Setelah panggilan suara dengan Mbak Sasha berakhir, tak henti-henti notifikasi ponselku berbunyi, entah itu pesan atau telepon dari teman kerja yang lain yang menanyakan kondisiku. "Velove, aku jenguk ya," ucap Mbak Jeje dengan suara bernada prihatin. "Nggak usah, Mbak, udah sore, nanti Mbak masih harus ke kafe, rumah Mbak Jeje kan jauh," cegahku, tak ingin merepotkan temanku itu. Wanita itu terdengar mendengus kecewa, namun tak lama kemudian ia langsung mengatakan, "Ya sudahlah, aku kirim makanan buat kamu dan Ricky saja ya." "Jangan repot, Mbak ...." "Jangan ditolak!" tegasnya tak menerima kompromi. Ya sudah, aku terima deh, namanya juga rezeki, masa ditolak? Mbak Jeje tulus ingin berbagi denganku, tak mungkin aku terus menolak. Dan rupanya yang mengirimi aku makanan bukan hanya Mbak Jeje, teman-teman yang lain, termasuk bosku juga ikutan delivery makanan. Pak Benny malahan sampai meminta tolong si tukang antar makanan untuk memberikan uang tunai padaku. "Loh, Mas, ini kok mal
Erick telah menyelesaikan kuliahnya, dan sebentar lagi ia diwisuda. Itulah penyebab dia sempat menghilang selama beberapa waktu: mengerjakan tugas akhir alias bikin skripsi. Wajah tampannya masih tampak lelah saat datang ke rusun lagi, namun tetap ada senyuman puas menghiasi karena sudah menyelesaikan studinya. "Apa?? Kamu hampir dilecehkan??? Mana orangnya? Biar kuhajar sekalian!" serunya dengan mata berapi-api.Nggak nyambung banget ya? Mengapa dia mendadak marah? Erick tidak tiba-tiba berubah jadi jahat, hanya saja ia tidak terima saat mendengar tragedi yang hampir menimpaku akibat perbuatan Charlie, si cowok cabul. "Kamu sih pakai acara ngelarang aku jemput kamu, akhirnya ada garong yang nyelonong," tegurnya sengit. Sekarang gantian aku yang dimarahi."Aku mana tahu, Rick, kalau aslinya dia jahat gitu," dalihku dengan muka cemberut. Toh, kejadian itu sudah berlalu juga, tapi aku maklum sih kalau Erick emosi, karena ia baru tahu sekarang. "Hhhhh, rasanya pingin kucubit dia," ger
"Hai, Erick, Velove!" panggil satu suara lembut. Seorang wanita cantik menghampiri kami. Raut muka Erick yang tadinya begitu ceria, berubah keruh. "Mau apa ke mari, Tante?" tanyanya ketus. Ia memalingkan muka dan menolak bertatapan mata dengan wanita itu. "Gantiin Mas Johan ke acara wisudamu. Ini pasti Ricky ya. Halo!" Wanita itu melambai-lambaikan tangannya di depan anakku, dan mencoba mengajaknya bersalaman. "Ricky, salim!" perintahku pada anakku yang bergegas menyambut tangan perempuan itu dan menempelkannya di pipi. Orang yang datang itu mama tiri Erick. Awalnya aku sedikit lupa dengan wajahnya, namun demi melihat sikap Erick yang tidak bersahabat, dan juga mengetahui maksud kedatangannya untuk menggantikan Om Johan, aku bisa menyimpulkan kalau dia adalah istri kedua Papa Erick. Orangnya masih muda dan cantik. Kata Erick mama tirinya itu hanya beberapa tahun lebih tua dari kakaknya. "Oh, ya. Kita pernah bertemu, tapi belum sempat berkenalan ya, Velove. Saya Shopia," ucapnya r
"Mas Johan itu sebenarnya orang yang selalu kesepian," papar Mbak Sophi saat memulai ceritanya. "Ia tipikal pria ibu kota yang merasa diri harus bekerja keras untuk memberi kehidupan yang layak, atau lebih tepatnya mewah, untuk keluarganya." Aku mendengarkan cerita Mbak Sophi tanpa menyela. Sesaat matanya tampak menerawang jauh, seolah mengingat kenangan masa lalu. Aku tahu di setiap luka pasti ada kenangan sendu di baliknya. "Dulu saya bisa bekerja sebagai sebagai sekretaris Mas Johan atas kebaikannya mempekerjakan seorang lulusan diploma yang belum cakap bekerja. Bapak saya sudah lebih dulu bekerja di sana, dan banyak berutang budi atas kebaikan Mas Johan. Beberapa karyawan kurang suka melihat saya direkrut, namun Mas Johan terus mengatakan pada saya, 'Tidak usah dipikirkan apa kata mereka. Yang penting kamu bekerja keras, Soph,' seperti itu." Suasana sedikit berubah ketika ibu tiri Erick bercerita tentang masa hidupnya sebelum menikah. Ada senyum merekah di bibir wanita itu, sep
Kami berpisah dengan Mbak Sophi di depan rumah makan. Ia pulang bersama sopirnya, dan Erick mengantarkan aku dan Ricky ke rusun. Sebelum meninggalkan restoran ia sempat mengajakku bicara sebentar. "Velove, ini buat Ricky ya," ujar Mbak Sophi sembari menyerahkan sebuah amplop kepadaku. "Mbak Sophi, jangan repot-repot," desisku berupaya menolak. Aku merasa tidak enak hati untuk menerima pemberiannya karena ini kali pertama kami berkenalan tapi dia sudah memberiku sesuatu. Sepertinya sih uang. "Nggak repot, Velove! Ini buat Ricky, dari Mas Johan dan saya. Ricky itu anak Erick, jadi secara otomatis dia cucu kami, walaupun saya mungkin belum pantas menjadi seorang oma." Ia tersenyum geli demi membayangkan dirinya menjadi seorang nenek padahal masih muda. "Baiklah, saya terima. Terima kasih banyak, Mbak Sophi ... juga Om Johan." Nama terakhir aku sebutkan dengan sedikit ragu. Bagaimanapun masih ada rasa canggung dalam diriku saat mengingat ayah Erick itu. "Sama-sama. Ingat ya, Velove, a
Hanya dalam hitungan hari, mama tiri Erick melancarkan upayanya dan berhasil membuka jalan bagiku dan anakku untuk bertemu dengan opanya, Om Johan. Dan di sini lah kami hari ini, di rumah yang baru kali kedua ini kupijak, rumah yang seharusnya menjadi tempat Ricky mengenal pribadi yang disebut kakek dan nenek, merasakan kehangatan dalam hubungan darah. Seperti biasa Erick menjemput kami di rusun. Awalnya aku ragu untuk memenuhi permintaan Mbak Sophi ke mari, namun setelah kupikir-pikir tidak ada gunanya aku terus menghindar. Sejahat apapun Om Johan kala itu, ia tetap kakek Ricky. Walau orang tuanya berpisah, aku ingin anakku bisa merasakan kasih sayang sebanyak-banyaknya dari keluarga yang ada. Dan aku sendiri harus menyelesaikan permasalahan hatiku dengan pria yang menjadi mantan mertuaku itu; mantan mertua yang tidak pernah menjadi mertua. Maka jika ada jalan untuk silaturahmi aku akan menempuhnya, entah apapun yang terjadi selanjutnya. "Terima kasih, Velove, kamu mau datang," uc
Seandainya aku punya kesempatan untuk membatalkan satu keputusan yang pernah aku buat, aku akan memilih untuk tidak menikah di usia muda. Bukannya aku membenci Erick, apalagi tidak menyayangi anakku. Aku hanya menyesalkan mengapa aku harus kehilangan kesempatan menikmati masa mudaku dengan bebas. Di saat teman-teman seusiaku menikmati masa kuliah, bekerja, atau bahkan having fun sama gebetan atau pacar mereka, aku harus berada di rumah dan mengurus anakku. Tapi mau bagaimana lagi, yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Jadi ketimbang menyesal, aku mencoba mencari hal-hal baik yang bisa aku nikmati bersama anakku, termasuk perhatian dan kebaikan hati dari tetangga kanan kiriku. Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak satu, aku sangat bersyukur ketika boleh menikmati "cheating day". Iya, itu mirip-mirip dengan orang diet itu lah. Kalau mereka bebas menikmati makanan yang mereka mau, aku bebas menikmati kesendirianku. "Makasih banyak ya, Mas," ucapku senang saat menitipkan Ricky d
"Dunia ini memang sempit, siapa sangka kita bisa bertemu di sini." Suara seorang pria tiba-tiba mengagetkanku, padahal aku masih termenung setelah mendengar pengakuan mantan kekasih Erick. Belum cukup keterkejutan yang kualami akibat Stella, sekarang tahu-tahu si pria serigala berbulu domba muncul di hadapanku. "Kamu ... a-apa maumu, Charlie?" pekikku dengan suara meninggi. "Hahaha." Pria itu terkekeh. Ia berdiri di dekat meja, dan tampak bergerak mendekatiku. "Jangan macam-macam kamu, atau saya teriak," ancamku berapi-api. "Tenang, Velove, tenang! Ini tempat umum, kamu pikir aku gila apa berbuat macam-macam di sini? Bisa-bisa aku beneran masuk bui." Pria itu memilih menjaga jarak denganku. "Lama tidak jumpa, ternyata kamu makin cantik saja, penyanyi idolaku. Hahaha." "Apa maumu, Charlie?" Makin gila saja pria satu ini. "Hanya menyapa, dan ingin menyanjung betapa hebatnya kamu, bisa mempunyai calon suami yang begitu berkuasa. Hahaha. Pria yang bisa melindungi wanitanya, menganca