Fiona merasa agak pusing, perlahan-lahan pandangannya mulai kabur. Dia bahkan tidak bisa melihat jelas Harvey yang berada di hadapannya.Harvey duduk sambil menggelengkan kepala. Dia berusaha untuk menjaga kesadarannya."Apakah kamu merasa pusing? Kepalaku terasa berputar-putar," tanya Fiona.Bahkan bayi yang tadinya menangis pun tertidur dalam hitungan detik.Harvey baru mengerti kenapa tadi Yvonne marah. Yvonne adalah seorang dokter, dia memiliki indera penciuman yang sensitif. Tadi dia pasti mencium aroma yang mencurigakan.Tatapan Harvey langsung tertuju kepada lilin yang berada di atas meja. Tadi seorang staf hotel datang memberikan lilin tersebut, katanya ini adalah lilin aroma terapi yang bagus untuk memelihara kualitas tidur.Harvey tidak berpikir terlalu banyak, dia meletakkan lilin itu di atas meja. Pasti lilinnya yang bermasalah.Harvey bangkit berdiri dan hendak memadamkan lilin tersebut. Namun sebelum sempat menjangkau lilin tersebut, Harvey telah kehilangan kesadaran dan
"Hmm?" Shawn juga menantikan jawabannya.Yvonne menggelengkan kepala. "Bukan anak kita ...."Bayi itu bukan anak mereka, sama sekali tidak memiliki hubungan darah.Kilatan kekecewaan melintas di mata Shawn, tetapi dia tidak berlama-lama meratapi kesedihannya.Shawn memeluk Yvonne sambil mengusap pundaknya. "Tidak apa-apa, kita cari lagi sampai ketemu. Tadi aku baru mendapatkan kabar, detektifnya sudah menemukan petunjuk. Jangan cemas, ya!"Sejak awal, Shawn sudah mengingatkan Yvonne untuk menjaga harapannya. Seandainya bayi itu anak mereka, Harvey tidak mungkin membawanya ke hadapan Shawn dan Yvonne.Akan tetapi, Yvonne tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Yvonne mencemaskan keselamatan anaknya. Bagaimana kalau anaknya menderita?Yvonne adalah seorang dokter, dia terbiasa dilatih untuk bersikap tenang dan bijaksana. Yvonne mengatur suasana hatinya, lalu menatap Dylan dan berkata, "Kembalikan bayinya kepada Harvey."Bayi itu bukan anak mereka, Yvonne harus mengembalikannya kepada Har
Neil melihat seorang wanita yang mirip dengan Anas.Dalam sekejap, Neil langsung kehilangan akal sehat dan menarik wanita itu. "Anas."Pelayan wanita itu kaget dan membalikkan badan. Sesaat melihat Neil, pelayan itu bertanya dengan terbata-bata, "Pak, ada yang bisa kubantu?"Neil mengamati wajah pelayan ini. Bola mata Neil terasa ingin melompat keluar.Pelayan ini memiliki perawakan yang sama seperti Anas. Benar-benar mirip!"Kamu nggak mati? Kamu masih hidup?" Neil terharu sampai ingin menangis sekaligus tertawa. Perasaannya terasa campur aduk.Namun pelayan ini mengira kalau Neil memiliki gangguan psikologis. "Pak, Anda salah mengenali orang?"Tanpa pikir panjang, Neil langsung memeluk erat pelayan ini."Prang!" Nampan yang dibawa pelayan pun terjatuh ke lantai. Semua makanan jatuh berserakan.Pelayan ini terkejut, dia mengira kalau Neil ingin melecehkannya. Pelayan ini memberontak sambil berteriak, "Tolong, tolong aku! Tolong ....""Anas, kamu kenapa?" Neil mengerutkan alis. Kenapa
Neil menoleh ke arah sumber suara. Begitu melihat Yvonne, Neil bergegas berlari menghampirinya untuk menceritakan kejadian barusan."Yvonne, aku ketemu Anas! Anas belum mati, dia masih hidup!" kata Neil dengan bersemangat.Yvonne mengira kalau Neil sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan Anas. Yvonne hanya mengangguk. "Em, ayo kita masuk."Neil memelototi Yvonne. "Kamu nggak percaya?""Percaya, percaya!" jawab Yvonne."Tapi kamu kelihatan acuh tak acuh." Neil menenangkan diri, lalu menjelaskan semuanya, "Aku benar-benar ketemu Anas. Aku nggak berhalusinasi, aku juga nggak buta. Serius!"Yvonne mengamati raut wajah Neil yang kelihatan serius. "Kamu ketemu di mana?""Barusan, dia bekerja sebagai pelayan di restoran ini. namanya Lyana.""Lyana?" Yvonne mengerutkan alis."Tapi dia nggak mengenaliku, namanya juga berubah. Kayaknya dia hilang ingatan." Neil menarik tangan Yvonne. "Ayo, kita temui dia."Agar Yvonne percaya, Neil pun memanggil manajer restoran. "Mana pelayan yang tadi?
