain yang mulai memasuki ruang ganti. Embun berlari menghampiri seorang pemuda dengan bandana hitam di dahinya. "Dit, Kaivan mana?" Radit yang di hampiri mendengus. "Dit siapa? Panggil gue kakak, gue kating njir!" Embun menjilat bibirnya, ia menyentuh dahinya yang berkeringat. "Serah dah, mana tuh anak?" "Elo gak lihat pertandingan lagi ya? Wah para