"Joe, tolong jadwalkan keberangkatanku untuk meninjau lokasi proyek di Sumatra Barat!" perintah Neil saat sedang meeting dengan asisten pribadinya. "Kemungkinan satu bulan lagi Tuan. Karena masih pembersihan lahan." "Apa? Satu bulan lagi? Kelamaan. Jadwalkan saja minggu depan!" Rahang pria bule itu mengeras. Pasalnya proyek yang sudah dimulai sejak bulan lalu sangat lambat perkembangannya. "Tapi minggu depan Tuan belum bisa memulai untuk pembangunannya. Sungai yang akan dijadikan tempat wisata masih dikelilingi hutan." "Ada kendala apa? Kenapa begitu lama prosesnya?' tanya Neil geram. "Kami kesulitan mendapatkan para pekerja di sana. Masyarakat minangkabau kurang berminat untuk jadi buruh kasar," sahut Joe yang mulai gelisah melihat pimpinannya kesal. "Halaaah, alasan saja. Dasar kalian tidak bisa kerja! Ganti mandor utama kita dengan orang asli kampung sana! Beri upah yang pantas. Nanti aku akan memberikan nama seseorang yang bisa kalian hubungi di sana!" Neil mulai emosi. Pr
Seorang pelayan tergopoh-gopoh menghampiri Nadira yang sedang memberi ASI pada Nafa di kamarnya. "Non Dira, hapenya bunyi," ujar pelayan itu seraya hendak memberikan ponsel Nadira yang tertinggal di ruang kerjanya sejak tadi. "Bawa sini, Mbak!" Mata Nadira melebar saat melihat banyak panggilan tak terjawab dari Ibunya. Setelah memberikan Nafa pada pengasuhnya, Nadira segera menghubungi balik Bu Ani. "Assalamualaikum, Bu. Ada apa?" tanyanya panik. "Waalaikumsalam. Diraa, pulanglah segera! Nenekmu kritis. Sebelum tak sadar tadi, beliau terus memanggil-manggil namamu, Nak." Terdengar isak tangis Bu Ani dari seberang sana hingga membuat Nadira semakin panik dan cemas. Akhirnya pecah juga tangis Nadira mendengar kabar sedih dari ibunya. Setelah menutup panggilan telpon, Nadira segera meminta Vivi untuk memesan tiket pesawat untuk malam ini. "Kamu yakin berangkat berdua saja dengan Nafa, Dira?" tanya Vivi dengan nada khawatir dari seberang sana. "Terpaksa, Vi. Aku nggak mungkin nin
"Neil?" pekik Nadira tertahan seraya membekap mulutnya. Sungguh dia tak mengira, pria yang dimaksud Mamak Sutan Sati adalah Neil, pria yang sangat dia kenal sejak lama. Neil bersama seorang laki-laki yang dia tidak kenal, melangkah semakin mendekat ke arah tempat dia berdirii. Nadira terheran melihat wajah Mamak yang sangat bersemangat ketika melihat Neil datang. Pria bule itu tersenyum pada Nadira yang masih ternganga. "Hai, Nara. Aku tak menyangka, Nadira yang dimaksud Bapak Sutan Sati itu adalah kamu," sapa Neil saat dia sudah berada di dekat Nadira dan Mamaknya. "Kalian sudah kenal rupanya," ucap Mamak dengan wajah sumringah. Neil mengangguk. Wajah tampan bermata biru itu tersenyum. Pandangan matanya tak beralih dari Nadira yang masih menatapnya tak percaya. "Nadira ini adalah rekan bisnis serta sahabat saya di Jakarta, Pak." Neil juga sangat bersemangat memberi penjelasan pada Mamak Sutan Sati. "Ooo ..., jadi di Jakarta kalian teman bisnis? Wah, sepertinya kalian memang
Pesawat yang dinaiki Farhan baru saja mendarat. Hatinya masih tidak tenang jika belum memastikan dan melihat sendiri bahwa Nadira dan Nafa baik-baik saja. Beberapa menit setelah menghubungi Nadira semalam dan mengetahui bahwa Nadira mendadak pulang ke kampung, Farhan langsung mencari tiket pesawat untuk menyusul Nadira ke Sumatra Barat. Sayangnya, dia mendapatkan jadwal pesawat pagi keesokan harinya. Untuk itu dia meminta Iwan untuk menjemput Nadira di bandara. Mantan suami Nadira itu juga meminta Iwan untuk mengantar Nadira ke manapun wanita itu pergi. Saat ini Farhan telah keluar dari bandara internasional Minangkabau menggunakan taksi menuju Solok, kampung halamannya. Dia baru saja mengakfifkan ponselnya. Beberapa pesan dan panggilan dari Iwan. Dia mencoba untuk menghubungi balik supirnya itu, namun berkali-kali dicoba tidak bisa tersambung, sepertinya ada gangguan sinyal pada ponsel Iwan. Farhan mengumpat dalam hati karena ada beberapa tempat yang tak terjangkau oleh sinyal di
"Assalamualaikum ..." Tiba-tiba mereka menoleh ke pintu melihat seseorang yang datang. "Waalaikumsalam ..." Wajah Farhan berbinar saat melihat seseorang yang dia tunggu sejak tadi telah berdiri diambang pintu. "Masuklah, Wan!" Bu Ani mempersilakan Iwan masuk. "Bu, sebaiknya Aku dan Dira langsung ke rumah sakit saja membawa Nafa." Bu Ani mengangguk. "Baiklah. Jaga cucuku!" sahut Bu Ani yang terlihat cemas. "Ayo Dira kita pergi sekarang!"ajak Farhan seraya melangkah keluar menghampiri Iwan yang sudah kembali ke mobil. Nadira menoleh pada Neil. Sungguh dia pun merasa tak enak dengan sahabatnya itu. Namun dia tak punya pilihan lain sekarang. "Maaf, Neil! Aku harus pergi." Neil tersenyum pada wanita yang telah memenuhi seluruh hatinya itu. "Its oke, Nara. Pergilah!" Nadira kembali ke kamar mengambil tas yang berisi perlengkapan Nafa, kemudian meraih tasnya yang berada di atas meja rias, lalu bergegas menyusul Farhan menuruni tangga. Neil menatap kepergian Nadira dan Farhan le
"Nadiraaa! Apa-apaan ini, Haa?" Sontak keduanya terlonjak saat bertemu dengan seseorang yang sangat mereka segani. Mata Nadira melebar. Tubuhnya gemetar. Aura kemarahan jelas terlihat dari wajah Mamaknya yang kini berada beberapa langkah di depannya. Sementara Farhan berusaha untuk tetap bersikap biasa. Dia menghampiri pria paru baya bertubuh agak gempal yang menatap nyalang padanya. Farhan sedikit menunduk meraih tangan Mamak Sutan Sati yang ukuran tubuhnya lebih pendek darinya. Dengan rasa hormat yang begitu tinggi, Farhan mencium tangan Mamak Sutan Sati. "Assalamualaikum, Mak!" Pria berpeci yang tak lagi muda itu tak sempat mengelak. Dia membiarkan Farhan menyalaminya. Namun tatapan tajam seakan menusuk jantung mantan suami Nadira itu. "Kamu mau melawanku, Farhan?" geramnya seraya menarik tanganya lebih dulu. Farhan menggeleng. "Mana mungkin Aku mampu melawan Mamak yang hebat ini." "Halaah! Aku tak terpengaruh dengan pujianmu." "Mamak, tadi Nafa sakit. Uda Farhan ikut meng
Pagi itu ketika Mamak Sutan Sati baru saja kembali selesai sarapan di kantin rumah sakit, tiba-tiba saja seseorang menghampirinya tak jauh dari kamar rawat inap nenek. "Jadi bagaimana Pak Sati? Apa jadi bapak membeli ruko di pasar simpang tigo itu?" Pria berkepala botak itu terus mendekati Mamak Sutan Sati sejak kemarin. Mamak Nadira itu berpikir karena bingung. Letak Ruko yang ditawarkan pria bernama Azwar itu letaknya sangat strategis. Tidak seperti tokonya di pasar kabupaten yang sepi pengunjung. Masalahmya harga Ruko itu cukup tinggi. "Nantilah saya kasih kabar, Pak Azwar." "Jangan lama-lama, Pak Sati. Sore nanti ada juga yang mau datang lihat-lihat. Jangan sampai keduluan orang pula nanti!" Pria bernama Azwar itu menyeringai seraya menepuk ringan bahu Mamak Sutan Sati. "Iyo, Pak. Saya diskusi dulu dengan orang rumah." Pak Azwar mengangguk, kemudian pergi meninggalkan Mamak Sutan Sati persis di depan kamar rawat nenek. Mamak Sutan Sati kini berpikir keras mencari cara untu
"Bagaimana dengan Pak Sati? Apa kamu berhasil mengajaknya bergabung dengan kita?" Neil baru saja menjatuhkan tubuhnya di salah satu kursi restaurant dalam hotel. "Beliau belum memberi keputusan, Pak. Sepertinya dia ragu," Saiful tak berani memandang atasannya karena laporan yang tidak memuaskan darinya Neil mendengkus "Apalagi yang dia ragukan? Apa nominal yang aku tawarkan kurang? Bukankah dia sedang membutuhkan uang saat ini?" Neil jengkel bukan main. Pasalnya menurutnya Pak Sati adalah kunci untuk mendapatkan Nadira. Saiful gelagapan tak tau harus menjawab apa. "Aku harus melamar Nadira sebelum kepulanganku ke Jakarta." Neil tak jadi makan. Selera makanmya menguap begitu saja. Pria bule itu bangkit dari kursinya, kemudian memutuskan untuk kembali ke kamarnya. ------ Farhan tak henti-hentinya tersenyum sejak tadi, membayangkan mantan istrinya yang terus tersipu malu karena godaan mesumnya. Bagaimanapun juga mereka pernah melewati malam-malam layaknya suami istri. Walau dulu