"Oh, mereka sangat lucu." Ekspresinya dilebih-lebihkan."Terima kasih, Dok." Yara mengangguk sebagai rasa terima kasih."Oke, istirahat yang cukup. Kalian berdua jangan keliaran di sini." Teresa tidak membiarkan mereka menghalangi istirahat Yara.Keduanya pun bersiap untuk pergi."Tunggu." Yara tiba-tiba memanggil mereka. "Ponselku di mana?"Entah kenapa, Kakek terus membicarakan tentang ponsel dalam mimpinya barusan."Ini, di aku." Siska memberikan ponselnya kepada Yara.Yara segera melihat sebuah pesan singkat, dikirim tiga hari yang lalu pada siang hari, tepat di hari kematian Kakek."Rara, maaf. Kakek harus egois untuk yang terakhir kalinya!"Seketika, Yara menangis.Siska dan Gio saling berpandangan dan segera menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka mengambil ponsel Yara dan pergi dalam diam.Di luar kamar, Teresa memberi beberapa peringatan dan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pergi."Dokter Teresa, gawat." Seorang perawat tiba-tiba datang bergegas.Teresa mengenalinya,
Felix memasukkan ponselnya ke dalam saku dan melangkah ke pinggiran kerumunan, tempat Yudha dikelilingi oleh beberapa orang."Kamu ke sini!" Suaranya menggeram rendah karena marah.Mungkin karena terlalu bising suara orang-orang, Yudha seperti tidak mendengar dan tidak menanggapi sama sekali."Yudha!" Felix sangat marah dan berteriak di tengah kerumunan orang. "Cepat ke sini!"Dalam sekejap, seluruh tempat menjadi hening. Semua orang yang menangis, semua orang yang bicara, semuanya berhenti dan menatap kedua putra keluarga Lastana itu dengan kebingungan.Agnes pun langsung maju menghentikan Yudha dan bertanya, "Ada apa?""Nggak ada apa-apa Bu, kamu tetap di sini saja. Aku mau bicara dengan Kak Felix." Yudha menenangkan.Namun, Agnes dapat melihat raut wajah Felix yang sangat tidak baik-baik saja. Dia lalu menghampiri Felix dan mengingatkan, "Felix, kita masih di pemakaman kakekmu. Nggak bisa bicara nanti saja?""Bu, kamu nggak usah ikut khawatir. Aku harus memberi pelajaran untuk anak
"Anak Rara?" Yudha terkekeh. Matanya menatap Felix dengan nada provokatif. "Dia juga anakku. Aku bebas membawanya ke mana saja.""Berengsek!" Felix benar-benar berang. "Anakmu? Yang benar saja. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Rara selama ini selain hampir membunuhnya beberapa kali? Siapa kamu, mengaku-ngaku mereka sebagai anakmu? Pernahkah kamu terpikir kalau dia bahkan nggak mau mengakuimu sebagai ayah mereka sama sekali?"Kata-kata itu jelas menyulut sumbu Yudha. Dia menarik tangan Felix dan berkata, "Oh, kamu sudah berhenti pura-pura sekarang? Nggak ngaku-ngaku jadi ayah mereka lagi?"Ekspresi Felix berubah. Bahkan dia pun paham bahwa identitas ayah mereka tidak mungkin bisa disembunyikan lagi setelah mereka lahir.Yudha menuding wajah Felix dan mengumpat, "Kalau bukan karena kamu sejak awal mengaku-ngaku, apa mungkin aku mengabaikan Rara?"Felix tertawa marah. "Begitu? Kamu menceraikan Rara karena aku?""Perceraian ya perceraian, anak ya anak. Itu dua hal yang berbeda." Yudha mer
Yudha berganti pakaian menjadi pakaian steril lengkap dan berdiri di depan inkubator.Bayi di depannya terlihat sangat kecil. Lengan dan kakinya kurus, dan wajahnya berkerut-kerut. Bahkan rupanya belum terlalu jelas.Perawat di sampingnya berbisik, "Bayinya mirip Bapak, dia pasti tampan kalau sudah besar."Yudha, seperti terbangun dari mimpi dan bergumam, "Mirip aku?""Ya, lihat baik-baik. Dahi tinggi, hidung mancung, dan lekukan rahangnya, semuanya persis seperti Bapak." Perawat itu melihat bahwa Yudha tampak senang mendengarkannya, jadi dia bicara lebih banyak lagi.Yudha berpikir keras, tapi masih tidak bisa memastikan bayi itu mirip dengannya atau tidak.Bukannya ada yang mengatakan bahwa anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya? Dia tidak ingin bayi ini menjadi versi kecil dirinya.Perawat itu merasa pria di sebelahnya tiba-tiba seperti diselimuti kelabu. Dia tidak tahu dia salah bicara apa. Dia sebenarnya perawat di rumah sakit ibu dan anak, lalu dipekerjakan di sini untuk merawa
Amel di sebelahnya langsung bertanya, "Adik laki-laki, ya?"Yudha menatapnya dan tersenyum, "Iya, adik laki-laki."Amel terlihat senang. "Kalau begitu, aku boleh main sama adik kecil?""Nggak boleh." Yudha langsung menolak."Sejak kamu bilang kemarin kalau Amel mau punya adik, gadis kecil itu girang sekali ingin main dengan adiknya." Melanie tersenyum. "Aku juga ingin ketemu dengannya. Dia 'kan anakmu."Yudha tetap tidak setuju. "Belum bisa. Bayinya lahir prematur dan harus tinggal di inkubator."Dia membujuk Amel dengan sabar, "Nanti kalau adikmu sudah agak besar, baru boleh main sama Amel, oke?""Oke." Amel melahap makan malamnya dengan gembira. "Kalau begitu, aku harus makan lebih banyak lagi, biar cepat besar dan melindungi adik kecilku nanti."Dia kemudian bertanya kepada Yudha, "Kalau adik yang perempuan? Dia nggak ikut kita juga?"Melanie juga menunggu jawaban dari Yudha dengan penuh perhatian."Dia nggak bisa ikut kita untuk saat ini."Melanie menanggapi, "Jadi, karena ini Kak
Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari
Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?""Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-s
Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan."Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya."Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?""Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?""Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.Beraninya-beraninya.Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!"Nggak, nggak ...."Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti in