Hari sudah siang.Pak No datang ke rumah sakit, membawakan pakaian ganti untuk Milka, dibungkus sebuah tas. Selma yang menyuruhnya. Memang, setelah dibujuk oleh Panji, akhirnya Milka mau tidur di ruangannya."Pa, aku mau jenguk temen aku itu," kata Milka, setelah selesai mandi dan berganti pakaian."Sarapan dulu," kata Panji. "Tuh, Papa udah beliin nasi uduk. Enak, deh." Ia tahu, Milka sepertinya masih khawatir dengan kondisi Mara. "Belum jam besuk juga."Milka pun menurut.Panji memperhatikan, ada yang tidak biasa di antara Milka dan pasien laki-laki itu. Mengingatkannya pada dirinya saat muda bersama Amanda saat semuda mereka. Apakah.... di antara Milka dan Mara ada hubungan semacam itu? "Anak kita sudah besar, Yank," ucapnya dalam hati.Di sebuah bangsal rumah sakit yang sunyi. Di dalam kamar yang juga hampa dengan kehidupan. Seorang pasien wanita terbaring koma. Pada tubuhnya menempel sejumlah selang dan kabel yang terhubung dengan mesin-mesin penunjang kehidupan. Hanya bisa dijen
Setelah menghabiskan tiga minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Mara sudah diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan di rumah. Tetapi Milka tidak bisa menemaninya, karena harus fokus dengan persiapan masuk SMA.Malam itu, Mara yang sudah bisa jalan sendiri ke ruang makan, ikut makan malam bersama ibunya. Sudah dua belas tahun mereka hidup hanya berdua. Tanpa kehadiran pria dewasa yang merupakan seorang suami dan ayah. Herman Zylgwyn telah meninggal dunia, karena serangan jantung."Mom," panggil Mara, seusai menghabiskan makanannya."Ya?" sahut Gloria."Hmm, Mara udah mikirin sesuatu," kata Mara. "Mara... mau kuliah."Gloria menyambut keinginan Mara dengan senyuman. "Akhirnya, kamu mau mikirin soal ini. Kamu mau kuliah di mana? Ambil apa? You know, Mommy gak pernah memaksa kamu kuliah di universitas tertentu, ambil jurusan tertentu. Karena kamulah yang akan menjalaninya kelak."Mara mengangguk. "Mara mau ambil sekolah bisnis di... London."Senyum Gloria mulai redup. "Luar negeri
Jember, 2005 SMA Harapan Bangsa 2 Siang itu, di ruang perpustakaan sedang tidak terlalu banyak orang. Amanda dihukum keluar dari kelas, karena tidak mengerjakan PR Matematika. Daripada bengong di depan kelas, lebih baik pergi ke perpustakaan, membaca sesuatu. Gadis itu duduk di salah satu bangku yang jauh dari pintu utama, agar tidak terlihat oleh guru-guru lain. Rupanya, hal serupa juga menimpa seorang siswa dari kelas 2 IPA 1. Namanya Panji. Ia lupa mengerjakan PR Fisikanya, sehingga harus dihukum keluar dari kelas juga. Ia pergi ke perpustakaan mengisi waktu luang. Sebenarnya, bisa saja ia melipir ke kantin, tetapi mau makan apa selama dua jam di sana? "Eh, kamu Amanda, kan, anak teater dari Kelas Bahasa?" sapa Panji. "Iya," jawab gadis itu, tanpa memperhatikan wajah si penyapa. "Gue suka nonton pertunjukan lo, loh," kata Panji, sok akrab. "Oh ya?" Amanda masih cuek. "Yang pas acara sapa budaya di aula bulan lalu, yang ceritanya tentang seorang ibu harus membagi buah mangga
