"Sore Pak Farhan. PT. Narashop ingin membahas tentang penawaran kerjasama yang kita tawarkan tempo hari." Seketika wajah Farhan berbinar mendengar kabar berita dari sekretarisnya. Sontak pulpen dan dokumen yang berada di genggamanmya dia lepaskan. Memilih untuk lebih fokus pada pembahasan PT Narashop. "Tolong jadwalkan pertemuanku dengan pihak Narashop. Oh, ya. Aku ingin menghandle langsung proyek ini. Pastikan Aku langsung bertemu dengan CEO dari PT Narashop," perintah Farhan bersemangat. "Baik, Pak." "Usahakan secepatnya. Aku ingin pertemuan diadakan di kantor mereka. Kalau bisa besok siang." "Besok siang?" Sekretaris itu tampak terheran melihat Farhan yang sangat bersemangat untuk proyek kerjasama kali ini. "Ya, pastikan besok siang aku bisa bertemu dengan pemilik dari Narashop itu," tegas Farhan seraya bersiap untuk pulang. "Baik, Pak," sahut sekretaris itu lagi seraya pamit undur diri. Setelah mematikan laptopnya, Farhan beranjak dari kursinya kemudian melangkah hendak k
Apa kabar, Dira?" Farhan memecah kecanggungan diantara mereka."Alhamdulilah Baik, Uda," sahut Nadira seraya menjatuhkan bobotnya pada sofa. "Apa anak kita sehat-sahat?" tanya Farhan lagi."Nafa insyaAllah sehat," jawab Nadira tersenyum."Maaf, aku datang lebih awal. Mungkin mengganggu waktumu. Tapi jika tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang di luar. Bagaimana?" Farhan sangat bersemangat. Pria itu berharap Nadira memenuhi ajakannya."Makan siang?" Nadira berpikir sejenak. Sungguh ini suatu kejutan baginya. Selama menikah dengan Farhan tak pernah sekalipun pria itu mengajaknya pergi. Apalagi untuk makan berdua di luar. Sekilas teringat olehnya jika dulu setiap libur Farhan tidak pernah berada di rumah. Apalagi jika malam minggu. Farhan selalu pulang hingga larut malam. Dia menduga saat itu suaminya pasti habis berkencan dengan Erika.Namun saat ini, ternyata Farhan mengajaknya untuk makan siang diluar berdua saja. Sungguh sesuatu yang tak pernah dia duga sebelumnya. "Iy
Farhan membelokkan mobilnya pada salah satu restorant padang ternama yang tidak begitu jauh dari kantor Nadira. Setelah memarkir mobilnya di halaman parkir, Farhan keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nadira. Mereka melangkah dan masuk ke dalam restorant. "Selamat siang, Pak. Silakan ..!" Seorang pelayan menyambut kami di depan pintu. "Private room apa masih ada yang kosong?" tanya Farhan. "Ada di atas, Pak. Mari saya antar!" Farhan meminta Nadira untuk berjalan di depannya dan mengikuti pelayan itu. Sebuah ruangan berdinding kaca yang dirancang untuk satu keluarga cukup luas, diisi oleh hanya mereka berdua. Beberapa pelayan mulai meletakkan nasi serta lauk pauk di atas meja. "Dira mau tambah martabak atau sate ?" "Tidak usah, ini sudah cukup, Uda," tolak Nadira secara halus. Mereka mulai makan dengan sesekali berbincang ringan. Farhan berkali-kali tersenyum dan mencuri pandang pada Nadira. Sungguh rasanya waktu tak ingin berlalu. Setelah makan, Mereka mulai
"Hei, Bung! Kamu tidak dengar, hah? LEPASKAN NADIRA..!!!" Sontak keduanya menoleh pada arah suara yang menggelegar itu. Nadira berkesempatan melepaskan diri dari dekapan Neil. "Memangnya Anda siapanya?" Neil memandang sinis pada Farhan.. "Saya ... adalah ...." Ucapan Farhan terhenti, matanya beralih menatap manik indah milik Nadira. Sesaat mereka saling pandang. Neil menoleh pada Nadira dengan tatapan penuh tanda tanya. Dirinya berharap Nadira dan Farhan tidak ada hubungan apa-apa. Namun saat ini dia begitu sangat ingin tahu dari mulut Nadira sendiri. "Neil, Farhan adalah ... mantan suamiku." gumam Nadira yang terdengar jelas oleh Neil dan Farhan. Sungguh Neil sangat terkejut. Pasalnya dia tidak pernah tau kalau Nadira telah menikah setahun yang lalu. Namun pria bule itu segera menyembunyikan keterkejutannya. "Oh, cuma mantan. Oke, oke. Maafkan Aku. Tadi aku terlalu bersemangat dan sangat merindukanmu, Nara." Neil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Nadira mengangguk
Pesawat yang ditumpangi Nadira dan Farhan baru saja mendarat di Bandara internasional Minangkabau. Farhan mendorong stroller Nafa menuju tempat pengambilan koper. Sementara Nadira melangkah di sampingnya. "Tunggulah di sini bersama Nafa. Aku ambil koper kita dulu." "Baik, Uda," jawab Nadira seraya mengambil alih stroller Nafa dari tangan Farhan. Mantan suaminya itu kemudian melangkah menuju tempat pengambilan koper. Sementara Nadira berdiri di tepi ruangan besar itu menunggu Farhan kembali. Nafa masih tertidur. Di pesawat tadi Nafa sudah kenyang minum ASI melalui botol susu. Nadira memang membawa beberapa botol stok ASI. Wanita yang saat ini memakai switer coklat muda itu tersenyum mengingat perhatian Farhan selama berada di pesawat tadi. Farhan bersedia menggantikan memangku Nafa dan memberi kesempatan pada Nadira untuk tidur beberapa saat. Nadira memang merasakan sangat lelah, walaupun dia juga tahu Farhan pun belum istirahat sejak pulang dari kantor tadi. Namun Farhan seperti
"Tenanglah. Jangan cemas! Kita hadapi bersama." Farhan mencoba menenangkan Nadira yang nampak pucat karena cemas. Mantan istrinya itu tidak pernah membantah orang tua. Oleh sebab itu dia begitu ketakutan saat ini. Mobil berhenti di depan rumah gadang yang sudah tak asing lagi bagi Nadira. Rumah gadang tempat Nadira dan Farhan bersanding ketika baralek gadang setahun yang lalu. Malam itu hati Nadira sangat berbunga-bunga, dipersunting oleh seorang pria tampan pilihan Ibu dan Mamaknya. Sepanjang malam baralek itu sebuah harapan hadir dalam hidupnya untuk meraih kebahagiaan bersama suaminya. Pada malam itu juga telah terpatri dalam dirinya untuk patuh dan berbakti pada suaminya kelak. Namun apa yang terjadi semua bertolak belakang. Harapan yang dia impikan tak menjadi kenyataan. "Dira, kita sudah sampai. Ayo kita turun!" "Astaghfirullah. Maaf, Uda!" Suara Farhan membuat Nadira tersentak dari lamunannya. Halaman rumah gadang masih tampak sepi. Beberapa anak-anak kecil sedang bermain
"Bagaimana bisa kamu pulang bersama dengan si Farhan itu?" tanya Bu Ani siang itu setelah Nadira menidurkan Nafa. "Uda Farhan tak mungkin melepas Nafa hanya berdua denganku untuk melakukan perjalanan jauh, Bu. Apalagi perjalanan ini mendadak tanpa ada persiapan. Oh ya, kenapa nenek tidak kita bawa saja ke rumah sakit, Bu?" "Nenekmu sudah tua, dia hanya ingin bertemu denganmu. Lihat saja, setelah melihatmu beliau nampak lebih sehat dan sudah mau makan," sahut Bu Ani sambil mamandang Nenek Suna yang sudah berumur sekitar tujuh puluhan. Wanita tua bertubuh kurus itu terbaring di atas ranjang di ujung ruang utama rumah gadang itu. "Tapi bagaimanapun juga penyakit nenek harus diperiksa, Bu! Ayolah, masalah biaya, biar Dira yang urus semuanya." Nadira terus mendesak. "Sudahlah, Dira ..., Aku tak apa. Aku hanya mau melihatmu bahagia." suara serak Nek Suna terdengar pelan. Nadira perlahan menghampiri Nek Suna. "Dira sudah bahagia, Nek. Jangan terlalu memikirkan Dira," ucap Nadira ters
"Nadira ..., Nadira! Kemarilah! Ini Mamakmu sudah menunggu!" Panggilan berkali-kali dari Bu Ani membuat Nadira semakin panik. Dia masih duduk di ranjang sambil memangku Nafa. "Uda Farhan, perjuangan kita baru akan dimulai. Entah kenapa aku begitu yakin ingin bersatu kembali denganmu. Padahal aku belum memastikan apakah kamu masih berhubungan dengan wanita itu atau tidak. Namun hatiku yang terdalam kini merasakan ketulusan cintamu. Mungkin karena adanya Nafa di antara kita. Sebagai pengikat rasa antara aku dan kamu. Bismilah ...." Nadira meyakinkan diri dalam hati dan kemudian bangkit berdiri. Dengan menggendong Nafa, Nadira melangkah keluar dari kamarnya menuju tempat Mamak dan Ibunya duduk di ruang utama rumah gadang. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam." Nadira masih menunduk dan mengambil tempat duduk persis di sebelah ibunya. Ruang utama rumah gadang yang memanjang sudah dialasi permadani yang biasa di gelar jika akan ada tamu istimewa. "Ssstt ... kenapa tidak pakai baju
"CCTV! Ya, aku belum melihat CCTV itu sampai tuntas," pikir Neil sambil menatap iba pada Tiara. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam yang dirasakan Neil saat ini. Tiara banyak berubah. Mantan sekretarisnya yang dulu begitu cekatan, energik dan ceria, kini menjadi lebih pendiam. Bahkan Tiara sangat menderita. "Ini semua karena aku. Aku yang menyebabkan dia seperti ini," sesal Neil dalam hati dengan rasa sesak yang begitu menghimpit. Perlahan ia mendekati Tiara. Namun istrinya itu melangkah mundur. "Tia ... kenapa?" Tiara menggeleng. "Jangan, Pak. Aku nggak pantas lagi jadi istri Bapak." Suara Tiara serak, tubuhnya terduduk di ranjang sambil memeluk kedua kakinya. "Tolong jangan bicara seperti itu!" Dada Neil bergemuruh. Sesaat ia menatap istrinya yang tertunduk dengan pandangan kosong. Setelah menghela napas panjang, ia kembali berbicara. "Ya sudah, kamu istirahat dulu. Setelah aku mandi, kita makan." Dengan langkah berat Neil meninggalkan Tiara dan masuk ke kamar mandi. I
"Siapkan uang untuk saya sebanyak satu milyar dari uang pribadi Neil!" Suara Erika cukup keras memberikan perintah pada Joe. "M-maksud Bu Erika? M-maaf, Bu, s-saya tidak berani mengeluarkan uang tanpa izin pimpinan." Joe menjawab dengan takut-takut. Ia sangat paham dengan karakter Erika yang tidak mau dibantah. "Hei! Kamu pikir saya siapa? Kamu nggak menghargai saya? Uang Neil itu juga uang saya! Ngerti, kamu?" Nada bicara Erika mulai meninggi. Wanita itu juga menggebrak meja Joe secara spontan hingga mengeluarkan suara yang sangat keras. Joe makin gugup dan gemetar. Erika melotot dengan tatapan penuh amarah padanya. "Siapkan uang itu sekarang juga! Cepaat!" Erika yang sudah panik karena kedatangan para penagih hutang ke rumahnya, membuat emosinya tidak dapat terkontrol. Bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan uang itu hari ini juga. Erika makin gelisah, hingga ia tidak menyadari bahwa seseorang sejak tadi berdiri di depan pintu ruangan itu, memandangnya dengan geram. "Untu
"Tiara ... Aku mau ...." Wajah Neil kian mendekat pada Tiara hingga wanita itu menjadi gugup. "Jangan aneh-aneh deh, Pak!" gumam Tiara dengan wajah bersemu kemerahan. Saat ini Neil menatapnya penuh damba. "Habisnya kamu cantik banget. Wangi!"bisik Neil. Satu tangannya mulai menyentuh tengkuk Tiara. Keduanya saling menatap penuh cinta. Kalau saja Tiara tidak sedang sakit, entah apa yang akan terjadi. Saat ini Neil berusaha menahan diri untuk tidak menuruti keinginan hatinya. "Aku mandi dulu. Istirahatlah!" Akhirnya Neil meninggalkan sebuah kecupan hangat di kening Tiara, sebelum ia masuk ke kamar mandi. Tiara mengangguk. Ia tersenyum lega dan langsung merebahkan tubuhnya setelah menyiapkan pakaian untuk Neil. Keluar dari kamar mandi, Neil menemukan Tiara sudah terlelap. Setelah berpakaian, ia menyelimuti tubuh Tiara dan kembali mencium wajah cantik itu dengan sangat pelan. Ia tidak mau sampai Tiara terganggu. Malam itu, Neil memilih menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Banyak ha
"Tiara ... Tiara ...!" "Astaga, Pak! Itu ada orang-orang kantor!" Wajah Tiara memucat. "Bagaimana ini, Pak?" Tiara panik. "Buka saja kacanya." Neil menjawab tenang. Perlahan Tiara memutar tubuhnya menghadap kaca. Nampak tiga orang wanita berpakaian ala kantoran yang tak sabar ingin melihat ada apa di balik kaca mobil itu. Tiara mulai menekan tombol pada sisi pintu. Kaca pun perlahan turun. "Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Itu beneran Tiara. Woi, Tiara, lo ngapain mesum sama om-om di dalam mobil?" Seorang wanita dengan tidak sabarnya melongokan sedikit kepalanya. Mereka memang tidak melihat jelas siapa yang ada bersama Tiara tadi. Sedangkan yang lainnya ikut berusaha mengintip dari kaca lainnya yang ternyata cukup gelap. "Mana tuh Om-Om? Kok, nggak ada?" "Siapa yang Om-Om?" Seketika para wanita itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara bariton yang begitu mendominan. "Hah, Bos Neil?" sontak wajah,-wajah penuh rasa penasaran tadi berubah pucat. Mereka menyadari pakaian y
"Tiara ... Tiara ..!" Bagai orang kesetanan Neil berlari dengan wajah panik menuju area parkir. Ia tak manghiraukan panggilan Vivi dan security yang ia lewati. "Hei, mau apa kalian?" Neil berteriak dari kejauhan melihat tiga orang pria bertubuh besar berada di sekitar mobilnya. Pria bule bertubuh tinggi itu mempercepat larinya. Namun, tiga pria tak dikenal itu telah melesat pergi. "Tiara ... Tiara ..., ini aku! Tolong buka pintunya!" Tiara menutup wajah dengan kedua tangannya sambil menangis dan menjerit. Teriakan Neil yang awalnya tidak terdengar, membuatnya bergegas membuka pintu saat wajah suaminya itu muncul di balik kaca. "Pak, ... Pak ... aku takut." "Tiara ... tenanglah. Ada aku ... tenanglah!" Neil bergegas menarik tubuh Tiara dan langsung mendekapnya. Ciuman bertubi-tubi ia layangkan ke puncak kepala Tiara agar istrinya itu tenang. Pras membelai kepala Tiara penuh kasih sayang. Sesekali matanya terpejam seakan sedang menikmati pelukan hangat mereka. "Astaga, Nei
"Istirahatlah sejenak. Tunggu Aku di sini sebentar. Aku akan menemui Nadira di dalam sana!" pinta Neil pada Tiara. Lalu pria bule itu keluar dari dalam mobilnya. Hari ini Tiara sudah boleh pulang oleh dokter. Sejak kemarin Neil tidak pulang ke rumahnya. Ia tidak mau meninggalkan Tiara sedetikpun. Ia tidak mau ceroboh lagi hingga keselamatan Tiara terancam. Pulang dari rumah sakit, Neil langsung menuju NaraShop hendak menemui Nadira. Sebagian besar saham pribadinya ada di sana. Ia akan membicarakan masalahnya pada sahabatnya itu. "Nadira? Bukankah itu nama wanita yang dulu pernah dekat dengan Pak Neil?" Tiara gelisah dalam hati. Ia khawatir Neil akan kembali mengingat cinta lamanya pada wanita itu. Dulu, sebelum menikahi Erika, sedikit banyak Tiara mengetahui tentang kisah cinta bosnya itu. Ia tau sudah sejak lama Neil mencintai Nadira. Apapun akan ia lakukan demi NaraShop, termasuk menanamkan sebagian besar sahamnya demi kemajuan perusahaan itu. Karena itulah Tiara menunggu N
