Pemakaman Silvia sepenuhnya diatur oleh Yudha. Yang membuatnya cukup terkejut adalah Melanie bersikeras untuk hadir sebagai putrinya.Agnes juga hadir di sana.Dia tahu tentang Silvia membayar orang untuk membunuh Santo. Jadi, dia mencari kesempatan untuk mengajak Melanie membicarakannya secara pribadi."Masalah Santo nggak ada hubungannya denganmu?" Sebelah alisnya langsung terangkat saat bertanya. Tatapan matanya yang tajam merasuk ke dalam lubuk hati.Melanie belakangan ini terlalu sering berakting. Matanya bengkak dan seluruh wajahnya sembap, sehingga hampir tidak terlihat ekspresi apa pun. Tidak ada yang bisa mengungkap petunjuk sedikit pun.Dia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak nyangka dia bisa segila itu."Agnes tidak bertanya lagi. Sejujurnya, dirinya mampu melakukan hal-hal yang lebih kejam daripada Melanie di masa mudanya. Tidak masalah selama dia berhasil."Nggak masalah." Suaranya dingin. "Bersikap baiklah setelah kamu menikah dengan Yudha."Melanie membungkuk dan melihat
Felix masih menunda-nunda pulang ke rumah keluarga besar sampai makan malam lewat. Tak disangka, Yudha, Tanto dan yang lainnya berkumpul di sana. Pasti ada pengumuman penting."Pernikahanku dengan Melly," kata Yudha sambil berdiri. "Akan dilangsungkan tiga hari lagi."Tanto mengerutkan keningnya. "Bagaimana dengan ayahnya yang hampir mati? Atau ibunya yang baru mati?""Diam saja kalau nggak bisa bicara baik-baik." Agnes memelototi Tanto.Tanto mengangkat bahu tak berdaya dan menatap Liana. "Aku nggak salah.""Mungkin ini yang diinginkan orang tuanya." Tak disangka, Liana justru membela Melanie dan membantu mencairkan suasana untuk Yudha.Tanto mengerutkan kening dan memandangnya, tetapi tidak berkata apa-apa.Yudha duduk kembali. "Aku hanya memberi tahu semua orang. Aku persilakan kalau ada yang nggak ingin datang."Saat dia mengatakan ini, dia terang-terangan melihat ke arah Felix."Aku akan datang." Felix bangkit berdiri hendak pergi. "Bu, kalau nggak ada yang lain lagi, aku pergi du
Ini pertama kalinya dia ditodong pistol. Siska agak merasa seperti sedang dalam mimpi.Dia tanpa sadar mundur selangkah, terperangah menatap pistol itu, bertanya-tanya apakah pistol itu pistol asli.Pria itu berpakaian serba hitam. Topi dan maskernya juga hitam, memperlihatkan sepasang mata sipit. Dia pertama-tama melirik ke ranjang rumah sakit, lalu bertanya dengan kejam, "Di mana pasien kamar ini?"Siska kaget. Orang ini datang mencari Yara?Dia berkata gemetaran, "P-pasien apa?""Jangan pura-pura bodoh. Yara Lubis, Rara, di mana dia?" Pria itu marah meledak-ledak."K-kamu siapa?" Siska menelan ludah, telapak tangannya basah ketakutan."Jangan buang-buang waktu! Di mana Yara?" Pria itu maju beberapa langkah dan menodongkan pistolnya ke kepala Siska. "Kalau kamu nggak mau jawab, aku tembak sekarang."Ketakutan yang luar biasa membuat pikiran Siska kosong, tetapi dia yakin pria itu ingin membunuh Rara. Dia tidak boleh membiarkan pria itu mendapatkan Rara."Katakan! Atau kamu lebih mili
"Melly, ini hadiah kecil dari kami. Selamat menempuh hidup baru!"Melanie tersenyum. Setelah hari ini, dia akan menjadi istri dari kepala keluarga Lastana. Semua orang di luar yang meragukan dan meremehkannya cuma bisa jadi anjing yang menggonggong untuknya!Sedangkan Yudha saat ini sendirian di ruang tunggu mempelai pria.Dia menyuruh semua orang keluar dan melihat ponsel di atas meja dari waktu ke waktu, seolah sedang memikirkan sesuatu.Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu di luar."Yudha, ini Kakak!" Ternyata Felix yang datang.Yudha terdiam sebentar sebelum bangkit dan membukakan pintu."Sudah siap?" Felix bertanya dengan penuh perhatian begitu dia masuk."Ya." Yudha duduk kembali di sofa. Kakinya yang panjang terentang dengan santai.Felix mengangguk dan ragu-ragu sejenak sebelum duduk di sebelah Yudha. "Selamat."Yudha tidak mengatakan apa-apa."Soal aku dan Rara, aku benar-benar bersalah." Felix menundukkan kepalanya. "Aku minta maaf. Tapi hubungan kalian memang sudah berak
Di kamar rumah sakit, saat Siska terbangun, dia mendengar suara percakapan dari ambang pintu.Yara dan Gio kembali.Siska melihat pria dengan pistol yang bersembunyi di balik pintu. Dia tidak bisa bicara sama sekali, karena seluruh tubuhnya diikat dan mulutnya disumpal.Dia sangat panik, tetapi dia tidak bisa membebaskan diri.Pria dengan pistol itu memelototinya dengan tajam. Dia mungkin akan langsung menembak kalau Siska membebaskan diri.Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Gio mendorong kursi roda Yara. Mereka berdua langsung melihat Siska dalam keadaan diikat.Siska menatap Yara dan menggelengkan kepalanya sekuat tenaga.Gio refleks mengambil langkah ke depan kursi roda untuk menghalangi Yara. Dia cepat-cepat berkata dengan suara rendah, "Felix!"Detik berikutnya, sepucuk pistol diarahkan ke kepalanya.Yara gemetar ketakutan, tapi dia mendengar kata-kata Gio.Dengan tangan menggigil, dia mengeluarkan ponselnya dan baru saja akan menelepon ketika dia melihat panggilan masuk dari Yu
"Nggak bisa!" Yudha menolak hampir seperti refleks. Dia melepaskan tangan Agnes. "Bu, sampaikan maafku pada Melly. Aku benar-benar harus pergi."Agnes jatuh terduduk di kursinya tanpa daya.Tanto dan Liana sejak tadi menyaksikan di samping."Haha." Tanto merentangkan tangannya sambil tertawa hambar. "Lihat itu? Terkadang, justru anak paling penurut itulah yang sedang menyiapkan kejutan terbesar di kemudian hari."Dia berbalik dan melambaikan tangannya lagi ke arah semua orang. "Bubar. Semuanya, bubar! Kalian nggak akan menikmati jamuan pernikahan hari ini."Para tamu saling memandang dengan raut tidak percaya. Beberapa ingin menghampiri untuk menghibur Agnes, tetapi mereka akhirnya pergi melihat wajah Agnes yang sangat kelam."Biar aku yang bilang ke Melly." Liana menawarkan diri.Tanto menatapnya dengan tidak senang. "Kamu jangan terlalu dekat-dekat sama dia.""Iya." Liana menoleh ke arah Agnes yang matanya terpejam. Kelihatannya dia tidak ingin pergi meminta maaf kepada Melanie.Tant
Felix baru saja akan menyalakan mobilnya ketika dia melihat Yudha menyusul."Buka pintunya!" Yudha mengetuk jendela mobil dari luar.Felix mengerutkan kening, tapi tetap cepat-cepat membuka pintu. Sambil menyalakan mobilnya, dia bertanya pada Yudha memasuki mobil, "Kamu yakin mau pergi?""Cepat jalan!" Yang Yudha tahu, Yara dalam bahaya dan dia harus pergi.Setelah sirene mobil dinyalakan, mereka dapat melaju tanpa hambatan dan tiba di rumah sakit hanya dalam waktu sepuluh menit.Saat itu, satu lantai di sekitar kamar Yara berada dalam keadaan kacau-balau. Sebagian besar pasien telah dievakuasi dan pihak rumah sakit telah memanggil polisi.Ketika seseorang melihat Felix dan Yudha datang, mereka segera menghampiri dan bertanya, "Kalian polisi? Orang di atas sana membawa senjata. Sangat berbahaya."Felix menunjukkan kartu identitasnya dan segera menuju ke lantai atas, dengan Yudha mengikuti dari belakang.Ekspresi keduanya sangat serius. Keringat merembes dari dahi mereka, dan tatapan ma
Felix segera dibawa ke ruang gawat darurat.Tatapan Yudha menyapu wajah Yara sebelum akhirnya dia mendekat dan berbisik, "Jangan khawatir. Kak Felix ... pasti baik-baik saja."Wajah Yara pucat dan berlumuran darah. Dia bersandar lemah di kursi.Setelah polisi membawa tubuh pria berbaju hitam itu, mereka membangunkan Siska yang sudah lama pingsan.Saat perkelahian baru dimulai, kepala Siska membentur meja dan pingsan.Begitu siuman, dia langsung menghampiri Yara."Siska." Yara membuka matanya dan langsung memeluk Siska. "Kamu nggak apa-apa?"Siska menggeleng. Saat dia melihat polisi membawa Gio pergi, dia segera berkata, "Aku ikut juga untuk membantu penyelidikan.""Siska." Yara menggenggam tangan Siska. "Orang itu ... mengincar aku 'kan?"Dia ingat dengan sangat jelas. Begitu dia memasuki kamar bersama Gio, dialah orang yang ingin dibunuh oleh pria itu.Siska ragu-ragu sejenak, lalu menenangkannya. "Rara, jangan dipikirkan. Polisi pasti akan mencari tahu."Seolah-olah, secara tidak lan