Kaivan menyatukan tangan di depan badannya, pemuda itu juga menunduk. Merasa malu pada Embun dan keluarganya, karena tingkah cerobohnya kemarin sekarang gadis itu harus di rawat di rumah sakit.
"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Embun dan keluarga, saya merasa bersalah. Saya akan bertanggung jawab penuh atas kesalahan yang saya buat." Kaivan membungkukkan badannya.
Embun melirik papa dan mamanya yang masih diam saja, belum memberikan respon apapun. Embun berdehem, membuat kedua orang tuanya akhirnya menatapnya sebentar sebelum kembali fokus pada Kaivan.
"Saya kecewa sebenarnya karena kamu kemarin kabur gitu aja, tapi saya merasa lega kamu berniat baik menemui kami dan meminta maaf," kata Safira.
Wanita itu lalu menyikut suaminya yang masih bungkam.
"Saya maunya ini dibawa ke hukum saja," kata papa Selena membuat Kaivan mendongak dan Embun melotot kaget. Tadikan sudah dibicarakan kalau mau jalur damai, kenapa sekarang papanya balik lagi mau kewat jalur hukum?
Safira juga tidak kalah terkejut, ia menoleh pada suaminya yang masih memasang wajah tenang.
"Tapi Embun engga mau, jadi saya urungkan niat," lanjut Papa Embun.
Kaivan menghela napaa lega, bisa panjang urusannya kalau sampai lewat hukum. Mamanya pasti akan mencoretnya dari kartu keluarga kalau tahu.
"Terima kasih untuk kemurahan hatinya," balas Kaivan bersungguh-sungguh.
Embun menoleh pada Kaivan, rasanya ingin tertawa melihat kakak tingkat yang cukup populer ini berdiri kaku di depan orang tuanya.
"Tapi saya engga mau kamu lepas gitu aja, ya. Harus ada tanggung jawabnya, enak banget hidupmu kalau masih bisa senang-senang setelah ini sementara anak saya sakit," ujar papa Embun.
Kaivan menegakkan tubuh. Dia juga tidak mau lari, dia akan tanggung jawab. Hitung-hitung sekalian pendekatan dengan Embun, sama mertua sekalian. Sejenak, Kaivan jadi melupakan tujuannya datang ke rumah sakit.
"Saya akan tanggung jawab, om. Om maunya saya tanggung jawab gimana? Menikahi Embun?"
Kaivan mengangkat tangan melindungi wajahnya ketika papa Embun berniat melemparkan botol air mineral ke arahnya. Apa dia salah bicara?
Safira terkekeh melihat gaya slengean Kaivan. Wanita itu melirik putrinya yang diam-diam tersenyum. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya.
"Kamu kok kurang ajar, ya!" ujar Papa Embun marah. Anak jaman sekarang memang sukanya bercanda yang keterlaluan. Mana ada orang tua yang menyerahkan putrinya pada cowok seperti Kaivan. Tampangnya saja tidak meyakinkan.
Safira mengelus pundak suaminya. "Sudah, sudah. Yang tenang."
Kaivan menipiskan bibir, dia lupa untuk memfilter mulutnya. Harusnya Kaivan sadar jika yang ia hadapi ini bukan Radit tapi orang tua Embun. Kaivan menghela napas pelan, bisa gawat kalau dia di coret dari daftar mantu potensial.
"Kamu mau tanggung jawab bagaimana, Kaivan?"
Kaivan mengangkat wajah, melihat mama Embun yang juga sama cantiknya dengan putrinya. "Saya akan bayar semua biaya perawatan Embun, Tante."
"Terus?"
"Hah?" Kaivan menatap polos dua orang dewasa itu. Pemuda itu memutar otak, kira-kira apa yang harus ia lakukan lagi sebagai bentuk tanggung jawab.
"Gimana kalau kamu anter jemput Embun setiap hari?"
Embun ikut menoleh melihat mamanya yang memasang wajah tak bersalah. Embun mengernyit bingung, untuk apa Kaivan harus mengantarnya setiap hari. Dia ada mobil sendiri dan masih bisa berkendara dengan baik.
"Ma, aku masih bisa nyetir sendiri. Tubuhku sehat,kok. Lukanya juga gak parah," jawab Embun.
Kaivan diam di tempat, tidak protes ataupun menolak. Tidak masalah juga bagi dia kalau harus mengantar jemput Embun setiap hari. Itu lebih baik dari pada dia harus mendekam di penjara dan di coret dari kartu keluarga. Dan yang lebih penting, Kaivan bisa bertemu Embun setiap hari tanpa perlu mencari alasan apapun.
Niatnya untuk melakukan pendekatan rasanya dipermudah. Beruntung sekali nasibmu, Kaivan.
Safira menaikkan alisnya melihat Embun. "Baik-baik aja gimana? Itu badan kamu biru semua, tangan sama kakimu sampai di perban gitu. Kamu akan sulit berjalan dan beraktifitas. Mana tega mama biarin kamu kemana-mana sendiri," kata Safira dengan cepat.
Embun menatap papanya yang masih diam. Mungkin sedang berpikir apakah dia harus setuju dengan perkataan istrinya atau tidak. Dan akhirnya Papa Embun mengangguk, menyetujui ucapan istrinya.
"Itu boleh, Papa juga engga akan tega kalau kamu sendirian kemana-mana dengan kondisi terluka. Kamu juga suka keluyuran buat nyari ide kan waktu menulis?"
Embun memasang wajah masam. Ia masih tidak setuju. Embun tidak mau bersama Kaivan lebih sering. Alasan dia tidak membawa masalah ini ke jalur hukum kan biar dia tidak di serang oleh fans-nya Kaivan, kalau seperti ini ceritanya rasanya juga percuma.
Embun melirik Kaivan yang kebetulan juga menatapnya. Gadis itu memberi isyarat lewat tatapan mata agar Kaivan menolak. Semoga saja pemuda itu peka.
"Baik, Om, Tante. Saya engga keberatan," katanya sopan.
Kaivan mengerti dengan kode Embun tapi kesempatan bagus tidak boleh ia lewatkan begitu saja. Embun menghela napas dengan keras dan memasang wajah masam.
Kenapa Kaivan harus setuju, sih?
"Bagus kalau begitu. Itu buahnya kenapa di bawa terus? Taruh aja di meja," kata Papa Embun.
Kaivan melihat buah yang dari tadi ada di tangannya. Pemuda itu mendelik, baru ingat kalau tujuan awal kemari adalah untuk membawakan Raya buah. Kaivan mengumpat dalam hati, Raya pasti menunggunya.
Pantas saja ia merasakan ponselnya bergetar sejak tadi. Itu pasti dari Raya. Kaivan menipiskan bibir bingung, ia harus melakukan apa sekarang agar bisa keluar dari ruangan ini. Dan apakah buahnya harus ia bawa atau tidak. Kurang ajar banget kalau sampai ia keluar membawa buahnya tapi kalau ia menemui Raya tanpa buah juga engga enak.
Kalau keluar buat beli malah makin lama.
"Kok malah ngelamun?"
Kaivan terkekeh canggung. Ia menaruh buahnya di atas meja. Lebih baik taruh sini aja dulu dari pada dia bawa pergi, yang ada dia malah di kira punya sikap buruk sama orang tua Embun.
"Saya boleh permisi dulu engga, Om. Masih ada urusan," kata Kaivan sopan.
Kedua orang tua Embun mengangguk membuat jantung Kaivan jadi lebih tenang sekarang. Tidak berdebar seperti tadi. Kaivan maju menuju ranjang Embun, berniat minta maaf kepada yang terluka sebelum pergi.
"Maaf ya, baru kenal udah bikin elo masuk rumah sakit gini," katanya menyesal. "Gue masih baik gak di mata lo?" lanjutnya bertanya.
Embun bergumam dengan mata menghadap atas, terlihat berpikir. Kaivan menunggu jawaban dari Embun dengan gugup sebelum gadis itu mengangguk.
"Santai aja, sih. Gue tau kok lo emang berengsek."
Kaivan mendelik, dia kira jawabannya akan mengenakkan hati. Hampir saja tangannya menjitak kepala Embun kalau ia tidak sadar di ruangan ini mereka tidak berdua.
Embun tertawa melihat reaksi Kaivan yang seperti menahan umpatan.
"Awas aja, ya. Habis ini elo melting lihat sifat gue yang lembuh dan hangat ini," kata Kaivan percaya diri.
Embun mengangguk-anggukan kepala. "Gue tunggu."
"Dih! Nantangin segela." Kaivan mengacak rambut Embun dengan gemas.
"Ekhem!"
Kaivan reflek menarik tangannya dengan cepat dari rambut Embun. Deheman tuan besar membuat jantungnya kembali berdebar dengan cepat. Kaivan langsung pamit sekali lagi sebelum dia benar-benar pergi dari ruangan itu.
Pemuda itu akhirnya bisa bernapas lega ketika sudah berada di depan motornya. Kaivan harus pergi lagi mencari buah sekarang buat Raya.
"Lho, Kaivan?"
Kaivan menoleh, membelalakkan matanya kaget melihat Raya yang berjalan ke arahnya. "Baru datang atau gimana? Buahnya mana? Kok lama sih?"
Kaivan menarik bibir Raya dengan gemas. "Satu-satu kalau nanya, tadi macet jadi lama terus lupa beli buah deh. Ini masih mau nyari buah," jawab Kaivan berbohong.
Entah kenapa dia enggan menceritakan kejadian yang baru saja dia alami.
Raya mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. Tidak berpikir Kaivan berbohong karena pemuda itu tidak mungkin melakukannya. Kaivan orang yang sudah lama ia andalkan, Jadi, Raya sudah sepenuhnya percaya.
"Engga perlu deh kayaknya, barusan Tante datang menjenguk bawa buah," kata Raya.
"Oh yaudah, terus kamu ngapain keluar. Butuh yang lain?"
Raya menggeleng. "Engga juga, sih. Emang mau keluar aja sebentar."
Kaivan mengelus puncak rambut Raya. "Bagus, ayo kita makan kalau gitu. Aku lapar," ajak Kaivan.
Raya mengangguk mengiyakan. "Yaudah ayok, nyari mie aja ayo. Lagi pingin mie aku."
"Cuih, buaya!"
Kaivan dan Raya kompak menoleh mendengar suara yang tidak asing. Kaivan melotot sebal melihat Yuri yang memandangnya dengan wajah mengejek.
"Ngapain elo kesini?" tanya Kaivan ketus.
"Jenguk Embun lah, habis kecelakaan dia. Elo gak mau lihat? Kan kemarin ngebet mau deketin Embun," ujar Yuri blak-blakan.
Kaivan melotot mengancam. Meminta Yuri untuk menutup mulut embernya itu.
"Siapa Embun?" tanya Raya penasaran.
"Bukan siapa-siapa," jawab Kaivan cepat. Ia langsung menyerahkan helm pada Raya dan mengusir Yuri agar segera pergi. Yuri itu mirip seperti Radit, memiliki mulut yang sama-sama Ember. Bahaya kalau ada dia. "Gue kasih tau Embun nih, biar dia engga kemakan sama buaya kayak elo." Kaivan menyipitkan mata dan mengumpat tanpa suara. Pemuda dengan lesung pipi yang manis itu langsung meminta Raya untuk naik ke atas motornya. Selama di jalan, Raya memikirkan apa yang di katakan Yuri tadi. Ia memang tidak memiliki perasaan pada Kaivan tapi mendengar pemuda itu mendekati gadis lain membuat hatinya merasa aneh. Padahal, selama ini Raya selalu menginginkan Kaivan memiliki pacar agar perasaannya pada Raya menghilang. Apakah ini perasaan cemburu? Raya menggeleng, tidak mungkin. Di hatinya hanya ada satu cowok dan itu bukan Kaivan. Jadi, Raya tidak mungkin merasa cemburu. Lagian bagus kalau Kaivan suka sama cewek lain, jadi Raya tidak merasa
Embun menuruni tangga kampus dengan terburu-buru. Ia beberapa kali menampar pipinya sendiri karena merasa bersalah. Embun sudah janji pada pacarnya kalau dia akan menonton pemuda itu tanding basket. Tapi lihatlah dirinya, ia keasikan menulis sampai lupa waktu. Kalau saja Fahra tidak mengingatkan maka sudah pasti Embun akan kena amuk nanti. Embun menyentuh lututnya, napasnya terengah-engah. Pertandingan basket sudah selesai, orang-orang mulai meninggalkan bangku mereka. Embun mengumpat kesal. "Mati deh gue." Embun melihat para pemain yang mulai memasuki ruang ganti. Embun berlari menghampiri seorang pemuda dengan bandana hitam di dahinya. "Dit, Kaivan mana?" Radit yang di hampiri mendengus. "Dit siapa? Panggil gue kakak, gue kating njir!" Embun menjilat bibirnya, ia menyentuh dahinya yang berkeringat. "Serah dah, mana tuh anak?" "Elo gak lihat pertandingan lagi ya? Wah para
Ini gila. Selama hidupnya dia tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Prinsip yang selalu ia percayai adalah cinta karena terbiasa. Kenapa? Karena dia sendiri sudah pernah mengalaminya. Dia tidak pernah tertarik dengan lawan jenis saat pertama kali lihat, memang beberapa kali dia akan mengagumi jika melihat gadis cantik. Tapi tidak pernah sampai berdebar seperti ini. Peneliti mengatakan orang bisa jatuh cinta hanya dalam waktu sembilan detik sampai empat menit di awal pertemuan mereka. Itulah kenapa Kaivan Putra yakin dia sudah jatuh cinta. Senyum manis, mata cerah, hidung mancung, pipi bulat, dan bibir plum yang terlihat manis milik Sifabella Embun mampu membuat Kaivan senyum-senyum tidak jelas di tempatnya. "Kalau engga salah gue kayaknya pernah lihat dia deh sebelumnya," ujar Radit melihat Embun yang kini fokus dengan laptop di depannya. Kaivan melirik, masih dengan
Embun membuka matanya perlahan. Ia melihat atap berwarna putih dan merasakan nyeri di tangannya. Embun menoleh ke kanan, melihat mamanya yang tertidur di atas sofa bersama papanya. Embun melirik jam dinding, pukul satu dini hari. Embun mengangkat tangan kanannya, memijat pelipisnya yang sakit. "Embun?" Safira membangunkan suaminya. "Pa, Embun sadar." Kedua orang tua itu langsung menghampiri putri mereka. "Papa panggilin dokter, ya?" Embun menggeleng. Ia merasa baik-baik saja, cuma merasakan nyeri di sekujur tubuhnya saja. "Aku engga papa kok, tapi sakit banget tubuhku. Pegel gitu," ujar Embun. Gadis itu mengangkat tangannya yang di perban. Ia berusaha mengingat apa yang membuatnya sampai di rawat di rumah sakit dengan banyaknya luka di tubuhnya seperti ini. Orang yang menaiki motor hitam terlintas di pikirannya. "Aku di tabrak, ya?" Mama Embun mengangguk. Ia mengusap air matanya yang