Erika memandang langit malam dengan taburan bintang di atas sana. Wanita cantik itu berdiri di balkon kamar dimana dia dan Neil akan menempati. Tujuan hidupnya memiliki suami yang kaya raya telah tercapai. Bahkan Neil memiliki kekayaan yang berkali-kali lipat lebih banyak dari pada Farhan. Kehidupan masa lalunya yang berada di garis kemiskinan membuatnya seperti sekarang ini. Terobsesi untuk memiliki suami yang kaya raya adalah tujuan hidup satu-satunya yang dia cari. Sejak kecil dia hidup menderita bersama orang-orang yang mengasuhnya. Mereka bilang, dia ditemukan oleh para pemulung di tumpukan sampah dekat komplek perumahan elite. Tega sekali orang tuanya membuangnya di tempat itu. Air mata Erika menetes setiap mengngat hal itu. Namun Erika menutup rapat-rapat semua cerita masa lalunya. Tidak ada satupun yang mengetahuinya, ternasuk Neil. Dia mengatakan pada semua orang bahwa sudah sejak lama hidup sebatang kara karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia sejak dia masih k
Erika berdiri terpaku melihat pria yang selama ini dekat dengannya berada tak jauh dari tempat dia berdiri. Farhan, pria tampan yang cukup lama menjadi kekasihnya itu kini sedang bersama wanita lain. Dengan tatapan penuh cinta, Farhan melingkarkan kalung bermata berlian itu di leher Nadira yang terbungkus sempurna oleh hijab. Erika mengigit bibirnya menahan sesak. Sejak lama dia menginginkan kalung itu, namun Farhan tak kunjung membelikan untuknya. "Aku akan memberikan kalung itu padamu nanti di hari yang spesial," ucap Farhan padanya dulu. Setetes embun menggantung di sudut netra Erika. Bagaimanapun juga, Farhan cukup lama mengisi hari-harinya. Siapa yang mengira ternyata mereka akhirnya tak berjodoh. Sekuat apapun dia berusaha untuk meraih kembali pria minang itu, tak akan mampu memisahkan cinta Farhan dan Nadira saat ini. Erika menghela napas panjang demi menguatkan hati. Saat ini dia telah resmi menjadi istri seorang pengusaha muda yang sukses. Apalagi yang dia cari? Tujuan
Hingga sore Erika masih tak mau bicara. Neil bingung dan merasa bersalah. Erika terus mengurung dirinya di kamar. "Aku memang belum mencintaimu. Tapi aku tak pernah berniat melukai hatimu." Satu tangan Neil membelai lembut rambut dan punggung Erika. "Sebenarnya Aku melakukan ini bukan untuk Nadira, tapi untuk menyelamatkan hati kita berdua. Dengan begini, kita bisa saling mengisi kekosongan hati kita." Neil terus mencoba menghibur istrinya. "Udah dong ngambeknya, Erika. Aku nyerah, deh. Sekarang kamu tinggal bilang mau apa, nanti aku belikan." Neil yang mulai paham dengan karakter Erika, mulai bernegosiasi, seraya bersandar pada sisi tepi ranjang. Seperti dugaan Neil, perlahan Erika membalikkan badannya. "Beneran aku boleh minta apa aja?" Neil tersenyum. Begitu mudahnya membuat Erika tak ngambek lagi. "Boleh dooong. Kamu mau apa memangnya?" Neil menangkupkan kedua tangannya membingkai wajah tirus milik Erika. "Aku ... aku mau kalung dan cincin berlian persis seperti milik Nad
Farhan berdiri di pintu ruang ganti yang berada di belakang ballroom sejak tadi. Dia menatap istrinya yang sedang membuka suntiang dibantu oleh seorang penata rias pengantin. Farhan sudah berganti pakaian sejak tadi. Dia berdecak kesal karena telah menunggu Nadira yang tak kunjung selelsai. "Aku tunggu di luar," ujarnya seraya melangkah kembali ke ballroom. Farhan duduk di salah satu kursi tamu yang masih tersisa seraya membuka ponselnya. Mulai membalas satu persatu ucapan selamat dari kerabat yang berhalangan hadir. "Uda sendiri? Mana Uni Dira?" "Loh, Risa ngapain kamu di sini? Kenapa nggak pulang ikut dengan yang lainnya?" Farhan terheran melihat Risa masih berada di ballroom di antara petugas hotel yang sedang membereskan ruangan. Risa tak menjawab, tapi malah menatap Farhan dengan lekat. Farhan mengernyitkan dahinya. Selama ini memang sikap Risa agak berbeda. Risa memang terkesan lebih berani dan akrab dengan Farhan. Namun sejauh ini Farhan memaklumi dan menganggap Risa seba
"Ambillah ini. Lalu lupakan kejadian semalam!" Dengan gusar Neil meletakkan sejumlah uang di dalam amplop ,di atas ranjang hotel. Kemudian kembali mengenakan pakaiannya yang tercecer di lantai kamar. Sungguh dia tak habis pikir dengan apa yang baru saja dia lakukan. Dalam hati pria bertubuh ateltis dengan tinggi diatas rata-rata itu terus mengumpat. "Nggak bisa gitu dong, Pak! Bapak sudah merenggut kesucian saya. Maaf-maaf aja, nih, kalau segini mah, kurang!" tolak Tiara yang sedang berusaha menutup rapat tubuh polosnya dengan selimut, seraya menepis amplop coklat yang cukup tebal dari tangan pria berwajah bule itu. Neil melotot pada wanita yang sudah tiga tahun menjadi sekretarisnya itu. "Loh, saya kan nggak sengaja. Lagian kamu juga menikmatinya tadi. Hayoo, ngaku aja kamu!" Wanita berambut sebahu itu menggeleng, membuat rambutnya bergerak hingga nampak kembali leher jenjangnya yang putih dan mulus. Neil menahan salivanya melihat itu. "Tiara, kamu jangan mancing-mancing s
"Apaa? Ke penghulu?" Tiara mengangguk cepat. "Bapak sudah janji, loh!" "Ya ampun, Tiaraaa. Kamu pikir mencari penghulu itu seperti kamu cari tukang gorengan yang ada di mana-mana?" "Tapi bapak kan sudah janji mau nikahi saya!" "Ssstt ... tolong pelankan suaramu, Tiara!" sanggah Neil seraya memandang sekelilingnya. "Sebaiknya kita segera ke bandara. Taksi sudah menunggu kita!" Neil melangkah keluar melalui pintu kaca diikuti Tiara di belakangnya. Supir taksi membukakan pintu untuk mereka. Taksi mulai melaju menuju bandara Juanda. Selama perjalanan menuju bandara, Neil melihat wajah Tiara murung. Tidak seperti biasanya sekretarisnya itu diam membisu. Sesekali Neil melirik wajah putih dengan pipi yang menggemaskan itu. Namun Tiara terus memandang ke luar jendela. "Sial, kenapa dia diam saja?" Entah kenapa Neil merasa sangat canggung berada di dekat Tiara saat ini. Apalagi sejak tadi gadis itu hanya diam membisu. "Ehm ... apa jadwalku besok pagi, Tiara?" Neil mencoba memecah kes
"Buruan pulang, gue laper!" "Hei, Rohmat! Si Tiara napa lu tarik-tarik begitu? Kasianan kaan." Seorang wanita berumur sekitar tiga puluhan menegur pria yang dipanggil Rohmat. "Nggak usah ikut campur! Ini urusan gue!" sahut Rohmat tenang tanpa menoleh."Ganteng-ganteng, tapi kasar sama perempuan!" Wanita itu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan kasar Rohmat pada Tiara. "Aduh, Baaang! Sakit tau. Pelan-pelan, kek!' Tiara berjalan terseok-seok mengikuti langkah Rohmat, sambil satu tangannya menarik koper. "Diamlu! Kayak lagi gue apain aja pake teriak-teriak gitu!' gumam pria yang dipanggil Bang Rohmat oleh Tiara. Mereka sampai di depan rumah kontrakan yang berderet dengan bentuk dan besar yang sama. Rohmat membuka pintu salah satu rumah. "Sana lu masuk, terus bikinin gue makan. Awas, kaga pake lama!" "Iya, bawel! Dasar cowok nggak sabaran! Ribet!" umpat Tiara. Netranya memandang kesal pada pria bermata teduh itu. Sementara Rohmat tak peduli dengan ocehan Tiara. Pria berambu
Neil terjaga dari tidurnya. Saat matanya terbuka, dia menemukan Erika masih terlelap di sampingnya . Entah pukul berapa semalam istrinya itu pulang. Neil tidur lebih dulu karena merasa sangat lelah. Tanpa membangunkan Erika, Neil bergegas beranjak dari ranjang dan melangkah menuju ke kamar mandi hendak membersihkan diri. Entah kenapa hari ini dia begitu bersemangat untuk berangkat ke kantor. Erika terjaga saat ranjangnya terasa ada pergerakan. "Sayang, mau ke mana?" tanya Erika tanpa bangkit menghampiri suaminya. "Aku mau mandi. Pekerjaanku banyak menumpuk di kantor," sahut Neil asal seraya membuka kancing piyamanya. "Mau ikut?" Neil melirik nakal pada istrinya. Erika menggeleng malas. Neil masuk ke kamar mandi dengan seringai dibibirnya. Dirinya merasa kecewa karena penolakan berkali-kali dari Erika. Entah kenapa Erika yang dulu sangat agresif, belakangan ini tampak tak pernah bersemangat setiap dirinya ingin meminta kebutuhan biologisnya. Setelah menyelesaikan kegiatan mand