Kami berpisah dengan Mbak Sophi di depan rumah makan. Ia pulang bersama sopirnya, dan Erick mengantarkan aku dan Ricky ke rusun. Sebelum meninggalkan restoran ia sempat mengajakku bicara sebentar. "Velove, ini buat Ricky ya," ujar Mbak Sophi sembari menyerahkan sebuah amplop kepadaku. "Mbak Sophi, jangan repot-repot," desisku berupaya menolak. Aku merasa tidak enak hati untuk menerima pemberiannya karena ini kali pertama kami berkenalan tapi dia sudah memberiku sesuatu. Sepertinya sih uang. "Nggak repot, Velove! Ini buat Ricky, dari Mas Johan dan saya. Ricky itu anak Erick, jadi secara otomatis dia cucu kami, walaupun saya mungkin belum pantas menjadi seorang oma." Ia tersenyum geli demi membayangkan dirinya menjadi seorang nenek padahal masih muda. "Baiklah, saya terima. Terima kasih banyak, Mbak Sophi ... juga Om Johan." Nama terakhir aku sebutkan dengan sedikit ragu. Bagaimanapun masih ada rasa canggung dalam diriku saat mengingat ayah Erick itu. "Sama-sama. Ingat ya, Velove, a
Hanya dalam hitungan hari, mama tiri Erick melancarkan upayanya dan berhasil membuka jalan bagiku dan anakku untuk bertemu dengan opanya, Om Johan. Dan di sini lah kami hari ini, di rumah yang baru kali kedua ini kupijak, rumah yang seharusnya menjadi tempat Ricky mengenal pribadi yang disebut kakek dan nenek, merasakan kehangatan dalam hubungan darah. Seperti biasa Erick menjemput kami di rusun. Awalnya aku ragu untuk memenuhi permintaan Mbak Sophi ke mari, namun setelah kupikir-pikir tidak ada gunanya aku terus menghindar. Sejahat apapun Om Johan kala itu, ia tetap kakek Ricky. Walau orang tuanya berpisah, aku ingin anakku bisa merasakan kasih sayang sebanyak-banyaknya dari keluarga yang ada. Dan aku sendiri harus menyelesaikan permasalahan hatiku dengan pria yang menjadi mantan mertuaku itu; mantan mertua yang tidak pernah menjadi mertua. Maka jika ada jalan untuk silaturahmi aku akan menempuhnya, entah apapun yang terjadi selanjutnya. "Terima kasih, Velove, kamu mau datang," uc
Seandainya aku punya kesempatan untuk membatalkan satu keputusan yang pernah aku buat, aku akan memilih untuk tidak menikah di usia muda. Bukannya aku membenci Erick, apalagi tidak menyayangi anakku. Aku hanya menyesalkan mengapa aku harus kehilangan kesempatan menikmati masa mudaku dengan bebas. Di saat teman-teman seusiaku menikmati masa kuliah, bekerja, atau bahkan having fun sama gebetan atau pacar mereka, aku harus berada di rumah dan mengurus anakku. Tapi mau bagaimana lagi, yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Jadi ketimbang menyesal, aku mencoba mencari hal-hal baik yang bisa aku nikmati bersama anakku, termasuk perhatian dan kebaikan hati dari tetangga kanan kiriku. Sebagai ibu rumah tangga yang memiliki anak satu, aku sangat bersyukur ketika boleh menikmati "cheating day". Iya, itu mirip-mirip dengan orang diet itu lah. Kalau mereka bebas menikmati makanan yang mereka mau, aku bebas menikmati kesendirianku. "Makasih banyak ya, Mas," ucapku senang saat menitipkan Ricky d
"Dunia ini memang sempit, siapa sangka kita bisa bertemu di sini." Suara seorang pria tiba-tiba mengagetkanku, padahal aku masih termenung setelah mendengar pengakuan mantan kekasih Erick. Belum cukup keterkejutan yang kualami akibat Stella, sekarang tahu-tahu si pria serigala berbulu domba muncul di hadapanku. "Kamu ... a-apa maumu, Charlie?" pekikku dengan suara meninggi. "Hahaha." Pria itu terkekeh. Ia berdiri di dekat meja, dan tampak bergerak mendekatiku. "Jangan macam-macam kamu, atau saya teriak," ancamku berapi-api. "Tenang, Velove, tenang! Ini tempat umum, kamu pikir aku gila apa berbuat macam-macam di sini? Bisa-bisa aku beneran masuk bui." Pria itu memilih menjaga jarak denganku. "Lama tidak jumpa, ternyata kamu makin cantik saja, penyanyi idolaku. Hahaha." "Apa maumu, Charlie?" Makin gila saja pria satu ini. "Hanya menyapa, dan ingin menyanjung betapa hebatnya kamu, bisa mempunyai calon suami yang begitu berkuasa. Hahaha. Pria yang bisa melindungi wanitanya, menganca
Pertemuan tak terduga dengan Stella dan Charlie di mall, serta pembicaraanku dengan Mas Vincent kembali terngiang dalam pikiranku saat aku berbaring di tempat tidurku malam itu. Ingatan juga membawaku ke hari terakhir aku pulang ke kontrakan ketika aku mendapati suamiku bersama mantan pacarnya kala itu. Ternyata Stella memang tidak tanggung-tanggung, ia melakukan segala cara untuk mendapatkan Erick lagi, meskipun itu berarti ia menjadi seorang pelakor. Sayangnya upayanya tidak berhasil. Sampai detik ini Erick menolak untuk kembali ke pelukan perempuan licik itu. Kendati demikian ia masih saja tampak congkak, dan bersikap seolah apa yang dilakukannya itu sah-sah saja. Dan soal Charlie .... "Mas, tadi aku juga sempat ketemu Charlie." Siang tadi aku juga sempat bercerita tentang pertemuanku dengan Charlie. Raut muka tetanggaku seketika mengeras. "Berani sekali dia! Kamu diapakan lagi sama orang itu, Ve? Bilang sama Mas Vincent," ucapnya geram penuh kemarahan. Ia meraih wajahku dan me
Selama dua puluh tiga tahun kehidupanku, khususnya lima tahun terakhir ini, ada banyak peristiwa yang membuatku senang, ataupun sedih hingga meneteskan air mata. Namun kali ini aku merasakan emosi di tingkat yang berbeda, yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. 'Luangkan satu hari ini untukku ya, aku ingin pergi berdua denganmu tanpa Ricky, hari ini saja,' begitu pesan yang Erick tuliskan di chatnya. Sedari awal aku sudah curiga Erick akan melakukan pendekatan denganku lagi, meraih hatiku dengan berbagai cara. Coba saja kalau bisa, Rick! Namun, demi bermain fair, aku memberi Erick kesempatan untuk pergi berdua. Dia hampir tidak pernah melakukan ini, palingan kalau dia mengajakku pergi selalu ada Ricky bersama kami. "Malam ini kamu nggak ke kafe kan?" tanyanya sewaktu kami sudah dalam perjalanan. "Bukannya kamu minta aku untuk libur hari ini?" "Oke deh, Love." Erick nyengir lebar. "Kita akan datang ke tempat yang penuh nostalgia." "Ke mana memangnya?" tanyaku sedikit penasaran.
"Besok aku mulai bekerja di perusahaan Papa," ujar Erick bersemangat sewaktu kami pulang dan tiba di dekat rusun. "Oh, bagus lah, Rick! Semoga kamu betah ya, sukses buatmu," harapku tulus dengan senyuman merekah di bibirku. Sebuah berita bagus bahwa Erick bukan lagi seorang mahasiswa yang masih hidup bergantung pada orang tuanya. Memang ia bekerja di perusahaan ayahnya, tapi yang namanya bekerja tetaplah bekerja. Yang penting ia sungguh melakukan tugasnya sebagaimana mestinya, bukan sekadar leha-leha dan memakan gaji buta. "Ya dibetah-betahin lah, mau bagaimana lagi. Jadi aku nggak akan bisa lagi sering-sering nemuin Ricky. Tapi jangan khawatir aku pasti transfer uang bulanan untuk anakku." "Makasih banyak, Rick. Aku sangat menghargai itu." Begitulah seharusnya rumahtangga yang ideal; ada suami dan istri dengan peran masing-masing. Suami bekerja, dan istri mengurus rumah serta anak-anak, bukan seperti situasiku sekarang yang menjadi orang tua tunggal, harus mengurus anak dan menca
"Nak Velo masih ingatkah hari pertama kita berjumpa?" tanya Bu Berta seusai aku duduk di sampingnya. "Nggak akan pernah lupa, Bu!" jawabku mantap. Bahkan setelah sekian tahun aku tak pernah akan melupakan hari itu. Pengalaman pedih di hari itu berubah menjadi memori menghangatkan hati karena aku berjumpa dengan Bu Berta. "Siang itu si Selvi entah kenapa kambuh manjanya, kolokan. Lagi hujan deras begitu dia pingin mie rebus, sementara persediaan mie instan di rumah habis. Lalu dengan bujuk rayunya yang manis di bibir dan sedikit manja, akhirnya Ibu terusir dari rumah saat hujan deras karena harus pergi ke warung," tuturnya serius. Wanita itu tampak tersenyum sambil geleng kepala. "Kesal juga Ibu sebenarnya kala itu, anak kok nyuruh-nyuruh emaknya pergi ke warung pas hujan deras, hah! Tapi demi anak Ibu yang baru sembuh dari sakit, akhirnya Bu Ber pergi juga ke warung buat beli mie. Eh, nggak tahunya Bu Ber malah ketemu Nak Velove yang juga sedang hujan-hujanan," paparnya sembari men
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni