"A-apa? Calon istri?" Nola ternganga seraya memandang Erika dari atas ke bawah beberapa kali. Wanita cantik masih sangat muda itu terheran mendengar ucapan Erika yang sangat percaya diri. "Iya! Saya calon istri Farhan. Kenapa? Kaget ya?" Erika melotot sambil berkacak pinggang di hadapan Nola. "Maaf, Bu. Pak Farhan sedang tidak bisa diganggu." "Memangnya Farhan sedang apa sampai tidak bisa diganggu, heh?" tanya Erika sewot. "Pak Farhan sedaaang ...." "Halah lama kamu!" Erika yang tak sabar segera melangkah hendak masuk ke dalam ruangan Farhan. "Bu, bu ...! Tunggu ...!" Nola bergegas mengikuti Erika yang terus melangkah tanpa menghiraukan panggilan Nola. Langkah Erika terhenti di depan pintu ruang CEO. Perlahan wanita bertubuh sintal itu membuka pintu. "Hai, Sayang ....!"Dengan senyum merekah Erika melangkah anggun menghampiri Farhan yang sedang fokus pada laptopnya. "Bu ... bu ...., maaf Pak Farhan sedang banyak pekerjaan. "M-maaf, Pak Farhan. Saya sudah mencoba untuk mencega
Kesedihan terlihat jelas dari raut wajah wanita cantik berdarah asli minang itu. Farhan merasakan nyeri yang begitu hebat, dadanya penuh sesak, melihat sisa air mata yang masih ada di sekitar manik bulat milik Nadira. Perasaan bersalah yang luar biasa mulai menghujam hatinya. Entah yang keberapa kalinya dia menyakiti hati wanita itu. "M-maaf ... maafkan Aku!" Nadira tak kuasa menghindar saat satu jemari farhan berusaha untuk menghapus sisa bulir bening di pipinya. "Maafkan Aku, Dira! Lagi-lagi aku menyakiti hatimu." Nadira menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Uda. Kembalilah ke ruanganmu!" Tangan Farhan menahan saat Nadira hendak kembali menutup kaca. "Izinkan aku mengantarmu!" tatapan memohon dari wajah tampan berahang kokoh itu penuh harap. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Nadira masih bersikap dingin. "Aku mohon, Dira. Izinkan aku mengantarmu!" ujarnya lagi. Kali ini wajah Farhan sungguh memelas. Nadira bimbang. Sungguh saat ini dia ingin menghindar dari pria yang berada di
"Joe, tolong jadwalkan keberangkatanku untuk meninjau lokasi proyek di Sumatra Barat!" perintah Neil saat sedang meeting dengan asisten pribadinya. "Kemungkinan satu bulan lagi Tuan. Karena masih pembersihan lahan." "Apa? Satu bulan lagi? Kelamaan. Jadwalkan saja minggu depan!" Rahang pria bule itu mengeras. Pasalnya proyek yang sudah dimulai sejak bulan lalu sangat lambat perkembangannya. "Tapi minggu depan Tuan belum bisa memulai untuk pembangunannya. Sungai yang akan dijadikan tempat wisata masih dikelilingi hutan." "Ada kendala apa? Kenapa begitu lama prosesnya?' tanya Neil geram. "Kami kesulitan mendapatkan para pekerja di sana. Masyarakat minangkabau kurang berminat untuk jadi buruh kasar," sahut Joe yang mulai gelisah melihat pimpinannya kesal. "Halaaah, alasan saja. Dasar kalian tidak bisa kerja! Ganti mandor utama kita dengan orang asli kampung sana! Beri upah yang pantas. Nanti aku akan memberikan nama seseorang yang bisa kalian hubungi di sana!" Neil mulai emosi. Pr
Seorang pelayan tergopoh-gopoh menghampiri Nadira yang sedang memberi ASI pada Nafa di kamarnya. "Non Dira, hapenya bunyi," ujar pelayan itu seraya hendak memberikan ponsel Nadira yang tertinggal di ruang kerjanya sejak tadi. "Bawa sini, Mbak!" Mata Nadira melebar saat melihat banyak panggilan tak terjawab dari Ibunya. Setelah memberikan Nafa pada pengasuhnya, Nadira segera menghubungi balik Bu Ani. "Assalamualaikum, Bu. Ada apa?" tanyanya panik. "Waalaikumsalam. Diraa, pulanglah segera! Nenekmu kritis. Sebelum tak sadar tadi, beliau terus memanggil-manggil namamu, Nak." Terdengar isak tangis Bu Ani dari seberang sana hingga membuat Nadira semakin panik dan cemas. Akhirnya pecah juga tangis Nadira mendengar kabar sedih dari ibunya. Setelah menutup panggilan telpon, Nadira segera meminta Vivi untuk memesan tiket pesawat untuk malam ini. "Kamu yakin berangkat berdua saja dengan Nafa, Dira?" tanya Vivi dengan nada khawatir dari seberang sana. "Terpaksa, Vi. Aku nggak mungkin nin
"Neil?" pekik Nadira tertahan seraya membekap mulutnya. Sungguh dia tak mengira, pria yang dimaksud Mamak Sutan Sati adalah Neil, pria yang sangat dia kenal sejak lama. Neil bersama seorang laki-laki yang dia tidak kenal, melangkah semakin mendekat ke arah tempat dia berdirii. Nadira terheran melihat wajah Mamak yang sangat bersemangat ketika melihat Neil datang. Pria bule itu tersenyum pada Nadira yang masih ternganga. "Hai, Nara. Aku tak menyangka, Nadira yang dimaksud Bapak Sutan Sati itu adalah kamu," sapa Neil saat dia sudah berada di dekat Nadira dan Mamaknya. "Kalian sudah kenal rupanya," ucap Mamak dengan wajah sumringah. Neil mengangguk. Wajah tampan bermata biru itu tersenyum. Pandangan matanya tak beralih dari Nadira yang masih menatapnya tak percaya. "Nadira ini adalah rekan bisnis serta sahabat saya di Jakarta, Pak." Neil juga sangat bersemangat memberi penjelasan pada Mamak Sutan Sati. "Ooo ..., jadi di Jakarta kalian teman bisnis? Wah, sepertinya kalian memang
Pesawat yang dinaiki Farhan baru saja mendarat. Hatinya masih tidak tenang jika belum memastikan dan melihat sendiri bahwa Nadira dan Nafa baik-baik saja. Beberapa menit setelah menghubungi Nadira semalam dan mengetahui bahwa Nadira mendadak pulang ke kampung, Farhan langsung mencari tiket pesawat untuk menyusul Nadira ke Sumatra Barat. Sayangnya, dia mendapatkan jadwal pesawat pagi keesokan harinya. Untuk itu dia meminta Iwan untuk menjemput Nadira di bandara. Mantan suami Nadira itu juga meminta Iwan untuk mengantar Nadira ke manapun wanita itu pergi. Saat ini Farhan telah keluar dari bandara internasional Minangkabau menggunakan taksi menuju Solok, kampung halamannya. Dia baru saja mengakfifkan ponselnya. Beberapa pesan dan panggilan dari Iwan. Dia mencoba untuk menghubungi balik supirnya itu, namun berkali-kali dicoba tidak bisa tersambung, sepertinya ada gangguan sinyal pada ponsel Iwan. Farhan mengumpat dalam hati karena ada beberapa tempat yang tak terjangkau oleh sinyal di
"Assalamualaikum ..." Tiba-tiba mereka menoleh ke pintu melihat seseorang yang datang. "Waalaikumsalam ..." Wajah Farhan berbinar saat melihat seseorang yang dia tunggu sejak tadi telah berdiri diambang pintu. "Masuklah, Wan!" Bu Ani mempersilakan Iwan masuk. "Bu, sebaiknya Aku dan Dira langsung ke rumah sakit saja membawa Nafa." Bu Ani mengangguk. "Baiklah. Jaga cucuku!" sahut Bu Ani yang terlihat cemas. "Ayo Dira kita pergi sekarang!"ajak Farhan seraya melangkah keluar menghampiri Iwan yang sudah kembali ke mobil. Nadira menoleh pada Neil. Sungguh dia pun merasa tak enak dengan sahabatnya itu. Namun dia tak punya pilihan lain sekarang. "Maaf, Neil! Aku harus pergi." Neil tersenyum pada wanita yang telah memenuhi seluruh hatinya itu. "Its oke, Nara. Pergilah!" Nadira kembali ke kamar mengambil tas yang berisi perlengkapan Nafa, kemudian meraih tasnya yang berada di atas meja rias, lalu bergegas menyusul Farhan menuruni tangga. Neil menatap kepergian Nadira dan Farhan le
