Jevan mengunjungi kafe favoritnya yang selalu ia kunjungi bersama Carrabella. Beberapa jam yang lalu, gadis itu meneleponnya penuh ekspresif dan bahagia. Lantas Carrabella meminta Jevan untuk bertemu dengannya di kafe biasa. Dapat Jevan tebak bahwa gadis itu akan menceritakan hal yang membuatnya bahagia.
Sebentar, Carrabella masih mau bercerita kepadanya? Artinya gadis itu masih menganggap dirinya? Sangat sederhana namun mampu membuat Jevan bahagia.
Carrabella berjalan dari arah pintu masuk dengan style yang selalu membuat Jevan terpana setiap menatapnya. Entah apa yang membuat Jevan selalu terpana dengan penampilan Carrabella, padahal gadis ini hanya mengenakan celana jeans serta atasan berwarna putih dengan lengan model balon. Carrabella menghampiri Jevan yang sudah duduk di hadapannya sambil meneguk cangkir berisi kopi.
“Jevan!” sapa Carabella dengan sangat riang. Jevan ikut tersenyum menyapa Carrabella yang menyapanya antusias.
“Hello, why do you look so happy, Carr?” tanya Jevan. “Kenapa?” lanjutnya bertanya kembali karena Carrabella hanya sibuk tersenyum sedari tadi.
“Let’s guess!” ujar Carrabella dengan masih memasang senyumnya.
“Abis beli baju baru?”
“No!”
“Make up?”
“No!”
“Apaan dong?”
“Ah Jevan payah banget. You already know, right? Aku sama Jaffa mau nikah dua minggu lagi,” girang Carrabella memeluk Jevan. Sementara Jevan? Membalas pelukan Carrabella dengan rasa kecut atas fakta yang baru saja ia dapatkan dari mulut gadis ini.
Tak ada nada sesal ataupun sikap yang membuat Carrabella menebak akan perasaan Jevan. Apakah Jevan yang terlalu pandai bersembunyi hingga Carrabella tak sadar bahwa Jevan mencintainya sejak lama? Atau Carrabella yang terlampau tidak menyukai Jevan sebagai lelaki?
“Ck!” Jevan mendecak pelan tak terdengar oleh Carrabella. Ia bahagia melihat gadis ini bahagia namun bersamaan dengan itu pula ia merasa tak rela.
“Aku baru tau,” ujar Jevan pelan.
“Loh ko baru tau? Aku kira Jaffa udah ngasih tau kamu. Atau mungkin Mama sama Papa,” ujar Carrabella yang Jevan jawab dengan gelengan.
“Mungkin aku yang jarang pulang ke rumah jadi ketinggalan berita,” ujar Jevan ingin terlihat baik-baik saja.
“Oh gitu, mana dong ucapan selamatnya?” pinta Carrabella menggoyang-goyangkan lengan Jevan.
“Why should you?” tanya Jevan tiba-tiba kemudia menatap Carrabella lekat.
“Hah?” heran Carrabella tak mengerti akan pertanyaan Jevan.
“Kenapa secepet itu? Kamu gak mempertimbangkannya lagi? Jaffa baru putus dari pacarnya yang kemarin, Carr,” ujar Jevan kali ini panjang lebar.
“Ko kamu nanya gitu? Jaffa baru buka hatinya buat aku loh, Je. Baru sadar kalau aku bener-bener suka sama dia. Setelah penantian yang panjang banget akhirnya Jaffa looks at me. Ini yang aku tunggu. Kamu seneng, kan?” tanya Carrabella lagi.
“Iya, tapi kenapa secepet ini?”
“Loh bagus dong, aku bakalan jadi adek ipar kamu loh, Je. Nanti kita bisa double date, kamu cepetan cari cewek!” goda Carrabella.
“Gak minat!” singkat Jevan.
“Ih kamu gak rela ya aku nikah duluan? Hahaha, don’t not be angry, Jevan!” tawa Carrabella.
