"Aku lihat mobilmu di depan tadi. Kenapa nggak langsung masuk," tergur Mahika setelah mereka duduk berhadapan di sebuah tempat makan."Sebenarnya aku sudah sampai sejak tadi, Mbak. Sebelum mall buka.""Sorry, kalau nunggu lama.""Nggak apa-apa. Aku yang datang terlalu awal.""Kamu mau makan apa?""Nasi goreng saja sama teh panas."Mahika langsung berdiri untuk memesan makanan. Kebetulan dia juga belum sarapan. Setelah itu kembali duduk di hadapan Aksa. "Tampaknya ada hal serius yang ingin Mbak sampaikan padaku." Aksa mulai percakapan. "Ya." Mahika diam sejenak kemudian kembali berbicara. "Beberapa hari yang lalu, aku menjenguk kakakmu. Kami bicara banyak. Bahkan tentang masa depan," ucap Mahika serius."Maksudnya?" Aksa kaget dan tidak mengerti arah percakapan.Mahika menunduk. Berpikir dan memilih kata untuk menyampaikan sesuatu pada Aksa. Wanita itu kembali mengangkat wajah. "Kami akan menikah setelah kakakmu keluar dari penjara."Aksa lebih terperanjat lagi dengan pengakuan wanit
Mahika meraih gelas minumnya, kemudian menyesap beberapa teguk untuk melonggarkan tenggorokan."Kami belum membahas serius hal itu."Aksa mengangguk paham. "Yang penting Mbak memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Sebab nggak mudah membawa seorang narapidana masuk dalam lingkungan kehidupan keluarga, Mbak Mahika.""Aku ngerti," jawab Mahika sambil tersenyum. Dia juga mengerti segala konsekwensi yang akan diterima jika memutuskan menikah dengan Johan. Tidak hanya omnya saja yang akan marah, tapi bisa berimbas hubungan kerjasamanya dengan perusahaan Barra. Sebab dia yang mewakili kerjasama itu. Mungkin hubungannya dengan Delia juga akan terputus. Tak mengapa, segala tindakan ada efek baik buruknya. Pasti itu. Segala konsekwensi selalu ada di setiap tindakan. Belum lagi penolakan dari sang papa. Kalau mamanya tidak mempermasalahkan ketika diajak diskusi waktu Mahika pulang ke Jombang. Meski awalnya juga sempat shock. Namun beliau berpendapat, laki-laki yang sejak awal baik tidak bisa men
Barra dan Delia juga sempat tidur di rumah sewa milik Dani. Rumah minimalis modern yang hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur yang menyatu dengan meja makan. Hampir setiap rumah di sana memiliki alat penghangat ruangan. Rumah Dani juga dipenuhi oleh furnitur yang cantik dan karpet berwarna cerah.Delia suka memperhatikan rumah-rumah milik penduduk yang ditemui di sepanjang perjalanan mereka. Desain rumah yang gambarnya selama ini familiar digunakan untuk desktop PC, tablet, iPad, iPhone, android, atau menjadi gambar tampilan di kalender. Sekarang Delia melihatnya dengan nyata. Negeri kiwi itu bagaikan lukisan yang nyata."Besok kita stay di hotel saja, Mas. Lusa kita sudah menempuh perjalanan panjang," kata Delia sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya."Kamu capek."Delia menjawabnya dengan senyuman. "Kita bisa jalan-jalan di sekitar sky tower saja. Atau di dermaga lihat Yacht dan kapal pesiar.""Oke, Sayang," jawab Barra sambil mengeratkan rangkulannya.* * *Aksa berjalan terg
Suasana di rumah Pak Irawan sangat meriah malam itu. Mereka mengundang para kerabat dan tetangga untuk datang di acara tujuh bulanan kehamilan Diva. Lantunan doa sudah selesai. Sebab sejak pagi tadi juga ada acara khatam Al-Qur'an dan selesai jam tiga sore.Acara tujuh bulanan Diva berbeda dengan acara yang dilakukan oleh Delia setahun yang lalu. Tujuh bulanan untuk kehamilan Delia sangat sederhana. Hanya ada pengajian dan mengundang kerabat dekat saja. Tapi kali ini serangkaian adat Jawa sangat kental mewarnai acara Diva dan Samudra. Mereka mengadakan sungkeman, siraman, pecah telur, memutuskan janur, brojolan, pecah kelapa, ganti busana, dan jualan rujak.Wangi bunga menguar dari sisa air yang digunakan untuk mandi tadi. Samudra dan Diva telah berganti pakaian dan duduk di antara para kerabat. Tetangga sudah sudah pulang selesai acara. Sekarang mereka akan mengadakan gender reveal party di dalam ruang tamu. Balon dua warna menjadi icon jenis kelamin anak. Biru untuk anak laki-laki
Cintiara menghempaskan diri di atas pembaringan. Tubuhnya terasa remuk redam. Sudah lama dia tidak melakukan message di salon. Relaksasi dan segala pelayanan salon yang biasa ia lakukan sebulan sekali dengan tagihan yang dibayar oleh Barra. Fasilitas itu sekarang tidak dapat dinikmatinya. Yang tersisa sekarang hanya sesalan dan kebencian. Delia telah menghancurkan mimpinya. Namun ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta Barra bukan untuknya lagi.Gadis itu bangkit dari pembaringan. Kemudian melangkah keluar rumah. Di seberang jalan sana ada seorang ibu-ibu yang biasa di mintai warga sekitar perumahan untuk memijat badan. Tubuhnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Terlebih beberapa hari ini badannya terasa meriang."Saya tunggu setengah jam lagi, Bu. Karena saya juga mau mandi dulu," ucapnya pada wanita yang menemuinya di teras rumah."Njih, Mbak."Baru saja memasuki halaman rumahnya kembali. Sebuah taksi berhenti di belakangnya. Siska turun dari sana dengan tampang yang kusut."M
"Kenapa, Pak Barra?" tanya Mahika heran."Saya menolaknya," jawab Barra tegas.Mahika terdiam kemudian memerhatikan profil gadis yang baru bekerja di perusahaan Omnya setengah tahun ini. Padahal dia bekerja sangat baik sejauh yang Mahika tahu."Dia staf kami, Pak Barra. Lumayan bisa di andalkan.""Sudah berapa lama dia kerja dengan Anda?""Setengah tahun ini.""Baru setengah tahun dan Bu Mahika sudah mempercayakan proyek ini padanya? Walaupun Mbak Mahika bilang nanti tetap dipantau oleh orang kepercayaan Pak Robby.""Pengalaman kerjanya banyak, Pak Barra. Dan dia lumayan handal menurut saya.""Tapi saya menolak. Lagian kenapa Bu Mahika mau mundur? Apa Ibu ingin kembali ke Jombang?""Nggak, Pak Barra.""Lantas ....""Saya akan menikah."Barra tersenyum. "Kabar baik ini. Tapi apa Bu Mahika ingin berhenti berkarir? Kenapa proyek yang sudah berjalan baik akan digantikan orang untuk mengawasi.""Nggak juga. Saya akan tetap bekerja." Entahlah, Mahika belum sanggup untuk menjelaskan. Dia mas
Delia masih diam di depan wastafel kamar mandi. Ada yang bergejolak dalam perutnya dan membuat mual. Hanya saja tidak bisa dimuntahkan. Barra dengan sabar mengusap punggungnya. Menemani sampai sang istri merasa nyaman. Barra mengambil satu tali rambut untuk mengikat rambut Delia. Pria itu membawa sang istri keluar kamar mandi dan duduk di tepi pembaringan. Memang semenjak pulang dari New Zealand, Delia sangat sibuk dengan pekerjaan. Istirahat juga kurang."Kamu perlu periksa. Kita ke tempat praktek Samudra sekarang," kata Barra sambil melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Biar Mas telepon Samudra dulu." Barra hendak meraih ponselnya di atas meja rias. Namun Delia menahan lengannya. "Nggak usah, Mas.""Kenapa? Kamu sakit dan pucet gitu. Kamu harus periksa.""Nggak usah," bantah Delia lagi dengan suara meninggi yang membuat Barra bingung dan menatap heran istrinya."Mak Ni bilang kamu juga nggak mau minum obat. Gimana bisa sembuh kalau seperti ini
Siska tampak terkejut bertemu Barra dan Delia. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang pias. Tanpa menyapa, wanita itu melangkah cepat meninggalkan mereka.Delia juga tidak peduli, perutnya yang mual makin terasa hendak muntah melihat wanita itu. Dia segera masuk mobil, begitu pula dengan Barra. Namun Barra penasaran, untuk apa Siska pergi ke dokter kandungan? Bukankah dia tidak memiliki suami?Mobil melaju pelan di tengah lalu lintas kota. Barra masih memikirkan hendak membawa sang istri makan di mana. Sedangkan Delia dengan wajah masam tidak sedikit pun memandang ke arah suaminya. Barra jadi tahu kenapa sepulangnya dari kantor kemarin, sang istri mematikan ponselnya. Ternyata dia tidak hanya kesal tapi marah padanya. Masyaallah, karena dihamili akhirnya dimarahi. Sepanjang perjalanan, mereka juga tidak membahas tentang Siska. Delia benar-benar telah berhenti untuk mengambil tahu tentang kehidupan perempuan mantan dari suaminya."Sayang, mau nggak makan ayam rica-rica di Cak Dasar?