"Neil ketemu seorang pelayan yang mirip Anas. Aku nggak punya waktu untuk membantu Neil. Tadi aku mau minta Neil menghubungi aku begitu mendapatkan informasi, tapi dia malah langsung pergi," Yvonne menjelaskan."Kamu memang tidak boleh mengurus terlalu banyak hal. Lihat, berat badanmu sendiri turun drastis. Kamu harus menjaga kesehatanmu juga," Shawn menasihati Yvonne.Yvonne sadar, tubuhnya tidak selincah dan sebaik dulu. Yvonne stres menghadapi kehamilan pertama dan keduanya, terlalu banyak masalah yang terjadi.Tanpa Leah dan Samantha, Yvonne mungkin sudah masuk rumah sakit.Tiba-tiba Shawn merangkul pinggang Yvonne dan menggendongnya bak seorang tuan putri.Yvonne terkejut dan refleks memeluk leher Shawn. Tindakan Shawn benar-benar membuat Yvonne kaget.Yvonne memelototi Shawn. "Ini di luar, kamu nggak lihat banyak orang? Jangan main-main.""Kenapa mesti malu? Kita adalah suami istri. Kamu lagi sakit, bukankah sudah semestinya aku merawat kamu?" Shawn menggendong Yvonne menuruni ta
Kali ini Dylan terlalu gegabah, dia tidak sempat menghindari serangan Harvey.Dylan murka begitu terkena pukulan Harvey. Dia menarik kerah pakaian Harvey, lalu melayangkan tinjuan ke wajahnya. "Kamu minta dihajar?"Harvey tak mau terlihat lemah. "Sialan, berani-beraninya kamu menggunakan cara rendahan untuk menjebakku! Aku yang seharusnya menghajarmu! Kamu berharap aku berterima kasih kepadamu?"Dylan tersenyum dingin. "Nggak perlu.""Bajingan!" Harvey kesal menghadapi sikap Dylan.Harvey dan Dylan berkelahi, tidak ada yang mau mengalah. Di saat bayi Harvey menangis, mereka baru berhenti bertengkar.Harvey menyeka bibirnya sambil menatap tajam Dylan. "Masalah hari ini belum selesai. Tunggu pembalasanku!""Memangnya kamu bisa apa? Menelan aku?" Dylan meliriknya sambil tersenyum sinis. "Kayaknya kamu nggak punya kemampuan itu."Kemudian Dylan membalikkan badan dan pergi meninggalkan kamar hotel.Harvey bergegas menggendong bayinya yang menangis tersedu-sedu. Sepertinya bayi ini lapar.Ha
Neil tidak buta, dia melihat jelas Lyana yang menggertakkan gigi karena kesal."Kalau tidak mau melayaniku, ngapain datang?" Neil tersenyum."Kamu mempunyai uang dan kekuasaan, sedangkan aku tidak bisa menolak perintah atasan. Kalau tidak dipaksa, apakah menurutmu aku bakal sukarela melayani manusia yang semena-mena sepertimu?"Neil mengerutkan alis. "Aku? Semena-mena?""Kamu menggunakan kekuasaan untuk memaksa manajer menekanku. Kalau bukan semena-mena, terus apa namanya?" Di mata Lyana, Neil bukanlah pria yang baik.Neil tidak membantah. "Maafkan aku, kemarin malam aku tidak sengaja.""Em, aku memaafkanmu. Apakah aku sudah boleh pergi?" Lyana mengerutkan bibir.Neil mengusap keningnya. Tampaknya Lyana masih marah."Baiklah, silakan pergi." Neil mengangguk, dia tidak mau memaksa Lyana.Lyana langsung pergi. Sesampainya di depan pintu, dia berhenti dan membalikkan badan. Neil tersenyum, dia mengira kalau Lyana menyesal."Kita bisa berteman ....""Aku mau tanya, aku tidak akan dipecat,
Kesabaran Lyana mulai habis. "Apa lagi?""Apakah penginapan kalian menyediakan makanan?" Neil bertanya sambil tersenyum."Tidak!" jawab Lyana dengan dingin."Apakah kamu bisa memberikan rekomendasi restoran di dekat sini?" Neil lanjut bertanya.Lyana tersenyum sinis. "Orang kaya sepertimu nggak bakal terbiasa menyantap makanan desa. Di sini nggak ada makanan yang sesuai seleramu.""Oh ...." Neil mulai kehabisan kata-kata. "Aku tidak pilih-pilih makanan, kok.""Kamu mau makan kotoran?" tanya Lyana. Tanpa menunggu jawaban Neil, Lyana menunjuk ke arah kamar mandi sambil berkata, "Sana!"Anas yang dulu bukanlah wanita yang kasar. Untuk sesaat, Neil sempat meragukan wanita yang berdiri di hadapannya. Namun Lyana dan Anas sangat mirip, bahkan bisa dibilang persis!"Kamu bercanda ...." Neil berusaha bersabar."Aku kelihatan lagi bercanda?" Lyana memandangnya sinis, lalu membalikkan badan dan pergi.Neil tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menemui wanita paruh baya yang menyambutnya pertama
Neil tersenyum. "Tapi kalau diperhatikan benar-benar, ternyata lumayan mirip."Padahal, faktanya sama sekali tidak mirip. Neil sengaja berbicara seperti itu untuk mencairkan suasana.Wanita paruh baya tersenyum bahagia. "Tentu saja, anakku pasti mirip aku.""Kayak kami sebaya, berapa usia putrimu? Mestinya sekitar 27 tahun?" Neil lanjut bertanya.Wanita paruh mengernyit, dia mengamati Neil dengan tatapan curiga. "Kenapa kamu membahas putriku terus? Apa maksudmu?""Aku merasa usia kami tidak terpaut jauh, aku ....""Kamu menyukai putriku?" tanya wanita paruh baya.Awalnya bermaksud mengatakan ingin mengajak Lyana berteman, tetapi wanita paruh baya malah menyela ucapannya.Neil berbesar hati mengakuinya, dia bersikap malu-malu, seperti tertangkap basah."Makanya kamu sengaja menginap di penginapanku? Kamu mau mendekati putriku?" Wanita paruh baya tampak bersemangat.Neil tidak membantah. Wanita paruh baya memperhatikan penampilan Neil. Neil adalah pria yang tampan dan kaya raya, wanita p
Begitu menoleh, Neil melihat Lyana yang berdiri di belakangnya.Neil tidak menghindar, dia menjawab sambil tersenyum, "Tidak, tidak ada."Lyana melirik mobil yang baru melaju pergi."Kamu pasti punya tujuan jahat." Lyana mengernyit. "Aku nggak mau menyewakan penginapan ini untukmu. Kami kembalikan uangnya sekarang juga, silakan pergi!""Apa maksudmu?" Neil masih tersenyum."Kamu tuli? Nggak ngerti maksudku?" Lyana benar-benar marah. "Kalau nggak mau pergi, aku lapor polisi sekarang juga!"Neil juga punya harga diri, dia tidak bisa terus memaksa. Ditambah, Neil juga tidak mau memperbesar masalah ini."Baik, aku segera pergi.""Hem, ternyata tebakanku benar. Begitu diancam lapor polisi, langsung takut. Sana, cepat pergi!" Lyana memutar bola matanya."Kamu sangat membenciku cuma gara-gara masalah tempo hari? Aku sudah menjelaskan, aku salah mengenali orang.""Kalau nggak marah, terus aku mesti ngapain? Membunuh orang?" tanya Lyana.Raut wajah Neil sontak berubah, dia kelihatan pucat. Nyon
"Siapa pelakunya?" Shawn menggenggam erat ponselnya."Aku kirimkan fotonya."Tak berapa lama, Shawn menerima sebuah kiriman foto. Begitu membuka foto tersebut, Shawn melihat sosok seorang pria yang mengenakan topi.Walaupun Harvey berusaha menyamar, Shawn tetap mengenalinya.Detektif itu lanjut menceritakan, "Dokter itu sengaja menyimpan foto ini. Aku sudah selidiki, pria ini memang sempat datang ke Negara Mauro, padahal dia adalah orang Negara Zava. Di rumahnya juga ada bayi ...."Semua tebakan Shawn terbukti benar."Aku mengerti," jawab Shawn dengan tenang. Setelah menutup panggilannya, Shawn berdiri mematung di tempat.Yvonne menaruh pakaian yang baru dilipatnya ke dalam lemari, lalu menghampiri Shawn. "Siapa yang telepon? Kok kamu melamun?"Shawn menaruh ponselnya, raut wajahnya terlihat lega."Shawn ada apa? Kamu jarang-jarang tersenyum tanpa sebab." Yvonne penasaran."Coba tebak?""Sudah ada kabar soal anak kita?" tanya Yvonne dengan gugup. "Anak kita ... baik-baik saja, 'kan?""
Yvonne melihat kancing piyamanya yang terbuka hingga menunjukkan bagian tulang selangka.Wajah Yvonne sontak memerah, dia memelototi Shawn sambil memarahinya, "Dasar! Hidung belang!""Kamu adalah istriku." Shawn menundukkan kepala dan mengecup bagian dada Yvonne.Yvonne terkejut, lalu mendorong Shawn secara spontan. "Jangan macam-macam!"Shawn mengangkat kepalanya, tatapannya terlihat makin membara. Dia memeluk erat Yvonne sambil mendekatkan wajah. Seketika, napas mereka pun beradu di tengah hasrat yang menggebu.Shawn menatap kedua mata Yvonne yang bersinar seperti bintang. "Aku kangen."Wajah Yvonne terasa panas dan memerah. Sebelum sempat berkata-kata, sebuah ciuman hangat berlabuh di bibirnya.Di tengah panasnya cumbuan, Shawn memasukkan tangannya ke dalam pakaian Yvonne. Shawn mengusap lembut setiap bagian tubuh Yvonne."Yvonne ...." Shawn berbisik di samping telinga Yvonne, "Aku mencintaimu."Selama beberapa waktu ini Yvonne masih harus beristirahat setelah melahirkan, makamnya S