"Terlepas dari apa pun tujuannya, yang penting kita harus melakukan tes DNA dulu. Aku tidak akan melepaskan kemungkinan sekecil apa pun." Shawn memeluk Yvonne. "Ayo, kita pergi."Begitu masuk mobil, Yvonne mengenakan sabuk pengaman sambil berkata, "Shawn, aku mau lakukan sendiri tes DNA-nya."Yvonne tidak memercayai orang lain, dia takut ada yang memanipulasi hasilnya."Oke." Shawn mengangguk setuju.Yvonne sangat berharap sekaligus gugup.Shawn menggenggam erat telapak tangannya. "Jangan berpikir terlalu jauh."Yvonne menoleh ke luar jendela sambil bersandar di bangku. "Maksudmu ... jangan berharap terlalu banyak?"Benar, Shawn memang berpikir seperti itu. Yvonne sangat memahami jalan pikiran Shawn.Yvonne mengangguk, dia berpura-pura tetap tenang. "Aku tahu, kok. Tenang saja."...."Istirahatlah." Shawn berpesan sesampainya di rumah.Yvonne mengangguk, lalu membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah.Shawn baru pergi setelah memastikan Yvonne masuk ke dalam rumah.Begitu menutup pi
Harvey sendiri yang membukakan pintu. Dia kelihatan agak kesal. "Aku pikir kamu mengingkari janji.""Tadi ada urusan," Yvonne menjawab dengan datar."Silakan masuk." Harvey memberikan jalan.Yvonne tidak langsung masuk, dia memperhatikan keadaan di dalam untuk berjaga-jaga. Begitu melihat ada orang lain, Yvonne baru beranjak masuk.Harvey menutup pintu. "Curiga banget? Kamu takut aku terkam?""Memangnya kamu pernah berhasil?" Yvonne berbalik tanya.Harvey terdiam. Harus diakui, Yvonne memang wanita yang licik. Agar tidak mempermalukan diri sendiri, Harvey bergegas mengubah topik pembicaraan. "Kenalkan, ini adalah istriku, Fiona."Wanita yang duduk di sofa sambil menggendong seorang pun bangkit berdiri untuk menyapa Yvonne. "Halo. Kamu temannya Harvey? Senang berkenalan denganmu."Yvonne tidak mengerti, apa yang sedang direncanakan Harvey?"Halo," Yvonne membalas sapaan Fiona.Harvey beranjak ke samping Fiona, lalu memeluknya sambil berbicara kepada Yvonne. "Bagaimanapun kita adalah tem
Fiona merasa agak pusing, perlahan-lahan pandangannya mulai kabur. Dia bahkan tidak bisa melihat jelas Harvey yang berada di hadapannya.Harvey duduk sambil menggelengkan kepala. Dia berusaha untuk menjaga kesadarannya."Apakah kamu merasa pusing? Kepalaku terasa berputar-putar," tanya Fiona.Bahkan bayi yang tadinya menangis pun tertidur dalam hitungan detik.Harvey baru mengerti kenapa tadi Yvonne marah. Yvonne adalah seorang dokter, dia memiliki indera penciuman yang sensitif. Tadi dia pasti mencium aroma yang mencurigakan.Tatapan Harvey langsung tertuju kepada lilin yang berada di atas meja. Tadi seorang staf hotel datang memberikan lilin tersebut, katanya ini adalah lilin aroma terapi yang bagus untuk memelihara kualitas tidur.Harvey tidak berpikir terlalu banyak, dia meletakkan lilin itu di atas meja. Pasti lilinnya yang bermasalah.Harvey bangkit berdiri dan hendak memadamkan lilin tersebut. Namun sebelum sempat menjangkau lilin tersebut, Harvey telah kehilangan kesadaran dan
"Hmm?" Shawn juga menantikan jawabannya.Yvonne menggelengkan kepala. "Bukan anak kita ...."Bayi itu bukan anak mereka, sama sekali tidak memiliki hubungan darah.Kilatan kekecewaan melintas di mata Shawn, tetapi dia tidak berlama-lama meratapi kesedihannya.Shawn memeluk Yvonne sambil mengusap pundaknya. "Tidak apa-apa, kita cari lagi sampai ketemu. Tadi aku baru mendapatkan kabar, detektifnya sudah menemukan petunjuk. Jangan cemas, ya!"Sejak awal, Shawn sudah mengingatkan Yvonne untuk menjaga harapannya. Seandainya bayi itu anak mereka, Harvey tidak mungkin membawanya ke hadapan Shawn dan Yvonne.Akan tetapi, Yvonne tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Yvonne mencemaskan keselamatan anaknya. Bagaimana kalau anaknya menderita?Yvonne adalah seorang dokter, dia terbiasa dilatih untuk bersikap tenang dan bijaksana. Yvonne mengatur suasana hatinya, lalu menatap Dylan dan berkata, "Kembalikan bayinya kepada Harvey."Bayi itu bukan anak mereka, Yvonne harus mengembalikannya kepada Har
