Kecemburuan bertambah semakin liar, dia harus segera bertindak.Di dalam ruang perawatan.Tamara mengernyitkan alis dan tidak terlalu memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan Carlos. Dia membuka aplikasi media sosial dan melihat ada transferan dari pria itu.Pria itu mengirimkan 120 juta dengan catatan "biaya operasi."Tanpa ragu, dia langsung mengembalikan uang itu. Kalau tidak, apa dia harus menunggu hingga saat perceraian nanti untuk ditagih kembali?Baris pertama ruang pameran.Melihat Tamara tidak menerima uang darinya, Carlos mengirim pesan untuk menanyakan alasannya. Tamara membalas.[ Nggak operasi, jadi nggak perlu. ][ Carlos: Bukannya kamu harus dirawat inap? Itu biaya rawat inap. ]Tamara melihat pesan itu lalu membalas.[ Cuma segitu, aku masih bisa bayar sendiri. ]Setelah membalas, dia mematikan ponsel dan meletakkannya di samping.Carlos kembali mengirim pesan. Pertama menanyakan "segitu" yang dimaksud Tamara itu tepatnya berapa. Lalu kedua, dia kembali mentransfer ua
"Kalau malam ini ada kerugian, langsung hubungi asistennya saya."Mata direktur langsung berbinar. Dia paling suka dengan orang yang tegas dan lugas seperti ini. Sambil tersenyum, dia berkata, "Nggak ada kerugian, kok. Lagi pula kami memang seharusnya mengantisipasi kejadian tak terduga."Kalau Verona sudah pulih, dia bisa ikut lagi di peragaan berikutnya. Posisinya akan selalu kusisakan untuknya."Carlos berdiri, tapi tetap menyerahkan kartu nama asistennya, lalu berbalik menolong Verona.Melihat Verona pincang dan hampir jatuh lagi, Carlos pun kembali menggendongnya dari depan. Verona tampak malu-malu bersandar manja di pelukannya dan tangannya melingkar di leher Carlos.Di luar ruangan.Para wartawan yang gesit sudah siap siaga di depan pintu. Begitu melihat momen itu, mereka langsung mengabadikannya.Verona yang ketakutan langsung membenamkan wajahnya ke dada Carlos, sementara Carlos menghardik dingin, "Hapus semua foto itu. Kalau nggak, siap-siap perusahaan kalian ditutup."Tak la
"Terus gimana, dong? Kartu identitasku masih di tasku, jadi aku nggak bisa ke hotel lain ...," tanya Verona dengan tak berdaya."Ke rumahku saja," jawab Carlos.Verona terdiam sejenak, lalu berkata sambil menunduk, "Sepertinya nggak bagus kalau begitu. Aku nggak mau kamu dan Rara bertengkar demi aku.""Dia nggak berhak ngurusin aku. Itu rumahku sendiri, terserah aku mau ngizinkan siapa menginap," balas Carlos dengan nada dingin.Mendengar hal itu, Verona masih setengah menolak dengan wajah yang berlinang air mata. Carlos langsung membawanya dengan paksa ke apartemennya.Begitu naik lift dan sampai di lantai tujuan, Verona mengikuti di belakang Carlos. Dia sengaja menghapus bedak di lehernya dan membiarkan bekas ciuman yang tersembunyi terlihat jelas.Saat pintu terbuka, Verona mengira akan langsung melihat Tamara. Namun, ruangan itu tampak kosong dan sunyi. Dia melangkah ke ruang tamu sambil mengedarkan pandangannya, lalu berkata pelan, "Rara tidur ya? Kita jangan ganggu dia."Carlos m
Mengingat hal itu, Tamara menggigit bibirnya. Dia benar-benar menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena tidak lebih dulu merobek atau membakar buku harian itu. Namun, kemudian dia teringat, buku itu disimpan dalam laci yang dikunci. Seharusnya Verona tidak bisa membukanya.Tamara berusaha menenangkan diri kembali. Saat hendak mematikan ponsel, sebuah notifikasi berita muncul dengan judul yang sangat mencolok.[ Pewaris Keluarga Suratman Hadiri Show, Menerobos Panggung demi Seorang Wanita. ]Tatapan Tamara terhenti dua detik. Pewaris keluarga Suratman ... siapa lagi kalau bukan Carlos?Kemudian, dia melihat kata "seorang wanita". Saat tersadar, jemarinya sudah menekan tautan berita itu. Halaman itu terbuka dan menampilkan foto Carlos sedang menggendong seorang wanita, sementara wanita itu bersandar penuh di pelukannya.Dilihat dari samping wajahnya saja, Tamara langsung tahu bahwa wanita itu adalah Verona.Tamara menggulir layar ponsel. Beberapa gambar lainnya menunjukkan foto jara
Carlos membantu Verona berdiri dengan stabil. Namun di saat itu juga, tali bajunya tanpa sengaja melorot dari bahu.Dari sudut pandangnya sekarang, Carlos bisa melihat jelas belahan dadanya. Di atasnya bahkan masih ada bekas cumbuan yang intim tadi malam. Sementara itu, baju yang dikenakan Verona ... adalah milik Tamara.Seketika, perasaan bersalah menghantamnya keras, seolah-olah dia baru saja berselingkuh tepat di hadapan Tamara. Telapak tangannya mulai berkeringat dan dia langsung memalingkan wajah."Carlos, pegang tangan kiriku, aku mau cuci muka," kata Verona sambil mendongak.Carlos langsung mengambil handuk kecil dan memeras airnya, lalu menyerahkannya kepada Verona. Setelah selesai mengelap wajah, Verona mencoba berdiri sendiri sambil bersandar ke meja wastafel."Aku sudah nggak apa-apa, makasih ya, kamu bisa ke ...."Sebelum ucapannya selesai, tubuh Verona kembali goyah. Namun, kali ini Carlos sudah siap. Dia langsung merangkul pinggang Verona dan menahannya dengan mudah."Jan
Meski topik panas di media sosial sudah ditarik tepat waktu, di rumah lama Keluarga Suratman, Arham tetap mengetahui berita itu. Pagi-pagi sekali dia sudah marah besar dan menelepon Carlos untuk menginterogasinya.Carlos sedang dalam perjalanan ke kantor saat dimaki habis-habisan oleh Arham. Dia hanya diam dan tidak membalas sepatah kata pun."Tamara itu anak baik. Apa kamu nggak merasa bersalah? Dua tahun ini dia sudah banyak berkorban, kamu sama sekali nggak lihat semua itu?" Arham benar-benar kecewa.Carlos mengatupkan bibir. Berkorban? Maksudnya cuma masak? Cuci baju pakai mesin, bersih-bersih pakai robot, jelas-jelas selama dua tahun ini justru dia yang menanggung semuanya.Selain itu, Tamara tidak tahu berterima kasih sama sekali. Tamara bahkan menampar dirinya kemarin."Kalau kamu memang nggak bisa menghargainya, jangan sampai menyesal nanti. Sisa waktunya tinggal setengah bulan lagi ...." Suara Arham terus berlanjut di seberang.Carlos tidak sabar mendengarkan ceramah kakeknya
"Gimana supnya? Enak?" tanya Verona dengan penasaran.Sup ini adalah hasil pesan antar dari. Dia yakin bisa menaklukkan selera Carlos dengan rasanya."Enak. Kamu pintar masak," ucap Carlos setelah mencicipi.Padahal, sup itu terasa terlalu berminyak. Kuahnya kental seperti hasil dari dapur pabrik skala besar. Rasanya generik. Dia jauh lebih menyukai masakan Tamara yang tidak terlalu asin ataupun berminyak. Rasanya tidak bisa seperti masakan dari luar."Kalau enak, minum banyak ya. Nanti setiap hari aku masakkin untuk kamu," kata Verona dengan semangat.Mendengar kata "setiap hari", Carlos menyeruput sup sambil berkata, "Besok kubantu ambil dokumenmu. Setelah itu, kamu tinggal di hotel milik perusahaan. Di sana nggak ada paparazi yang berani muncul."Mendengar hal itu, Verona menggigit bibirnya diam-diam. Dua detik kemudian, dia kembali tersenyum,"Oke .... Terima kasih ya, Carlos."Mereka melanjutkan makan. Saat Verona ingin menyendokkan lagi sup untuk Carlos, dia langsung menolaknya.
Verona pun mulai mengarahkan asistennya untuk memindahkan barang-barangnya. Meski belum bisa menempati kamar utama, setidaknya bisa "mengusir" Tamara dari kamarnya saja sudah cukup memuaskan.Saat melihat mereka memindahkan barang-barang Tamara, Carlos mengernyit dan ikut masuk ke kamar. Dia melihat sang asisten sedang mencoba membuka lemari, jadi dia pun ikut membantu.Tenaga pria tentu lebih kuat. Lemari yang terkunci itu berhasil dibuka paksa oleh Carlos dalam beberapa kali hentakan. Bahkan bagian kuncinya sampai bengkok.Di dalamnya tidak ada banyak barang. Hanya ada sebuah buku kecil berwarna biru muda. Carlos mengambilnya dan membuka halaman pertama. Seketika dia tahu apa isi buku itu."Siapa sih orang normal yang masih nulis buku harian," ejek Carlos dengan nada meremehkan. Namun, tangannya tetap ingin membuka halaman selanjutnya.Di saat itu juga, sebuah tangan muncul dari atas dan langsung menarik buku itu dari tangannya."Nggak boleh ngintip buku harian wanita ya. Aku bakal j
Di lorong, Verona mengepalkan tangannya hingga kukunya menusuk telapak tangannya. Pada akhirnya, dia kembali ke kamarnya dengan amarah meluap-luap. Kemudian, dia menelepon Tamara berkali-kali.Namun, tak peduli berapa kali dia menelepon, yang terdengar hanya suara operator otomatis. Mengirim pesan pun tak dibalas. Verona hampir gila karena marah.Di kamar utama, Carlos mandi dengan wajah muram. Dia kembali menelepon Ihsan, menanyakan apakah ada perkembangan. Mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya, dia frustrasi dan melempar ponselnya ke sofa.Carlos berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar. Dia tidak mungkin bisa tidur. Tamara sudah pergi sejak kemarin dan malam ini adalah malam kedua.Begitu dia membayangkan kemungkinan Tamara sedang bersama pria sialan itu, mungkin tidur sekamar, berciuman, atau bahkan ....Kepalanya seperti mau meledak. Amarahnya menghanguskan sisa-sisa rasionalitas yang masih tertinggal.Di kamar sebelah, Verona juga tidak bisa tidur. Tak lama kemu
Verona menunduk melihat bekas jari merah di lengannya, lalu berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Sebenarnya ada apa sih?"Carlos duduk di sofa. Kepalanya tertunduk, seluruh tubuhnya seperti diliputi kekecewaan. Dia bergumam pelan, "Tamara ... sudah pergi.""Tamara 'kan di rumah sakit, kamu masih mabuk ya?" balas Verona."Nggak, dia nggak di rumah sakit. Kata perawat, dia sudah keluar dari kemarin pagi," ucap Carlos linglung."Eh? Masa sih? Kok kita nggak tahu apa-apa?" Verona berpura-pura terkejut."Kamar dia sudah diberesin. Dia cuma ninggalin ponsel yang kubelikan sama ...." Carlos terdiam, suaranya semakin lirih."Sama apa?" Verona sengaja memancing.Carlos menggertakkan gigi, mengepalkan tangannya sambil berkata, "Kertas-kertas nggak berguna. Fotokopian. Dia pikir bisa menakutiku pakai itu? Dasar bodoh!"Verona yang mendengar kata fotokopian itu langsung mengernyit. Fotokopi? Bukannya itu surat cerai?Dia buru-buru berdiri dan berjalan ke kamar Tamara. Begitu masuk, dia melihat se
Tamara sampai tidak sanggup lagi berkomentar. Menikah dan hidup selama dua tahun dengan orang seperti Carlos. Kalau hal ini tersebar, dia sendiri yang malu."Rara, kamu ngapain sih?" Zoya datang sambil membawa bir. Begitu melihat ekspresi Tamara yang tampak pasrah, dia tak kuasa bertanya."Nggak apa-apa. Cuma kesal gara-gara sales tolol," jawab Tamara sambil tersenyum.Dia sendiri juga cari masalah. Sudah tahu Carlos mengirim permintaan pertemanan, seharusnya jangan dibaca satu per satu."Makanya, aku bilang biar aku maki sales itu. Kamu sih terlalu baik sampai nggak tega nolak." Zoya duduk dan membuka birnya."Sudah aku tolak, sudah aku hapus juga. Cuma ... tetap saja kesal liat isi pesannya," sahut Tamara.Mereka bersulang, lalu Tamara melemparkan ponselnya ke samping, tak lagi menyentuhnya.Tamara sama sekali tidak peduli, sementara Carlos benar-benar emosional. Dia marah, gelisah, dan mengamuk sendiri."Bagus, Tamara! Kamu pikir aku cuma bisa ngancam doang? Kamu kira aku siapa hah?"
Kapan dia tanda tangan? Tamara sama sekali tidak pernah memberinya dokumen itu! Kalau memang sempat melihatnya, mana mungkin dia akan menandatanganinya!Otak Carlos berputar-putar, berusaha mengingat bagian mana yang salah. Jemarinya memainkan sobekan kertas itu. Tiba-tiba, dia merasa ada yang aneh dengan teksturnya. Tanda tangan itu tidak ada goresan tinta. Itu ....Carlos mendekatkan kertas ke matanya, menatap lebih saksama. Ini salinan?Dia menggosok permukaannya beberapa kali, ternyata itu memang hasil fotokopi. Kepanikannya sempat mereda sesaat, tetapi segera berubah menjadi kemarahan membara."Tamara! Gila kamu! Berani-beraninya pakai salinan palsu buat menipuku!" Carlos menggertakkan giginya.Barusan, dia benar-benar mengira itu surat cerai dengan tanda tangannya yang asli. Ternyata ini hanya permainan bodoh wanita itu! Dia malah bingung dan panik sendiri.Tidak, dia bukan panik! Hanya kesal dan tidak bisa ingat kapan dia menandatanganinya, itu saja!Carlos berdiri lagi, menatap
Kenapa dia tidak tahu?"Kamu siapanya Bu Tamara?" Suster yang melihat reaksinya seperti itu, tak bisa menahan diri untuk bertanya."Aku ... suaminya," gumam Carlos dengan suara pelan.Suster itu mengernyit, mengamati pria itu dari atas sampai bawah, tampak tidak terlalu percaya. "Kalau kalian suami istri, kok kamu nggak tahu dia sudah keluar rumah sakit?" tanya suster itu lagi.Carlos tidak menjawab. Tatapannya kosong, pikirannya mendadak hampa. Beberapa detik berlalu begitu saja sampai akhirnya dia tiba-tiba tersadar dan langsung berlari turun ke lantai bawah.Kalau Tamara sudah keluar rumah sakit sejak kemarin pagi, kenapa dia tidak pulang? Selimut dan bantal yang hilang itu dibawa ke mana? Apa dia tinggal di tempat lain? Di kota ini, dia tidak punya kenalan. Apa dia sewa tempat tinggal baru?Namun, Tamara sudah dua tahun tidak bekerja. Dari mana uang untuk menyewa tempat tinggal? Dari Arham? Tidak, bisa jadi ....Tamara tinggal bersama kakak kelasnya itu!Begitu pemikiran itu terlint
Carlos mengepalkan bibir, ragu-ragu dan bimbang selama beberapa menit. Pada akhirnya, dia memutar arah dan mengemudi pulang.Tamara tidak mengangkat teleponnya. Apakah karena dia memang tidak punya ponsel atau karena sengaja memblokirnya?Carlos sudah membelikannya ponsel baru. Jika Tamara tidak ada di rumah, berarti dia membawa ponselnya. Kalau begitu, kemungkinan besar wanita itu memblokirnya. Setidaknya kalau bertengkar, dia tidak akan kalah telak.Namun, jika ternyata Tamara memang tidak memakai ponsel itu .... Bagaimana dia melewati hari-harinya di rumah sakit? Melihat komputer?Dengan sedikit harapan untuk membuktikan pikirannya sendiri, Carlos kembali ke apartemen. Dia naik lift ke atas, membuka pintu, dan langsung menuju kamar tamu.Pintu tak terkunci. Begitu didorong, dia langsung terpaku. Selimut dan bantal di atas ranjang sudah tidak ada, hanya menyisakan kasur polos.Carlos membeku. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, punggungnya menegang, ada rasa panik yang muncul tanpa
Carlos memandang ke arah pintu, terpaku dalam lamunannya. Menghadapi perasaannya sendiri? Apa maksudnya? Kapan dia pernah tidak menghadapi perasaannya?Menyesal? Apa yang perlu dia sesali? Konyol sekali. Selama hidupnya, dia belum pernah menyesali satu pun tindakannya!Carlos mengambil dokumen di sampingnya, tetapi tak satu pun bisa dia baca dengan benar. Dia meletakkan ponselnya tepat di tengah meja, memastikan tak akan melewatkan satu pun panggilan.Namun, selama sejam berikutnya, yang menelepon hanyalah bawahan, bukan orang yang dia tunggu.....Di sisi lain, sore hari.Tamara sedang berbelanja kosmetik bersama Zoya. Mereka membeli kosmetik, parfum, tas, serta perhiasan. Setelah puas, mereka makan hot pot bersama.Di atas meja, ponsel Tamara bergetar lagi. Dia melirik sekilas, lalu menutup layar dengan telapak tangan."Kenapa nggak diangkat? Siapa yang telepon?" tanya Zoya dari seberang meja."Cuma telepon promosi nggak jelas," jawab Tamara dengan senyuman tipis.Sebenarnya itu adala
Di tengah gejolak emosi dan pertentangan batin, akhirnya egonya yang mengambil alih. Carlos menghapus noda kopi di mejanya dengan wajah masam."Tamara sekarang benar-benar hebat ya. Empat hari berturut-turut bersikap begitu. Dia sudah lupa siapa dirinya ya," dengus Carlos sambil bergumam pada diri sendiri."Dengan temperamen seperti itu, kalau di keluarga lain pasti udah diusir dari dulu. Nggak punya latar belakang atau kekuatan apa pun, tapi nggak tahu diri mempertahankan posisi sebagai Nyonya Suratman.""Punya mulut tapi nggak bisa ngomong yang benar. Padahal jelas-jelas salahnya sendiri, tapi seolah-olah seluruh dunia yang salah sama dia."....Di sampingnya, Ihsan hanya bisa menatap bosnya yang terus mengeluh tiada henti. Akhirnya, dia hanya bisa mendongak menatap langit-langit dengan pasrah.Lain di mulut, lain di hati. Kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan orang seperti Carlos. Setiap ucapannya mengatakan bahwa dia tidak ingin bertemu Tamara. Semua keluhannya penuh kebencia
Ihsan menatap wajah Carlos yang tampak sangat normal, lalu berkata, “Pak, Anda nggak kelihatan mabuk sama sekali. Buktinya masih bisa kenali saya.”Carlos memang berniat menelepon istrinya, tapi entah bagaimana malah menelpon asistennya.“Dia benar-benar mabuk,” tegas Verona. “Kalau nggak, mana mungkin dia duduk di pinggir jalan begini tanpa memedulikan citranya?"Ihsan meliriknya tajam. Dalam hati dia berpikir, kalau Carlos sampai dibawa pulang sama wanita ini, bisa-bisa habis dilahap tanpa sisa. Oleh karena itu, dia langsung berkata dengan nada tegas, “Pak Carlos masih sangat sadar. Siang ini dia ada dua rapat internasional penting. Nggak bisa izin.”Verona hendak berargumen dan bilang rapatnya bisa dijadwalkan ulang, tapi Ihsan lebih dulu menambahkan, “Itu proyek bernilai triliunan. Kalau ditunda, kamu bisa tanggung jawab? Kamu sanggup menanggung risikonya?”Verona langsung terdiam. Triliunan ... angka yang bikin lidah kelu. Kalau Carlos sadar nanti dan tahu dia dipaksa pulang oleh V