Harvey sendiri yang membukakan pintu. Dia kelihatan agak kesal. "Aku pikir kamu mengingkari janji.""Tadi ada urusan," Yvonne menjawab dengan datar."Silakan masuk." Harvey memberikan jalan.Yvonne tidak langsung masuk, dia memperhatikan keadaan di dalam untuk berjaga-jaga. Begitu melihat ada orang lain, Yvonne baru beranjak masuk.Harvey menutup pintu. "Curiga banget? Kamu takut aku terkam?""Memangnya kamu pernah berhasil?" Yvonne berbalik tanya.Harvey terdiam. Harus diakui, Yvonne memang wanita yang licik. Agar tidak mempermalukan diri sendiri, Harvey bergegas mengubah topik pembicaraan. "Kenalkan, ini adalah istriku, Fiona."Wanita yang duduk di sofa sambil menggendong seorang pun bangkit berdiri untuk menyapa Yvonne. "Halo. Kamu temannya Harvey? Senang berkenalan denganmu."Yvonne tidak mengerti, apa yang sedang direncanakan Harvey?"Halo," Yvonne membalas sapaan Fiona.Harvey beranjak ke samping Fiona, lalu memeluknya sambil berbicara kepada Yvonne. "Bagaimanapun kita adalah tem
Fiona merasa agak pusing, perlahan-lahan pandangannya mulai kabur. Dia bahkan tidak bisa melihat jelas Harvey yang berada di hadapannya.Harvey duduk sambil menggelengkan kepala. Dia berusaha untuk menjaga kesadarannya."Apakah kamu merasa pusing? Kepalaku terasa berputar-putar," tanya Fiona.Bahkan bayi yang tadinya menangis pun tertidur dalam hitungan detik.Harvey baru mengerti kenapa tadi Yvonne marah. Yvonne adalah seorang dokter, dia memiliki indera penciuman yang sensitif. Tadi dia pasti mencium aroma yang mencurigakan.Tatapan Harvey langsung tertuju kepada lilin yang berada di atas meja. Tadi seorang staf hotel datang memberikan lilin tersebut, katanya ini adalah lilin aroma terapi yang bagus untuk memelihara kualitas tidur.Harvey tidak berpikir terlalu banyak, dia meletakkan lilin itu di atas meja. Pasti lilinnya yang bermasalah.Harvey bangkit berdiri dan hendak memadamkan lilin tersebut. Namun sebelum sempat menjangkau lilin tersebut, Harvey telah kehilangan kesadaran dan
"Hmm?" Shawn juga menantikan jawabannya.Yvonne menggelengkan kepala. "Bukan anak kita ...."Bayi itu bukan anak mereka, sama sekali tidak memiliki hubungan darah.Kilatan kekecewaan melintas di mata Shawn, tetapi dia tidak berlama-lama meratapi kesedihannya.Shawn memeluk Yvonne sambil mengusap pundaknya. "Tidak apa-apa, kita cari lagi sampai ketemu. Tadi aku baru mendapatkan kabar, detektifnya sudah menemukan petunjuk. Jangan cemas, ya!"Sejak awal, Shawn sudah mengingatkan Yvonne untuk menjaga harapannya. Seandainya bayi itu anak mereka, Harvey tidak mungkin membawanya ke hadapan Shawn dan Yvonne.Akan tetapi, Yvonne tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Yvonne mencemaskan keselamatan anaknya. Bagaimana kalau anaknya menderita?Yvonne adalah seorang dokter, dia terbiasa dilatih untuk bersikap tenang dan bijaksana. Yvonne mengatur suasana hatinya, lalu menatap Dylan dan berkata, "Kembalikan bayinya kepada Harvey."Bayi itu bukan anak mereka, Yvonne harus mengembalikannya kepada Har
Neil melihat seorang wanita yang mirip dengan Anas.Dalam sekejap, Neil langsung kehilangan akal sehat dan menarik wanita itu. "Anas."Pelayan wanita itu kaget dan membalikkan badan. Sesaat melihat Neil, pelayan itu bertanya dengan terbata-bata, "Pak, ada yang bisa kubantu?"Neil mengamati wajah pelayan ini. Bola mata Neil terasa ingin melompat keluar.Pelayan ini memiliki perawakan yang sama seperti Anas. Benar-benar mirip!"Kamu nggak mati? Kamu masih hidup?" Neil terharu sampai ingin menangis sekaligus tertawa. Perasaannya terasa campur aduk.Namun pelayan ini mengira kalau Neil memiliki gangguan psikologis. "Pak, Anda salah mengenali orang?"Tanpa pikir panjang, Neil langsung memeluk erat pelayan ini."Prang!" Nampan yang dibawa pelayan pun terjatuh ke lantai. Semua makanan jatuh berserakan.Pelayan ini terkejut, dia mengira kalau Neil ingin melecehkannya. Pelayan ini memberontak sambil berteriak, "Tolong, tolong aku! Tolong ....""Anas, kamu kenapa?" Neil mengerutkan alis. Kenapa
Neil menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat Yvonne, Neil bergegas berlari menghampirinya untuk menceritakan kejadian barusan."Yvonne, aku ketemu Anas! Anas belum mati, dia masih hidup!" kata Neil dengan bersemangat.Yvonne mengira kalau Neil sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan Anas. Yvonne hanya mengangguk. "Em, ayo kita masuk."Neil memelototi Yvonne. "Kamu nggak percaya?""Percaya, percaya!" jawab Yvonne."Tapi kamu kelihatan acuh tak acuh." Neil menenangkan diri, lalu menjelaskan semuanya, "Aku benar-benar ketemu Anas. Aku nggak berhalusinasi, aku juga nggak buta. Serius!"Yvonne mengamati raut wajah Neil yang kelihatan serius. "Kamu ketemu di mana?""Barusan, dia bekerja sebagai pelayan di restoran ini. namanya Lyana.""Lyana?" Yvonne mengerutkan alis."Tapi dia nggak mengenaliku, namanya juga berubah. Kayaknya dia hilang ingatan." Neil menarik tangan Yvonne. "Ayo, kita temui dia."Agar Yvonne percaya, Neil pun memanggil manajer restoran. "Mana pelayan yang tadi?
"Neil ketemu seorang pelayan yang mirip Anas. Aku nggak punya waktu untuk membantu Neil. Tadi aku mau minta Neil menghubungi aku begitu mendapatkan informasi, tapi dia malah langsung pergi," Yvonne menjelaskan."Kamu memang tidak boleh mengurus terlalu banyak hal. Lihat, berat badanmu sendiri turun drastis. Kamu harus menjaga kesehatanmu juga," Shawn menasihati Yvonne.Yvonne sadar, tubuhnya tidak selincah dan sebaik dulu. Yvonne stres menghadapi kehamilan pertama dan keduanya, terlalu banyak masalah yang terjadi.Tanpa Leah dan Samantha, Yvonne mungkin sudah masuk rumah sakit.Tiba-tiba Shawn merangkul pinggang Yvonne dan menggendongnya bak seorang tuan putri.Yvonne terkejut dan refleks memeluk leher Shawn. Tindakan Shawn benar-benar membuat Yvonne kaget.Yvonne memelototi Shawn. "Ini di luar, kamu nggak lihat banyak orang? Jangan main-main.""Kenapa mesti malu? Kita adalah suami istri. Kamu lagi sakit, bukankah sudah semestinya aku merawat kamu?" Shawn menggendong Yvonne menuruni ta
Kali ini Dylan terlalu gegabah, dia tidak sempat menghindari serangan Harvey.Dylan murka begitu terkena pukulan Harvey. Dia menarik kerah pakaian Harvey, lalu melayangkan tinjuan ke wajahnya. "Kamu minta dihajar?"Harvey tak mau terlihat lemah. "Sialan, berani-beraninya kamu menggunakan cara rendahan untuk menjebakku! Aku yang seharusnya menghajarmu! Kamu berharap aku berterima kasih kepadamu?"Dylan tersenyum dingin. "Nggak perlu.""Bajingan!" Harvey kesal menghadapi sikap Dylan.Harvey dan Dylan berkelahi, tidak ada yang mau mengalah. Di saat bayi Harvey menangis, mereka baru berhenti bertengkar.Harvey menyeka bibirnya sambil menatap tajam Dylan. "Masalah hari ini belum selesai. Tunggu pembalasanku!""Memangnya kamu bisa apa? Menelan aku?" Dylan meliriknya sambil tersenyum sinis. "Kayaknya kamu nggak punya kemampuan itu."Kemudian Dylan membalikkan badan dan pergi meninggalkan kamar hotel.Harvey bergegas menggendong bayinya yang menangis tersedu-sedu. Sepertinya bayi ini lapar.Ha
Neil tidak buta, dia melihat jelas Lyana yang menggertakkan gigi karena kesal."Kalau tidak mau melayaniku, ngapain datang?" Neil tersenyum."Kamu mempunyai uang dan kekuasaan, sedangkan aku tidak bisa menolak perintah atasan. Kalau tidak dipaksa, apakah menurutmu aku bakal sukarela melayani manusia yang semena-mena sepertimu?"Neil mengerutkan alis. "Aku? Semena-mena?""Kamu menggunakan kekuasaan untuk memaksa manajer menekanku. Kalau bukan semena-mena, terus apa namanya?" Di mata Lyana, Neil bukanlah pria yang baik.Neil tidak membantah. "Maafkan aku, kemarin malam aku tidak sengaja.""Em, aku memaafkanmu. Apakah aku sudah boleh pergi?" Lyana mengerutkan bibir.Neil mengusap keningnya. Tampaknya Lyana masih marah."Baiklah, silakan pergi." Neil mengangguk, dia tidak mau memaksa Lyana.Lyana langsung pergi. Sesampainya di depan pintu, dia berhenti dan membalikkan badan. Neil tersenyum, dia mengira kalau Lyana menyesal."Kita bisa berteman ....""Aku mau tanya, aku tidak akan dipecat,
Shawn menunduk dan menatap Yvonne lekat-lekat.“Kenapa? Kok pandangin aku kayak begitu?” tanya Yvonne sambil tersenyum. Kemudian, dia berjinjit dan merangkul leher Shawn sebelum menciumnya.Begitu bibir mereka bersentuhan, tubuh Shawn langsung menjadi tegang. Yvonne pun melepaskannya, lalu bertanya, “Kamu masih marah?”Sebelum Shawn sempat menjawab, Yvonne berkata lagi, “Mengenai diari yang kutulis ....”Shawn mengerutkan keningnya dengan terkejut. Dia tidak menyangka Yvonne akan mengungkit hal ini terlebih dahulu.Yvonne berjinjit, lalu membenamkan kepalanya di pundak Shawn. Dia mengelus leher seksi Shawn sambil berkata, “Waktu menulis diari itu, aku baru berumur sekitar 14-15 tahun dan nggak mengerti apa itu rasa suka maupun cinta. Biarpun pernah tertarik pada lawan jenis, aku langsung melupakannya setelah melewati masa-masa itu.”“Benarkah?” tanya Shawn dengan kurang percaya.“Tentu saja! Berhubung sikapmu tiba-tiba jadi aneh, aku menebak kamu seharusnya marah karena sudah membaca d
Selesai menangani masalahnya, Shawn pun kembali dengan buru-buru. Tak disangka, dia malah menyaksikan kejadian ini dalam perjalanan pulang. Setelah itu, dia menutup kembali jendela mobil dan berkata sambil menahan amarahnya, “Jalan.”Sopirnya Shawn pun segera mengendarai mobilnya meninggalkan tempat ini. Begitu Shawn tiba di rumah, Dio langsung melemparkan diri ke dalam pelukannya sambil berseru, “Papa!”Shawn menggendong Dio, lalu bertanya, “Apa kamu merindukan aku?”“Rindu!” jawab Dio sambil mengangguk.“Rindu di mana?” tanya Shawn.“Di sini,” jawab Dio sambil menepuk-nepuk dadanya. Kemudian, dia juga mengecup pipi Shawn.Pipi Shawn pun berlumuran air liur yang memiliki aroma unik. Dia mengerutkan keningnya dan bertanya, “Apa yang kamu makan malam ini?”Dio memiringkan kepalanya untuk berpikir, lalu menjawab, “Makan nasi dan sup.”Jawaban Dio pun membuat Shawn tertawa. Siapa yang tidak tahu Dio makan nasi? Dia pun bertanya lagi, “Selain itu?”Setelah berpikir sejenak, Dio menjawab, “
Saat melihat kemunculan Anas, Nico segera menghampirinya dan langsung memeluknya. Dia bertanya, “Kamu ingat padaku, ‘kan? Kalau nggak, kamu nggak mungkin menatapku seperti itu hari ini. Aku kira itu hanya bayanganku, tapi ternyata bukan! Untung kamu keluar!”“Aku nggak ingat kamu!” jawab Anas.Jawaban Anas itu membuat Niko bagaikan disiram air dingin. Dia tidak percaya dan berkata, “Kamu boleh melupakan orang lain, tapi nggak boleh melupakanku!”Niko menahan bahu Anas dan menatapnya lekat-lekat. Sementara itu, Anas tidak menghindar. Dia menatap mata Niko dan menjawab, “Biarpun nggak mengingatmu, aku tahu kamu memikirkan kebaikanku dan berkata jujur padaku. Aku menyadari kegembiraanmu saat melihatku dan juga bisa merasakan amarahmu terhadap Neil. Jadi, aku tahu kamu itu orang baik.”“Aku bukan hanya adalah orang yang baik, tapi juga orang yang sangat mencintaimu dan ingin melindungimu. Ikutlah aku pergi,” ujar Niko dengan gembira. Kemudian, dia segera menarik tangan Anas.Anas menggelen
Anas menggigit bibirnya dan berkata, “Jangan begitu ....”Namun, sebelum Anas menyelesaikan kata-katanya, Neil langsung mencium bibirnya dan mencengkeramnya dengan sangat kuat. Meskipun merasa jijik, Anas juga tidak bisa menolak secara terang-terangan. Dia pun bersikap pura-pura malu dan berkata, “Jangan ....”Neil mengusap wajah Anas, lalu menjawab, “Aku ini kekasihmu dan cuma mau menciummu kok.”“Aku sudah nggak ingat kamu itu kekasihku,” jawab Anas.“Kamu akan segera mengingatnya begitu sering dicium sama aku,” kata Neil.“Dasar mesum!” seru Anas sambil berpura-pura marah. Kemudian, dia pun melepaskan diri dari pelukan Neil.Neil tidak bisa terlalu mendesak Anas. Jadi, dia pun berkata dengan sabar, “Ini adalah tindakan yang wajar dilakukan pasangan kekasih kok! Lagian, aku pasti akan bertanggung jawab. Aku bahkan bisa langsung menikahimu kalau kamu mau!”Anas tidak ingin membicarakan tentang hal ini lagi. Jadi, dia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, “Kapan kerjaanmu
Neil sangat waspada terhadap Niko. Terlebih lagi, sebelum kehilangan ingatannya, Anas memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Niko. Meskipun dia tidak yakin apakah Anas memiliki perasaan terhadap Niko, perasaan pria itu terhadap Anas telah diketahui oleh semua orang.Neil pun menarik Anas, lalu menatap Niko dengan penuh waspada. Dia bertanya dengan tidak ramah, "Kenapa kamu datang ke sini?"Niko langsung mengabaikannya dengan berkata, "Aku bukan datang untuk mencarimu."Neil tampak memicingkan mata dengan pandangan yang sangat tidak ramah. Dia menegaskan, "Biar kuperingatkan, jangan ganggu Anas."Namun, Niko malah tertawa dingin sebelum berkata, "Selagi dia kehilangan ingatan, kamu mau menipunya lagi? Biar kuberi tahu, aku bakal kasih tahu dia tentang segala sesuatu yang kamu lakukan padanya dulu ....""Dasar orang gila!" Usai berkata demikian, Neil langsung membawa Anas ke mobilnya sambil berkata, "Jangan percaya dengan omong kosongnya."Namun, Anas tidak berkata apa-apa, melainkan
Nyonya Sanchez masih belum menyelesaikan perkataannya, tetapi Neil telah menyela, "Ibu, apa yang kamu katakan?"Neil yang agak kesal menambahkan, "Dulunya, gimana Ibu mencelakai Anas? Aku bahkan nggak perhitungan dengan Ibu. Kalau bukan Anas yang kehilangan ingatan, mungkin kami nggak akan punya kesempatan bersama lagi. Dia sudah seperti ini, kenapa Ibu masih curiga padanya?" Nyonya Sanchez menatap putranya sambil berkata, "Ibu nggak bermaksud untuk curiga padanya, hanya saja kejadian ini terlalu kebetulan ....""Penyebab kebakarannya sudah jelas, itu masalah korsleting. Kebakaran itu hanya sebuah kecelakaan. Mana boleh Ibu curiga padanya dalam hal ini?" ucap Neil yang tidak menerima hal tersebut.Berhubung Neil merasa bersalah kepada Anas, dia selalu ingin menebus kesalahannya. Apabila mencurigai Anas pada momen seperti ini, apakah Neil masih dapat dianggap mempunyai hati nurani?Di luar pintu kamar, Anas segera pergi setelah mendengar kata-kata itu. Wajahnya tetap berekspresi datar.
Samantha menjawab sambil tersenyum, "Bukalah semuanya, kamu akan tahu nanti."Yvonne sepertinya sudah memahami maksud ibunya. "Ibu suruh aku pulang, hanya untuk ini?" tanya Yvonne sambil menunjuk berbagai kotak hadiah mewah yang memenuhi seluruh ruang tamu.Samantha tampak mengangguk. Yvonne berjalan masuk dengan mengenakan sandal, lalu membuka kotak-kotak tersebut. Sementara itu, Samantha yang berdiri di samping terlihat sangat gembira. Dia berkata, "Pagi ini, banyak orang yang datang secara bergiliran untuk mengantarkan semua ini. Ibu mau memanggilmu, tapi kamu ternyata nggak ada di rumah.""Kamu sudah mau nikah, harus berpikir dua kali dulu sebelum bertindak. Lihatlah dirimu, baru selesai dioperasi berapa hari? Mukamu bahkan masih terbungkus perban, tapi malah keluar tengah malam begini, apa itu tindakan yang benar?" tanya Samantha.Yvonne mengakui kesalahannya sambil tersenyum. Dia juga berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Ketika membuka kotak yang dipegangnya, ternyata itu adal
Mungkinkah itu telepon dari Shawn? Yvonne sontak bersemangat. Dia mengangkat telepon dan segera berkata, "Halo?"Namun, orang yang berbicara di ujung telepon adalah Samantha. "Yvonne, kamu pergi malam-malam begini?"Yvonne hanya mengiakan dengan suara rendah. Dia berusaha menutupi kekecewaannya. Sementara itu, Samantha menegur, "Kamu ada keperluan apa sampai keluar malam-malam? Kenapa kamu begitu bandel? Apa kamu nggak tahu gimana keadaanmu sekarang?"Yvonne berkata sambil tersenyum, "Baiklah, nggak akan kuulangi lagi.""Kamu selalu bilang seperti itu, tapi Ibu nggak pernah melihatmu menepati janjimu," ucap Samantha. Dia bukannya ingin memarahi Yvonne, melainkan karena terlalu khawatir. Yvonne sengaja mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "Ibu, kamu meneleponku, pasti ada sesuatu, 'kan?""Iya, kamu sudah mau pulang, 'kan?" tanya Samantha.Yvonne menjawab, "Iya.""Kamu akan tahu begitu pulang," ucap Samantha.Yvonne berkata, "Aku sudah mau sampai rumah." Usai itu, dia langsung mengak
Ketika Yvonne melihat Anas, ekspresinya memang terlihat sangat ketakutan dan wajahnya pucat. Melihat Anas yang seperti itu, Yvonne sontak merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mencurigai Anas, bahkan merasa dia seharusnya tidak mungkin akan pingsan karena situasi ini?Yvonne pun bertanya dengan nada lembut, "Apa kamu sudah merasa baikan? Nyaman nggak di rumah sakit? Gimana kalau pulang bersamaku dan tinggal beberapa hari di rumahku? Neil mungkin perlu dirawat inap selama beberapa hari ...."Namun, Anas malah menyela, "Nggak usah, aku baik-baik saja."Yvonne jelas merasakan sikap Anas yang menjauhinya. Dia memegang tangan Anas sambil berkata, "Anas, kita teman yang sangat akrab. Jangan sungkan denganku, ya. Dulu, kita bahkan tidur di satu ranjang."Anas bertanya, "Benarkah? Aku sudah lupa."Yvonne tidak kehilangan semangat. Dia tidak mempermasalahkan sikap dingin Anas, sebaliknya malah berkata sambil tersenyum, "Iya, benar!""Pulanglah, aku mau mencari Neil,"