“Kenapa sih, Carr? Kenapa kamu nikah sama Jaffa?” bentak sedikit Jevan kali ini membuat Carrabella terkejut.
“Kamu kenapa sih, Je? Ini kan emang yang aku tunggu. Aku udah nunggu Jaffa bertahun-tahun. Aku seneng bakalan dapat Jaffa yang full of charisma and I admired him for a long time, even you know it. Ko kamu marah sih? Gak rela aku …,” ucapan Carrabella terpotong.
“Ok fine, udah ya? Aku lagi pusing karena masalah hotel. Maaf kalau malah jadi kebawa emosi gak jelas,” ujar Jevan beralasan.
“Astaga aku kira kamu marah karena aku. Ya udah minum dulu nih cobain jus punya aku. Jus stroberi bikin seger siapa tau bikin pusing kamu ilang,” tawar Carrabella.
Jevan benar-benar meneguk jus stroberi milik Carrabella. Minum pada gelas yang sama rasanya membuat Jevan lebih dekat lagi dengan Carrabella. Sedari Carabella menginjakkan kakinya di kafe, Jevan tak lepas dari pemandangan Carrabella yang tersenyum sangat bahagia. Namun sayang, bukan karena dirinya.
“Carr, aku cari kamu kemana-mana,” ujar seseorang terdengar tiba-tiba dari arah kanan membuat Jevan tak suka untuk saat ini karena ia tahu orang di balik suara ini mungkin akan membawa Carrabella pergi.
“Jaffa, hehe maaf aku abis minta ketemuan sama Jevan. Ayo minum bareng,” ajak Carrabella memeluk Jaffa terang-terangan di hadapan Jevan.
“Aku mau ajak kamu ketemu temen-temenku tadinya. Mau ikut, hm?” tanya Jaffa yang disetujui oleh Carrabella dengan anggukan. Jaffa melirik ke arah Jevan sekilas. Sementara Carrabella berpamitan kepada Jevan disertai lambaian pada tangannya. Ia keluar lebih dulu menuju mobil milik Jaffa.
“Je, gue minta maaf kalau buat lo kecewa. Tapi Carra punya hak juga untuk memilih. Begitupun gue. Gue beneran minta maaf,” ujar Jaffa kepada Jevan yang hanya ia balas dengan sneyuman tipis.
Semenjak kejadian malam itu, Jevan berusaha menemui Feray yang Jevan pikir akan mudah ia temukan. Jevan berasumsi kuat bahwa gadis ini bekerja di hotel yang ia kelola. Namun, sudah lima hari ia tak menangkap sosok gadis itu sekalipun.
Jevan hampir gila ditanyakan perihal Feray terus menerus oleh mama dan papa. Benar-benar mereka sudah berasumsi bahwa anaknya sudah berhubungan dengan Feray dengan kemudian memaksanya membawa Feray hingga bertemu dengan mereka. Apalagi mama, entah mengapa mama menjadi orang pertama yang sangat memohon kepada Jevan untuk membawa Feray ke hadapannya.
“Ini Tuan, informasi mengenai room service baru hotel ini. Sedikit info tentang gadis ini bahwa ia bernama Feray Auristela, berusia 24 tahun dan sedang menempuh pendidikan S2 Psikologi. Menurut kepala HRD, ia memohon untuk bekerja di hari weekend karena membutuhkan uang bahkan rela menawarkan diri untuk delapan belas jam agar setara dengan saat ia bekerja di hari biasa. Sekian, Tuan,” jelas pegawai yang sudah dipercayai oleh Jevan sepenuhnya. Jevan kemudian mempersilahkan pegaiwanya untuk meninggalkan ia sendirian di ruang kerja.
“Kalau gitu, dia bakalan kerja hari ini?” batin Jevan. Baru saja ia mengatakan begitu, ketukan di balik pintu terdengar.
