Barra meletakkan ponsel yang dipegangnya di atas nakas saat pintu walk in closet terbuka dan muncul Delia dari sana.Istrinya sangat cantik dengan dress transparan warna peach di atas lutut. Bahunya terbuka karena hanya tali kecil itu yang menyangkut di pundak. Menampilkan kulit putih yang memesona. Wanita itu tersenyum tenang sambil melangkah mendekati Barra yang berdiri menunggunya.Melahirkan tak membuat pesonanya pudar di mata Barra. Justru kian menggoda bagi pria yang kini mendekapnya. Mereka berpelukan sambil saling menatap mesra.Lampu kamar telah berganti dengan lampu redup warm white. Seprai juga baru diganti tadi sore. Setelah mereka disibukkan dengan kelahiran baby Alfareezel, lalu mengurusi pindahan rumah, dan sekaranglah waktunya untuk menghabiskan momen berdua. Beberapa hari terakhir ini Barra sudah tak sabar menunggu istrinya bersuci. Bukan memburu nafsu, karena pada dasarnya semua manusia normal yang telah menikah, pasti membutuhkan keintiman.Berhubungan fisik bukan
Suasana di antara Aksa dan Delia mendadak canggung. Setelah tahu orang yang menolongnya waktu itu ternyata Aksa, Delia tidak memutuskan langsung pergi meski hatinya dipenuhi berbagai macam perasaan. Takut, kecewa, marah, bahkan benci. Meski Aksa bukan pelakunya. Delia bertahan di sana, setidaknya ia harus mengucapkan banyak terima kasih.Dia sama sekali tidak mengira kalau pria itu Aksa. Dulu tubuhnya kurus, sekarang lebih berisi dan terlihat lebih tegap. "Jadi Mas yang menolongku siang itu? Terima kasih banyak. Maaf, saya mohon pamit. Sekali terima kasih atas tumpangannya waktu itu," ucap Delia sambil meraih tali tasnya."Tunggu sebentar. Maaf, bolehkah aku bicara denganmu sejenak saja?" tahan Aksa.Delia tidak jadi berdiri. Dia memandang pria di hadapannya dengan tatapan tajam. Sebenarnya Aksa tidak bersalah, yang bersalah adalah kakaknya. Tidak seharusnya Delia turut menghakimi orang yang tidak tahu apa-apa, hanya karena mereka berdua adalah kakak adik."Aku minta maaf, benar-bena
Pertanyaan Mahika membuat Aksa tidak langsung menjawabnya. Bukan hanya pernah jatuh cinta, tapi sampai sekarang dia masih cinta. "Hmm, pasti pernah ya?" tanya Mahika menggoda.Aksa tersenyum. Kemudian meraih kontak mobilnya di atas meja. "Aku mau pulang. Mbak, pulang sekarang apa nanti?""Sekarang dong!" Mahika turut berdiri dan mereka keluar coffee shop beriringan. "Jangan lupa, kabari kalau mau jenguk Johan ke Rutan," pesan Mahika sebelum berlari ke arah mobilnya karena hujan sangat deras."Iya, nanti kutelepon."Mereka berpisah masuk ke dalam mobil masing-masing. Jalan pulang juga berlawanan arah. Kadang Aksa pun ingin menertawakan diri sendiri. Cinta macam apa yang bercokol dalam hati hingga susah sekali untuk tumbang. Padahal sudah jelas bagaimana akhirnya. Sad ending. Ibunya sering bilang, lebih jelasnya meminta Aksa untuk lekas menikah. Johan masih tiga belas tahun lagi baru keluar dari penjara. Bisa kurang dari itu jika ada remisi. Jadi Aksa lah satu-satunya harapan sang ibu
Mahika menatap wajah sendu penuh penyesalan di hadapannya. Rasanya tidak percaya jika Johan yang dikenalnya sangat baik tega berbuat sebiadab itu."Terima kasih, kamu masih sudi datang menjengukku."Senyum menghiasi bibir Mahika. "Kamu tetap jadi temanku sampai kapanpun. Aku kenal bagaimana kamu. Rasanya aku nggak percaya kamu melakukan semua ini."Johan menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan rasa sedih dan netranya yang berkaca-kaca."Aksara sudah menceritakan semuanya. Ada andil teman-temanmu dalam peristiwa itu. Kamu sengaja diberikan obat supaya mabuk dan terangsang pada saat kamu sedang berselisih dengan Melia. Kemudian mereka memanfaatkan kondisi itu untuk menjarah keluarga Pak Irawan. Semua memang sudah direncanakan oleh mereka sebelumnya.""Kamu percaya itu?"Mahika mengangguk. "Aku mengenalmu dengan baik, Jo. Aku yakin kamu nggak sekejam itu. Mereka memanfaatkan emosimu, cemburumu karena rekayasa teman-temanmu. Aku tahu kamu memang kasar, hanya saja nggak akan tega berlaku biad