"Nadiraaa! Apa-apaan ini, Haa?" Sontak keduanya terlonjak saat bertemu dengan seseorang yang sangat mereka segani. Mata Nadira melebar. Tubuhnya gemetar. Aura kemarahan jelas terlihat dari wajah Mamaknya yang kini berada beberapa langkah di depannya. Sementara Farhan berusaha untuk tetap bersikap biasa. Dia menghampiri pria paru baya bertubuh agak gempal yang menatap nyalang padanya. Farhan sedikit menunduk meraih tangan Mamak Sutan Sati yang ukuran tubuhnya lebih pendek darinya. Dengan rasa hormat yang begitu tinggi, Farhan mencium tangan Mamak Sutan Sati. "Assalamualaikum, Mak!" Pria berpeci yang tak lagi muda itu tak sempat mengelak. Dia membiarkan Farhan menyalaminya. Namun tatapan tajam seakan menusuk jantung mantan suami Nadira itu. "Kamu mau melawanku, Farhan?" geramnya seraya menarik tanganya lebih dulu. Farhan menggeleng. "Mana mungkin Aku mampu melawan Mamak yang hebat ini." "Halaah! Aku tak terpengaruh dengan pujianmu." "Mamak, tadi Nafa sakit. Uda Farhan ikut meng
"Neil!" Helda berteriak marah melihat putranya masuk ke mobil. Neil tidak peduli dengan ancamannya. Rahangnya mengatup keras, dan tangannya mengepal. Josh yang sejak tadi memperhatikan dari tangga depan akhirnya melangkah mendekat. Ia melihat emosi Helda makin memuncak. "Cukup, Helda," ujar Josh tenang. Helda menoleh tajam. "Kamu lihat sendiri kan? Anakmu membantahku demi keluarga perempuan itu!" Josh menghela napas. "Kamu yang memaksanya untuk memilih." "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Josh!" Helda membalas cepat. Josh menatap istrinya dalam. "Helda, aku tahu kamu keras kepala. Tapi sejujurnya, aku memang tidak setuju dengan acara besar ini sejak awal. Aku khawatir hal seperti ini akan terjadi." Helda melipat tangan di dada. "Jadi, kamu pikir aku yang salah?" Josh mengangguk pelan. "Bukan hanya kamu. Aku juga sempat meragukan keluarga Tiara. Tapi, aku sudah menyelidiki mereka sejak awal." Helda mengernyit. "Apa maksudmu?" Josh menarik napas dalam sebelum menjelaska
"Tidak perlu!" Suara Helda terdengar ketus, membuat Tiara yang berdiri di balik pintu ruang tengah menahan napas. Hatinya mencelos seketika. "Mami, mereka adalah keluarganya. Mereka harus ada di acara ini." Neil mencoba berbicara lebih pelan, tapi nada suaranya tetap tegas. Tiara tahu suaminya tidak suka berdebat soal hal seperti ini. "Mami tidak mau tamu-tamu kita nanti tahu kalau istrimu itu berasal dari kampung." Tiara membekap mulutnya. Kata-kata Helda terasa seperti pukulan keras di dadanya. "Mami! Tolong jangan bicara begitu. Apa hubungannya dengan tamu-tamu kita?" "Neil, dengarkan Mami!" suara Helda terdengar lebih tegas. "Kamu adalah pengusaha besar, CEO perusahaan besar. Bagaimana jika orang-orang tahu kalau istrimu hanyalah anak dari keluarga biasa yang tinggal di desa? Itu bisa merusak reputasimu!" "Astaga! Mami masih memikirkan gengsi? Ini pernikahan, bukan acara bisnis!" Neil terdengar semakin kesal. "Mami tidak mau tahu! Pokoknya mereka tidak perlu datang!" Held
"Selamat siang Bu Erika, saya ingin bertemu. Apa ibu bisa siang ini?" Suara pengacara Neil yang ia kenali terdengar di ujung telepon. Erika mengernyit. Kira-kira ada apa tiba-tiba pengacara Neil menghubunginya dan meminta bertemu. "Untuk apa?" tanyanya dengan nada waspada. "Ada sesuatu yang harus saya serahkan pada Ibu. Apa kita bisa bertemu di kafe dekat kantor?" Erika berpikir sejenak. Ada rasa penasaran dalam hatinya. "Baiklah, aku akan datang," sahutnya singkat. Setelah menutup telepon, ia menoleh ke arah Boyka yang duduk di sofa yang sedang memainkan ponselnya dengan santai. "Aku mau pergi sebentar," ujar Erika sambil mengambil tasnya. Boyka meliriknya sekilas. "Mau ke mana?" "Bukan urusanmu." Boyka terkekeh. "Oke, oke, tapi jangan lama-lama, nanti aku rindu." Erika tidak menanggapi dan segera pergi. Namun, tanpa ia sadari, Boyka menatap punggungnya penuh curiga, lalu dengan santai memasukkan ponselnya ke dalam saku dan lantas berdiri. Dengan naik taksi online Erika m
"Apa-apaan ini?" Suara Neil terdengar berat dan penuh amarah. Tatapannya tajam menusuk ke arah Joe yang masih berdiri terlalu dekat dengan Tiara. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Tiara langsung menepis tangan Joe yang menghalanginya, lalu melangkah maju mendekati Neil. Kini ia berdiri di antara Neil dan Joe, khawatir jika terjadi keributan diantara dua lelaki itu. "Pak, jangan ..." bisik Tiara pelan, tangannya menggenggam lengan Neil agar pria itu tidak mendekat. Joe menelan ludah, tubuhnya sedikit mundur saat melihat ekspresi Neil yang sangat marah. Wajah atasannya itu menggelap dengan tatapan berkilat-kilat ke arah dirinya. " M-maaf, Pak Neil," ujar Joe akhirnya. "S-saya hanya ... mengajak Tiara bicara." Suara Joe terdengar gemetar. Neil menyipitkan mata. "Bicara? Dengan mendesaknya ke dinding seperti tadi?" Kali ini suara Neil terdengar menggelegar, hingga terdengar keluar ruangan. Joe hendak membuka mulut untuk membela diri, tapi tidak ada kata-kat
"Mami mau acara resepsi pernikahan kalian nanti adalah acara yang besar." Helda bicara dengan wajah berbinar di meja makan. Neil dan Tiara yang duduk di sisi kiri tersenyum saling pandang. "Kalau perlu undang semua orang yang kita kenal, agar siapapun tau siapa istri Neil sebenarnya." Suasana sarapan pagi ini terasa lebih hangat. Helda terus bicara tentang semua rencananya. Sementara Tiara hanya diam dengan senyum tipis yang terus tersungging di wajahnya. "Josh, kenapa diam saja? Kamu nggak mau kasih pendapat?" tanya Helda masih antusias. Josh meraih segelas air putih dan meneguknya sesaat. Setelah menghela napas panjang ia bicara serius. "Ini hanya pernikahan kedua. Cukup undang kerabat dekat dan keluarga saja," tegasnya dengan pelan. "Tidak! Mami nggak setuju." Helda menyahut tak kalah tegas. "Setelah acara resepsi nanti, Mami nggak mau dengar lagi gosip-gosip miring tentang kalian berdua." "Iya, Mi. Aku akan persiapkan semuanya," sahut Neil. "Terserah kalian sajalah!" Jo
[Kau pikir bisa lari dariku, Erika? Aku akan menemukanmu.] Siapa yang mengirim pesan ini? Tangan Erika gemetar saat memegang ponselnya. Ia ingin sekali menceritakan hal ini pada Boyka, tapi gengsinya terlalu tinggi. Lagipula, ia masih membenci pria itu. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa menepis rasa takutnya. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Boyka berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. "Kau belum tidur?" Erika mendongak cepat, menyembunyikan ponselnya di balik punggung. "Bukan urusanmu." Boyka menyeringai. "Aku cuma tanya." Pria itu berjalan mendekat, menyandarkan satu tangan pada pintu. "Kamu tampak gelisah." "Aku baik-baik saja," potong Erika cepat. Boyka mengangkat alis. "Benar? Yakin? Tapi perasaanku bilang tidak." Erika mengalihkan pandangan, menghindari tatapan pria itu. "Aku bilang aku baik-baik saja!" suaranya meninggi. Boyka terkekeh pelan. "Terserah kalau kamu tidak mau cerita. Tapi kalau ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa bicara padaku." Erika mend
"Ngapain kamu di sini?" Suara Erika sangat ketus begitu melihat siapa yang berada di balik kaca mobil hitam itu. Wajahnya yang semula sangat emosi kini berubah menjadi tegang. Pria itu ternyata Boyka. Ia tersenyum miring, menatap Erika dengan intens. “Kenapa? Kecewa aku yang datang menjemputmu?” Erika mendengus kesal. “Aku nggak butuh dijemput siapa pun.” Boyka menaikkan sebelah alisnya. “Oh ya? Kamu yakin? Memangnya kamu mau ke mana malam-malam begini? Hotel? Atau kamu mau tidur di pinggir jalan?” Erika menggigit bibir, matanya melirik ke arah jalanan yang mulai sepi. Tidak ada taksi, tidak ada kendaraan lain yang bisa ia andalkan. Pikirannya berkecamuk. Ia tidak mungkin kembali ke rumah Neil. Tidak mungkin juga ia menginap di hotel dengan keadaan seperti ini. Boyka masih menatapnya dengan sabar, seolah menikmati kebingungan Erika. “Ayo, masuklah. Aku janji tidak akan berbuat macam-macam,” ucapnya dengan senyum menggoda. Erika mendengus. “Aku nggak percaya!” “Tapi .... kam
"Tiara, aku butuh kamu sekarang." Neil berdiri di depan pintu kamar Tiara, mengetuk pelan namun tak berhenti. Suaranya terdengar berat, nyaris bergetar, menahan emosi yang nyaris meledak Tiara, yang baru saja akan merebahkan tubuhnya ke kasur, terdiam sesaat sebelum akhirnya membuka pintu. “Pak?” Matanya menatap Neil penuh tanya. Neil tidak menjawab, hanya melangkah masuk dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang di kamar Tiara. Satu lengannya menutupi wajah, sementara tangan lainnya mengepal di atas dadanya. Tiara menutup pintu perlahan. “Bapak kenapa?” Neil menghembuskan napas panjang. “Aku lelah, Tia.” Tiara berjalan mendekat, menatap Neil yang kini tampak lebih tenang dibandingkan tadi. “Bapak habis bertengkar lagi dengan Bu Erika?” tebaknya. Neil membuka sedikit lengannya, menatap Tiara yang kini duduk di ujung sofa. “Kamu tahu semuanya?” Tiara mengangguk. “Saya dengar sedikit tadi. Apa benar Bapak akan menceraikan Bu Erika?” Neil mengusap wajahnya dengan kasar
“Siapa Boyka?!” Suara Neil terdengar tegas dan penuh kecurigaan. Matanya menatap tajam ke arah Erika yang kini berdiri mematung dengan wajah pucat. Erika menelan ludah. Ponselnya masih terus bergetar di tangannya. Ia tahu kalau ia tidak segera mematikan panggilan itu, situasi akan semakin buruk. Dengan tangan gemetar, Erika buru-buru menekan tombol merah dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. “Neil …” Erika mencoba tersenyum, tapi jelas terlihat kalau itu dipaksakan. “Itu ... hanya teman lama. Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba menelepon.” Neil menyipitkan matanya. “Teman lama? Lalu kenapa kamu terlihat ketakutan?” “Aku …” Erika mengalihkan pandangannya. “Aku cuma kaget aja. Aku nggak menyangka dia masih punya nomorku.” Erika mencoba tersenyum. Neil mendengus pelan. “Jangan bohong! Aku lihat sendiri bagaimana ekspresimu tadi.” Erika mulai panik. Ia harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian Neil. “Neil, aku benar-benar merasa nggak enak badan …” Erika kembali mengelus p