Feray terkesiap mendengar gebrakan pada pintu kamarnya yang ditendang secara kasar oleh wanita yang ingin ia hindari saat ini namun mustahil. Ia tinggal menumpang pada wanita ini, bagaimana bisa menghindar? Ya, Feray merasa tak tahu diri.
“Tante! Apa bisa Tante membangunkan Feray dengan baik?” Feray bertanya dengan nada sedikit tinggi. Untuk pertama kalinya ia berani untuk melawan Renata, tantenya. “Satu lagi, Feray bukan pengangguran,” lanjutnya.
“Saya mau titip anak saya apa salah, hah?” Renata semakin meninggikan nada bicaranya.
“Tante kalau mau titip Arlo ke Feray silahkan, toh biasanya juga sama Feray kan? Tapi bisa secara baik-baik gak? Feray sakit, Tan. Bukan gak mau jagain Arlo.”
“Ya, saya juga sama. Saya belum tidur sejak tadi malam. Kamu jangan bisanya hanya menumpang!” Feray terdiam membeku setiap kali Renata mengeluarkan kata itu.
‘Menumpang’ seolah mengingatkan posisinya saat ini. Feray tahu bahwa dirinya hanya menumpang hidup bersama Renata. Tak ada jalan lain selain itu, tak mungkin harus menjadi gelandangan di luar sana sementara ia masih harus mengejar impiannya dan melanjutkan kuliahnya pasca ditinggalkan oleh bunda. Feray menahan tangis. Teriakan Renata disertai kondisi badannya yang lemah adalah perpaduan yang sempurna untuk membuatnya semakin tertekan.
“Tante apa bisa bicara tanpa berteriak? Bicara baik-baik jika perlu bantuan. Emang selama ini Feray diam? Saya juga numpang di sini menyumbang tenaga. Saya tahu bahwa Tante membutuhkan saya untuk menjadi pesuruh. Jadi di sini kami saling menguntungkan bukan? Jadi usahakan bicara baik-baik. Masalah Arlo? Bukannya anak Tante memang seringnya sama saya setiap kali saya di rumah? Tante cape belum tidur? Maaf, tapi bukannya Tante sibuk main hp semalaman? Satu lagi, rumah ini dibangun masih atas separuh uang dari Bunda kalau Tante lupa,” ujar Feray.
Feray betul-betul angkat bicara dengan susah payah walau sebetulnya ia ketakutan dan tahu akan konsekuensi di balik ini. Lagi pula, mau bagaimana? Rasanya banyak sekali serangan yang ingin keluar dari tubuh Feray untuk melawan Renata. Sekarang Feray menangis, antara lega namun ketakutan.
PRANG!
Renata melempar gelas kaca sembarangan hingga membuatnya pecah menyebar ke segala arah. Pecahan kaca mengenai ujung jarinya cukup dalam membuatnya meringis kesakitan. Renata adalah definisi wanita yang tak mampu mengendalikan dirinya. Hidupnya hanya penuh dengan emosi dan Feray benci akan itu.
Jika ada bunda, mungkin bunda yang akan membelanya. Sayangnya, bunda lebih memilih untuk menyusul ayah. Mungkin rindu bunda pada ayah sudah tak tertahan. Jadi, Feray mampu memakluminya. Bunda jadi bisa bermesraan lagi dengan ayah di langit sana. Kemudiaan dapat menujukkan kemesraannya setiap malam menjelma sebagai bintang. Setidaknya Feray lega akan itu.
Kuliah, kerja, mengurus Arlo, dan mengerjakan segala pekerjaan di rumah adalah hal yang melelahkan bagi Feray. Terkadang Feray ingin menyerah untuk hidup. Namun, impiannya yang sekaligus merupakan impian dari bunda menjadi salah satu alasan untuk ia bertahan.
Bunda menginginkan Feray untuk melanjutkan pendidikannya pada S2 Psikologi agar mampu bekerja sebagai seorang psikolog yang hebat, itu harapan bunda. Feray sudah berjanji akan itu. Ia mesti membuka mata juga. Mengingat akan orang-orang yang sekiranya masih hadir setia untuknya. Iya, ada Nara dan Malvin. Sahabat terbaik yang selalu ada mendampinginya.
Malvin dan Nara sengaja mengunjungi rumah menghampiri Feray yang sudah dua hari ini tak terdengar kabarnya bahkan tak mengangkat telepon sekalipun. Keduanya semakin khawatir ketika mendapati Feray yang terduduk lemas pada kamarnya sambil menggendong Arlo dengan kaca dari gelas yang berserakan di lantai kamarnya ulah Renata.
“Astaga, Fe. Are you okay?” khawatir Nara menghampiri Feray. Nara dengan paksa mengambil Arlo, anak Renata yang baru berusia satu tahun. Arlo tersenyum menyambut Nara.
“Kamu mesti ke rumah sakit, demamnya tinggi,” saran Malvin dengan masih menempelkan tangannya pada dahi Feray memperkirakan suhu pada tubuhnya.
“Vin, lo bawa Feray aja ke klinik. Gue yang jaga Arlo di sini,” pinta Nara.
“Gak usah, Nar. Aku cuma sakit biasa aja,” cegah Feray.
“Gak Fe, kamu mesti ke dokter, ya? Gak usah nolak. Vin, buruan bawa!” perintah Nara yang kemudian disetujui oleh Malvin dengan sigap.
Malvin menuntun Feray pelan menuju motornya. Awalnya, ia khawatir jika mesti membawa Feray dengan motornya sehingga berniat untuk memesan taksi. Namun, Feray menolak dengan ancaman tak ingin ke dokter jika Malvin memesan taksi.
Malvin setia menuntun sahabatnya ini sesampainya di klinik. Feray sungguh-sungguh lemah bahkan berjalan pun ia sulit untuk fokus dan sangat lunglai.
“Mau aku gendong?” tanya Malvin menawarkan diri.
“Gak usah Vin, sumpah. Aku oke ko,” ujarnya menolak. Malvin bahkan tahu bahwa Feray akan menjawabnya seperti ini.
Feray mendapatkan beberapa obat setelah diperiksa oleh dokter. Memang betul adanya bahwa Feray terlalu kelelahan bahkan berat badannya turun sebanyak lima kilogram. Malvin menyodorkan sebungkus roti serta air mineral kepada Feray ketika ia baru saja sampai dari mini market. Feray menyambutnya tak semangat. Ia enggan untuk memakannya jika saja Malvin tak memaksanya.
“Udah gampang sakit, susah makan pula. Pantesan aja Nara suka uring-uringan mikirin kamu yang susah buat makan,” ejek Malvin.
“Hehe, iya Vin. Aku sering ngerasa gak nafsu makan. Gak tau deh. Kalau dikasih froster sih mau,” ujar Feray cengengesan tak jelas.
“Froster, froster aja terus. Lagi sakit gak usah mikirin froster!”
“Ya abisnya froster enak banget,” dukung Feray. Malvin hanya tertawa mendengar ucapan Feray yang selalu semangat setiap membahas froster, minuman dingin favoritnya yang selalu menjadi pilihan pertama setiap kali ia merasa haus.
Feray mendadak diam sempurna dengan tatapan kosong membuat Malvin sadar akan itu dan segera membuyarkan lamunanya seketika. Feray berespon penuh kejut membuat Malvin heran. Padahal Malvin hanya menyentuh bahunya pelan. Apa sebegitu tidak fokusnya Feray hingga terkejut berlebihan?
Malvin masih menilik gerak-gerik aneh pada Feray yang sungguh berbeda dari biasanya. Feray memang sering melamun seperti ini. Namun, Malvin rasa hari ini Feray lebih berbeda. Lebih aneh dari biasanya. Feray kini sibuk mengikat rambutnya secara refleks karena merasa gerah. Sampai akhirnya ia mengingat sesuatu hingga berusaha menarik kembali ikatan yang sudah terpasang.
“Leher kamu kenapa?” tanya Malvin. Ya, Feray sudah telat sepertinya.
“Eh, ini … pegel, Vin. Kebanyakan gerak,” jawab Feray yang selalu bisa terlihat santai. Walaupun telat, setidaknya ia masih bisa untuk berbohong meskipun rasanya sangat berdosa kepada Malvin.
“Oh gitu, sampai merah banget. Sakit, Fe?” tebak Malvin.
“Gak ko … cuma ya merah karena pegel banget gitu sih, Vin. Gak sakit ko suer,” Feray mencoba meyakinkan.
“Syukur kalau gak sakit. Iketannya kenapa dibuka lagi? Gerah kan kamu? Itu sampai keringetan banget,” tanya Malvin lagi.
“Lagi pengen digerai aja, biar gak keliatan pucet mukanya,” jawab Feray beralasan.
Malvin menatap Feray cukup lama, seolah bertanya di balik itu. Feray tak ingin jika Malvin bertanya lebih hingga pada akhirnya ia meminta Malvin untuk segera mengantarnya pulang dengan alasan pusing.
Jangan pikir Malvin tak curiga. Feray benar-benar aneh. Terlebih merah pada lehernya. Malvin sebetulnya banyak membuat asumsi di kepalanya. Apa? Merah pada leher Feray karena apa? Tidak mungkin kan jika Feray melakukan itu?
Malvin memang pantas untuk curiga. Lantas tanda merah apakah yang sempat Malvin lihat pada leher Feray? Mengapa gadis ini terlihat menyembunyikannya dari Malvin? Apakah Feray akan menceritakan sesuatu kepada Malvin?
Jevan mengunjungi kafe favoritnya yang selalu ia kunjungi bersama Carrabella. Beberapa jam yang lalu, gadis itu meneleponnya penuh ekspresif dan bahagia. Lantas Carrabella meminta Jevan untuk bertemu dengannya di kafe biasa. Dapat Jevan tebak bahwa gadis itu akan menceritakan hal yang membuatnya bahagia.Sebentar, Carrabella masih mau bercerita kepadanya? Artinya gadis itu masih menganggap dirinya? Sangat sederhana namun mampu membuat Jevan bahagia.Carrabella berjalan dari arah pintu masuk dengan style yang selalu membuat Jevan terpana setiap menatapnya. Entah apa yang membuat Jevan selalu terpana dengan penampilan Carrabella, padahal gadis ini hanya mengenakan celana jeans serta atasan berwarna putih dengan lengan model balon. Carrabella menghampiri Jevan yang sudah duduk di hadapannya sambil meneguk cangkir berisi kopi.“Jevan!” sapa Carabella dengan sangat riang. Jevan ikut tersenyum menyapa Carrabella yang menyapanya antusias.
Tumpuan pada kaki Jevan sudah melemah seolah ingin ambruk saat itu juga. Tidak, tidak boleh seperti itu, seorang Jevan Biantara memiliki image yang tangguh dominan disegani. Personal branding-nya bukanlah lelucon belaka hingga rasanya ia akan lemah jika seisi hotel ini melihat keadaannya sekarang. Untuk pertama kalinya, Jevan mengabaikan kehadiran cahaya rembulan yang bahkan tidak mampu menghibur Jevan untuk malam ini."Will you marry me, Carrabella?" suara Jaffa terdengar nyaring menusuk gendang pada telinga Jevan yang padahal ia berada sekitar tujuh meter jauh dari lelaki itu. Carrabella, iya, Carrabella. Jevan merasa tak rela nama itu disebut oleh Jaffa untuk melengkapi kalimatnya.Jevan mendesah frustrasi ketika nama Carrabella disebut-sebut oleh Jaffa di tengah kerumunan termasuk keluarga dan teman-temannya. Seolah Jaffa ingin menegaskan bahwa Carrabella adalah miliknya atau mungkin memang akan menjadi miliknya? Tidak, tidak boleh putus
“Feray?” Jevan bertanya lemah dengan suara seraknya serta pandangan yang kabur.Jika Carrabella adalah gadis yang betul-betul ia cintai, maka Feray adalah kebalikan dari itu. Menurutnya, ia adalah orang yang selalu mencari masalah kepadanya semenjak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Feray yang merupakan adik kelas satu angkatan di bawahnya sekaligus menjabat sebagai pengurus OSIS ini selalu melaporkannya kepada pihak kemahasiswaan setiap dirinya tertangkap basah merokok di atap gedung sekolah.Beberapa kali gadis ini selalu menggagalkan rencananya untuk merokok dengan berbagai cara. Bahkan pernah pula ia berani membuang rokok milik Jevan. Jevan pikir, gadis ini terlalu ikut campur dalam kehidupannya dan Jevan tak suka akan itu. “Kakak ngapain ada di sini?” tanya Feray terkejut.“Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini? Bikin suasana
Jevan membuka matanya remang-remang terusik oleh sinar matahari yang menyelinap di balik tirai-tirai tipis pada kaca kamar hotelnya. Ia masih belum sadar sepenuhnya menguap tak karuan dengan rasa kantuk yang masih dirasa. Hingga pada akhirnya, Jevan merasakan sesuatu melekat pada lengan sebelah kirinya. Lebih tepatnya ada kulit yang menempel dengan kulitnya di sana.Jevan terkejut bukan main ketika mendapati wajah Feray yang tertidur nyenyak tepat di sebelahnya berbagi satu selimut untuk berdua di atas ranjang. Sungguh, Jevan ingin teriak karena terlalu panik. Namun, ia mesti memastikan sesuatu terlebih dahulu. Perlahan ia menyingkapkan selimut yang melekat pada tubuhnya juga tubuh Feray.“Damn!” umpat Jevan.
