Ekspresi wajah Yudha semakin lama semakin rumit. Dia tidak tahu kenapa semuanya jadi seperti ini.Jika anak-anak tidak selamat, ikatan terakhir yang dia miliki dengan Yara akan hilang. Apakah ini benar-benar akhir bagi mereka?"Yudha, jangan ragu lagi!" Teresa berkata dengan cemas, "Cepat putuskan!"Yudha dan Felix berteriak bersamaan, "Yara!"Teresa menghela napas lega. Setidaknya, itu berarti Yara tidak jatuh cinta pada orang yang salah. Dia berbalik dan memasuki ruang IGD.Yudha bersandar lemah di dinding. Matanya melamun menatap lantai. Dia bergumam, "Kenapa bisa seperti ini? Aku nggak tahu ..."Felix tahu dia menyalahkan dirinya sendiri. Dia juga mengerti bahwa tidak ada yang menyangka akan terjadi hal seburuk ini.Yudha tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Setidaknya, Kakek juga sama-sama salah. Mereka berdua hanya ingin memperjuangkan pernikahan Yara dan Yudha. Mereka tidak menyangka akan mencelakakan Yara."Yudha." Felix tidak tahan lagi dan menepuk pundak Yudha. "Rawat dulu luka
Setelah Felix dan Yudha pergi, Siska bersama Gio menginap di rumah sakit.Selama hampir tiga hari, mereka menyaksikan orang-orang keluar masuk ruang bersalin.Pada hari Kakek Susilo dimakamkan, Yara akhirnya keluar dari ICU dan berangsur-angsur bisa tersadar lebih lama setiap harinya.Siska dan Gio menghabiskan sebagian besar waktu di koridor, takut mengganggu istirahat Yara.Pada hari itu, terjadi persalinan yang sulit dan sang suami memilih untuk menyelamatkan bayinya. Pada akhirnya, sang ibu meninggal di meja operasi.Tangisan memilukan dari orang tua sang ibu bergema di seluruh rumah sakit.Siska seketika merasa sangat mual. Dia pergi ke toilet dan muntah dalam waktu yang lama. Ketika dia keluar, seluruh wajahnya pucat."Kamu nggak enak badan?" Gio menyodorkan sebuah botol berisi jus buah masam yang disukai Siska akhir-akhir ini."Nggak apa-apa." Siska menggeleng dan menerima jus itu, meneguknya sedikit demi sedikit. "Aku cuma terngiang-ngiang tangisan mereka. Rasanya menusuk telin
"Oh, mereka sangat lucu." Ekspresinya dilebih-lebihkan."Terima kasih, Dok." Yara mengangguk sebagai rasa terima kasih."Oke, istirahat yang cukup. Kalian berdua jangan keliaran di sini." Teresa tidak membiarkan mereka menghalangi istirahat Yara.Keduanya pun bersiap untuk pergi."Tunggu." Yara tiba-tiba memanggil mereka. "Ponselku di mana?"Entah kenapa, Kakek terus membicarakan tentang ponsel dalam mimpinya barusan."Ini, di aku." Siska memberikan ponselnya kepada Yara.Yara segera melihat sebuah pesan singkat, dikirim tiga hari yang lalu pada siang hari, tepat di hari kematian Kakek."Rara, maaf. Kakek harus egois untuk yang terakhir kalinya!"Seketika, Yara menangis.Siska dan Gio saling berpandangan dan segera menyadari apa yang sedang terjadi. Mereka mengambil ponsel Yara dan pergi dalam diam.Di luar kamar, Teresa memberi beberapa peringatan dan hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pergi."Dokter Teresa, gawat." Seorang perawat tiba-tiba datang bergegas.Teresa mengenalinya,
Felix memasukkan ponselnya ke dalam saku dan melangkah ke pinggiran kerumunan, tempat Yudha dikelilingi oleh beberapa orang."Kamu ke sini!" Suaranya menggeram rendah karena marah.Mungkin karena terlalu bising suara orang-orang, Yudha seperti tidak mendengar dan tidak menanggapi sama sekali."Yudha!" Felix sangat marah dan berteriak di tengah kerumunan orang. "Cepat ke sini!"Dalam sekejap, seluruh tempat menjadi hening. Semua orang yang menangis, semua orang yang bicara, semuanya berhenti dan menatap kedua putra keluarga Lastana itu dengan kebingungan.Agnes pun langsung maju menghentikan Yudha dan bertanya, "Ada apa?""Nggak ada apa-apa Bu, kamu tetap di sini saja. Aku mau bicara dengan Kak Felix." Yudha menenangkan.Namun, Agnes dapat melihat raut wajah Felix yang sangat tidak baik-baik saja. Dia lalu menghampiri Felix dan mengingatkan, "Felix, kita masih di pemakaman kakekmu. Nggak bisa bicara nanti saja?""Bu, kamu nggak usah ikut khawatir. Aku harus memberi pelajaran untuk anak
"Anak Rara?" Yudha terkekeh. Matanya menatap Felix dengan nada provokatif. "Dia juga anakku. Aku bebas membawanya ke mana saja.""Berengsek!" Felix benar-benar berang. "Anakmu? Yang benar saja. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Rara selama ini selain hampir membunuhnya beberapa kali? Siapa kamu, mengaku-ngaku mereka sebagai anakmu? Pernahkah kamu terpikir kalau dia bahkan nggak mau mengakuimu sebagai ayah mereka sama sekali?"Kata-kata itu jelas menyulut sumbu Yudha. Dia menarik tangan Felix dan berkata, "Oh, kamu sudah berhenti pura-pura sekarang? Nggak ngaku-ngaku jadi ayah mereka lagi?"Ekspresi Felix berubah. Bahkan dia pun paham bahwa identitas ayah mereka tidak mungkin bisa disembunyikan lagi setelah mereka lahir.Yudha menuding wajah Felix dan mengumpat, "Kalau bukan karena kamu sejak awal mengaku-ngaku, apa mungkin aku mengabaikan Rara?"Felix tertawa marah. "Begitu? Kamu menceraikan Rara karena aku?""Perceraian ya perceraian, anak ya anak. Itu dua hal yang berbeda." Yudha mer
Yudha berganti pakaian menjadi pakaian steril lengkap dan berdiri di depan inkubator.Bayi di depannya terlihat sangat kecil. Lengan dan kakinya kurus, dan wajahnya berkerut-kerut. Bahkan rupanya belum terlalu jelas.Perawat di sampingnya berbisik, "Bayinya mirip Bapak, dia pasti tampan kalau sudah besar."Yudha, seperti terbangun dari mimpi dan bergumam, "Mirip aku?""Ya, lihat baik-baik. Dahi tinggi, hidung mancung, dan lekukan rahangnya, semuanya persis seperti Bapak." Perawat itu melihat bahwa Yudha tampak senang mendengarkannya, jadi dia bicara lebih banyak lagi.Yudha berpikir keras, tapi masih tidak bisa memastikan bayi itu mirip dengannya atau tidak.Bukannya ada yang mengatakan bahwa anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya? Dia tidak ingin bayi ini menjadi versi kecil dirinya.Perawat itu merasa pria di sebelahnya tiba-tiba seperti diselimuti kelabu. Dia tidak tahu dia salah bicara apa. Dia sebenarnya perawat di rumah sakit ibu dan anak, lalu dipekerjakan di sini untuk merawa
Amel di sebelahnya langsung bertanya, "Adik laki-laki, ya?"Yudha menatapnya dan tersenyum, "Iya, adik laki-laki."Amel terlihat senang. "Kalau begitu, aku boleh main sama adik kecil?""Nggak boleh." Yudha langsung menolak."Sejak kamu bilang kemarin kalau Amel mau punya adik, gadis kecil itu girang sekali ingin main dengan adiknya." Melanie tersenyum. "Aku juga ingin ketemu dengannya. Dia 'kan anakmu."Yudha tetap tidak setuju. "Belum bisa. Bayinya lahir prematur dan harus tinggal di inkubator."Dia membujuk Amel dengan sabar, "Nanti kalau adikmu sudah agak besar, baru boleh main sama Amel, oke?""Oke." Amel melahap makan malamnya dengan gembira. "Kalau begitu, aku harus makan lebih banyak lagi, biar cepat besar dan melindungi adik kecilku nanti."Dia kemudian bertanya kepada Yudha, "Kalau adik yang perempuan? Dia nggak ikut kita juga?"Melanie juga menunggu jawaban dari Yudha dengan penuh perhatian."Dia nggak bisa ikut kita untuk saat ini."Melanie menanggapi, "Jadi, karena ini Kak
Yara akhirnya terlelap. Siska dan yang lainnya pun pergi keluar.Namun, di depan pintu, Siska mengerutkan keningnya karena ada Tanto di sana."Abaikan saja kalau kamu nggak mau ketemu." Tubuh Gio setengah menghalangi Siska dan menatap Tanto dengan waspada. "Ada kami di sini. Dia nggak akan bisa berbuat apa-apa padamu.""Siska, aku mau bicara denganmu. Lima menit saja. Beri aku waktu lima menit." Tanto menatap Siska dengan mata memelas.Tanto yang ada di hadapannya jelas-jelas telah berubah dari citra dirinya yang dulu anak orang kaya yang tidak peduli perasaan. Dia kini terlihat lesu, seperti sepuluh tahun lebih tua.Siska mengerti bahwa kematian Kakek Susilo dan pengkhianatan Liana bersama Melanie telah membuat Tanto merana.Dia menepuk bahu Gio dengan lembut. "Nggak apa-apa, aku bicara dengan dia dulu. Kalian tunggu aku di lantai satu."Keduanya mengangguk dan pergi bersama.Ketika sampai di hadapan Tanto, Felix berhenti dan memperingatkan dengan suara pelan, "Paman, jangan buat kesa
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid