"Terus, yang rambut bergelombang itu gimana? Harus diselamatkan juga dong," teriak si ibu tetangga dari belakang."Dia sudah kuantar duluan ke rumah sakit," jawab Carlos buru-buru tanpa menyadari jebakan dalam pertanyaan itu, lalu langsung menghilang dari pandangan.Di belakang, beberapa orang yang dari tadi menguping saling memandang, lalu mengangguk dengan ekspresi "ya, sesuai dugaan". Kalau mereka tidak salah menebak, penghuni tetap rumah itu pastilah istrinya. Jadi yang satunya itu ....Si pria ini juga jelas tahu soal kebocoran gas. Kalau tidak, kenapa bisa-bisanya lebih dulu mengantar wanita itu ke rumah sakit? Sementara sang istri ditinggalkan sendiri sampai harus merangkak menyelamatkan diri, lalu akhirnya pingsan di depan pintu ....Menyedihkan! Kasihan!Padahal pria itu wajahnya lumayan tampan, tak disangka ternyata berhati sekejam itu. Sungguh laki-laki tak tahu diri!....Carlos mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Selama perjalanan, dia menelepon Tamara tiga s
Saat dua pasien keracunan gas dibawa masuk bersamaan, para perawat di ruang IGD tentu langsung tahu sedikit tentang gosip yang beredar. Mereka semua memandang Carlos dengan tatapan jijik dan mencemooh.Lari-lari sepanik itu, tapi bukankah yang pertama kali diselamatkan malah si selingkuhan? Sekarang istri sahnya masih belum sadar, dia masih sok mau berlagak setia?Pagi harinya, Carlos mengambil cuti dan tetap duduk menunggu di luar ruang perawatan Tamara. Entah sudah berapa lama dia menunggu di sana. Dia bahkan tidak sempat menjenguk Verona sama sekali.Justru Verona-lah yang akhirnya datang menemuinya. Saat itu, Carlos baru sadar, lalu buru-buru membantunya duduk. "Gimana keadaan Rara? Semua ini salahku. Aku pingsan duluan, nggak sempat panggil dia keluar," ujar Verona dengan wajah penuh rasa bersalah."Bukan salahmu. Kamu juga korban," kata Carlos dengan tenang."Sudah ada hasil pemeriksaan? Memang benar ada kebocoran pipa gas?" tanya Verona."Bukan. Dugaan sementara, api kompor mati,
"Aku baru tahu sifat aslinya sekarang. Wanita itu benar-benar jahat!"Di sampingnya, saat mendengar makian Carlos, Verona yang sedang menunduk perlahan melengkungkan senyum kecil. Senyuman itu hanya berlangsung sedetik, lalu dia buru-buru memasang ekspresi netral kembali.Carlos sebenarnya sudah mengambil cuti seharian. Namun saat siang menjelang, dia memutuskan untuk kembali ke kantor. Sementara itu, Verona tetap tinggal di rumah sakit. Meski sudah sadar, kepalanya masih sedikit pusing. Akan tetapi karena ada perawat yang menjaganya, Carlos pun merasa tenang meninggalkannya di sana.Karena masalah ini, suasana hati Carlos benar-benar buruk sepanjang hari. Tamara sampai nekat menimbulkan kebocoran gas hanya karena cemburu pada Verona dan bahkan ingin mencelakainya juga. Wanita ini benar-benar seperti teroris!Ihsan bisa merasakan dengan jelas aura buruk dari sang bos. Dalam satu jam saja, Carlos sudah meledak tiga kali karena hal-hal sepele. Saat harus mengambil berkas, Ihsan akhirnya m
"Sus, kalau dia tanya aku sudah sadar atau belum, bilang saja aku sempat bangun lalu tidur lagi," ucap Tamara.Perawat itu menatapnya, merasa pria itu mungkin juga tidak akan menanyakan, tapi tetap mengangguk pelan. Ini adalah kamar rawat inap tunggal. Tamara berbaring di ranjang dan menatap kosong ke arah jendela.Ingin sekali rasanya dia pergi. Dia ingin pergi dan benar-benar menjauh dari dua orang berengsek itu. Padahal tinggal tiga hari lagi, kenapa ... kenapa mereka masih juga menyiksanya?Ah, salah. Sekarang hanya tersisa dua hari. Besok, dia sudah bisa pergi.Tamara memejamkan mata. Semua barang sudah dia kemas. Sekarang dia hanya berharap waktu bisa berjalan lebih cepat.Siang hari.Tamu tak terduga datang. Ihsan."Bu, Anda baik-baik saja?" Ihsan datang membawakan keranjang buah untuk menjenguk."Ini atas permintaan Pak Carlos. Dia ingin tahu apakah Anda sudah sadar atau belum."Ekspresi Tamara datar. Dia bahkan tidak berniat menjawab. Hanya dengan mendengar nama Carlos, hatinya
Saat tengah larut dalam pikirannya, pintu ruang kerjanya diketuk. Ternyata Ihsan sudah kembali."Dia sudah sadar?" tanya Carlos langsung."Sudah," jawab Ihsan. "Aku juga sempat tanya ke perawat soal kondisi detailnya. Pemulihannya cukup baik, sudah nggak perlu pakai oksigen lagi, hanya saja masih sering mengantuk."Carlos tidak memberi reaksi apa-apa. Wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun ekspresi gembira mendengar bahwa istrinya telah sadar. Ihsan berdiri diam beberapa detik. Saat hendak berbalik untuk keluar, Carlos tiba-tiba memanggil lagi."Carikan tempat tinggal. Lingkungan bagus, keamanan tinggi, privasi terjaga, perabotan lengkap."Ihsan berpikir dalam hati, 'Apa Pak Carlos mau pindah? Mau tinggal bareng si selingkuhan itu?'"Baik, saya akan langsung cari," jawab Ihsan sambil mengangguk.Saat dia hampir sampai di pintu, suara Carlos kembali terdengar, "Dia ... bilang apa lagi?"Langkah Ihsan terhenti. Dia menoleh dan menjawab pelan, "Nggak ada. Nyonya masih cukup lemah."Padah
Sebab ... bahkan jika Tamara menunjukkan bukti rekaman itu sekalipun, Carlos tetap akan membela Verona. Dalam pandangan orang yang sedang dimabuk cinta, apa pun yang dilakukan Verona pasti terlihat benar. Sementara dirinya, hanya akan membuat Carlos membencinya.Bahkan, dia yakin Carlos pun mengharapkan kematiannya.Tamara tersenyum sinis. Pengorbanannya selama dua tahun ini hanya berakhir dengan pria itu yang ingin melenyapkan nyawanya.Pada saat itu.Verona sudah naik taksi dan pulang ke rumah. Sesampainya di sana, dia langsung menghubungi teknisi komputer. Begitu masuk ke ruang kerja Carlos dan melihat laptop yang terkunci, dia mencoba mengetik tanggal lahirnya sendiri. Detik berikutnya, komputer langsung terbuka.Sudut bibinya menyunggingkan senyuman bangga. Kode sandi komputer dan ponsel Carlos semua berhubungan dengan dirinya. Kalau bukan cinta, lantas apa namanya ini?Verona memerintahkan teknisi untuk menghapus seluruh rekaman CCTV. Setelah si teknisi selesai bekerja, dia bertan
Seperti biasanya, malam itu Carlos pergi menemani Verona terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Hari ini juga, dia tetap tidak mengunjungi Tamara.Malam ini dia menghadiri acara jamuan bisnis dan minum sedikit alkohol. Dia duduk di samping meja makan dengan lambung yang terasa tidak nyaman. Dalam benaknya tiba-tiba muncul bayangan Tamara saat membawakan sup penghilang mabuk untuknya.Pada saat bersamaan, Tamara juga menasihatinya dengan cerewet. Setelah ditegur oleh Carlos, Tamara pun berdiri di samping tanpa mengucapkan apa-apa.Namun saat tersadar kembali, dia baru melihat bahwa rumah seluas ini telah kosong melompong. Tidak ada orang sama sekali selain dia sendiri.Carlos mengernyit. Dia merasa terlalu banyak memikirkan Tamara dalam dua hari belakangan ini, sehingga hatinya merasa kesal. SSaat bangkit untuk mengambil obat dan air, Carlos tiba-tiba menyadari bahwa sepertinya ada sesuatu yang kurang di sana. Setelah beberapa saat kemudian, dia baru teringat bahwa di sana tidak terli
Mendengar ucapan itu, mata Verona langsung berbinar, tapi dia tetap berpura-pura ragu dan berkata dengan suara pelan, “Itu 'kan kalung yang kamu pilih sendiri selama dua jam dan belikan khusus untuk Rara dengan harga selangit. Rasanya nggak pantas kalau aku yang menyimpannya ....”Kalimat itu justru makin menyulut amarah Carlos. Benar, waktu dua jam dan 180 miliar yang dia keluarkan, tetapi Tamara malah menolak mentah-mentah dan bahkan membuangnya begitu saja.“Dia memang nggak pantas. Sekarang kalung itu aku kasih ke kamu, jadi simpan saja.” Setelah ebrkata demikian, Carlos langsung masuk ke kamar utama dan menutup pintu dengan tegas.Verona menatap pintu yang tertutup, lalu sudut bibirnya melengkung tinggi perlahan-lahan. Matanya dipenuhi dengan keserakahan dan kegembiraan.Padahal, sebelumnya dia masih berpikir akan mencari cara agar Tamara mau mengembalikan kalung itu kepada Carlos. Namun kenyataannya, kalung itu malah jatuh ke tangannya dengan lebih mudah dari yang dia bayangkan.V
Kapan dia tanda tangan? Tamara sama sekali tidak pernah memberinya dokumen itu! Kalau memang sempat melihatnya, mana mungkin dia akan menandatanganinya!Otak Carlos berputar-putar, berusaha mengingat bagian mana yang salah. Jemarinya memainkan sobekan kertas itu. Tiba-tiba, dia merasa ada yang aneh dengan teksturnya. Tanda tangan itu tidak ada goresan tinta. Itu ....Carlos mendekatkan kertas ke matanya, menatap lebih saksama. Ini salinan?Dia menggosok permukaannya beberapa kali, ternyata itu memang hasil fotokopi. Kepanikannya sempat mereda sesaat, tetapi segera berubah menjadi kemarahan membara."Tamara! Gila kamu! Berani-beraninya pakai salinan palsu buat menipuku!" Carlos menggertakkan giginya.Barusan, dia benar-benar mengira itu surat cerai dengan tanda tangannya yang asli. Ternyata ini hanya permainan bodoh wanita itu! Dia malah bingung dan panik sendiri.Tidak, dia bukan panik! Hanya kesal dan tidak bisa ingat kapan dia menandatanganinya, itu saja!Carlos berdiri lagi, menatap
Kenapa dia tidak tahu?"Kamu siapanya Bu Tamara?" Suster yang melihat reaksinya seperti itu, tak bisa menahan diri untuk bertanya."Aku ... suaminya," gumam Carlos dengan suara pelan.Suster itu mengernyit, mengamati pria itu dari atas sampai bawah, tampak tidak terlalu percaya. "Kalau kalian suami istri, kok kamu nggak tahu dia sudah keluar rumah sakit?" tanya suster itu lagi.Carlos tidak menjawab. Tatapannya kosong, pikirannya mendadak hampa. Beberapa detik berlalu begitu saja sampai akhirnya dia tiba-tiba tersadar dan langsung berlari turun ke lantai bawah.Kalau Tamara sudah keluar rumah sakit sejak kemarin pagi, kenapa dia tidak pulang? Selimut dan bantal yang hilang itu dibawa ke mana? Apa dia tinggal di tempat lain? Di kota ini, dia tidak punya kenalan. Apa dia sewa tempat tinggal baru?Namun, Tamara sudah dua tahun tidak bekerja. Dari mana uang untuk menyewa tempat tinggal? Dari Arham? Tidak, bisa jadi ....Tamara tinggal bersama kakak kelasnya itu!Begitu pemikiran itu terlint
Carlos mengepalkan bibir, ragu-ragu dan bimbang selama beberapa menit. Pada akhirnya, dia memutar arah dan mengemudi pulang.Tamara tidak mengangkat teleponnya. Apakah karena dia memang tidak punya ponsel atau karena sengaja memblokirnya?Carlos sudah membelikannya ponsel baru. Jika Tamara tidak ada di rumah, berarti dia membawa ponselnya. Kalau begitu, kemungkinan besar wanita itu memblokirnya. Setidaknya kalau bertengkar, dia tidak akan kalah telak.Namun, jika ternyata Tamara memang tidak memakai ponsel itu .... Bagaimana dia melewati hari-harinya di rumah sakit? Melihat komputer?Dengan sedikit harapan untuk membuktikan pikirannya sendiri, Carlos kembali ke apartemen. Dia naik lift ke atas, membuka pintu, dan langsung menuju kamar tamu.Pintu tak terkunci. Begitu didorong, dia langsung terpaku. Selimut dan bantal di atas ranjang sudah tidak ada, hanya menyisakan kasur polos.Carlos membeku. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, punggungnya menegang, ada rasa panik yang muncul tanpa
Carlos memandang ke arah pintu, terpaku dalam lamunannya. Menghadapi perasaannya sendiri? Apa maksudnya? Kapan dia pernah tidak menghadapi perasaannya?Menyesal? Apa yang perlu dia sesali? Konyol sekali. Selama hidupnya, dia belum pernah menyesali satu pun tindakannya!Carlos mengambil dokumen di sampingnya, tetapi tak satu pun bisa dia baca dengan benar. Dia meletakkan ponselnya tepat di tengah meja, memastikan tak akan melewatkan satu pun panggilan.Namun, selama sejam berikutnya, yang menelepon hanyalah bawahan, bukan orang yang dia tunggu.....Di sisi lain, sore hari.Tamara sedang berbelanja kosmetik bersama Zoya. Mereka membeli kosmetik, parfum, tas, serta perhiasan. Setelah puas, mereka makan hot pot bersama.Di atas meja, ponsel Tamara bergetar lagi. Dia melirik sekilas, lalu menutup layar dengan telapak tangan."Kenapa nggak diangkat? Siapa yang telepon?" tanya Zoya dari seberang meja."Cuma telepon promosi nggak jelas," jawab Tamara dengan senyuman tipis.Sebenarnya itu adala
Di tengah gejolak emosi dan pertentangan batin, akhirnya egonya yang mengambil alih. Carlos menghapus noda kopi di mejanya dengan wajah masam."Tamara sekarang benar-benar hebat ya. Empat hari berturut-turut bersikap begitu. Dia sudah lupa siapa dirinya ya," dengus Carlos sambil bergumam pada diri sendiri."Dengan temperamen seperti itu, kalau di keluarga lain pasti udah diusir dari dulu. Nggak punya latar belakang atau kekuatan apa pun, tapi nggak tahu diri mempertahankan posisi sebagai Nyonya Suratman.""Punya mulut tapi nggak bisa ngomong yang benar. Padahal jelas-jelas salahnya sendiri, tapi seolah-olah seluruh dunia yang salah sama dia."....Di sampingnya, Ihsan hanya bisa menatap bosnya yang terus mengeluh tiada henti. Akhirnya, dia hanya bisa mendongak menatap langit-langit dengan pasrah.Lain di mulut, lain di hati. Kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan orang seperti Carlos. Setiap ucapannya mengatakan bahwa dia tidak ingin bertemu Tamara. Semua keluhannya penuh kebencia
Ihsan menatap wajah Carlos yang tampak sangat normal, lalu berkata, “Pak, Anda nggak kelihatan mabuk sama sekali. Buktinya masih bisa kenali saya.”Carlos memang berniat menelepon istrinya, tapi entah bagaimana malah menelpon asistennya.“Dia benar-benar mabuk,” tegas Verona. “Kalau nggak, mana mungkin dia duduk di pinggir jalan begini tanpa memedulikan citranya?"Ihsan meliriknya tajam. Dalam hati dia berpikir, kalau Carlos sampai dibawa pulang sama wanita ini, bisa-bisa habis dilahap tanpa sisa. Oleh karena itu, dia langsung berkata dengan nada tegas, “Pak Carlos masih sangat sadar. Siang ini dia ada dua rapat internasional penting. Nggak bisa izin.”Verona hendak berargumen dan bilang rapatnya bisa dijadwalkan ulang, tapi Ihsan lebih dulu menambahkan, “Itu proyek bernilai triliunan. Kalau ditunda, kamu bisa tanggung jawab? Kamu sanggup menanggung risikonya?”Verona langsung terdiam. Triliunan ... angka yang bikin lidah kelu. Kalau Carlos sadar nanti dan tahu dia dipaksa pulang oleh V
Mendengar itu, Carlos pun mengikuti Verona naik ke dalam taksi dengan patuh.Di sisi lain, di persimpangan jalan berikutnya. Tamara menolak ajakan Jacob yang ingin mengajaknya melihat-lihat kantor lebih awal dan memilih menunggu Zoya di sana.Begitu melihat mobil sport merah mendekat, dia segera berjalan ke tepi jalan dan naik."Kamu nih ya, Rara, nggak ada solidaritasnya sama sekali," Zoya langsung menceletuk begitu Tamara duduk."Waktu aku nyebut nama Jacob kamu bersikap seolah-olah nggak mau ada hubungan sama dia. Tapi ternyata demi bisa ngobrol lebih lama sama dia, kamu malah naik mobilnya."Tamara tidak bisa membela diri, akhirnya menjawab dengan canggung, "Cuma beberapa menit perjalanan kok, juga nggak ngobrol banyak ....""Tapi cukup buat ciuman beberapa kali, tuh," Zoya sengaja mengusiknya.Tamara terdiam."Ayo, cepat ngaku kalian ngobrolin apa? Kalau nggak, nanti aku bikin versi sendiri lho ...," goda Zoya lagi.Tamara hanya bisa tersenyum pasrah dan berkata, "Sumpah, nggak ngo
Jendela mobil diketuk, Jacob refleks menoleh dan melihat Tamara, lalu buru-buru membuka pintu mobil. Namun, Tamara tidak menuju kursi penumpang depan, melainkan langsung masuk ke kursi belakang dengan wajah panik dan gugup."Ada apa? Kamu ketemu orang jahat?" tanya Jacob cemas."Nggak ... nggak kok," jawab Tamara sambil berusaha menenangkan diri."Kakak, bisa nyetir sekarang? Tolong antar aku ke persimpangan depan dulu," ujarnya lagi dengan nada tergesa-gesa. Jacob memang tidak paham apa yang sedang terjadi, tapi dia tetap menyalakan mesin dan menjalankan mobil.Saat berbelok, dia sempat melihat Zoya naik ke pelataran restoran, ditemani oleh sepasang pria dan wanita. Dia mengenal pria itu. Pria itu adalah Carlos.Jacob lalu melirik ke kaca spion dan melihat Tamara tidak duduk tegak, melainkan membungkuk dan menunduk di kursi belakang. Alis Jacob langsung berkerut dalam-dalam.Zoya jelas-jelas sudah keluar, tapi Tamara malah tampak seperti sedang kabur ketakutan, bahkan tidak berani memp
Mendengar ucapan itu, alis Carlos mengerut lebih dalam. Dia menatap Zoya dengan serius dan langsung menyanggah, “Bu Zoya, tolong jaga kata-kata Anda. Jangan asal menuduh tanpa bukti.”Mendengar ucapanny, Zoya malah merasa geli dan berkata, “Kalau begitu, kenapa kalian berdua sekarang jalan bergandengan? Pagi ini aku juga lihat nama kalian trending loh.”Carlos menunduk, melihat lengannya yang digandeng oleh Verona. Tanpa ragu, dia langsung menepis tangan itu dengan dingin.Verona di sampingnya nyaris menggertakkan gigi. Senyuman masih terpampang di wajahnya, tapi matanya jelas-jelas menatap tajam ke arah Zoya. Wanita cerewet ini sudah membuat semuanya berantakan.“Trending itu cuma gosip kosong. Bu Zoya, jangan mudah percaya pada rumor,” ujar Carlos lagi, kali ini dengan nada yang jauh lebih dingin.Zoya terkekeh pelan. Dalam hatinya, dia yakin Carlos benar-benar sedang mabuk. Bukti sudah jelas di depan mata, tapi dia masih bisa bicara dengan nada penuh percaya diri.“Bukannya yang dipa