Neil melihat seorang wanita yang mirip dengan Anas.Dalam sekejap, Neil langsung kehilangan akal sehat dan menarik wanita itu. "Anas."Pelayan wanita itu kaget dan membalikkan badan. Sesaat melihat Neil, pelayan itu bertanya dengan terbata-bata, "Pak, ada yang bisa kubantu?"Neil mengamati wajah pelayan ini. Bola mata Neil terasa ingin melompat keluar.Pelayan ini memiliki perawakan yang sama seperti Anas. Benar-benar mirip!"Kamu nggak mati? Kamu masih hidup?" Neil terharu sampai ingin menangis sekaligus tertawa. Perasaannya terasa campur aduk.Namun pelayan ini mengira kalau Neil memiliki gangguan psikologis. "Pak, Anda salah mengenali orang?"Tanpa pikir panjang, Neil langsung memeluk erat pelayan ini."Prang!" Nampan yang dibawa pelayan pun terjatuh ke lantai. Semua makanan jatuh berserakan.Pelayan ini terkejut, dia mengira kalau Neil ingin melecehkannya. Pelayan ini memberontak sambil berteriak, "Tolong, tolong aku! Tolong ....""Anas, kamu kenapa?" Neil mengerutkan alis. Kenapa
Neil menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat Yvonne, Neil bergegas berlari menghampirinya untuk menceritakan kejadian barusan."Yvonne, aku ketemu Anas! Anas belum mati, dia masih hidup!" kata Neil dengan bersemangat.Yvonne mengira kalau Neil sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan Anas. Yvonne hanya mengangguk. "Em, ayo kita masuk."Neil memelototi Yvonne. "Kamu nggak percaya?""Percaya, percaya!" jawab Yvonne."Tapi kamu kelihatan acuh tak acuh." Neil menenangkan diri, lalu menjelaskan semuanya, "Aku benar-benar ketemu Anas. Aku nggak berhalusinasi, aku juga nggak buta. Serius!"Yvonne mengamati raut wajah Neil yang kelihatan serius. "Kamu ketemu di mana?""Barusan, dia bekerja sebagai pelayan di restoran ini. namanya Lyana.""Lyana?" Yvonne mengerutkan alis."Tapi dia nggak mengenaliku, namanya juga berubah. Kayaknya dia hilang ingatan." Neil menarik tangan Yvonne. "Ayo, kita temui dia."Agar Yvonne percaya, Neil pun memanggil manajer restoran. "Mana pelayan yang tadi?
"Neil ketemu seorang pelayan yang mirip Anas. Aku nggak punya waktu untuk membantu Neil. Tadi aku mau minta Neil menghubungi aku begitu mendapatkan informasi, tapi dia malah langsung pergi," Yvonne menjelaskan."Kamu memang tidak boleh mengurus terlalu banyak hal. Lihat, berat badanmu sendiri turun drastis. Kamu harus menjaga kesehatanmu juga," Shawn menasihati Yvonne.Yvonne sadar, tubuhnya tidak selincah dan sebaik dulu. Yvonne stres menghadapi kehamilan pertama dan keduanya, terlalu banyak masalah yang terjadi.Tanpa Leah dan Samantha, Yvonne mungkin sudah masuk rumah sakit.Tiba-tiba Shawn merangkul pinggang Yvonne dan menggendongnya bak seorang tuan putri.Yvonne terkejut dan refleks memeluk leher Shawn. Tindakan Shawn benar-benar membuat Yvonne kaget.Yvonne memelototi Shawn. "Ini di luar, kamu nggak lihat banyak orang? Jangan main-main.""Kenapa mesti malu? Kita adalah suami istri. Kamu lagi sakit, bukankah sudah semestinya aku merawat kamu?" Shawn menggendong Yvonne menuruni ta
Kali ini Dylan terlalu gegabah, dia tidak sempat menghindari serangan Harvey.Dylan murka begitu terkena pukulan Harvey. Dia menarik kerah pakaian Harvey, lalu melayangkan tinjuan ke wajahnya. "Kamu minta dihajar?"Harvey tak mau terlihat lemah. "Sialan, berani-beraninya kamu menggunakan cara rendahan untuk menjebakku! Aku yang seharusnya menghajarmu! Kamu berharap aku berterima kasih kepadamu?"Dylan tersenyum dingin. "Nggak perlu.""Bajingan!" Harvey kesal menghadapi sikap Dylan.Harvey dan Dylan berkelahi, tidak ada yang mau mengalah. Di saat bayi Harvey menangis, mereka baru berhenti bertengkar.Harvey menyeka bibirnya sambil menatap tajam Dylan. "Masalah hari ini belum selesai. Tunggu pembalasanku!""Memangnya kamu bisa apa? Menelan aku?" Dylan meliriknya sambil tersenyum sinis. "Kayaknya kamu nggak punya kemampuan itu."Kemudian Dylan membalikkan badan dan pergi meninggalkan kamar hotel.Harvey bergegas menggendong bayinya yang menangis tersedu-sedu. Sepertinya bayi ini lapar.Ha