Farhan terhenyak melihat kertas yang berada ditangannya. Dibacanya perlahan lembaran yang bertuliskan 'Akte Cerai' dengan namanya dan nama Nadira tertera di sana. "A-apa ini?" Seperti orang linglung, Farhan bertanya pada Nadira. "I-itu s-surat cerai ki ... ta, Uda." Nadira pun terbata-bata ketika melihat wajah pias mantan suaminya. Entah kenapa saat ini dia juga merasakan kesedihan yang luar biasa. Namun sekuat tenaga dia tahan agar buliran bening itu tidak tumpah. Sebisa mungkin dia tak akan menangis di depan mantan suaminya itu. Dengan susah payah Farhan menghirup oksigen di sekitarnya. Kali ini dirinya seakan sangat sulit untuk bernapas. Dadanya bagaikan terhimpit batu yang sangat besar. Betapa sesak rasanya menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa Nadira bukanlah istrinya lagi. Bagaimana jika ada pria lain yang mendekatinya? Farhan sangat tidak rela. Nadira adalah wanita terbaik dan terhebat yang dia kenal. Walaupun baru belakangan ini dia menyadari hal itu. Sesaat terlintas
"Sore Pak Farhan. PT. Narashop ingin membahas tentang penawaran kerjasama yang kita tawarkan tempo hari." Seketika wajah Farhan berbinar mendengar kabar berita dari sekretarisnya. Sontak pulpen dan dokumen yang berada di genggamanmya dia lepaskan. Memilih untuk lebih fokus pada pembahasan PT Narashop. "Tolong jadwalkan pertemuanku dengan pihak Narashop. Oh, ya. Aku ingin menghandle langsung proyek ini. Pastikan Aku langsung bertemu dengan CEO dari PT Narashop," perintah Farhan bersemangat. "Baik, Pak." "Usahakan secepatnya. Aku ingin pertemuan diadakan di kantor mereka. Kalau bisa besok siang." "Besok siang?" Sekretaris itu tampak terheran melihat Farhan yang sangat bersemangat untuk proyek kerjasama kali ini. "Ya, pastikan besok siang aku bisa bertemu dengan pemilik dari Narashop itu," tegas Farhan seraya bersiap untuk pulang. "Baik, Pak," sahut sekretaris itu lagi seraya pamit undur diri. Setelah mematikan laptopnya, Farhan beranjak dari kursinya kemudian melangkah hendak k
Apa kabar, Dira?" Farhan memecah kecanggungan diantara mereka."Alhamdulilah Baik, Uda," sahut Nadira seraya menjatuhkan bobotnya pada sofa. "Apa anak kita sehat-sahat?" tanya Farhan lagi."Nafa insyaAllah sehat," jawab Nadira tersenyum."Maaf, aku datang lebih awal. Mungkin mengganggu waktumu. Tapi jika tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang di luar. Bagaimana?" Farhan sangat bersemangat. Pria itu berharap Nadira memenuhi ajakannya."Makan siang?" Nadira berpikir sejenak. Sungguh ini suatu kejutan baginya. Selama menikah dengan Farhan tak pernah sekalipun pria itu mengajaknya pergi. Apalagi untuk makan berdua di luar. Sekilas teringat olehnya jika dulu setiap libur Farhan tidak pernah berada di rumah. Apalagi jika malam minggu. Farhan selalu pulang hingga larut malam. Dia menduga saat itu suaminya pasti habis berkencan dengan Erika.Namun saat ini, ternyata Farhan mengajaknya untuk makan siang diluar berdua saja. Sungguh sesuatu yang tak pernah dia duga sebelumnya. "Iy
Farhan membelokkan mobilnya pada salah satu restorant padang ternama yang tidak begitu jauh dari kantor Nadira. Setelah memarkir mobilnya di halaman parkir, Farhan keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nadira. Mereka melangkah dan masuk ke dalam restorant. "Selamat siang, Pak. Silakan ..!" Seorang pelayan menyambut kami di depan pintu. "Private room apa masih ada yang kosong?" tanya Farhan. "Ada di atas, Pak. Mari saya antar!" Farhan meminta Nadira untuk berjalan di depannya dan mengikuti pelayan itu. Sebuah ruangan berdinding kaca yang dirancang untuk satu keluarga cukup luas, diisi oleh hanya mereka berdua. Beberapa pelayan mulai meletakkan nasi serta lauk pauk di atas meja. "Dira mau tambah martabak atau sate ?" "Tidak usah, ini sudah cukup, Uda," tolak Nadira secara halus. Mereka mulai makan dengan sesekali berbincang ringan. Farhan berkali-kali tersenyum dan mencuri pandang pada Nadira. Sungguh rasanya waktu tak ingin berlalu. Setelah makan, Mereka mulai
"Hei, Bung! Kamu tidak dengar, hah? LEPASKAN NADIRA..!!!" Sontak keduanya menoleh pada arah suara yang menggelegar itu. Nadira berkesempatan melepaskan diri dari dekapan Neil. "Memangnya Anda siapanya?" Neil memandang sinis pada Farhan.. "Saya ... adalah ...." Ucapan Farhan terhenti, matanya beralih menatap manik indah milik Nadira. Sesaat mereka saling pandang. Neil menoleh pada Nadira dengan tatapan penuh tanda tanya. Dirinya berharap Nadira dan Farhan tidak ada hubungan apa-apa. Namun saat ini dia begitu sangat ingin tahu dari mulut Nadira sendiri. "Neil, Farhan adalah ... mantan suamiku." gumam Nadira yang terdengar jelas oleh Neil dan Farhan. Sungguh Neil sangat terkejut. Pasalnya dia tidak pernah tau kalau Nadira telah menikah setahun yang lalu. Namun pria bule itu segera menyembunyikan keterkejutannya. "Oh, cuma mantan. Oke, oke. Maafkan Aku. Tadi aku terlalu bersemangat dan sangat merindukanmu, Nara." Neil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Nadira mengangguk
Pesawat yang ditumpangi Nadira dan Farhan baru saja mendarat di Bandara internasional Minangkabau. Farhan mendorong stroller Nafa menuju tempat pengambilan koper. Sementara Nadira melangkah di sampingnya. "Tunggulah di sini bersama Nafa. Aku ambil koper kita dulu." "Baik, Uda," jawab Nadira seraya mengambil alih stroller Nafa dari tangan Farhan. Mantan suaminya itu kemudian melangkah menuju tempat pengambilan koper. Sementara Nadira berdiri di tepi ruangan besar itu menunggu Farhan kembali. Nafa masih tertidur. Di pesawat tadi Nafa sudah kenyang minum ASI melalui botol susu. Nadira memang membawa beberapa botol stok ASI. Wanita yang saat ini memakai switer coklat muda itu tersenyum mengingat perhatian Farhan selama berada di pesawat tadi. Farhan bersedia menggantikan memangku Nafa dan memberi kesempatan pada Nadira untuk tidur beberapa saat. Nadira memang merasakan sangat lelah, walaupun dia juga tahu Farhan pun belum istirahat sejak pulang dari kantor tadi. Namun Farhan seperti
"Tenanglah. Jangan cemas! Kita hadapi bersama." Farhan mencoba menenangkan Nadira yang nampak pucat karena cemas. Mantan istrinya itu tidak pernah membantah orang tua. Oleh sebab itu dia begitu ketakutan saat ini. Mobil berhenti di depan rumah gadang yang sudah tak asing lagi bagi Nadira. Rumah gadang tempat Nadira dan Farhan bersanding ketika baralek gadang setahun yang lalu. Malam itu hati Nadira sangat berbunga-bunga, dipersunting oleh seorang pria tampan pilihan Ibu dan Mamaknya. Sepanjang malam baralek itu sebuah harapan hadir dalam hidupnya untuk meraih kebahagiaan bersama suaminya. Pada malam itu juga telah terpatri dalam dirinya untuk patuh dan berbakti pada suaminya kelak. Namun apa yang terjadi semua bertolak belakang. Harapan yang dia impikan tak menjadi kenyataan. "Dira, kita sudah sampai. Ayo kita turun!" "Astaghfirullah. Maaf, Uda!" Suara Farhan membuat Nadira tersentak dari lamunannya. Halaman rumah gadang masih tampak sepi. Beberapa anak-anak kecil sedang bermain
"Bagaimana bisa kamu pulang bersama dengan si Farhan itu?" tanya Bu Ani siang itu setelah Nadira menidurkan Nafa. "Uda Farhan tak mungkin melepas Nafa hanya berdua denganku untuk melakukan perjalanan jauh, Bu. Apalagi perjalanan ini mendadak tanpa ada persiapan. Oh ya, kenapa nenek tidak kita bawa saja ke rumah sakit, Bu?" "Nenekmu sudah tua, dia hanya ingin bertemu denganmu. Lihat saja, setelah melihatmu beliau nampak lebih sehat dan sudah mau makan," sahut Bu Ani sambil mamandang Nenek Suna yang sudah berumur sekitar tujuh puluhan. Wanita tua bertubuh kurus itu terbaring di atas ranjang di ujung ruang utama rumah gadang itu. "Tapi bagaimanapun juga penyakit nenek harus diperiksa, Bu! Ayolah, masalah biaya, biar Dira yang urus semuanya." Nadira terus mendesak. "Sudahlah, Dira ..., Aku tak apa. Aku hanya mau melihatmu bahagia." suara serak Nek Suna terdengar pelan. Nadira perlahan menghampiri Nek Suna. "Dira sudah bahagia, Nek. Jangan terlalu memikirkan Dira," ucap Nadira ters