Kereta api memasuki Stasiun Jember di daerah Jemberlor, Patrang. Semua penumpang berangsur turun, termasuk Panji. Ia sudah menelepon adiknya, Pratiwi untuk menjemput. Pulang ke Jember, bagi Panji urusannya bukan hanya mau koas terakhir, tetapi juga ingin berdamai dengan ayahnya, serta mengabarkan soal pertunangannya dengan Amanda.
Tampak, seorang gadis berkaos hijau muda dan celana jeans berdiri di depan bangsal kedatangan penumpang. Dialah Pratiwi, adik Panji satu-satunya. Sekarang dia berkuliah di Unej, jurusan ekonomi. Cocoklah, untuk meneruskan perusahaan keluarga. Ia bersama Pak Toha, sopir mereka.
"Mas Panji!" panggil Pratiwi, sambil melambaikan tangan.
Panji pun menghampirinya. "Udah tadi?"
"Barusan aja, kok. Yuk, cepetan pulang!" Pratiwi membantu membawakan tas berisi semacam oleh-oleh gitu. Memasukkannya ke bagasi mobil, berikut dengan tas koper dan tas ranselnya. "Mama bilang, Mas Panji gak boleh mampir-mampir, harus sampai ke rumah."
"Lagian yang mau mampir-mampir tuh siapa? Mas kan juga capek, abis perjalanan jauh." Panji pun masuk ke mobil, di jok tengah bersama sang adik.
Entah sudah berapa tahun tidak pulang. Semenjak pergi bersama Amanda waktu itu, tidak sekali pun ia pernah menginjakkan kaki di kota ini. Bahkan, menghubungi orang rumah pun bisa dibilang jarang. Kalau bukan Pratiwi yang menanyai beberapa teman yang masih berhubungan, mungkin Panji juga tidak tahu bagaimana menghubungi keluarga. Hanya saja, bertahun-tahun bisa berhubungan via telepon dengan sang adik, bukan berarti bisa menghubungi ibu dan ayahnya. Saat itu, Panji belum ingin mengabarkan apapun langsung dari mulutnya.
Sesampainya di rumah yang lokasinya berada di salah satu perumahan elit Jember, mobil berhenti di dalam pagar, sehingga Panji dan Pratiwi bisa turun dulu, juga menurunkan barang-barang bawaan. Belum juga melangkah menuju teras rumah, seorang wanita berusia lebih dari setengah abad keluar, itu Padmi, ibu mereka.
"Panji!!" Padmi tidak sabar menunggu sang anak masuk rumah.
Panji menoleh dan melihat ibunya. Ia langsung menghampiri sang ibu, mencium tangan, dan memeluknya. "Mama!"
Panji memeluknya. "Anak Mama!"
Padmi mengajaknya masuk. Rupanya, Suroso sudah ada di rumah, dan Panji baru menyadari hari sudah sore.
"Papa," sapa Panji.
Suroso terlihat begitu tenang, menyapa kembali putranya, bahkan tidak menolak saat tangannya dicium dan badannya dipeluk. "Sudah pulang, kamu?"
"Ya, Pa. Panji akan koas di salah satu rumah sakit di Jember." Ia menceritakan pada keluarga, kalau sekarang kuliah kedokterannya sudah tahap koas.
"Berapa lama Mas, koasnya?" tanya Pratiwi.
"Tiga bulanan, Wi," jawab Panji.
"Setelah itu balik lagi ke Jakarta?" tanya Pratiwi lagi. Pertanyaan-pertanyaannya seolah mewakili tanya dari kedua orang tua mereka.
"Ya. Kan setelah koas ada ujian sertifikasi, diambil sumpah dokter, trus magang, dapet surat izin praktek, terakhir dilantik." Panji menjelaskan tahapan-tahapan bagi diirnya agar bisa jadi dokter. "Masih panjang perjalanannya."
"Mama bangga dengan apa yang sudah kamu pilih," kata Padmi. "Kamu membuktikan ke kami, kalau kamu bisa menekuninya dengan baik."
Sore itu, Panji segera bebersih badan, lalu beristirahat di kamar lamanya. Merebahkan diri di ranjang. Ia mengambil handphone di saku jaket, melihat wajah Amanda sebagai wallpaper handphone-nya, ia jadi merasa rindu. Ia menekan nomor ponsel sang kekasih. Tidak lama, langsung mendapat jawaban.
"Kangen, kangen, kangen, kangen, kangen!!!" Amanda mengucapkan kata itu berulang kali, tanpa menyebut kata halo lebih dulu.
"Aku juga kangeeeennnn sama kamu, my love!!" balas Panji sambil tersenyum. "Lagi di mana, Sayang?" tanyanya.
"Aku lagi di rumah aja, ngapalin naskah," jawab Amanda. "Besok kan ada syuting film pendek. Aku dapet peran-peran kecil gitu. Kamu sudah sampai?"
"Iya, sudah," kata Panji.