Jevan mengunjungi kafe favoritnya yang selalu ia kunjungi bersama Carrabella. Beberapa jam yang lalu, gadis itu meneleponnya penuh ekspresif dan bahagia. Lantas Carrabella meminta Jevan untuk bertemu dengannya di kafe biasa. Dapat Jevan tebak bahwa gadis itu akan menceritakan hal yang membuatnya bahagia.Sebentar, Carrabella masih mau bercerita kepadanya? Artinya gadis itu masih menganggap dirinya? Sangat sederhana namun mampu membuat Jevan bahagia.Carrabella berjalan dari arah pintu masuk dengan style yang selalu membuat Jevan terpana setiap menatapnya. Entah apa yang membuat Jevan selalu terpana dengan penampilan Carrabella, padahal gadis ini hanya mengenakan celana jeans serta atasan berwarna putih dengan lengan model balon. Carrabella menghampiri Jevan yang sudah duduk di hadapannya sambil meneguk cangkir berisi kopi.“Jevan!” sapa Carabella dengan sangat riang. Jevan ikut tersenyum menyapa Carrabella yang menyapanya antusias.
Feray terkesiap mendengar gebrakan pada pintu kamarnya yang ditendang secara kasar oleh wanita yang ingin ia hindari saat ini namun mustahil. Ia tinggal menumpang pada wanita ini, bagaimana bisa menghindar? Ya, Feray merasa tak tahu diri.“Tante! Apa bisa Tante membangunkan Feray dengan baik?” Feray bertanya dengan nada sedikit tinggi. Untuk pertama kalinya ia berani untuk melawan Renata, tantenya. “Satu lagi, Feray bukan pengangguran,” lanjutnya.“Saya mau titip anak saya apa salah, hah?” Renata semakin meninggikan nada bicaranya.“Tante kalau mau titip Arlo ke Feray silahkan, toh biasanya juga sama Feray kan? Tapi bisa secara baik-baik gak? Feray sakit, Tan. Bukan gak mau jagain Arlo.”
Jevan membuka matanya remang-remang terusik oleh sinar matahari yang menyelinap di balik tirai-tirai tipis pada kaca kamar hotelnya. Ia masih belum sadar sepenuhnya menguap tak karuan dengan rasa kantuk yang masih dirasa. Hingga pada akhirnya, Jevan merasakan sesuatu melekat pada lengan sebelah kirinya. Lebih tepatnya ada kulit yang menempel dengan kulitnya di sana.Jevan terkejut bukan main ketika mendapati wajah Feray yang tertidur nyenyak tepat di sebelahnya berbagi satu selimut untuk berdua di atas ranjang. Sungguh, Jevan ingin teriak karena terlalu panik. Namun, ia mesti memastikan sesuatu terlebih dahulu. Perlahan ia menyingkapkan selimut yang melekat pada tubuhnya juga tubuh Feray.“Damn!” umpat Jevan.
“Feray?” Jevan bertanya lemah dengan suara seraknya serta pandangan yang kabur.Jika Carrabella adalah gadis yang betul-betul ia cintai, maka Feray adalah kebalikan dari itu. Menurutnya, ia adalah orang yang selalu mencari masalah kepadanya semenjak berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Feray yang merupakan adik kelas satu angkatan di bawahnya sekaligus menjabat sebagai pengurus OSIS ini selalu melaporkannya kepada pihak kemahasiswaan setiap dirinya tertangkap basah merokok di atap gedung sekolah.Beberapa kali gadis ini selalu menggagalkan rencananya untuk merokok dengan berbagai cara. Bahkan pernah pula ia berani membuang rokok milik Jevan. Jevan pikir, gadis ini terlalu ikut campur dalam kehidupannya dan Jevan tak suka akan itu. “Kakak ngapain ada di sini?” tanya Feray terkejut.“Harusnya gue yang nanya, ngapain lo di sini? Bikin suasana
Tumpuan pada kaki Jevan sudah melemah seolah ingin ambruk saat itu juga. Tidak, tidak boleh seperti itu, seorang Jevan Biantara memiliki image yang tangguh dominan disegani. Personal branding-nya bukanlah lelucon belaka hingga rasanya ia akan lemah jika seisi hotel ini melihat keadaannya sekarang. Untuk pertama kalinya, Jevan mengabaikan kehadiran cahaya rembulan yang bahkan tidak mampu menghibur Jevan untuk malam ini."Will you marry me, Carrabella?" suara Jaffa terdengar nyaring menusuk gendang pada telinga Jevan yang padahal ia berada sekitar tujuh meter jauh dari lelaki itu. Carrabella, iya, Carrabella. Jevan merasa tak rela nama itu disebut oleh Jaffa untuk melengkapi kalimatnya.Jevan mendesah frustrasi ketika nama Carrabella disebut-sebut oleh Jaffa di tengah kerumunan termasuk keluarga dan teman-temannya. Seolah Jaffa ingin menegaskan bahwa Carrabella adalah miliknya atau mungkin memang akan menjadi miliknya? Tidak, tidak boleh putus