"Assalamualaikum ..." Tiba-tiba mereka menoleh ke pintu melihat seseorang yang datang. "Waalaikumsalam ..." Wajah Farhan berbinar saat melihat seseorang yang dia tunggu sejak tadi telah berdiri diambang pintu. "Masuklah, Wan!" Bu Ani mempersilakan Iwan masuk. "Bu, sebaiknya Aku dan Dira langsung ke rumah sakit saja membawa Nafa." Bu Ani mengangguk. "Baiklah. Jaga cucuku!" sahut Bu Ani yang terlihat cemas. "Ayo Dira kita pergi sekarang!"ajak Farhan seraya melangkah keluar menghampiri Iwan yang sudah kembali ke mobil. Nadira menoleh pada Neil. Sungguh dia pun merasa tak enak dengan sahabatnya itu. Namun dia tak punya pilihan lain sekarang. "Maaf, Neil! Aku harus pergi." Neil tersenyum pada wanita yang telah memenuhi seluruh hatinya itu. "Its oke, Nara. Pergilah!" Nadira kembali ke kamar mengambil tas yang berisi perlengkapan Nafa, kemudian meraih tasnya yang berada di atas meja rias, lalu bergegas menyusul Farhan menuruni tangga. Neil menatap kepergian Nadira dan Farhan le
"Nadiraaa! Apa-apaan ini, Haa?" Sontak keduanya terlonjak saat bertemu dengan seseorang yang sangat mereka segani. Mata Nadira melebar. Tubuhnya gemetar. Aura kemarahan jelas terlihat dari wajah Mamaknya yang kini berada beberapa langkah di depannya. Sementara Farhan berusaha untuk tetap bersikap biasa. Dia menghampiri pria paru baya bertubuh agak gempal yang menatap nyalang padanya. Farhan sedikit menunduk meraih tangan Mamak Sutan Sati yang ukuran tubuhnya lebih pendek darinya. Dengan rasa hormat yang begitu tinggi, Farhan mencium tangan Mamak Sutan Sati. "Assalamualaikum, Mak!" Pria berpeci yang tak lagi muda itu tak sempat mengelak. Dia membiarkan Farhan menyalaminya. Namun tatapan tajam seakan menusuk jantung mantan suami Nadira itu. "Kamu mau melawanku, Farhan?" geramnya seraya menarik tanganya lebih dulu. Farhan menggeleng. "Mana mungkin Aku mampu melawan Mamak yang hebat ini." "Halaah! Aku tak terpengaruh dengan pujianmu." "Mamak, tadi Nafa sakit. Uda Farhan ikut meng
Pagi itu ketika Mamak Sutan Sati baru saja kembali selesai sarapan di kantin rumah sakit, tiba-tiba saja seseorang menghampirinya tak jauh dari kamar rawat inap nenek. "Jadi bagaimana Pak Sati? Apa jadi bapak membeli ruko di pasar simpang tigo itu?" Pria berkepala botak itu terus mendekati Mamak Sutan Sati sejak kemarin. Mamak Nadira itu berpikir karena bingung. Letak Ruko yang ditawarkan pria bernama Azwar itu letaknya sangat strategis. Tidak seperti tokonya di pasar kabupaten yang sepi pengunjung. Masalahmya harga Ruko itu cukup tinggi. "Nantilah saya kasih kabar, Pak Azwar." "Jangan lama-lama, Pak Sati. Sore nanti ada juga yang mau datang lihat-lihat. Jangan sampai keduluan orang pula nanti!" Pria bernama Azwar itu menyeringai seraya menepuk ringan bahu Mamak Sutan Sati. "Iyo, Pak. Saya diskusi dulu dengan orang rumah." Pak Azwar mengangguk, kemudian pergi meninggalkan Mamak Sutan Sati persis di depan kamar rawat nenek. Mamak Sutan Sati kini berpikir keras mencari cara untu
"Bagaimana dengan Pak Sati? Apa kamu berhasil mengajaknya bergabung dengan kita?" Neil baru saja menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi restaurant dalam hotel. "Beliau belum memberi keputusan, Pak. Sepertinya dia ragu," Saiful tak berani memandang atasannya karena laporan yang tidak memuaskan darinya Neil mendengkus "Apalagi yang dia ragukan? Apa nominal yang aku tawarkan kurang? Bukankah dia sedang membutuhkan uang saat ini?" Neil jengkel bukan main. Pasalnya menurutnya Pak Sati adalah kunci untuk mendapatkan Nadira. Saiful gelagapan tak tau harus menjawab apa. "Aku harus melamar Nadira sebelum kepulanganku ke Jakarta." Neil tak jadi makan. Selera makanmya menguap begitu saja. Pria bule itu bangkit dari kursinya, kemudian memutuskan untuk kembali ke kamarnya. ------ Farhan tak henti-hentinya tersenyum sejak tadi, membayangkan mantan istrinya yang terus tersipu malu karena godaan mesumnya. Bagaimanapun juga mereka pernah melewati malam-malam layaknya suami istri. Walau dulu
Mata Farhan melebar saat masuk di ruang tamu .Dia tak menyangka Neil sudah berada di sana. Mendadak rasa kesal menyelimuti hatinya kala melihat pria bule itu duduk berhadapan dengan Mamak Sutan Sati. "Ee ..., ada Nak Farhan. Duduklah, duduk!" Bu Linda yang baru saja keluar dari kamarnya, menyambut Farhan dengan hangat.. Farhan dan Iwan langsung menyalami Bu Linda, kemudian menghampiri Mamak Sutan Sati. Mamak Nadira itu menerima uluran tangan Farhan untuk bersalaman, namun tak ada senyum sedikitpun pada wajah pria paru baya itu. Sikapnya masih saja dingin. Farhan dan Iwan kemudian duduk bersama mereka. Farhan mengambil posisi di sebelah Mamak Sutan Sati. Ada sedikit rasa gentar dirasakan Fahan melihat keacuhan Mamak Nadira itu. Namun dia akan sabar menunggu sampai Neil pulang, lalu akan berbicara serius dengan Mamak Sati yang sejak tadi tak mau menoleh padanya. "Bagaimana dengan tawaran dari kami, Pak Sati? Kapan Bapak bisa mulai bergabung?" Neil mengulang kembali pertanyaannya d
Mamak Sutan Sati terdiam setelah mendengar kata-kata Farhan. Menurutnya, Farhan cukup berani setelah berkali-kali dia mengacuhkan anak Bunda Aisyah itu. Sesungguhnya Dia pun masih merasakan sakit hati dengan kejadian di Jakarta waktu itu. Farhan telah mencoreng wajahnya, hingga dia harus menanggung malu dari seluruh warga kampung. Karena berita yang tersebar, bahwa Nadira dinikahi Farhan dengan sebuah perjanjian, kemudian diceraikan karena Farhan telah memiliki wanita lain. Sungguh harga diri keluarganya jatuh sejatuh-jatuhnya. Mamak Sutan Sati memandang tajam pada satu-satunya anak Bunda Aisyah yang saat ini tertunduk bersila di hadapannya. Menahan emosi yang kembali berkorbar. Namun saat ini dia melihat kesungguhan dari sikap Farhan. Berbagai pertimbangan berada di benaknya. Mamak menarik napas panjang. Berusaha meredam sesuatu yang bergejolak di dalam sana. Berusaha untuk berdamai dengan hatinya sendiri. Tatapan tajamnya menghujam manik mata biru milik Farhan. "Dengar, Farhan!
Farhan baru saja keluar dari mobilnya. Kali ini tidak ada Iwan bersamanya. Pria berbadan tinggi tegap itu melangkah menuju tangga rumah gadang Nadira. Dari atas rumah, Nadira memandang Farhan yang tampil berbeda hari ini. Pria berbadan atletis itu telah mencukur sebagian kumis dan jambangnya. Hingga terlihat semakin rupawan. Farhan mengenakan jaket denim dan celana jeans, membuat pria itu tampak jauh lebih muda. Farhan tersentak ketika menoleh ke jendela. Tatapan tajam Neil menghujam bola matanya. Namun Farhan tak gentar. Pandangan Neil yang seakan ingin membunuhnya, dibalas dengan seringai oleh Farhan. Sementara di jendela yang lainnya, Nadira terlihat cemas dan memucat melihat dua pria yang melempar pandangan seakan saling menantang. "Nara, kamu akan pergi dengan pria pengecut ini? Pria yang telah berkali-kali menyakitimu? Pria yang telah mempermalukan keluarga besarmu?" Nadira terkejut mendengar perkataan Neil. Dia heran Neil mengetahui semuanya. "Maaf, Neil. Masalah itu ad
"Bagaimana, Dira? Kamu mau kan kita bersatu kembali, Sayang?" Farhan menatap lekat wanita yang telah melahirkan buah hatinya itu. Saat ini Nadira berada tepat di hadapannya. Wajah mereka begitu dekat. Nadira pun menatap Farhan tak percaya. Pandangan mereka seakan terkunci satu sama lain. "Nadira ..." Nadira terdiam. Hati Farhan mencelos saat melihat ada keraguan pada sikap mantan istrinya itu. "Kenapa, Sayang?" Sesungguhnya ada yang berdebar di dadanya saat Farhan memanggilnya sayang. Namun entah kenapa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya saat ini. "Maaf Uda. Ada sesuatu yang masih mengganjal di hatiku."."Apa, Sayang? Katakan! Apa kamu masih meragukan cintaku?" Farhan menangkup kedua pipi mulus dan putih milik Nadira. Perlahan Wanita bermata bulat itu melepaskan tangan mantan suaminya. "Maaf ... Aku terlalu bersemangat, hehe ..." Farhan spontan melepaskan tangannya saat tersadar. "Uda, bagaimana dengan Erika?" Nadira kembali merasakan sesak saat menyebut nama wa