"Salam ya, untuk semua orang di rumah." Suara Amanda terdengar ramah dan lembut.
"Iya." Hanya bicara sebentar dengan Amanda, adalah semangat yang sangat berharga bagi Panji.
Seperti biasa, Panji menjadi calon dokter muda yang digandrungi oleh banyak lapisan orang di rumah sakit tempatnya koas. Senjatanya adalah tingkah nyentrik dan bercandaan yang idenya tidak pernah habis.
Di rumah sakit itu, ia bertemu dengan salah satu teman saat masih SMA dulu. Namanya Doni. Ayahnya yang seorang dokter senior di sini. Hari itu ia ke rumah sakit mengantarkan makan siang, disuruh ibunya. Doni sendiri sekarang kuliah di Universitas Jember, ambil pertanian.
"Yang suka ilmu medis itu abang gue, dia sekarang ambil spesialis jantung di London. Ntar lo harus gitu juga, biar karir makin mentereng." Saran Doni memang ketinggian.
"Ah, urusan ntar itu. Harus bilang dulu sama ibu negara. Manda, maksudnya." Panji membalasnya dengan candaan.
"Wah, lo masih sama Amanda? Dia sering tampil di televisi loh, sekarang." Doni menunjukkan keheranan dan kekagumannya.
"Ya, dong. Gue fans dia nomor satu." Panji senang, baru kali ini ada yang percaya kalau Amanda Syailendra, aktris FTV itu adalah kekasihnya. Walau sebenarnya Doni sudah tahu mereka pacaran sejak SMA.
Hubungan jarak jauh memang bukan hal yang mudah, tetapi Amanda dan Panji menjalaninya dengan bahagia. Setiap malam, mereka selalu menyempatkan saling menghubungi lewat telepon atau panggilan video. Jika sama-sama tidak sibuk, mereka bisa lama melakukan panggilan video, dan menunjukkan kegaitan masing-masing.
Sayangnya, hingga bulan terakhir koas, Panji belum juga menceritakan soal hubungannya dengan Amanda. Ia khawatir tidak direstui. Karena keluarga ini sering ribut kalau sudah membahas pasangan anak. Terbukti, mulai dari keluarga para paman dan bibinya.
Sampai pada suatu malam, ketika Panji baru pulang dari rumah sakit, ia melihat Padmi sedang menonton televisi di ruang tengah bersama Pratiwi. Sang adik menemani sambil main handphone di samping sang ibu. Rupanya, mereka tengah menonton tayangan FTV yang tayang ulang. Panji tahu itu tayang ulang, karena yang membintangi adalah Amanda, dan dirinya sudah menonton berkali-kali. Amanda yang menyimpankan file videonya di USB.
"Serius amat kalian nontonnya," tegur Panji.
"Jangan diganggu deh, Mas. Mama tuh suka banget sama artis satu ini." Pratiwi menunjukkan saat Amanda sedang berakting dan diambil gambar wajahnya.
Panji tersenyum. "Mama suka artis itu?" Ia memastikan, kalau Pratiwi tidak salah tunjuk.
"Namanya Amanda Syailendra. Dia orang Jember loh, Mas!" Kata-kata Pratiwi membenarkan pernyataannya tadi.
"Dia satu sekolah sama Mas, di SMA," kata Panji kemudian.
Padmi rupanya mendengarkan. "Beneran, Nji?"
"Iya, Ma. Tapi kami gak satu kelas," tambah Panji.
Melihat Padmi sangat menyukai akting Amanda di TV, Panji berharap, sang ibu juga suka dengan kenyataan hubungan mereka berdua.
Malamnya, Amanda menceritakan pada Panji kegiatannya hari ini. Pagi kuliah, siangnya syuting. Tetapi, Panji terlihat kurang bersemangat.
"Kamu sakit, Yank?" tanya Amanda.
"Engga. Hanya kecapean," jawab Panji. "Kamu sendiri, juga harus jaga kesehatan ya. Sayang. Kegiatan kamu banyak."
"Iya, Sayang. Aku pasti jaga kesehatanku, kok." Amanda tampak tersenyum di layar handphone Panji.
Tiba-tiba...
"Astaga! Itu bukannya artis yang di tv!" Pratiwi datang. Tadinya mau mengajak Panji makan malam. Pintu kamar yang tidak ditutup pun, Pratiwi langsung masuk. Melihat sang kakak yang tengah asyik melakukan panggilan video dengan seorang gadis.
"Siapa itu, Yank?" tanya Amanda, yang juga mendengar suara perempuan datang.
"Eh, ini..." Panji menarik Pratiwi, agar terlihat oleh Amanda. "Adik aku. Namanya Pratiwi."
"Halo, adiknya Panji!" sapa Amanda.
Pratiwi masih tidak percaya kalau kakaknya melakukan panggilan video dengan seorang aktris FTV yang tengah naik daun. Kesukaan keluarga mereka. "Halo, Kak Amanda!" Lantas ia bertanya pada Panji, "Hubungan kalian apa? Kok saling panggil 'sayang'?"
