"Turunkan aku, Mas," desakku dengan suara bernada keras. Kami sudah sampai di depan rumahku di lantai dua. Tadinya aku bilang pada Mas Vincent untuk membiarkan aku naik tangga sendiri. Kasihan kan kalau dia harus menggendongku sampai ke lantai dua. "Mas, aku jalan sendiri saja. Kasihan Mas Vincent kalau gendong aku terus, aku berat, Mas," ucapku memintanya untuk tidak bersikap berlebihan lagi. Apa coba katanya? "Kamu berat? Enggak ah, badanmu tuh ringan, seringan badan Ricky. Kalau harus membawa kamu sampai lantai lima pun aku sanggup," sahutnya, lalu dengan santai membawaku berputar seperti orang yang menari. "Udah kayak pengantin baru saja ya kita ini," kekehnya. Edan memang nih orang! Pingin aku timpuk rasanya, tapi kok sayang? Eh, maksudku sayang kalau sampai dia jatuh, nanti aku ikutan jatuh, gitu. Terus apa tadi katanya, bobotku seringan Ricky? Aku disamain dengan bocah umur tiga tahun? Dia pikir tulangku terbuat dari apa? Daun bambu? Ampun deh! Yang lebih edan lagi, setel
Katanya kita bisa melihat wajah jujur seseorang ketika ia sedang tertidur. Tidak ada kepura-puraan atau rekayasa di sana. Sama halnya yang aku lihat saat ini, wajah jujur Mas Vincent yang masih tidur di ruang depan rumahku. Rupanya setelah aku tertidur ia memilih tidur di situ ketimbang pulang ke rumahnya. Pria ini bahkan hanya tidur di atas tikar piknik yang biasa dipakai Ricky saat bermain. Iba rasanya hatiku. Aku mengamati pria yang selalu tenang dan suka bercanda itu. Wajahnya tampak damai, namun tampak sedikit tanda kelelahan. Entah jam berapa dia tidur semalam, ia pasti capek karena kejadian semalam. Ah, betapa banyak hutang budi yang aku miliki kepadanya. Dan di lubuk hatiku yang terdalam aku semakin sadar betapa aku masih membutuhkan sosok seorang pria, dan khususnya pria itu adalah Vincent. Maksudku, setidaknya pria seperti dialah yang mampu menopang aku dan anakku. Entah berapa lama aku terdiam menatapnya, sampai akhirnya tetanggaku itu terbangun dan membuka matanya. Bebe
"Pffft ... hahahaha!" Sehabis mengucapkan kalimat sayang dengan begitu serius, bisa-bisanya Mas Vincent tertawa begitu? "Kenapa ketawa, Mas? Ada yang lucu?" tanyaku keheranan. "Mukamu yang lucu, seperti anak gadis yang diajak menikah oleh kekasihnya. Diterima atau diterima ya? Hihihi," kekehnya menggodaku. Hadeuh! Perbandingan macam apa itu? Aku kan bukan anak gadis lagi, dan Mas Vincent bukan kekasihku. Namun, tak pelak aku tersipu akibat ucapannya. Berpikir bahwa seseorang yang istimewa menyukaimu bisa menimbulkan perasaan campur aduk di dalam diri, tetapi mendengar langsung pertanyaan sayangnya nggak cuma bikin campur aduk, tapi juga membuat jantungmu jungkir balik, senam aerobik sampai zumba keliling Asia. "Aku ke sebelah dulu ya, kamu makan gih, mumpung masih hangat," pamitnya tak melanjutkan ungkapannya yang begitu serius tadi. Nah, sekarang malah mau pergi begitu saja. Nggak ingin dengar jawaban dariku kah? Aneh bener ini orang! "Mas ...," panggilku menghentikan langkahny
Setelah panggilan suara dengan Mbak Sasha berakhir, tak henti-henti notifikasi ponselku berbunyi, entah itu pesan atau telepon dari teman kerja yang lain yang menanyakan kondisiku. "Velove, aku jenguk ya," ucap Mbak Jeje dengan suara bernada prihatin. "Nggak usah, Mbak, udah sore, nanti Mbak masih harus ke kafe, rumah Mbak Jeje kan jauh," cegahku, tak ingin merepotkan temanku itu. Wanita itu terdengar mendengus kecewa, namun tak lama kemudian ia langsung mengatakan, "Ya sudahlah, aku kirim makanan buat kamu dan Ricky saja ya." "Jangan repot, Mbak ...." "Jangan ditolak!" tegasnya tak menerima kompromi. Ya sudah, aku terima deh, namanya juga rezeki, masa ditolak? Mbak Jeje tulus ingin berbagi denganku, tak mungkin aku terus menolak. Dan rupanya yang mengirimi aku makanan bukan hanya Mbak Jeje, teman-teman yang lain, termasuk bosku juga ikutan delivery makanan. Pak Benny malahan sampai meminta tolong si tukang antar makanan untuk memberikan uang tunai padaku. "Loh, Mas, ini kok mal
Erick telah menyelesaikan kuliahnya, dan sebentar lagi ia diwisuda. Itulah penyebab dia sempat menghilang selama beberapa waktu: mengerjakan tugas akhir alias bikin skripsi. Wajah tampannya masih tampak lelah saat datang ke rusun lagi, namun tetap ada senyuman puas menghiasi karena sudah menyelesaikan studinya. "Apa?? Kamu hampir dilecehkan??? Mana orangnya? Biar kuhajar sekalian!" serunya dengan mata berapi-api.Nggak nyambung banget ya? Mengapa dia mendadak marah? Erick tidak tiba-tiba berubah jadi jahat, hanya saja ia tidak terima saat mendengar tragedi yang hampir menimpaku akibat perbuatan Charlie, si cowok cabul. "Kamu sih pakai acara ngelarang aku jemput kamu, akhirnya ada garong yang nyelonong," tegurnya sengit. Sekarang gantian aku yang dimarahi."Aku mana tahu, Rick, kalau aslinya dia jahat gitu," dalihku dengan muka cemberut. Toh, kejadian itu sudah berlalu juga, tapi aku maklum sih kalau Erick emosi, karena ia baru tahu sekarang. "Hhhhh, rasanya pingin kucubit dia," ger
"Hai, Erick, Velove!" panggil satu suara lembut. Seorang wanita cantik menghampiri kami. Raut muka Erick yang tadinya begitu ceria, berubah keruh. "Mau apa ke mari, Tante?" tanyanya ketus. Ia memalingkan muka dan menolak bertatapan mata dengan wanita itu. "Gantiin Mas Johan ke acara wisudamu. Ini pasti Ricky ya. Halo!" Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan anakku, dan mencoba mengajaknya bersalaman. "Ricky, salim!" perintahku pada anakku yang bergegas menyambut tangan perempuan itu dan menempelkannya di pipi. Orang yang datang itu mama tiri Erick. Awalnya aku sedikit lupa dengan wajahnya, namun demi melihat sikap Erick yang tidak bersahabat, dan juga mengetahui maksud kedatangannya untuk menggantikan Om Johan, aku bisa menyimpulkan kalau dia adalah istri kedua Papa Erick. Orangnya masih muda dan cantik. Kata Erick mama tirinya itu hanya beberapa tahun lebih tua dari kakaknya. "Oh, ya. Kita pernah bertemu, tapi belum sempat berkenalan ya, Velove. Saya Shopia," ucapnya r
"Mas Johan itu sebenarnya orang yang selalu kesepian," papar Mbak Sophi saat memulai ceritanya. "Ia tipikal pria ibu kota yang merasa diri harus bekerja keras untuk memberi kehidupan yang layak, atau lebih tepatnya mewah, untuk keluarganya." Aku mendengarkan cerita Mbak Sophi tanpa menyela. Sesaat matanya tampak menerawang jauh, seolah mengingat kenangan masa lalu. Aku tahu di setiap luka pasti ada kenangan sendu di baliknya. "Dulu saya bisa bekerja sebagai sebagai sekretaris Mas Johan atas kebaikannya mempekerjakan seorang lulusan diploma yang belum cakap bekerja. Bapak saya sudah lebih dulu bekerja di sana, dan banyak berutang budi atas kebaikan Mas Johan. Beberapa karyawan kurang suka melihat saya direkrut, namun Mas Johan terus mengatakan pada saya, 'Tidak usah dipikirkan apa kata mereka. Yang penting kamu bekerja keras, Soph,' seperti itu." Suasana sedikit berubah ketika ibu tiri Erick bercerita tentang masa hidupnya sebelum menikah. Ada senyum merekah di bibir wanita itu, sep
Kami berpisah dengan Mbak Sophi di depan rumah makan. Ia pulang bersama sopirnya, dan Erick mengantarkan aku dan Ricky ke rusun. Sebelum meninggalkan restoran ia sempat mengajakku bicara sebentar. "Velove, ini buat Ricky ya," ujar Mbak Sophi sembari menyerahkan sebuah amplop kepadaku. "Mbak Sophi, jangan repot-repot," desisku berupaya menolak. Aku merasa tidak enak hati untuk menerima pemberiannya karena ini kali pertama kami berkenalan tapi dia sudah memberiku sesuatu. Sepertinya sih uang. "Nggak repot, Velove! Ini buat Ricky, dari Mas Johan dan saya. Ricky itu anak Erick, jadi secara otomatis dia cucu kami, walaupun saya mungkin belum pantas menjadi seorang oma." Ia tersenyum geli demi membayangkan dirinya menjadi seorang nenek padahal masih muda. "Baiklah, saya terima. Terima kasih banyak, Mbak Sophi ... juga Om Johan." Nama terakhir aku sebutkan dengan sedikit ragu. Bagaimanapun masih ada rasa canggung dalam diriku saat mengingat ayah Erick itu. "Sama-sama. Ingat ya, Velove, a
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni