Pertanyaan Mahika membuat Aksa tidak langsung menjawabnya. Bukan hanya pernah jatuh cinta, tapi sampai sekarang dia masih cinta. "Hmm, pasti pernah ya?" tanya Mahika menggoda.Aksa tersenyum. Kemudian meraih kontak mobilnya di atas meja. "Aku mau pulang. Mbak, pulang sekarang apa nanti?""Sekarang dong!" Mahika turut berdiri dan mereka keluar coffee shop beriringan. "Jangan lupa, kabari kalau mau jenguk Johan ke Rutan," pesan Mahika sebelum berlari ke arah mobilnya karena hujan sangat deras."Iya, nanti kutelepon."Mereka berpisah masuk ke dalam mobil masing-masing. Jalan pulang juga berlawanan arah. Kadang Aksa pun ingin menertawakan diri sendiri. Cinta macam apa yang bercokol dalam hati hingga susah sekali untuk tumbang. Padahal sudah jelas bagaimana akhirnya. Sad ending. Ibunya sering bilang, lebih jelasnya meminta Aksa untuk lekas menikah. Johan masih tiga belas tahun lagi baru keluar dari penjara. Bisa kurang dari itu jika ada remisi. Jadi Aksa lah satu-satunya harapan sang ibu
Mahika menatap wajah sendu penuh penyesalan di hadapannya. Rasanya tidak percaya jika Johan yang dikenalnya sangat baik tega berbuat sebiadab itu."Terima kasih, kamu masih sudi datang menjengukku."Senyum menghiasi bibir Mahika. "Kamu tetap jadi temanku sampai kapanpun. Aku kenal bagaimana kamu. Rasanya aku nggak percaya kamu melakukan semua ini."Johan menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan rasa sedih dan netranya yang berkaca-kaca."Aksara sudah menceritakan semuanya. Ada andil teman-temanmu dalam peristiwa itu. Kamu sengaja diberikan obat supaya mabuk dan terangsang pada saat kamu sedang berselisih dengan Melia. Kemudian mereka memanfaatkan kondisi itu untuk menjarah keluarga Pak Irawan. Semua memang sudah direncanakan oleh mereka sebelumnya.""Kamu percaya itu?"Mahika mengangguk. "Aku mengenalmu dengan baik, Jo. Aku yakin kamu nggak sekejam itu. Mereka memanfaatkan emosimu, cemburumu karena rekayasa teman-temanmu. Aku tahu kamu memang kasar, hanya saja nggak akan tega berlaku biad
Yovan tersenyum menghampiri Delia dan Barra. Disalaminya sang mantan kekasih dan suaminya."Hai, apa kabar? Udah lama nggak ketemu," sapanya ramah."Kabar baik. Kamu apa kabar, Van?" Delia menyambut uluran tangan Yovan sambil tersenyum ramah. "Alhamdulillah, baik. Kalian hanya berdua saja? Mana baby?""Di rumah," jawab Delia. Sedangkan Barra hanya diam dan dingin. Dengan Yovan dia sama sekali tidak bisa berpura-pura baik."Aku belum sempat menengok anak kalian. Nanti sebelum kembali ke Singapura akan kuajak mama jenguk si baby. Siapa namanya?""Alfareezel.""Nama yang indah."Delia tersenyum."Aku mau balik lagi ke Singapura.""Oh ya, kapan?"Yovan yang berdiri dengan kedua tangan masuk dalam saku celana itu mengangguk. "Insyaallah, bulan depan. Sudah setahun lebih aku di sini. Padahal perjanjian awalnya hanya setahun. Sebelum aku pengen pindah ke sini, tapi belum diizinkan."Delia menatap pria berwajah oriental di depannya. Sejak tadi hanya dia saja yang berinteraksi dengan Yovan. S
"Kenapa melamun?" tegur Barra kemudian ikut menatap ke arah bawah. Yovan sudah tidak tampak, yang masih terlihat adalah Mahika yang baru turun dari eskalator."Kalian sudah sangat akrab ya?" tanya Barra sambil menyuap nasinya. Delia juga melakukan hal yang sama."Dia banyak cerita tentang keluarganya, Mas. Waktu kami ketemu saat aku makan siang di luar bareng Mei. Papanya ketahuan selingkuh di usia tua. Punya anak dengan perempuan lain yang membuat pernikahannya berantakan. Sayang banget ya, menikah puluhan tahun harus hancur lebur karena kenikmatan semu itu.""Biarlah, jangan ikut campur. Itu hidup mereka." Barra tidak suka kalau Delia terlalu banyak nimbrung dikehidupan orang lain."Aku nggak ikut campur. Setidaknya itu bisa jadi pelajaran buat kita. Nikmat sesaat itu, akhibatnya sungguh fatal. Semoga nggak akan Mas contoh."Barra menghentikan gerakan tangannya, kemudian menatap istrinya dengan tajam. "Ngomong apa, sih?""Aku nggak mengajak Mas berdebat. Aku hanya ngajak diskusi, ba
Satu per satu penumpang yang masuk pesawat diperhatikan oleh baby Riz. Bayi itu duduk anteng di pangkuan Delia, hanya tangannya yang bergerak-gerak menarik celana yang dipakainya. Sedangkan Barra masih sibuk menata barang di kabin pesawat.Biasa baby Riz tidak betah lama-lama di pangku. Langsung saja melorot turun ke bawah kalau di rumah. Tapi kali ini bayi umur enam bulan itu diam dalam pangkuan sang mama.Barra memilih penerbangan kelas bisnis. Kursinya lebih luas, bisa selonjoran, dan bergerak lebih leluasa. Bisa juga di adjust menjadi tempat tidur. Yang penting ada ruang penyimpanan ekstra untuk meletakkan barang-barang milik si bayi.Hari Delia deg-degan juga. Inilah kali pertama membawa anaknya perjalanan jauh. Biasanya hanya dekat-dekat saja. Itu pun mobil bisa menepi untuk berhenti di rest area. Tapi kali ini perjalanan akan panjang dan lama."Riz ngantuk sepertinya," kata Barra sambil menatap sang anak."Nanti saja kalau sudah take off aku susuin, Mas. Biar dia tidur."Baby R
"Jam segini masih gelap, Mas. Kalau di tempat kita sudah terang benderang. Bahkan sudah panas.""Kalau musim gugur begini, matahari terbit paling awal jam setengah delapan. Makanya sekarang masih gelap."Keduanya duduk sambil memperhatikan matahari yang beranjak naik. Hingga tampaklah pemandangan menakjubkan di luar sana. Gunung-gunung yang berjajar, perbukitan yang berwarna keemasan karena dedaunan yang berubah warna kuning, oranye, dan merah. Sungguh panorama luar biasa. New Zealand memang memiliki landskap pemandangan yang sangat memesona. Perfect paradise."Yang terlihat dari jendela kaca saja sudah begini indahnya, Mas. Bagaimana jika kita sudah keluar nanti. Tentu lebih memukau. Laksana surga.""Kita memang sedang berada di surga. Karena Mas sudah mendekap bidadarinya."Delia menyemburkan tawa. Astaga, pandai juga Barra menggombal. Padahal tiga hari yang lalu tatapan matanya bagai Elang yang hendak menerkam mangsa. Dikarenakan Yovan datang ke rumah bersama mamanya. Menengok baby
Baby Riz duduk di car seat sambil minum susu di botol. Kali ini Delia duduk mendampingi putranya di bangku belakang. Bocah berjaket tebal itu tak berkedip memandang sekawanan domba yang bergerombol di pinggir jalan sepanjang perjalanan mereka. Ada juga yang berlarian di padang rumput dan perbukitan.Domba-domba liar itu tidak takut terhadap klakson atau manusia. Karena mereka sudah terbiasa bertemu setiap hari. Jika klakson di bunyikan, domba itu tidak ada yang berlari, tapi menepi perlahan. Mereka terbiasa dan santai menyeberangi jalan dan berpindah dari satu padang ke padang yang lainnya.Terlihat baby Riz sangat gemas melihat hewan berbulu putih itu. Kaki dan tangannya bergerak-gerak seolah ingin menyentuh si domba.Di sana tidak hanya mobil yang dikendarai Barra yang berhenti. Di depan sana beberapa kendaraan terparkir dan penumpangnya turun untuk berfoto. Pemandangan di kejauhan itu memang memukau."Mas, kita turun sebentar. Aku mau ambil foto," pinta Delia saat sang anak selesai
"Aku lihat mobilmu di depan tadi. Kenapa nggak langsung masuk," tergur Mahika setelah mereka duduk berhadapan di sebuah tempat makan."Sebenarnya aku sudah sampai sejak tadi, Mbak. Sebelum mall buka.""Sorry, kalau nunggu lama.""Nggak apa-apa. Aku yang datang terlalu awal.""Kamu mau makan apa?""Nasi goreng saja sama teh panas."Mahika langsung berdiri untuk memesan makanan. Kebetulan dia juga belum sarapan. Setelah itu kembali duduk di hadapan Aksa. "Tampaknya ada hal serius yang ingin Mbak sampaikan padaku." Aksa mulai percakapan. "Ya." Mahika diam sejenak kemudian kembali berbicara. "Beberapa hari yang lalu, aku menjenguk kakakmu. Kami bicara banyak. Bahkan tentang masa depan," ucap Mahika serius."Maksudnya?" Aksa kaget dan tidak mengerti arah percakapan.Mahika menunduk. Berpikir dan memilih kata untuk menyampaikan sesuatu pada Aksa. Wanita itu kembali mengangkat wajah. "Kami akan menikah setelah kakakmu keluar dari penjara."Aksa lebih terperanjat lagi dengan pengakuan wanit