Mata Farhan melebar melihat seseorang yang sangat dikenalnya, saat ini berada di halaman rumahnya. "Erika ...!' Farhan menggeram. kedua tangannya mengepal. Matanya menatap nanar pada wanita yang telah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun yang lalu. Napas Farhan memburu. Kecemasan tingkat tinggi merajai perasaannya kini. Bagaimana tidak. Erika datang saat keluarga besar Nadira sedang berkumpul di rumahnya. Mamak dan ibu mertuanya juga ada di sini. Apa yang akan dia jelaskan nanti? Dia yakin Erika akan nekad. Perempuan itu keinginannya selalu harus terpenuhi. Termasuk agar dirinya segera menceraikan Nadira. Sementara Nadira membelalakkan matanya kala melihat wanita yang sangat persis dengan foto-foto yang di kirim orang tak dikenal ke ponselnya. "Apakah wanita ini yang selalu menerorku akhir-akhir ini?" pikir Nadira dalam hati. Erika masih berusaha untuk masuk ke dalam. Namun security masih belum mengizinkannya. "Mbak Erika, di dalam sedang ada acara keluarga besar Bu Dira. Saya mo
"Uda, mungkin ini sudah saatnya. Mari kita katakan yang sebenarnya pada Mamak danIbu. Setelah itu, ceraikan aku. InsyaAllah aku sudah siap." Parau suara Nadira karena menahan sesak. Susah payah dia menahan agar air mata ini tidak tumpah. Dia tak ingin terlihat rapuh di depan suaminya yang sebentar lagi akan pergi meninggalkannya. Farhan menatap dalam pada manik gelap milik Nadira. Dipandanginya wajah wanita yang sudah setahun ini menjadi istrinya. Kenapa rasa itu baru hadir di saat-saat seperti ini. Rasa takut kehilangan yang kini mengerogoti relung hatinya. Kemana saja dia selama ini. Kenapa baru sekarang dirinya sadar akan arti kehadiran seorang istri sholehah seperti Nadira. Seharusnya dia bersyukur memiliki istri seperti Nadira. Wanita itu tak pernah meminta apapun apalagi menyusahkan dirinya. Bertubi-tubi penyesalan menghantui perasaannya kini. Berkali-kali Farhan merutuki kebodohannya selama ini. "Tidak, Dira. Aku tidak akan menceraikanmu!" Sontak Nadira ternganga mendengar
Wajah Farhan menegang. Saat ini rasa bencinya pada Erika semakin menjadi-jadi. Wanita itu benar-benar telah sukses menghancurkan rumah tangganya. "Tidak! Aku tidak akan menceraikan Dira," tegas Farhan, namun tidak mengurangi sikap hormatnya pada Mamak dan Bu Ani. "Kamu tidak bisa mengelak lagi, Farhan. Mamak yang akan mendampingi Nadira sampai proses perceraian ini tuntas. Perlahan Farhan mendekati Nadira yang duduk di sebelah Bu Ani. "Nadira, tolong katakan pada Mamak, bahwa kita tidak akan bercerai." Farhan memohon pada istrinya dengan raut wajah memelas. Pikiran Nadira saat ini tak lepas dari fofo-foto yang di kirim Erika dalam beberapa hari ini. Betapa mesra suaminya dengan wanita itu. Sungguh hatinya sangat terluka, dan akan lebih terluka lagi jika dia akan tetap bertahan menjadi istri Farhan. "Ayolah, Dira. Katakan pada Mamak! Tolonglah!" Farhan terus memohon pada Nadira yang masih terdiam dan larut dalam pikirannya." Pandangan Nadira beralih pada Suaminya yang berwajah
Mata Farhan melebar melihat sebuah mobil sport keluaran terbaru telah terparkir sempurna di halaman depan rumahnya. Sontak Farhan mendekati mobil mewah tersebut. "Selamat malam, Pak! Saya supir Bu Nadira, mau jemput Ibu." Seorang pria paruh baya dengan pakaian rapi turun dari mobil dan membungkuk hormat pada Farhan. Farhan terkejut bukan main mendengar ucapan pria yang mengaku sebagai supir mantan istrinya itu. "S-supir?" tanya Farhan seraya mengernyitkan dahinya Pria paruh baya itu mengangguk. "Ini mobil siapa, Pak?" tanya Farhan lagi dengan rasa penasaran. "Ini mobil Bu Nadira, Pak." Farhan ternganga tak percaya. Uang dari mana istrinya membeli mobil seharga milyaran ini? Selama ini Nadira hanya di rumah saja. Wanita itu hanya menghabiskan waktunya di depan laptop. Farhan menduga selama ini Nadira hanya senang aktif bermedia sosial. "Apa sebenarnya yang dikerjakan Nadira selama ini?" gumamnya dalam hati. "Eh, Pak Dito sudah sampai. Silakan duduk dulu, Pak. Saya ambil bara
"Sarapan sudah siap, Tuan." Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Farhan. "Iya ...!" sahutnya dari dalam. Hari ini Farhan sangat tidak bersemangat. Rasanya belum lama merasakan kehangatan di rumah ini. Sejak Nafa lahir, pria itu selalu merasa betah di rumah. Kehadiran Nadira sungguh sangat berarti baginya saat ini. Farhan tak menikmati sarapan yang terasa hambar di hadapannya. Sendirian tanpa Nadira membuatnya canggung dan tak bersemangat. Panggilan dari Erika di ponsel kembali mengusiknya. Namun Farhan sama sekali tak berminat untuk mengangkatnya. Dipandangnya kursi kosong di sebelahnya tempat biasa Nadira dengan setia menemaninya sarapan setiap pagi. Walau sudah berkali-kali Farhan mengingatkan untuk tidak usah mempedulikan dirinya, namun mulai sejak awal menikah Nadira tidak pernah absen menemaninya sarapan setiap pagi. Walau Farhan tak menghiraukan kehadiran istrinya di meja makan, Nadira tetap menemaninya sarapan hingga selesai. Bahkan ketika Farhan berbincang mesra lewat pon
"Ikutlah dengan kami pulang ke kampung!" Sudah ketiga kalinya Bu Ani mengajak Nadira untuk pulang. Semalam mereka mendapat kabar dari kampung bahwa nenek sakit keras dan masuk rumah sakit. Bu Ani dan Mamak memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. "Maaf, Bu, Dira indak bisa. Selain Nafa masih kecil, Dira juga masih menjalankan masa iddah," jelas Nadira. Wajah Bu Ani tampak sedih. Sesungguhnya dia mengerti dengan alasan yang disampaikan anak perempuan satu-satunya itu. Namun wanita paruh baya itu sangat berat meninggalkan Nadira sendirian dalam keadaan sekarang ini. Sejak bercerai dengan Farhan sebulan yang lalu, Nadira memang tidak pernah kemana-mana. Semua pekerjaannya masih dia kerjakan dari rumah. Sesekali Farhan datang menengok Nafa. Nadira memang tidak pernah melarang Farhan untuk datang. Hanya saja wanita itu sering mengingatkan agar Farhan tidak terlalu sering datang. Karena beberapa kali Erika masih mengacamnya. Farhan pun mengerti. Mantan suami ,Nadira itu jug
Farhan terhenyak melihat kertas yang berada ditangannya. Dibacanya perlahan lembaran yang bertuliskan 'Akte Cerai' dengan namanya dan nama Nadira tertera di sana. "A-apa ini?" Seperti orang linglung, Farhan bertanya pada Nadira. "I-itu s-surat cerai ki ... ta, Uda." Nadira pun terbata-bata ketika melihat wajah pias mantan suaminya. Entah kenapa saat ini dia juga merasakan kesedihan yang luar biasa. Namun sekuat tenaga dia tahan agar buliran bening itu tidak tumpah. Sebisa mungkin dia tak akan menangis di depan mantan suaminya itu. Dengan susah payah Farhan menghirup oksigen di sekitarnya. Kali ini dirinya seakan sangat sulit untuk bernapas. Dadanya bagaikan terhimpit batu yang sangat besar. Betapa sesak rasanya menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa Nadira bukanlah istrinya lagi. Bagaimana jika ada pria lain yang mendekatinya? Farhan sangat tidak rela. Nadira adalah wanita terbaik dan terhebat yang dia kenal. Walaupun baru belakangan ini dia menyadari hal itu. Sesaat terlintas
"Sore Pak Farhan. PT. Narashop ingin membahas tentang penawaran kerjasama yang kita tawarkan tempo hari." Seketika wajah Farhan berbinar mendengar kabar berita dari sekretarisnya. Sontak pulpen dan dokumen yang berada di genggamanmya dia lepaskan. Memilih untuk lebih fokus pada pembahasan PT Narashop. "Tolong jadwalkan pertemuanku dengan pihak Narashop. Oh, ya. Aku ingin menghandle langsung proyek ini. Pastikan Aku langsung bertemu dengan CEO dari PT Narashop," perintah Farhan bersemangat. "Baik, Pak." "Usahakan secepatnya. Aku ingin pertemuan diadakan di kantor mereka. Kalau bisa besok siang." "Besok siang?" Sekretaris itu tampak terheran melihat Farhan yang sangat bersemangat untuk proyek kerjasama kali ini. "Ya, pastikan besok siang aku bisa bertemu dengan pemilik dari Narashop itu," tegas Farhan seraya bersiap untuk pulang. "Baik, Pak," sahut sekretaris itu lagi seraya pamit undur diri. Setelah mematikan laptopnya, Farhan beranjak dari kursinya kemudian melangkah hendak k
"CCTV! Ya, aku belum melihat CCTV itu sampai tuntas," pikir Neil sambil menatap iba pada Tiara. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam yang dirasakan Neil saat ini. Tiara banyak berubah. Mantan sekretarisnya yang dulu begitu cekatan, energik dan ceria, kini menjadi lebih pendiam. Bahkan Tiara sangat menderita. "Ini semua karena aku. Aku yang menyebabkan dia seperti ini," sesal Neil dalam hati dengan rasa sesak yang begitu menghimpit. Perlahan ia mendekati Tiara. Namun istrinya itu melangkah mundur. "Tia ... kenapa?" Tiara menggeleng. "Jangan, Pak. Aku nggak pantas lagi jadi istri Bapak." Suara Tiara serak, tubuhnya terduduk di ranjang sambil memeluk kedua kakinya. "Tolong jangan bicara seperti itu!" Dada Neil bergemuruh. Sesaat ia menatap istrinya yang tertunduk dengan pandangan kosong. Setelah menghela napas panjang, ia kembali berbicara. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Setelah aku mandi, kita makan." Dengan langkah berat Neil meninggalkan Tiara dan masuk ke kamar mandi. I
"Siapkan uang untuk saya sebanyak satu milyar dari uang pribadi Neil!" Suara Erika cukup keras memberikan perintah pada Joe. "M-maksud Bu Erika? M-maaf, Bu, s-saya tidak berani mengeluarkan uang tanpa izin pimpinan." Joe menjawab dengan takut-takut. Ia sangat paham dengan karakter Erika yang tidak mau dibantah. "Hei! Kamu pikir saya siapa? Kamu nggak menghargai saya? Uang Neil itu juga uang saya! Ngerti, kamu?" Nada bicara Erika mulai meninggi. Wanita itu juga menggebrak meja Joe secara spontan hingga mengeluarkan suara yang sangat keras. Joe makin gugup dan gemetar. Erika melotot dengan tatapan penuh amarah padanya. "Siapkan uang itu sekarang juga! Cepaat!" Erika yang sudah panik karena kedatangan para penagih hutang ke rumahnya, membuat emosinya tidak dapat terkontrol. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu hari ini juga. Erika makin gelisah, hingga ia tidak menyadari bahwa seseorang sejak tadi berdiri di depan pintu ruangan itu, memandangnya dengan geram. "Untu
"Tiara ... Aku mau ...." Wajah Neil kian mendekat pada Tiara hingga wanita itu menjadi gugup. "Jangan aneh-aneh deh, Pak!" gumam Tiara dengan wajah bersemu kemerahan. Saat ini Neil menatapnya penuh damba. "Habisnya kamu cantik banget. Wangi!"bisik Neil. Satu tangannya mulai menyentuh tengkuk Tiara. Keduanya saling menatap penuh cinta. Kalau saja Tiara tidak sedang sakit, entah apa yang akan terjadi. Saat ini Neil berusaha menahan diri untuk tidak menuruti keinginan hatinya. "Aku mandi dulu. Istirahatlah!" Akhirnya Neil meninggalkan sebuah kecupan hangat di kening Tiara, sebelum ia masuk ke kamar mandi. Tiara mengangguk. Ia tersenyum lega dan langsung merebahkan tubuhnya setelah menyiapkan pakaian untuk Neil. Keluar dari kamar mandi, Neil menemukan Tiara sudah terlelap. Setelah berpakaian, ia menyelimuti tubuh Tiara dan kembali mencium wajah cantik itu dengan sangat pelan. Ia tidak mau sampai Tiara terganggu. Malam itu, Neil memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Banyak ha
"Tiara ... Tiara ...!" "Astaga, Pak! Itu ada orang-orang kantor!" Wajah Tiara memucat. "Bagaimana ini, Pak?" Tiara panik. "Buka saja kacanya." Neil menjawab tenang. Perlahan Tiara memutar tubuhnya menghadap kaca. Nampak tiga orang wanita berpakaian ala kantoran yang tak sabar ingin melihat ada apa di balik kaca mobil itu. Tiara mulai menekan tombol pada sisi pintu. Kaca pun perlahan turun. "Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Itu beneran Tiara. Woi, Tiara, lo ngapain mesum sama om-om di dalam mobil?" Seorang wanita dengan tidak sabarnya melongokan sedikit kepalanya. Mereka memang tidak melihat jelas siapa yang ada bersama Tiara tadi. Sedangkan yang lainnya ikut berusaha mengintip dari kaca lainnya yang ternyata cukup gelap. "Mana tuh Om-Om? Kok, nggak ada?" "Siapa yang Om-Om?" Seketika para wanita itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara bariton yang begitu mendominan. "Hah, Bos Neil?" sontak wajah,-wajah penuh rasa penasaran tadi berubah pucat. Mereka menyadari pakaian y
"Tiara ... Tiara ..!" Bagai orang kesetanan Neil berlari dengan wajah panik menuju area parkir. Ia tak manghiraukan panggilan Vivi dan security yang ia lewati. "Hei, mau apa kalian?" Neil berteriak dari kejauhan melihat tiga orang pria bertubuh besar berada di sekitar mobilnya. Pria bule bertubuh tinggi itu mempercepat larinya. Namun, tiga pria tak dikenal itu telah melesat pergi. "Tiara ... Tiara ..., ini aku! Tolong buka pintunya!" Tiara menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menangis dan menjerit. Teriakan Neil yang awalnya tidak terdengar, membuatnya bergegas membuka pintu saat wajah suaminya itu muncul di balik kaca. "Pak, ... Pak ... aku takut." "Tiara ... tenanglah. Ada aku ... tenanglah!" Neil bergegas menarik tubuh Tiara dan langsung mendekapnya. Ciuman bertubi-tubi ia layangkan ke puncak kepala Tiara agar istrinya itu tenang. Pras membelai kepala Tiara penuh kasih sayang. Sesekali matanya terpejam seakan sedang menikmati pelukan hangat mereka. "Astaga, Nei
"Istirahatlah sejenak. Tunggu Aku di sini sebentar. Aku akan menemui Nadira di dalam sana!" pinta Neil pada Tiara. Lalu pria bule itu keluar dari dalam mobilnya. Hari ini Tiara sudah boleh pulang oleh dokter. Sejak kemarin Neil tidak pulang ke rumahnya. Ia tidak mau meninggalkan Tiara sedetikpun. Ia tidak mau ceroboh lagi hingga keselamatan Tiara terancam. Pulang dari rumah sakit, Neil langsung menuju NaraShop hendak menemui Nadira. Sebagian besar saham pribadinya ada di sana. Ia akan membicarakan masalahnya pada sahabatnya itu. "Nadira? Bukankah itu nama wanita yang dulu pernah dekat dengan Pak Neil?" Tiara gelisah dalam hati. Ia khawatir Neil akan kembali mengingat cinta lamanya pada wanita itu. Dulu, sebelum menikahi Erika, sedikit banyak Tiara mengetahui tentang kisah cinta bosnya itu. Ia tau sudah sejak lama Neil mencintai Nadira. Apapun akan ia lakukan demi NaraShop, termasuk menanamkan sebagian besar sahamnya demi kemajuan perusahaan itu. Karena itulah Tiara menunggu N
"Mami ..." Neil sontak berdiri. Namun satu tangannya meraih jemari Tiara dan mengenggamnya erat. Wajah istri simpanannya itu nampak cemas dan ketakutan. Ia sangat mengenali Nyonya Helda yang sangat tegas. Nyonya Helda menatap Tiara tajam penuh kebencian. "Perempuan murahan kamu. Berani-beraninya kamu menggoda anakku. Berapa uang yang kamu inginkan? Katakan saja!" Wanita yang dipanggil Mami oleh Neil itu berkata dengan emosi yang meletup-letup dan napas yang memburu. "M-maafkan saya, Nyonya Helda!' parau suara Tiara yang menunduk, tak sanggup menerima tatapan dari wanita paruh baya iru. "Sudah jangan banyak bicara, katakan berapa uang yang kamu inginkan, lalu tinggalkan putraku!" "Mami ..., Apa-apaan ini?" protes Neil. Genggamannya pada jemari Tiara samakin erat. Pertanda dia tak ingin berpisah dari Tiara. Sementara Tiara hanya diam tak menjawab. Wanita itu hanya duduk menunduk menahan gemuruh di dada. "Neil, tinggalkan wanita murahan ini, dan kembalilah pada Erika!' Ucapan te
Neil kembali tiba di rumah sakit. Ia masuk ke ruang UGD untuk menghampiri Tiara. Namun dia tak menemukan istrinya di tempat terakhir dia meninggalkannya tadi.. "Suster, istri saya dipindahkan ke mana?" "Ibu Tiara sudah kami pindahkam ke ruang rawat VIP Pak. Di kamar 105." Setelah mendapat jawaban dari salah satu perawat UGD, Neil langsung menuju ruang VIP dengan setengah berlari. Ia sangat mengkhawatirkan keadaanTiara saat ini. Neil berhenti tepat di depan kamar dengan nomor pintu 105. Perlahan membuka handle pintu agar tak mengeluarkan suara yang akan mengganggu istrinya. Hati pria bule itu mencelos melihat Tiara masih menangis sambil berbaring. Wanita itu pasti sangat sedih. Rasa sedih yang berlipat-lipat dirasakan Tiara saat ini." Tiara ..." Neil meraih kursi dan duduk tepat disamping Tiara. Tangannya membelai lembut kepala istrinya. "Tiara ..., sudah ya. Jangan menangis lagi. Ini semua salahku. Seharusnya aku tak meninggalkanmu." Tiara masih tak mau menoleh padanya. Tatap
Neil baru saja memasuki gerbang rumahnya. Amarahnya semakin meledak-ledak ketika melihat mobil Erika telah berada di depan garasi. Setelah memarkir mobilnya, Neil keluar dan melangkah cepat menuju ke dalam rumah. "Erika ... Erika ...!" Bagai orang kesetanan Neil memanggil-manggil nama istrinya di sekeliling rumah. "Neil, apa-apaan kamu memanggil nama istrimu seperti itu?" Neil terlonjak dan membalikkan badannya ketika mendengar suara yang selama ini sangat dekat dengannya. "Mami ...! Ka-kapan Mami datang?" Wanita cantik berusia sekitar lima puluhan itu nampak jauh lebih muda dari umurnya. Nyonya Helda, ibu kandung Neil itu menghampiri putra tersayangnya. Neil memeluk dan mencium kedua pipi maminya. "Kapan Mami datang? Kenapa nggak ngabarin Aku?" "Duduklah, Neil!" Neil duduk di sebelah Maminya. Walau sebenarnya hatinya sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya terus tertuju pada Tiara. Sementara matanya terus mencari keberadaan Erika. "Ketika Mami sedang di Bali kemarin, Erik