"Amanda itu pacarnya Mas," jawab Panji.
Amanda membenarkannya.
Pratiwi melongo. Serasa tidak percaya. Tapi ini kenyataan. Ia bukannya tidak senang, hanya saja, ada sesuatu yang sudah diketahuinya. Ia tidak berani memberi tahu Panji, karena melihat kakaknya begitu bahagia saat memperkenalkan Amanda Syailendra sebagai pacar.
Suatu hari, Panji melihat Padmi tengah sibuk merangkai bunga di ruang tengah rumah mereka. Ia menghampiri, lalu duduk di sampingnya.
"Kamu gak ke rumah sakit hari ini?" tanya Padmi.
"Shift malam, Ma," jawab Panji. "Ma, ada yang ingin Panji ceritain ke Mama."
"Apa itu?" Padmi meletakkan peralatan merangkai bunga di meja. Ingin mendengarkan apa yang Panji hendak ceritakan.
"Panji punya pacar, Ma," kata Panji. "Kami sudah bertunangan juga."
Senyum ramah yang tadinya menghiasi wajah Padmi mendadak sirna. "Tidak!"
"Tidak?" Panji bingung kenapa mamanya mengucapkan kata itu.
"Kamu tidak bisa memilih calon istri sesuakmu. Mama sudah punya satu yang terbaik buat kamu."
Panji terkesiap, terkejut, dan tercekat. Apa yang Panji takutkan selama ini pun terjadi.
"Kamu sudah dijodohkan, bahkan sebelum lahir. Dengan putri sahabat Mama dan Papa. Kamu tidak diberi pilihan untuk menolak." Padmi menegaskan perintahnya. Sudah seperti ibu ratu dalam cerita kerajaan kepada para budaknya. Tidak bisa dibantah.
"Dijodohkan dari sebelum lahir? Ma, ini gak masuk akal! Bagaimana bisa Mama melakukan itu sama Panji?" Niat yang tadinya baik, kini berubah menjadi penyesalan. Seharusnya keluarga tidak perlu tahu hubungan dirinya dengan Amanda. "Aku gak mau, Ma! Aku mencintai Amanda, dan memilih bersamanya, apapun yang terjadi."
"Amanda?" Padmi mengulangi nama itu.
"Ya. Amanda Syailendra yang hampir setiap hari Mama tonton FTV-nya. Dialah tunangan Panji. Calon istri Panji. Tadinya, Panji pikir mama akan suka dan bahagia kalau dia menjadi menantu Mama. Kenyataannya apa?"
"Mama memang suka dengan bakat seni perannya. Bukan berarti Mama ingin punya hubungan keluarga dengan dia! Kamu sudah terikat perjodohan, dan itu tidak bisa dibatalkan!"
Panji tetap menolak, sampai hampir saja terjadi pertengkaran dengan ibunya, kalau saja Pratiwi tidak datang dan melerai.
Panji memutuskan kembali meninggalkan rumah, karena tidak ingin mendengar ibunya terus membahas perjodohan, dan memintanya membatalkan pertunangan dengan Amanda. Sampai selesai koas, Panji tinggal di rumah Doni. Setelah itu kembali ke Jakarta. Ia memilih melanjutkan pertunangannya dengan Amanda, ketimbang menuruti perjodohan yang baginya tidak masuk akal itu. Cinta tidak bisa dipaksa, dan ruang hatinya telah dipenuhi oleh semua tentang Amanda, dan selamanya akan tetap seperti itu.
Koas selesai, Panji kembali ke Jakarta. Mereka belum menikah, tetapi tinggal bersama dalam satu apartemen. Mereka tahu batasannya.
"Sayang, kapan kamu mulai ujian sertifikasinya?" tanya Amanda.
"Awal bulan, Sayang. Kenapa? Kamu udah gak sabar ya, pengen kita nikah?" canda Panji.
"Ih, kamu! Bukan gitu. Ya aku gak sabar aja lihat kamu pakai baju dokter itu. Sesuatu yang sudah lama kita nantikan, bukan?"
"Tapi aku pakai baju dokternya bukan dari rumah, Sayang..."
"Ya gak papa. Nanti aku pura-pura sakit, trus pergi ke rumah sakit nyariin kamu. Udah bisa deh, lihat kamu pakai baju dokter." Sepertinya Amanda sekarang mulai pintar bercanda seperti Panji. Menyebabkan mereka berdua sampai tertawa bersama.
Panji memeluknya. Dirinya belum akan menceritakan masalah yang terjadi di rumah. Belum saatnya.
Setahun kemudian, setelah menjalani ujian sertifikasi dokter umum, Panji pun mengambil sumpah, lalu menjalani sesi sebagai dokter magang di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Kemampuannya di bidang medis begitu mengagumkan. Ia bisa menjalankan beberapa operasi kecil dalam sehari, mendampingi dokter senior. Sampai dipercaya sebagai asisten dokter umum.
Pada tahun yang sama, Amanda juga lulus dari Sekolah Kesenian Jakarta. Dirinya mantap menerima tawaran main film layar lebar. Sudah mengantongi beberapa judul. Karirnya mulai naik, namanya juga dikenal publik. Ia semakin sibuk dan sibuk. Sehingga harus membutuhkan seorang asisten dan manajer. Ia menggaet Vero untuk mengisi posisi manajer, yang akan mengatur jadwalnya. Sedangkan asisten, Amanda senang, karena teman sekampusnya Litha, siap melakukan itu.
Selama itu pula, Panji enggan berhubungan dengan ibunya, dan masalah perjodohan itu akan dilupakannya.
Di Jember, Padmi sudah berhenti menonton FTV kesukaannya yang dibintangi Amanda Syailendra, semenjak sang anak menolak perjodohan itu. Hatinya sedih dan sakit, sampai tidak peduli lagi dalam menjaga kesehatan, dan ia pun jatuh sakit.
Dirinya ditemukan pingsan di dalam kamar, pada suatu siang. Dokter menyatakan, bahwa ia mengidap kanker otak stadium satu.
"Masih bisa ditangani. Harus rajin kemoterapi juga." Begitulah kata sang dokter.
Empat tahun kemudian.
Kabar pernikahan Amanda Syailendra menjadi perbincangan publik. Calon suaminya yang seorang dokter muda sungguh membuat iri banyak wanita. Demi mempersiapkan pernikahannya, Amanda sampai minta libur dari syuting panjang sebuah serial televisi. Ia ingin pernikahannya kali ini berjalan sempurna.
"Yang, aku udah kirim kabar ke Jember. Temen-temen deket kita, akan hadir," kata Amanda, pada suatu hari.
Panji mengangguk. Ia senang dengan semua yang Amanda lakukan dalam pernikahan ini.
"Kamu, udah ngabarin keluarga kamu, kan?" tanya Amanda.
Panji terdiam. "Kamu tahu kan, keluarga aku gimana. Aku akan kasih tahu mereka setelah kita resmi menikah."
Amanda bisa mengerti. "Ya udah. Apa baiknya menurut kamu aja."
Dua minggu menjelang hari pernikahan, Amanda dihubungi oleh pihak produksi film, katanya mereka perlu mengambil adegan Amanda sekali lagi di Malaysia. Ia pun menyampaikan hal ini kepada Panji.
"Aku hanya syuting di sana satu minggu, kok, trus balik," kata Amanda meyakinkan Panji.
"Tapi hari pernikahan kita udah deket, loh," kata Panji, mengingatkan.
"Iya, aku tahu. Aku janji, setelah semua selesai, aku langsung pulang. Aku juga gak ingin melewatkan hari pernikahan kita. Tapi film ini, tiket aku buat dapet Piala Citra, Yank." Amanda menunjukkan wajah memelas. Ia begitu ingin kedua hal ini sukses sekaligus.
"Ya udah. Kamu pergilah." Panji pun mengizinkan.
Setelah Amanda pergi, giliran Panji yang diterpa masalah. Pratiwi menghubunginya dan memberi tahu soal penyakit ibunya. "Pulang ya, Mas. Mama butuh kamu." terdengar suara tangis Pratiwi.
Panji mendapat kabar yang kurang bagus dari Pratiwi. Sebagai dokter, dirinya tahu seberapa parah penyakit yang diidap Padmi, ibunya. Kanker otak, yang sudah naik jadi stadium tiga. Ia segera mengajukan cuti, dan pulang ke Jember. Ia belum sempat memberi tahu Amanda soal ini. Sesampainya di Jember, Panji langsung menemui Padmi di rumah sakit tempatnya di kemoterapi. "Maafin Panji, Ma. Udah bikin Mama marah." Panji memeluk lutut ibunya. "Mama harus sembuh. Panji janji akan menuruti semua keinginan Mama." "Semua?" Padmi memastikan tidak salah dengar. Sepertinya di sinilah Panji mengawali semua kesalahan yang akan ditanggungnya seumur hidup. "Se-semuanya." Panji pasrah, benar-benar menuruti semua keinginan mamanya, termasuk menikahi Selma Hayati, perempuan yang telah dijodohkan dengannya bahkan semenjak mereka belum dilahirkan ke dunia ini. Ia tidak berani memberi tahu Amanda soal ini semua. Ia tidak siap menghadapi kemarahan kekasihnya itu. Ia hanya membiarkan handphone terus berbuny
Amanda segera mendapat pertolongan di ruang UGD. Vero meminta para petugas untuk tidak menceritakan yang terjadi kepada selain yang berhubungan. Yang paling penting adalah harus merahasiakan hal ini dari awak media. Menunggu Amanda ditangani para dokter, Vero menunggu di luar. Datanglah Puspa dan Syamsul. "Gimana kondisi Amanda?" tanya Puspa. Ia sudah tahu apa yang terjadi antara keponakannya dan Panji. "Ma!" Vero menangis, memeluk ibunya. "Kasihan Manda, Ma. Kenapa dia harus mengalami masalah seperti ini, saat karirnya naik, kebahagiaan sudah dalam genggaman tangannya. Kenapa Panji tega melakukan semua ini sama Manda? Salah Manda apa?" "Udah, udah, kamu jangan ikutan down begini. Kita semua harus kuat. Terutama kamu, yang paling dekat sama dia." Puspa menepuk-nepuk pelan punggung Vero, menenangkan anak gadisnya. "Tetap saja, Panji harus memberikan penjelasan pada kita. Kalau pun Amanda gak mau dengar, kita yang mewakili." Begitu kata Syamsul. Sementara itu, Panji tidak tahu haru
Cinta adalah sebuah simbol perasaan yang suci. Siapapun berhak memiliki. Termasuk yang dilarang. Status hubungan Amanda dan Panji memasuki ranah terlarang. Sudah tidak bisa bersatu seperti yang mereka impikan. Tetapi, apakah mereka berdua dapat menerima keputusan takdir? Terutama Panji, tidak! Hari itu, Panji pulang ke rumah kontrakannya, mau mengambil pakaian bersih. Selama Selma masih tinggal di rumahnya, ia lebih memilih tinggal di asrama dokter. Selma menyambutnya. "Mas Panji, kamu sudah pulang? Aku buatkan makan malam, ya?" Perempuan berhijab tengah berusaha melayani suaminya dengan baik. Panji hanya diam, tidak mempedulikannya. Melihat rumah sudah sepi, sepertinya Pratiwi juga sudah pulang ke Jember. Selma sendirian. Selma mengekor di belakangnya, hingga hampir naik ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Panji langsung menyuruhnya berhenti mengikuti. "Jangan pernah naik ke atas, di mana kamarku berada!" "Ke-kenapa memangnya, Mas?" tanya Selma. Sepertinya kali ini Panji haru
Setelah beberapa hari rawat inap, dan memastikan Amanda baik-baik saja, Dokter Iqbal mengizinkannya pulang, untuk menjalani rawat jalan di rumah. Dokter Iqbal berpesan berulang kali pada Panji, kalau untuk sementara ini Amanda tidak boleh mengalami tekanan mental dulu. Jangan memberinya masalah-masalah yang berat. "Lo tahu kan, akibatnya apa?""Iya, gue tahu," kata Panji.Hari itu, Panji membawa Amanda pulang ke apartemennya, yang sudah bersih dan rapi, berkat Vero yang mengatur."Yang, aku boleh makan rujak manis, gak?" tanya Amanda."Belum boleh, Sayang," jawab Panji. "Kamu baru keluar dari rumah sakit. Makan yang healthy food dulu gitu. Aku bikinin salad buah aja, ya?""Ya, Pak Dokter. Pasien nurut." Amanda begitu terlihat manja hari ini. Ia membiarkan Panji membantunya berbaring di tempat tidur."Kamu istirahatlah." Panji membetulkan selimut.Amanda menarik tangan Panji. "Yang...""Hm?" Panji menoleh."Jangan tinggalin aku," kata Amanda.Panji pun duduk di sisi tempat tidur. Memeg
Selma meyakini, bahwa apa yang sudah ditetapkan Tuhan, harus ia jaga dan pertahankan, termasuk suami yang tidak mencintainya. Ia percaya, bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Saat ini baginya, Panji bagaikan batu yang butuh ditetesi hujan, agar hatinya tersentuh. Maka, sekali lagi ia menemui Panji pada suatu hari di rumah sakit. Ia cukup beruntung karena Panji ada, dan sedang dinas.Panji tampak enggan bicara dengan Selma yang dianggapnya kepala batu. Seperti tidak mengerti bahasa manusia, untuk memahami situasi yang tengah mereka hadapi. Tapi baiklah, ia ingin coba dengar, apa yang mau Selma katakan.Mereka berdua bicara di sebuah kafe, dekat rumah sakit, pas di jam makan siang, sehingga tidak mengganggu pekerjaan Panji sebagai dokter."Kamu bilang, butuh waktu untuk membuat pernikahan ini berjalan cukup lama sampai berakhir dalam perceraian, bukan? Oke, aku setuju." Selma menyeruput teh hangat yang dipesannya.Panji tidak menyangka, Selma akan menyetujui ini. Tapi ia yakin, ti