"Mami ..." Neil sontak berdiri. Namun satu tangannya meraih jemari Tiara dan mengenggamnya erat. Wajah istri simpanannya itu nampak cemas dan ketakutan. Ia sangat mengenali Nyonya Helda yang sangat tegas. Nyonya Helda menatap Tiara tajam penuh kebencian. "Perempuan murahan kamu. Berani-beraninya kamu menggoda anakku. Berapa uang yang kamu inginkan? Katakan saja!" Wanita yang dipanggil Mami oleh Neil itu berkata dengan emosi yang meletup-letup dan napas yang memburu. "M-maafkan saya, Nyonya Helda!' parau suara Tiara yang menunduk, tak sanggup menerima tatapan dari wanita paruh baya iru. "Sudah jangan banyak bicara, katakan berapa uang yang kamu inginkan, lalu tinggalkan putraku!" "Mami ..., Apa-apaan ini?" protes Neil. Genggamannya pada jemari Tiara samakin erat. Pertanda dia tak ingin berpisah dari Tiara. Sementara Tiara hanya diam tak menjawab. Wanita itu hanya duduk menunduk menahan gemuruh di dada. "Neil, tinggalkan wanita murahan ini, dan kembalilah pada Erika!' Ucapan te
Neil kembali tiba di rumah sakit. Ia masuk ke ruang UGD untuk menghampiri Tiara. Namun dia tak menemukan istrinya di tempat terakhir dia meninggalkannya tadi.. "Suster, istri saya dipindahkan ke mana?" "Ibu Tiara sudah kami pindahkam ke ruang rawat VIP Pak. Di kamar 105." Setelah mendapat jawaban dari salah satu perawat UGD, Neil langsung menuju ruang VIP dengan setengah berlari. Ia sangat mengkhawatirkan keadaanTiara saat ini. Neil berhenti tepat di depan kamar dengan nomor pintu 105. Perlahan membuka handle pintu agar tak mengeluarkan suara yang akan mengganggu istrinya. Hati pria bule itu mencelos melihat Tiara masih menangis sambil berbaring. Wanita itu pasti sangat sedih. Rasa sedih yang berlipat-lipat dirasakan Tiara saat ini." Tiara ..." Neil meraih kursi dan duduk tepat disamping Tiara. Tangannya membelai lembut kepala istrinya. "Tiara ..., sudah ya. Jangan menangis lagi. Ini semua salahku. Seharusnya aku tak meninggalkanmu." Tiara masih tak mau menoleh padanya. Tatap
Neil baru saja memasuki gerbang rumahnya. Amarahnya semakin meledak-ledak ketika melihat mobil Erika telah berada di depan garasi. Setelah memarkir mobilnya, Neil keluar dan melangkah cepat menuju ke dalam rumah. "Erika ... Erika ...!" Bagai orang kesetanan Neil memanggil-manggil nama istrinya di sekeliling rumah. "Neil, apa-apaan kamu memanggil nama istrimu seperti itu?" Neil terlonjak dan membalikkan badannya ketika mendengar suara yang selama ini sangat dekat dengannya. "Mami ...! Ka-kapan Mami datang?" Wanita cantik berusia sekitar lima puluhan itu nampak jauh lebih muda dari umurnya. Nyonya Helda, ibu kandung Neil itu menghampiri putra tersayangnya. Neil memeluk dan mencium kedua pipi maminya. "Kapan Mami datang? Kenapa nggak ngabarin Aku?" "Duduklah, Neil!" Neil duduk di sebelah Maminya. Walau sebenarnya hatinya sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya terus tertuju pada Tiara. Sementara matanya terus mencari keberadaan Erika. "Ketika Mami sedang di Bali kemarin, Erik