Kereta api berhenti di Stasiun Gambir Jakarta Pusat, saat hari menjelang malam. Semua penumpang berebutan turun. Tetapi Panji dan Amanda tidak buru-buru keluar, karena memang di pintu keluar gerbong memang sangat padat. Sambil menunggu kerumunan orang itu mereda, Panji kembali menyandarkan badannya ke sandaran kursi yang ia duduki. "Abis ini cari makan dulu, ya," kata Amanda, sembali menyimpuni beberapa barang yang sempat dikeluarkannya selama perjalanan. Cermin untuk memeriksa wajahnya agar tetap cantik dan bersih, juga beberapa buku, yang malah tidak terlalu diperhatikan, karena sepanjang kereta berjalan, yang ada Panji selalu mengajaknya bicara. Katanya takut pada mabuk perjalanan. Mereka akui, ini pertama kalinya naik kereta api untuk perjalanan yang sangat jauh. Panji hanya menyahut, "He-em." Kelihatan capeknya. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. "Eh, Yank." Ia menatap Amanda dan mengajaknya bicara serius. "Apa?" tanya Amanda. Ia juga merasa ada hal penting yang ingin Panji kata
Hari menjelang siang, saat Amanda membantu Panji membersihkan rumah kontrakan pria itu. Rumah yang memang tidak terlalu besar, tetapi nyaman ditinggali. Tidak begitu kotor juga, karena penghuni sebelumnya rajin bebersih. Perabotan penting seperti kasur, peralatan dapur, dan sofa untuk ruang tamu memang sudah disiapkan oleh pemilik kontrakan, yang tidak lain adalah Puspa, budhenya Amanda. Saat sibuk bebersih itu, Puspa datang. "Manda, Panji, gimana? Suka dengan tempatnya?" "Tempatnya bagus, Budhe. Terima kasih," kata Panji. "Lebih dari bagus malah." "Oh ya, nanti air dan listrik, kamu usaha sendiri. Soalnya meterannya beda dengan yang di rumah. Pengontrak yang lain juga gitu." Rupanya Puspa datang untuk membahas hal itu. "Baik, Budhe. Gak papa. Nanti sambil kuliah, Panji juga akan cari kerjaan sampingan." Rencana Panji ini baru banget diketahui oleh Amanda. Memang ada beberapa hal yang tidak diceritakannya pada sang kekasih. "Ya udah. Gimana nyamannya saja. Kalau butuh motor, bisa
Waktu berlalu, tidak terasa, sudah dua tahun Panji dan Amanda berkuliah dan hidup di Jakarta. Panji menjalani kuliahnya yang semakin sibuk, dan pekerjaan sampingan juga menyita waktu. Hampir tidak tersisa waktu untuk berkencan dengan Amanda. Tetapi ia selalu sempatkan setiap malam minggu, atau ketika hari libur, ia akan meninggalkan yang bisa ditinggalkan, demi bisa menumpahkan perhatiannya pada sang kekasih. Sebenarnya kesibukan Amanda juga tidak kalah gila. Di hari biasa ia mengikuti jadwal perkuliahan, sementara di hari libur, Amanda pergi mengikuti jadwal syuting. Benar! Setelah berhasil mementaskan sosok Ibu Fatmawati beberapa tahun lalu di kampus, bakatnya dalam seni peran. Ia jadi sering dapat tawaran untuk syuting iklan atau film televisi, mengisi peran-peran figuran. Lama-lama, dapat jatah peran pendukung. Sebenarnya tawaran membintangi film atau sinetron remaja sebagai pemeran utama banyak datang, hanya saja Amanda sering menolak, karena tidak ingin kuliahnya jadi keteteran.
Menginjak tahun ketiga kuliah kedokteran ini, Panji kian disibukkan dengan kegiatan persiapan Program Profesi Dokter atau biasa disebut dengan koas. "Jadi, ini kamu koas di Bandung, Yank?" tanya Amanda, setelah mendapat kabar itu dari Panji. Bandung memang tidak terlalu jauh. Tetapi namanya berjauhan, apalagi ini dalam waktu yang lama, akan menyebabkan kerinduan panjang. "Koasnya memang dua tahun, pindah-pindah, tapi selama bisa pulang ke sini, aku pasti pulang." Panji coba menghibur kekasihnya. "Aku bukannya gak ingin kamu koas, tapi, aku bakalan kangen banget sama kamu, Yank." Amanda mengungkapkan perasaannya. "Iya, aku tahu. Aku juga pasti kangen banget sama kamu." Ia mengusap kepala Amanda, yang lantas memeluknya. "Kok mendadak jadi manja begini?" candanya. "Kapan lagi bisa meluk kamu, kalo bukan sekarang-sekarang ini?" sahut Amanda, membulatkan suaranya. Panji pun mendekapnya erat. Minggu itu, Panji pun berangkat koas di Bandung. Di sana, program profesi dokternya akan berl
Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda. Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Unej, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir mereka. "Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan. Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?" "Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah." "Lagian yang mau mampir-mampir tuh s
Setelah menghabiskan tiga minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Mara sudah diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan di rumah. Tetapi Milka tidak bisa menemaninya, karena harus fokus dengan persiapan masuk SMA.Malam itu, Mara yang sudah bisa jalan sendiri ke ruang makan, ikut makan malam bersama ibunya. Sudah dua belas tahun mereka hidup hanya berdua. Tanpa kehadiran pria dewasa yang merupakan seorang suami dan ayah. Herman Zylgwyn telah meninggal dunia, karena serangan jantung."Mom," panggil Mara, seusai menghabiskan makanannya."Ya?" sahut Gloria."Hmm, Mara udah mikirin sesuatu," kata Mara. "Mara... mau kuliah."Gloria menyambut keinginan Mara dengan senyuman. "Akhirnya, kamu mau mikirin soal ini. Kamu mau kuliah di mana? Ambil apa? You know, Mommy gak pernah memaksa kamu kuliah di universitas tertentu, ambil jurusan tertentu. Karena kamulah yang akan menjalaninya kelak."Mara mengangguk. "Mara mau ambil sekolah bisnis di... London."Senyum Gloria mulai redup. "Luar negeri
Hari sudah siang.Pak No datang ke rumah sakit, membawakan pakaian ganti untuk Milka, dibungkus sebuah tas. Selma yang menyuruhnya. Memang, setelah dibujuk oleh Panji, akhirnya Milka mau tidur di ruangannya."Pa, aku mau jenguk temen aku itu," kata Milka, setelah selesai mandi dan berganti pakaian."Sarapan dulu," kata Panji. "Tuh, Papa udah beliin nasi uduk. Enak, deh." Ia tahu, Milka sepertinya masih khawatir dengan kondisi Mara. "Belum jam besuk juga."Milka pun menurut.Panji memperhatikan, ada yang tidak biasa di antara Milka dan pasien laki-laki itu. Mengingatkannya pada dirinya saat muda bersama Amanda saat semuda mereka. Apakah.... di antara Milka dan Mara ada hubungan semacam itu? "Anak kita sudah besar, Yank," ucapnya dalam hati.Di sebuah bangsal rumah sakit yang sunyi. Di dalam kamar yang juga hampa dengan kehidupan. Seorang pasien wanita terbaring koma. Pada tubuhnya menempel sejumlah selang dan kabel yang terhubung dengan mesin-mesin penunjang kehidupan. Hanya bisa dijen
Malam itu. Mara bersama Bimo dan Jodi pergi ke sebuah bar milik keluarga Zylgwyn. Merasa sudah cukup umur, Mara masuk ke sana dan mencoba minum minuman beralkohol. Sebagai peminum pemula, tentu saja, meski cuma bir dengan kadar alkohol rendah, membuat dirinya jadi mabuk. Bimo dan Jodi tidak ikut minum. Mereka mengawasi Mara. Tetapi namanya Mara, tetaplah bos mereka. Malam itu, Mara minum sangat banyak, dan kalau dilarang, pasti ngamuk dan melempar gelas yang dipegangnya. "Heh! Lo itu siapa? Gak usah ngelarang-ngelarang gue. Ya! Ntar, lo takut lagi!" Lantas tertawa. Persis orang gila yang kehabisan obat. Bimo dan Jodi pun tidak bisa apa-apa. Ketika hendak pulang, mereka melihat Mara berjalan sempoyongan. "Mara, gue boncengin lo, ya?" Jodi menawarkan diri. "Apaan sih!" Mara menolak. "Gue masih bisa nyetir!" Dari caranya bicara saja sudah dapat dipastikan, Mara mabuk berat. "Kita ikutin aja dari belakang," kata Bimo pada Jodi. Mara menjalankan motornya. Awalnya dengan kecepatan nor
Waktu pun berlalu. Masha berhasil mendapatkan beasiswa sekolah fashion ke New York, Amerika Serikat. Tetapi, dia harus meninggalkan SMA di Jakarta ini, dan pindah ke sana.Selma kembali merasa berat hati, ketika anaknya harus pergi ke tempat yang sangat jauh. "Pikirin lagi, Sha.""Ma, udah berapa kali harus Masha bilang? Masha yakin kok." Masha harus meyakinkan ibunya agar berhenti mencegahnya pergi.Selma menelepon Panji agar segera pulang, supaya bisa bantu membujuk Masha agar membatalkan pindah sekolah ke Amerika."Kamu urus aja gimana baiknya," sahut Panji tanpa memberikan bantuan pada Selma."Mas, mau sampai kapan sih, kamu bersikap acuh sama Masha? Dia itu putri kamu sendiri. Anak kandung kamu." Selma habis kesabaran. "Coba kalau Milka yang begini, kamu pasti akan bela-belain melakukan segalanya. Padahal, darah kamu aja, setetes pun gak mengalir di tubuhnya! Kenapa harus bersikap pilih kasih kayak gini, hah?""Dulu, yang ingin punya anak, siapa?" Panji mengembalikan pertanyaan i
Rasa sakit hati, marah, dan kecewa menumpuk jadi satu dan menimbulkan rasa baru bernama benci di hati Masha. Melihat sosok Milka, menyebabkan hatinya kian perih. Karena mengingatkannya pada kejadian malam itu, di mana perasaan Mara terungkap dengan gamblang. Apalagi kamar pintu mereka berdua berhadapan. Setiap pagi, hendak bersiap ke sekolah, mereka sering keluar bersamaan dari kamar masing-masing. Masha selalu membuang muka.Milka merasa sedih dengan situasi ini. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Semua ini gara-gara Mara! Milka jadi semakin tidak suka pada pria itu.Mara tidak bisa diam saja. Ia merasa kurang berbuat sesuatu supaya Milka mau menerima perasaannya. Ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang Milka. Yaitu sekolahnya. Hari itu, ia terpaksa bolos sekolah, agar bisa mendatangi Milka di sekolahnya. Karena jam pulang sekolah anak SMP dan SMA berbeda beberapa jam.Bel berdentang. Kemudian para pelajar berseragam putih biru menyeruak keluar melewati ambang gerbang. Tampak se
"Lepasin!" pinta Milka, ketika ia dibawa Mara sampai ke tengah hallroom.Mara melepaskannya. "Kamu tunggu di sini. Aku akan mulai pestanya." Ia meninggalkan Milka dengan sejuta kebingungannya.Setelah Mara pergi, giliran Masha datang. "Apa-apaan ini, Milka?""Dia pasti salah gandeng tangan aku, Kak," kata Milka."Jangan bohong kamu! Pasti tiap kali jemput kakak di sekolah, kamu akrab-akrabin Mara, kan?" Tiba-tiba Masha melontarkan kemarahan yang tidak berdasar. Sang adik sampai terperangah saking kagetnya."Aku juga gak ngerti, Kak. Aku gak pernah mengakrabi Mara sama sekali." Milka berusaha menjelaskan pada kakaknya. Kini dia tahu, bahwa cowok yang jadi penebar bunga-bunga asmara di hati Masha itu siapa. Mara. Tapi, apa yang sudah dilakukan pria itu.Masha tidak mempercayai penjelasan Milka, jika membandingkan dengan apa yang baru saja tampak di depan matanya. Apalagi, ketika acara mulai.Mara naik ke panggung, ketika pembawa acara memanggil. Semua orang dipandu untuk menyanyikan lag
"Kakak lagi jatuh cinta, ya?" tebak Milka, ketika mereka baru turun dari mobil, dan memasuki rumah."Ah, kamu nih!" elak Masha. "Gak usah sok tahu, deh." Tetapi raut wajahnya seperti membenarkan tebakan sang adik."Tapi beneran kan, Kak?" Milka semakin menggodanya. Sampai mereka masuk rumah, dan suara canda tawa didengar oleh Selma, ibu mereka."Kalian becandain apa, sih?" tanya Selma. "Kedengerannya heboh banget.""Ini lho, Ma, Kak Masha..." Milka mau meneruskan, tetapi ditahannya, karena ia tahu tadi hanya gurauan."Kak Masha kenapa?" Selma malah mendesaknya untuk bicara."E... Kak Masha..." Tiba-tiba Milka merasa tidak enak sendiri. Seharusnya ia berhenti saja menggoda Masha, sebelum masuk rumah.Kemudian, Masha yang menyadari situasi itu, langsung mengubah arah pembicaraan. "Ah, Mama. Jangan ditanya terus Milka-nya. Ntar kartu aku terbuka semua.""Memangnya ada apa, sih?" Selma masih penasaran."Ini lho, aku tadi tuh baru dapet tugas dari kakak pembina di ekskul tata busana, buat
Untuk ke sekian kalinya, Mara memperhatikan Milka, yang baru datang ke sekolah itu untuk menjemput saudaranya, Masha. Hari itu, Milka memang sengaja tidak turun dari mobil. Ia hanya membuka pintu mobil, dan merasakan embusan angin yang menerpa tubuhnya. Gadis itu disibukkan dengan pekerjaan menggunakan laptop, dan sesekali menelepon.Mara melihatnya dari jendela kelasnya yang berada di lantai dua, dan dari sana bisa melihat pemandangan di depan sekolah, yang mana tempat parkir berada di sana. Ia benar-benar memperhatikan Milka dengan wajah cantiknya yang sangat khas seorang remaja.Tiba-tiba, terdengar suara 'tok-tok' pada meja belajarnya. Pak Anton, guru kelas mereka menegur, karena sejak tadi Mara tidak fokus belajar, malah melamun, dengan pandangan terlempar keluar dari jendela."Maaf, Pak," ucap Mara.Pak Anton melanjutkan pelajaran ekonomi di kelas yang hanya terisi tiga orang tersebut. Kelas khusus bagi Mara, Bimo, dan Jodi, sebagai bentu hukuman sosial, akibat laporan Masha tem
Kemunculan gadis SMP yang mengganggu acara pembalasan dendam untuk Masha, turut mengganggu ketenangan Mara. "Siapa sih, tuh cewek?" Ia mengingat penampilan gadis itu yang mengenakan seragam putih biru khas anak SMP. Wajahnya tidak mirip dengan Masha. "Pasti bukan saudaranya." Tetapi ancaman gadis SMP itu cukup menjadi alasan bagi Mara, Bimo, dan Jodi untuk berhenti mengganggu Masha."Masa lu takut cuma gara-gara anak SMP itu?" ledek Bimo. Tetapi ledekan itu akhirnya kembali pula pada dirinya sendiri."Gue bukannya takut, ya!" elak Mara. "Cuma gak mau berurusan dengan masalah yang jauh lebih rumit. Ngerti gak, lo?"Jodi melirik Bimo, merasa ada yang Mara pendam.Sebenarnya, Milka masih mengkhawatirkan Masha. "Kak, kalo dia macem-macem lagi sama Kakak, kasih tahu aku. Ya?" Ia mengingatkan sang kakak, saat dalam perjalanan ke sekolah."Udah, kamu gak perlu khawatir," kata Masha, menenangkan sang adik. "Kan udah kamu ancam. Mereka pasti gak berani lagi."Mereka lupa, obrolan ini didengar