"Neil ketemu seorang pelayan yang mirip Anas. Aku nggak punya waktu untuk membantu Neil. Tadi aku mau minta Neil menghubungi aku begitu mendapatkan informasi, tapi dia malah langsung pergi," Yvonne menjelaskan."Kamu memang tidak boleh mengurus terlalu banyak hal. Lihat, berat badanmu sendiri turun drastis. Kamu harus menjaga kesehatanmu juga," Shawn menasihati Yvonne.Yvonne sadar, tubuhnya tidak selincah dan sebaik dulu. Yvonne stres menghadapi kehamilan pertama dan keduanya, terlalu banyak masalah yang terjadi.Tanpa Leah dan Samantha, Yvonne mungkin sudah masuk rumah sakit.Tiba-tiba Shawn merangkul pinggang Yvonne dan menggendongnya bak seorang tuan putri.Yvonne terkejut dan refleks memeluk leher Shawn. Tindakan Shawn benar-benar membuat Yvonne kaget.Yvonne memelototi Shawn. "Ini di luar, kamu nggak lihat banyak orang? Jangan main-main.""Kenapa mesti malu? Kita adalah suami istri. Kamu lagi sakit, bukankah sudah semestinya aku merawat kamu?" Shawn menggendong Yvonne menuruni ta
Kali ini Dylan terlalu gegabah, dia tidak sempat menghindari serangan Harvey.Dylan murka begitu terkena pukulan Harvey. Dia menarik kerah pakaian Harvey, lalu melayangkan tinjuan ke wajahnya. "Kamu minta dihajar?"Harvey tak mau terlihat lemah. "Sialan, berani-beraninya kamu menggunakan cara rendahan untuk menjebakku! Aku yang seharusnya menghajarmu! Kamu berharap aku berterima kasih kepadamu?"Dylan tersenyum dingin. "Nggak perlu.""Bajingan!" Harvey kesal menghadapi sikap Dylan.Harvey dan Dylan berkelahi, tidak ada yang mau mengalah. Di saat bayi Harvey menangis, mereka baru berhenti bertengkar.Harvey menyeka bibirnya sambil menatap tajam Dylan. "Masalah hari ini belum selesai. Tunggu pembalasanku!""Memangnya kamu bisa apa? Menelan aku?" Dylan meliriknya sambil tersenyum sinis. "Kayaknya kamu nggak punya kemampuan itu."Kemudian Dylan membalikkan badan dan pergi meninggalkan kamar hotel.Harvey bergegas menggendong bayinya yang menangis tersedu-sedu. Sepertinya bayi ini lapar.Ha
Neil tidak buta, dia melihat jelas Lyana yang menggertakkan gigi karena kesal."Kalau tidak mau melayaniku, ngapain datang?" Neil tersenyum."Kamu mempunyai uang dan kekuasaan, sedangkan aku tidak bisa menolak perintah atasan. Kalau tidak dipaksa, apakah menurutmu aku bakal sukarela melayani manusia yang semena-mena sepertimu?"Neil mengerutkan alis. "Aku? Semena-mena?""Kamu menggunakan kekuasaan untuk memaksa manajer menekanku. Kalau bukan semena-mena, terus apa namanya?" Di mata Lyana, Neil bukanlah pria yang baik.Neil tidak membantah. "Maafkan aku, kemarin malam aku tidak sengaja.""Em, aku memaafkanmu. Apakah aku sudah boleh pergi?" Lyana mengerutkan bibir.Neil mengusap keningnya. Tampaknya Lyana masih marah."Baiklah, silakan pergi." Neil mengangguk, dia tidak mau memaksa Lyana.Lyana langsung pergi. Sesampainya di depan pintu, dia berhenti dan membalikkan badan. Neil tersenyum, dia mengira kalau Lyana menyesal."Kita bisa berteman ....""Aku mau tanya, aku tidak akan dipecat,
Kesabaran Lyana mulai habis. "Apa lagi?""Apakah penginapan kalian menyediakan makanan?" Neil bertanya sambil tersenyum."Tidak!" jawab Lyana dengan dingin."Apakah kamu bisa memberikan rekomendasi restoran di dekat sini?" Neil lanjut bertanya.Lyana tersenyum sinis. "Orang kaya sepertimu nggak bakal terbiasa menyantap makanan desa. Di sini nggak ada makanan yang sesuai seleramu.""Oh ...." Neil mulai kehabisan kata-kata. "Aku tidak pilih-pilih makanan, kok.""Kamu mau makan kotoran?" tanya Lyana. Tanpa menunggu jawaban Neil, Lyana menunjuk ke arah kamar mandi sambil berkata, "Sana!"Anas yang dulu bukanlah wanita yang kasar. Untuk sesaat, Neil sempat meragukan wanita yang berdiri di hadapannya. Namun Lyana dan Anas sangat mirip, bahkan bisa dibilang persis!"Kamu bercanda ...." Neil berusaha bersabar."Aku kelihatan lagi bercanda?" Lyana memandangnya sinis, lalu membalikkan badan dan pergi.Neil tidak menyerah begitu saja. Dia pergi menemui wanita paruh baya yang menyambutnya pertama