Yovan tersenyum menghampiri Delia dan Barra. Disalaminya sang mantan kekasih dan suaminya."Hai, apa kabar? Udah lama nggak ketemu," sapanya ramah."Kabar baik. Kamu apa kabar, Van?" Delia menyambut uluran tangan Yovan sambil tersenyum ramah. "Alhamdulillah, baik. Kalian hanya berdua saja? Mana baby?""Di rumah," jawab Delia. Sedangkan Barra hanya diam dan dingin. Dengan Yovan dia sama sekali tidak bisa berpura-pura baik."Aku belum sempat menengok anak kalian. Nanti sebelum kembali ke Singapura akan kuajak mama jenguk si baby. Siapa namanya?""Alfareezel.""Nama yang indah."Delia tersenyum."Aku mau balik lagi ke Singapura.""Oh ya, kapan?"Yovan yang berdiri dengan kedua tangan masuk dalam saku celana itu mengangguk. "Insyaallah, bulan depan. Sudah setahun lebih aku di sini. Padahal perjanjian awalnya hanya setahun. Sebelum aku pengen pindah ke sini, tapi belum diizinkan."Delia menatap pria berwajah oriental di depannya. Sejak tadi hanya dia saja yang berinteraksi dengan Yovan. S
"Kenapa melamun?" tegur Barra kemudian ikut menatap ke arah bawah. Yovan sudah tidak tampak, yang masih terlihat adalah Mahika yang baru turun dari eskalator."Kalian sudah sangat akrab ya?" tanya Barra sambil menyuap nasinya. Delia juga melakukan hal yang sama."Dia banyak cerita tentang keluarganya, Mas. Waktu kami ketemu saat aku makan siang di luar bareng Mei. Papanya ketahuan selingkuh di usia tua. Punya anak dengan perempuan lain yang membuat pernikahannya berantakan. Sayang banget ya, menikah puluhan tahun harus hancur lebur karena kenikmatan semu itu.""Biarlah, jangan ikut campur. Itu hidup mereka." Barra tidak suka kalau Delia terlalu banyak nimbrung dikehidupan orang lain."Aku nggak ikut campur. Setidaknya itu bisa jadi pelajaran buat kita. Nikmat sesaat itu, akhibatnya sungguh fatal. Semoga nggak akan Mas contoh."Barra menghentikan gerakan tangannya, kemudian menatap istrinya dengan tajam. "Ngomong apa, sih?""Aku nggak mengajak Mas berdebat. Aku hanya ngajak diskusi, ba
Satu per satu penumpang yang masuk pesawat diperhatikan oleh baby Riz. Bayi itu duduk anteng di pangkuan Delia, hanya tangannya yang bergerak-gerak menarik celana yang dipakainya. Sedangkan Barra masih sibuk menata barang di kabin pesawat.Biasa baby Riz tidak betah lama-lama di pangku. Langsung saja melorot turun ke bawah kalau di rumah. Tapi kali ini bayi umur enam bulan itu diam dalam pangkuan sang mama.Barra memilih penerbangan kelas bisnis. Kursinya lebih luas, bisa selonjoran, dan bergerak lebih leluasa. Bisa juga di adjust menjadi tempat tidur. Yang penting ada ruang penyimpanan ekstra untuk meletakkan barang-barang milik si bayi.Hari Delia deg-degan juga. Inilah kali pertama membawa anaknya perjalanan jauh. Biasanya hanya dekat-dekat saja. Itu pun mobil bisa menepi untuk berhenti di rest area. Tapi kali ini perjalanan akan panjang dan lama."Riz ngantuk sepertinya," kata Barra sambil menatap sang anak."Nanti saja kalau sudah take off aku susuin, Mas. Biar dia tidur."Baby R
"Jam segini masih gelap, Mas. Kalau di tempat kita sudah terang benderang. Bahkan sudah panas.""Kalau musim gugur begini, matahari terbit paling awal jam setengah delapan. Makanya sekarang masih gelap."Keduanya duduk sambil memperhatikan matahari yang beranjak naik. Hingga tampaklah pemandangan menakjubkan di luar sana. Gunung-gunung yang berjajar, perbukitan yang berwarna keemasan karena dedaunan yang berubah warna kuning, oranye, dan merah. Sungguh panorama luar biasa. New Zealand memang memiliki landskap pemandangan yang sangat memesona. Perfect paradise."Yang terlihat dari jendela kaca saja sudah begini indahnya, Mas. Bagaimana jika kita sudah keluar nanti. Tentu lebih memukau. Laksana surga.""Kita memang sedang berada di surga. Karena Mas sudah mendekap bidadarinya."Delia menyemburkan tawa. Astaga, pandai juga Barra menggombal. Padahal tiga hari yang lalu tatapan matanya bagai Elang yang hendak menerkam mangsa. Dikarenakan Yovan datang ke rumah bersama mamanya. Menengok baby