Pukul sepuluh malam, hari itu.Kamar rumah sakit kelas VIP itu terasa dingin karena embusan udara dari AC. Seorang pria berjas dokter tertidur di sisi ranjang, sambil memegang tangan pasien yang tengah terbaring dengan mata terpejam.Kemudian... "Pan...ji..."Dokter muda itu terbangun. Ia melihat Amanda membuka matanya. "Sayang?""A-aku di mana?" tanya Amanda."Kamu di rumah sakit, Sayang. Tadi pagi kamu pingsan. Litha yang bawa ke sini." Panji menceritakan kejadiannya.Amanda pun teringat. Pagi tadi ia merasakan kepalanya yang sangat sakit. "Sayang, aku sakit apa, sih?" tanyanya."Kamu hanya kecapean dan stress karena pekerjaan," jawab Panji, lagi-lagi berbohong. "Aku bisa mati?" Ia bertanya demikian, karena sakit di kepalanya tadi sangat tidak biasa.Panji tersenyum. Ia lantas memeluk Amanda. "Engga, dong. Kamu pasti akan pulilh kembali, asal, seperti yang biasanya aku bilang, jangan terlalu banyak mikir. Gak boleh stress."Di luar kamar, sebenarnya ada Selma. Ia penasaran karena m
Amanda kembali disibukkan dengan kegiatan keartisannya, sebagai pemain film dan sinetron yang sangat digemari. Sesekali ia menerima tawaran untuk menyanyikan lagu soundtrack film yang dibintanginya. Rupanya ia memiliki suara yang bagus saat bernyanyi. Sehingga datanglah tawaran untuk membuatkannya sebuah single. Hanya saja, Amanda menolak."Aku mana pede nyanyi beneran? Kalau cuma untuk have fun kayak pas nyanyiin soundtrack itu gak masalah," kata Amanda mengemukakan alasannya pada Vero dan Litha."Tapi lo punya suara yang bagus loh, Manda." Vero membujuknya."Jangan, deh. Belum tentu kan, orang bakalan suka. Beda penggemar film, sinetron, dan musik." Amanda masih kekeh menolak."Ya udah deh, terserah lo. Oh ya, besok ini jadwal lo ya, udah gue kirim ke ipad lo. Inget buat bangun pagi, buat siap-siap." Vero selalu menjadi manajer yang luar biasa disiplin. Dan Amanda menjadi artisnya yang setengah penurut.Sementara itu, Panji. Ia memang menjalankan perannya sebagai suami bagi Selma, n
Bisa dibilang, Amanda Syailendra adalah salah satu bidadari yang ada di dunia seni peran. Orangnya cantik, penampilannya menarik, serta memiliki hati yang baik. Siapa pria yang tidak menyukainya? Ian Darwis sudah kelepek-kelepek terhadapnya, hanya belum berani menyatakan perasaan.Belum lama bangkit dari keterpurukan dalam jurang patah hati yang diciptakan seorang pria bernama Panji Setiawan Suroso. Keluar dari kungkungan depresi akibat tragedi cinta indah yang kandas tiada berbekas, Amanda menunjukkan pada dunia, bahwa dirinya baik-baik saja. Kiprahnya setelah kejadian batal nikah itu, memang terkesan seperti orang yang meningkatkan kepercayaan diri. Terbuka menjalin pertemanan dengan siapapun, ironisnya kebanyakan pria.Tetapi Amanda tidak peduli pendapat orang. "Aku udah pernah berusaha menjadi orang sempurna, tanpa cacat di depan orang. Reputasiku begitu baik. Apa yang aku dapatkan? Tuhan gak adil!" Begitulah katanya, ketika Vero coba menasihatinya."Jangan keterusan, lah. Inget,
Setelah menghabiskan tiga minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Mara sudah diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan di rumah. Tetapi Milka tidak bisa menemaninya, karena harus fokus dengan persiapan masuk SMA.Malam itu, Mara yang sudah bisa jalan sendiri ke ruang makan, ikut makan malam bersama ibunya. Sudah dua belas tahun mereka hidup hanya berdua. Tanpa kehadiran pria dewasa yang merupakan seorang suami dan ayah. Herman Zylgwyn telah meninggal dunia, karena serangan jantung."Mom," panggil Mara, seusai menghabiskan makanannya."Ya?" sahut Gloria."Hmm, Mara udah mikirin sesuatu," kata Mara. "Mara... mau kuliah."Gloria menyambut keinginan Mara dengan senyuman. "Akhirnya, kamu mau mikirin soal ini. Kamu mau kuliah di mana? Ambil apa? You know, Mommy gak pernah memaksa kamu kuliah di universitas tertentu, ambil jurusan tertentu. Karena kamulah yang akan menjalaninya kelak."Mara mengangguk. "Mara mau ambil sekolah bisnis di... London."Senyum Gloria mulai redup. "Luar negeri
Hari sudah siang.Pak No datang ke rumah sakit, membawakan pakaian ganti untuk Milka, dibungkus sebuah tas. Selma yang menyuruhnya. Memang, setelah dibujuk oleh Panji, akhirnya Milka mau tidur di ruangannya."Pa, aku mau jenguk temen aku itu," kata Milka, setelah selesai mandi dan berganti pakaian."Sarapan dulu," kata Panji. "Tuh, Papa udah beliin nasi uduk. Enak, deh." Ia tahu, Milka sepertinya masih khawatir dengan kondisi Mara. "Belum jam besuk juga."Milka pun menurut.Panji memperhatikan, ada yang tidak biasa di antara Milka dan pasien laki-laki itu. Mengingatkannya pada dirinya saat muda bersama Amanda saat semuda mereka. Apakah.... di antara Milka dan Mara ada hubungan semacam itu? "Anak kita sudah besar, Yank," ucapnya dalam hati.Di sebuah bangsal rumah sakit yang sunyi. Di dalam kamar yang juga hampa dengan kehidupan. Seorang pasien wanita terbaring koma. Pada tubuhnya menempel sejumlah selang dan kabel yang terhubung dengan mesin-mesin penunjang kehidupan. Hanya bisa dijen
Malam itu. Mara bersama Bimo dan Jodi pergi ke sebuah bar milik keluarga Zylgwyn. Merasa sudah cukup umur, Mara masuk ke sana dan mencoba minum minuman beralkohol. Sebagai peminum pemula, tentu saja, meski cuma bir dengan kadar alkohol rendah, membuat dirinya jadi mabuk. Bimo dan Jodi tidak ikut minum. Mereka mengawasi Mara. Tetapi namanya Mara, tetaplah bos mereka. Malam itu, Mara minum sangat banyak, dan kalau dilarang, pasti ngamuk dan melempar gelas yang dipegangnya. "Heh! Lo itu siapa? Gak usah ngelarang-ngelarang gue. Ya! Ntar, lo takut lagi!" Lantas tertawa. Persis orang gila yang kehabisan obat. Bimo dan Jodi pun tidak bisa apa-apa. Ketika hendak pulang, mereka melihat Mara berjalan sempoyongan. "Mara, gue boncengin lo, ya?" Jodi menawarkan diri. "Apaan sih!" Mara menolak. "Gue masih bisa nyetir!" Dari caranya bicara saja sudah dapat dipastikan, Mara mabuk berat. "Kita ikutin aja dari belakang," kata Bimo pada Jodi. Mara menjalankan motornya. Awalnya dengan kecepatan nor
Waktu pun berlalu. Masha berhasil mendapatkan beasiswa sekolah fashion ke New York, Amerika Serikat. Tetapi, dia harus meninggalkan SMA di Jakarta ini, dan pindah ke sana.Selma kembali merasa berat hati, ketika anaknya harus pergi ke tempat yang sangat jauh. "Pikirin lagi, Sha.""Ma, udah berapa kali harus Masha bilang? Masha yakin kok." Masha harus meyakinkan ibunya agar berhenti mencegahnya pergi.Selma menelepon Panji agar segera pulang, supaya bisa bantu membujuk Masha agar membatalkan pindah sekolah ke Amerika."Kamu urus aja gimana baiknya," sahut Panji tanpa memberikan bantuan pada Selma."Mas, mau sampai kapan sih, kamu bersikap acuh sama Masha? Dia itu putri kamu sendiri. Anak kandung kamu." Selma habis kesabaran. "Coba kalau Milka yang begini, kamu pasti akan bela-belain melakukan segalanya. Padahal, darah kamu aja, setetes pun gak mengalir di tubuhnya! Kenapa harus bersikap pilih kasih kayak gini, hah?""Dulu, yang ingin punya anak, siapa?" Panji mengembalikan pertanyaan i
Rasa sakit hati, marah, dan kecewa menumpuk jadi satu dan menimbulkan rasa baru bernama benci di hati Masha. Melihat sosok Milka, menyebabkan hatinya kian perih. Karena mengingatkannya pada kejadian malam itu, di mana perasaan Mara terungkap dengan gamblang. Apalagi kamar pintu mereka berdua berhadapan. Setiap pagi, hendak bersiap ke sekolah, mereka sering keluar bersamaan dari kamar masing-masing. Masha selalu membuang muka.Milka merasa sedih dengan situasi ini. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Semua ini gara-gara Mara! Milka jadi semakin tidak suka pada pria itu.Mara tidak bisa diam saja. Ia merasa kurang berbuat sesuatu supaya Milka mau menerima perasaannya. Ia mulai mencari tahu lebih banyak tentang Milka. Yaitu sekolahnya. Hari itu, ia terpaksa bolos sekolah, agar bisa mendatangi Milka di sekolahnya. Karena jam pulang sekolah anak SMP dan SMA berbeda beberapa jam.Bel berdentang. Kemudian para pelajar berseragam putih biru menyeruak keluar melewati ambang gerbang. Tampak se
"Lepasin!" pinta Milka, ketika ia dibawa Mara sampai ke tengah hallroom.Mara melepaskannya. "Kamu tunggu di sini. Aku akan mulai pestanya." Ia meninggalkan Milka dengan sejuta kebingungannya.Setelah Mara pergi, giliran Masha datang. "Apa-apaan ini, Milka?""Dia pasti salah gandeng tangan aku, Kak," kata Milka."Jangan bohong kamu! Pasti tiap kali jemput kakak di sekolah, kamu akrab-akrabin Mara, kan?" Tiba-tiba Masha melontarkan kemarahan yang tidak berdasar. Sang adik sampai terperangah saking kagetnya."Aku juga gak ngerti, Kak. Aku gak pernah mengakrabi Mara sama sekali." Milka berusaha menjelaskan pada kakaknya. Kini dia tahu, bahwa cowok yang jadi penebar bunga-bunga asmara di hati Masha itu siapa. Mara. Tapi, apa yang sudah dilakukan pria itu.Masha tidak mempercayai penjelasan Milka, jika membandingkan dengan apa yang baru saja tampak di depan matanya. Apalagi, ketika acara mulai.Mara naik ke panggung, ketika pembawa acara memanggil. Semua orang dipandu untuk menyanyikan lag
"Kakak lagi jatuh cinta, ya?" tebak Milka, ketika mereka baru turun dari mobil, dan memasuki rumah."Ah, kamu nih!" elak Masha. "Gak usah sok tahu, deh." Tetapi raut wajahnya seperti membenarkan tebakan sang adik."Tapi beneran kan, Kak?" Milka semakin menggodanya. Sampai mereka masuk rumah, dan suara canda tawa didengar oleh Selma, ibu mereka."Kalian becandain apa, sih?" tanya Selma. "Kedengerannya heboh banget.""Ini lho, Ma, Kak Masha..." Milka mau meneruskan, tetapi ditahannya, karena ia tahu tadi hanya gurauan."Kak Masha kenapa?" Selma malah mendesaknya untuk bicara."E... Kak Masha..." Tiba-tiba Milka merasa tidak enak sendiri. Seharusnya ia berhenti saja menggoda Masha, sebelum masuk rumah.Kemudian, Masha yang menyadari situasi itu, langsung mengubah arah pembicaraan. "Ah, Mama. Jangan ditanya terus Milka-nya. Ntar kartu aku terbuka semua.""Memangnya ada apa, sih?" Selma masih penasaran."Ini lho, aku tadi tuh baru dapet tugas dari kakak pembina di ekskul tata busana, buat
Untuk ke sekian kalinya, Mara memperhatikan Milka, yang baru datang ke sekolah itu untuk menjemput saudaranya, Masha. Hari itu, Milka memang sengaja tidak turun dari mobil. Ia hanya membuka pintu mobil, dan merasakan embusan angin yang menerpa tubuhnya. Gadis itu disibukkan dengan pekerjaan menggunakan laptop, dan sesekali menelepon.Mara melihatnya dari jendela kelasnya yang berada di lantai dua, dan dari sana bisa melihat pemandangan di depan sekolah, yang mana tempat parkir berada di sana. Ia benar-benar memperhatikan Milka dengan wajah cantiknya yang sangat khas seorang remaja.Tiba-tiba, terdengar suara 'tok-tok' pada meja belajarnya. Pak Anton, guru kelas mereka menegur, karena sejak tadi Mara tidak fokus belajar, malah melamun, dengan pandangan terlempar keluar dari jendela."Maaf, Pak," ucap Mara.Pak Anton melanjutkan pelajaran ekonomi di kelas yang hanya terisi tiga orang tersebut. Kelas khusus bagi Mara, Bimo, dan Jodi, sebagai bentu hukuman sosial, akibat laporan Masha tem
Kemunculan gadis SMP yang mengganggu acara pembalasan dendam untuk Masha, turut mengganggu ketenangan Mara. "Siapa sih, tuh cewek?" Ia mengingat penampilan gadis itu yang mengenakan seragam putih biru khas anak SMP. Wajahnya tidak mirip dengan Masha. "Pasti bukan saudaranya." Tetapi ancaman gadis SMP itu cukup menjadi alasan bagi Mara, Bimo, dan Jodi untuk berhenti mengganggu Masha."Masa lu takut cuma gara-gara anak SMP itu?" ledek Bimo. Tetapi ledekan itu akhirnya kembali pula pada dirinya sendiri."Gue bukannya takut, ya!" elak Mara. "Cuma gak mau berurusan dengan masalah yang jauh lebih rumit. Ngerti gak, lo?"Jodi melirik Bimo, merasa ada yang Mara pendam.Sebenarnya, Milka masih mengkhawatirkan Masha. "Kak, kalo dia macem-macem lagi sama Kakak, kasih tahu aku. Ya?" Ia mengingatkan sang kakak, saat dalam perjalanan ke sekolah."Udah, kamu gak perlu khawatir," kata Masha, menenangkan sang adik. "Kan udah kamu ancam. Mereka pasti gak berani lagi."Mereka lupa, obrolan ini didengar