“Masuk!” perintah Jevan. Ia mendapati sosok Feray di hadapannya dengan kemeja yang sama persis ia gunakan di hari itu.
Ya, kemeja pegawai hotel ini. Feray terkejut bukan main. Tak mengerti mengapa lagi-lagi ia bertemu dengan Jevan. Ia hanya sebatas tahu bahwa dirinya diminta untuk menemui bosnya yang kebetulan belum Feray ketahui sebelumnya. Jevan dengan sigap berdiri menghampiri Feray karena khawatir kalau gadis ini anak kabur seperti biasanya jika bertemu dengan Jevan.
“Permisi, aku mau ketemu Bosku,” singkir Feray berkali-kali dengan kalimat yang sama namun selalu seolah tak didengar oleh Jevan yang menghalanginya dengan menggeserkan tubuh ke kanan dan ke kiri secara bergantian tak memberi celah kepada Feray untuk lewat.
“Kakak ngerti bahasa manusia gak sih?” tanya Feray.
“Permisi,” ujarnya lagi.
“Gini cara lo ngomong sama Bos lo?” tanya Jevan dengan sangat jengkel.
“Hah, maksudnya?” Feray tak mengerti.
“Perkenalkan, saya Jevan Biantara sebagai Bos dari Feray Auristela di hotel ini,” tutur Jevan sangat puas.
Senyuman kecut seolah menyombongkan diri itu membuat Feray muak. Feray gelisah mengetahui fakta ini. Terbukti dengan ekspresinya yang tak mampu ia lepas dari perasaan kejutnya. Sementara Jevan hanya terus menatap Feray sinis dan lekat masih setia dengan senyumannya.
“If you want to go, it's meaningless. So stay with me, babe.” Jevan menatap lekat pada netra Feray.
Babe? Untuk kedua kalinya Jevan menyapa Feray dengan sebutan sayang. Bahkan ia sedang tidak dalam keadaan mabuk. Maklum, tercium aroma buaya. Tapi sungguh, apa maksud dari kalimat yang dilontarkan oleh Jevan kepada Feray? Kemudian bagaimana Feray akan menyikapi fakta ini?
Apakah ia akan baik-baik saja memiliki bos sekelas Jevan? Membayangkannya saja sudah tidak kuasa. Feray belum siap jika hari-hatinya akan semakin dipusingkan oleh Jevan seolah kembali pada masa sekolah. Jevan, kenapa sih harus menjadi bos Feray?
Lantas apakah Feray akan bertahan untuk tetap bekerja di hotel ini atau berhenti setelah mengetahui fakta bahwa Jevan adalah bosnya? Astaga! Ingin hidup damai satu hari saja rasanya.
Tidak boleh menyangkal jika faktanya kamu terus berhubungan dengan dia.
Tumpuan pada kaki Jevan sudah melemah seolah ingin ambruk saat itu juga. Tidak, tidak boleh seperti itu, seorang Jevan Biantara memiliki image yang tangguh dominan disegani. Personal branding-nya bukanlah lelucon belaka hingga rasanya ia akan lemah jika seisi hotel ini melihat keadaannya sekarang. Untuk pertama kalinya, Jevan mengabaikan kehadiran cahaya rembulan yang bahkan tidak mampu menghibur Jevan untuk malam ini."Will you marry me, Carrabella?" suara Jaffa terdengar nyaring menusuk gendang pada telinga Jevan yang padahal ia berada sekitar tujuh meter jauh dari lelaki itu. Carrabella, iya, Carrabella. Jevan merasa tak rela nama itu disebut oleh Jaffa untuk melengkapi kalimatnya.Jevan mendesah frustrasi ketika nama Carrabella disebut-sebut oleh Jaffa di tengah kerumunan termasuk keluarga dan teman-temannya. Seolah Jaffa ingin menegaskan bahwa Carrabella adalah miliknya atau mungkin memang akan menjadi miliknya? Tidak, tidak boleh putus
“Feray?” Jevan bertanya lemah dengan suara seraknya serta pandangan yang kabur.Jika Carrabella adalah gadis yang betul-betul ia cintai, maka Feray adalah kebalikan dari itu. Menurutnya, ia adalah orang yang selalu mencari masalah kepadanya semenjak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Feray yang merupakan adik kelas satu angkatan di bawahnya sekaligus menjabat sebagai pengurus OSIS ini selalu melaporkannya kepada pihak kemahasiswaan setiap dirinya tertangkap basah merokok di atap gedung sekolah.Beberapa kali gadis ini selalu menggagalkan rencananya untuk merokok dengan berbagai cara. Bahkan pernah pula ia berani membuang rokok milik Jevan. Jevan pikir, gadis ini terlalu ikut campur dalam kehidupannya dan Jevan tak suka akan itu. “Kakak ngapain ada di sini?” tanya Feray terkejut.“Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini? Bikin suasana
Jevan membuka matanya remang-remang terusik oleh sinar matahari yang menyelinap di balik tirai-tirai tipis pada kaca kamar hotelnya. Ia masih belum sadar sepenuhnya menguap tak karuan dengan rasa kantuk yang masih dirasa. Hingga pada akhirnya, Jevan merasakan sesuatu melekat pada lengan sebelah kirinya. Lebih tepatnya ada kulit yang menempel dengan kulitnya di sana.Jevan terkejut bukan main ketika mendapati wajah Feray yang tertidur nyenyak tepat di sebelahnya berbagi satu selimut untuk berdua di atas ranjang. Sungguh, Jevan ingin teriak karena terlalu panik. Namun, ia mesti memastikan sesuatu terlebih dahulu. Perlahan ia menyingkapkan selimut yang melekat pada tubuhnya juga tubuh Feray.“Damn!” umpat Jevan.
Feray terkesiap mendengar gebrakan pada pintu kamarnya yang ditendang secara kasar oleh wanita yang ingin ia hindari saat ini namun mustahil. Ia tinggal menumpang pada wanita ini, bagaimana bisa menghindar? Ya, Feray merasa tak tahu diri.“Tante! Apa bisa Tante membangunkan Feray dengan baik?” Feray bertanya dengan nada sedikit tinggi. Untuk pertama kalinya ia berani untuk melawan Renata, tantenya. “Satu lagi, Feray bukan pengangguran,” lanjutnya.“Saya mau titip anak saya apa salah, hah?” Renata semakin meninggikan nada bicaranya.“Tante kalau mau titip Arlo ke Feray silahkan, toh biasanya juga sama Feray kan? Tapi bisa secara baik-baik gak? Feray sakit, Tan. Bukan gak mau jagain Arlo.”
Jevan mengunjungi kafe favoritnya yang selalu ia kunjungi bersama Carrabella. Beberapa jam yang lalu, gadis itu meneleponnya penuh ekspresif dan bahagia. Lantas Carrabella meminta Jevan untuk bertemu dengannya di kafe biasa. Dapat Jevan tebak bahwa gadis itu akan menceritakan hal yang membuatnya bahagia.Sebentar, Carrabella masih mau bercerita kepadanya? Artinya gadis itu masih menganggap dirinya? Sangat sederhana namun mampu membuat Jevan bahagia.Carrabella berjalan dari arah pintu masuk dengan style yang selalu membuat Jevan terpana setiap menatapnya. Entah apa yang membuat Jevan selalu terpana dengan penampilan Carrabella, padahal gadis ini hanya mengenakan celana jeans serta atasan berwarna putih dengan lengan model balon. Carrabella menghampiri Jevan yang sudah duduk di hadapannya sambil meneguk cangkir berisi kopi.“Jevan!” sapa Carabella dengan sangat riang. Jevan ikut tersenyum menyapa Carrabella yang menyapanya antusias.
Feray terkesiap mendengar gebrakan pada pintu kamarnya yang ditendang secara kasar oleh wanita yang ingin ia hindari saat ini namun mustahil. Ia tinggal menumpang pada wanita ini, bagaimana bisa menghindar? Ya, Feray merasa tak tahu diri.“Tante! Apa bisa Tante membangunkan Feray dengan baik?” Feray bertanya dengan nada sedikit tinggi. Untuk pertama kalinya ia berani untuk melawan Renata, tantenya. “Satu lagi, Feray bukan pengangguran,” lanjutnya.“Saya mau titip anak saya apa salah, hah?” Renata semakin meninggikan nada bicaranya.“Tante kalau mau titip Arlo ke Feray silahkan, toh biasanya juga sama Feray kan? Tapi bisa secara baik-baik gak? Feray sakit, Tan. Bukan gak mau jagain Arlo.”
Jevan membuka matanya remang-remang terusik oleh sinar matahari yang menyelinap di balik tirai-tirai tipis pada kaca kamar hotelnya. Ia masih belum sadar sepenuhnya menguap tak karuan dengan rasa kantuk yang masih dirasa. Hingga pada akhirnya, Jevan merasakan sesuatu melekat pada lengan sebelah kirinya. Lebih tepatnya ada kulit yang menempel dengan kulitnya di sana.Jevan terkejut bukan main ketika mendapati wajah Feray yang tertidur nyenyak tepat di sebelahnya berbagi satu selimut untuk berdua di atas ranjang. Sungguh, Jevan ingin teriak karena terlalu panik. Namun, ia mesti memastikan sesuatu terlebih dahulu. Perlahan ia menyingkapkan selimut yang melekat pada tubuhnya juga tubuh Feray.“Damn!” umpat Jevan.
“Feray?” Jevan bertanya lemah dengan suara seraknya serta pandangan yang kabur.Jika Carrabella adalah gadis yang betul-betul ia cintai, maka Feray adalah kebalikan dari itu. Menurutnya, ia adalah orang yang selalu mencari masalah kepadanya semenjak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Feray yang merupakan adik kelas satu angkatan di bawahnya sekaligus menjabat sebagai pengurus OSIS ini selalu melaporkannya kepada pihak kemahasiswaan setiap dirinya tertangkap basah merokok di atap gedung sekolah.Beberapa kali gadis ini selalu menggagalkan rencananya untuk merokok dengan berbagai cara. Bahkan pernah pula ia berani membuang rokok milik Jevan. Jevan pikir, gadis ini terlalu ikut campur dalam kehidupannya dan Jevan tak suka akan itu. “Kakak ngapain ada di sini?” tanya Feray terkejut.“Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini? Bikin suasana
Tumpuan pada kaki Jevan sudah melemah seolah ingin ambruk saat itu juga. Tidak, tidak boleh seperti itu, seorang Jevan Biantara memiliki image yang tangguh dominan disegani. Personal branding-nya bukanlah lelucon belaka hingga rasanya ia akan lemah jika seisi hotel ini melihat keadaannya sekarang. Untuk pertama kalinya, Jevan mengabaikan kehadiran cahaya rembulan yang bahkan tidak mampu menghibur Jevan untuk malam ini."Will you marry me, Carrabella?" suara Jaffa terdengar nyaring menusuk gendang pada telinga Jevan yang padahal ia berada sekitar tujuh meter jauh dari lelaki itu. Carrabella, iya, Carrabella. Jevan merasa tak rela nama itu disebut oleh Jaffa untuk melengkapi kalimatnya.Jevan mendesah frustrasi ketika nama Carrabella disebut-sebut oleh Jaffa di tengah kerumunan termasuk keluarga dan teman-temannya. Seolah Jaffa ingin menegaskan bahwa Carrabella adalah miliknya atau mungkin memang akan menjadi miliknya? Tidak, tidak boleh putus