Raja tetap kukuh untuk tidak menumpang jika nantinya perempuan itu akan mengatakan yang tidak-tidak pada rekan sesama guru tapi seketika Raja mengingat sesuatu, “Bu Zara, masuk hari ini?”
“Ngga sih, aku sekolah mau mengambil barang yang ketinggalan. Pak Raja yakin ngga mau bareng aku?”
Raja kembali berpikir, rupanyapa pertahanannya mulai runtuh karna ucapan Zara tidak mungkin lama di sekolah. Jadi ia akhirnya mengangguk toh menerima tawaran Zara tak ada salahnya.
“Aku ngga mengerti” ucap Zara pura-pura bodoh dengan arti anggukan Raja
Raja memutar bola matanya malas, “baiklah”
“Yes! Tapi kamu yang menyetir, ya?”
Satu alis Raja terangkat, Yes? Apa yang Yes? Atau Zara bahagia dengan ia harus jadi sopir untuk Zara, iya mungkin karna itu tapi ia tak peduli yang pasti ia tidak akan terlambat ke sekolah lalu bergumam dan berjalan menuju pintu pengemudi.
Selama perjalanan Raja hanya menjawab seadanya pertanyaan-pertanyaan tidak penting dari Zara atau bergumam dan berdoa supaya perjalanan tidak macet.
“Pak Wira, kita ke sekolah dasar Clara dulu ya?”
Raja bergumam dengan tatapan lurus ke depan, selama perjalanan ke sekolah dasar suasana menjadi hening tanpa ada cerita tidak penting dari Zara dan Raja menyukai hal itu. Beberapa menit kemudian, mobil yang di kemudikan Raja sampai di sekolah dasar di susul dengan Zara dan keponakan perempuan itu yang bernama Clara. Zara sempat meminta Raja untuk ikut tapi Raja menolak itu lalu melirik lagi jam yang ada di pergelangan tangannya, Raja berkali-kali mengetuk pelan setir karna menunggu Zara hampir sepuluh menit. Akhirnya karna bosan, Raja memilih menunggu di luar mobil.
Sebenarnya jarak antara sekolah menengah atas dan sekolah dasar tidaklah terlalu jauh tapi untuk berjalan kaki cukup membuatnya capek jadi Raja memilih untuk menunggu, sesekali matanya melirik pada gerbang lalu kembali lagi pada layar hapenya hingga pandangannya terpaku pada wanita yang menjadi alasannya datang dari Jakarta ke pulau Sumatra.
Ibu dari satu anak itu, memijit keningnya yang tiba-tiba terasa sakit. Entah kenapa setiap murid yang masuk dalam ruang BK hanya itu-itu saja. Demi apa pun guru itu sudah bosan dengan alasan dan orangnya. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, guru itu selalu berjalan mengelilingi sekolah menengah atas guna mencari murid yang masih berkeliaran di luar di jam pelajaran. Awalnya ia membuang nafas lega karna tidak ada murid yang akan masuk BK hari ini tapi ternyata oh ternyata, saat guru itu melewati kantin ia melihat lima orang murid yang duduk santai di kantin lalu ia menghampiri mereka dan jadilah mereka semua ada di ruang BK.
Vania kembali menatap satu persatu dari tiga remaja laki-laki dan dua remaja perempuan yang saat ini tengah menunduk takut. Nah, mereka tahu takut tapi masih di ulangi.
“Jadi sekarang apa alasan kalian selalu cabut pada mata pelajaran Ekonomi, apa kalian buat janji untuk selalu cabut?” tanya Vania tegas.
“Ngga buk”
“jadi apa alasannya kalian? Bayu, Raka, Zio, Cika dan Rachel?” tanya Vania lagi dengan menatap mereka satu persatu.
“Kalau saya lapar buk, makanya saya pergi ke kantin. Tapi baru satu sendok masuk ke dalam mulut tiba-tiba belnya bunyi “ jelas Bayu, remaja yang walaupun terlihat seperti malaikat tapi dari ke empat murid itu hanya dia yang paling banyak catatan poinnya tapi belum di bayar.
“Memang kamu tidak sarapan pagi?”
“Saya tidak sekaya yang lain buk, pagi-pagi orang tua saya langsung berangkat kerja, sedangkan saya sebagai anak baik tidak mau menyusahkan mereka”
Vania menggelengkan dan yang lain mencibir. Menurut Vania, itu bukan alasan yang masuk akal di banding hidup Bayu, hidup Vania jauh lebih susah.
“Lalu yang lainya?”
“Saya karna melihat sahabat saya makan sendirian makanya saya temani, buk. Kasihan, kelihatan kalau dia itu jomblo buk!” celetuk Raka asal yang langsung di pelototi Vania.
“Lalu kamu?”
“Saya masuk kelas kok buk, Cuma keluar lagi mencari Bayu dan Raka. Jujur ya buk, tanpa mereka saya rasa ada yang kurang”
“Iya, masuk lalu permisi ke toilet dan tidak kembali ke kelas. Kamu tahu saya dan guru lain pikirannya apa?” lanjutnya dengan nada jenaka.
“Apa buk?”
“Kamu pacaran ya sama toilet? Kok nyaman banget lama-lama di sana!”
Seketika suasana yang canggung berubah menjadi penuh oleh gelak murid karna lelucon Vania tapi gelak itu hanya bertahan sebentar karna terdengar bunyi bruk! Dari benda yang di pukul di atas meja.
“Siapa yang melucu? Itu jelas kelakuan kalian terutama kamu Zio!” ucap Vania tegas lalu menoleh pada kedua perempuan yang juga ikut tergelak.
“Kalian juga, tidak perempuan tidak laki-laki atau perempuan ternyata sama saja, Cika Rachel apa alasan kalian tidak masuk kelas?” tanya Vania pada murid perempuan yang di temuinya duduk di luar kelas padahal kelas itu ada guru di dalam.
“Saya dan Rachel memang kelas tidak ada guru, buk. Karna kami bosan di kelas, jadi kami memutuskan untuk keluar eh tahunya saat kami kembali ke kelas pintu di kunci dari dalam. Karna kami tahu diri dan tahu aturan buk kalau pintu di tutup maka tidak ada harapan untuk masuk”
“Itu bukan alasan, kalau tidak ada guru datangi kantor dan tanya ‘buk kelas kami tidak ada guru atau buk ada tugas buat kami’ gitu”
Vania masih ingat dulu saat ia sekolah menengah atas mereka yang mendatangi guru kalau seandainya guru tidak masuk atau terlambat masuk tapi sekarang? Jangankan mencari guru lewat di depan kantor di jam pelajaran mereka biasa saja.
Vania hanya mengangguk sembari menulis satu persatu nama dari lima orang itu ke buku poin lalu menatap ke muridnya dengan tersenyum “ya sudah kalian keluar, jangan pernah masuk ke sini lagi ya! Kalo tidak ya, tunggu semester akhir hasil”
Mereka satu persatu meninggalkan ruang BK, Vania kembali menulis alasan dan kesalahan mereka jika sewaktu waktu orang tua murid tidak terima atas pengeluaran yang mereka bayar di setiap akhir semester. Vania tidak habis pikir dengan anak zaman sekarang, sudah tahu orang tua mereka susah, tapi mereka tidak mengerti dan masih membuat ulah yang menambah poin mereka.
Setelah menulis Vania, merenggangkan tangan lalu berdiri meletakkan buku poin ke lemari dan menguncinya. Setelah itu, ia meraih hapenya di dalam tas lalu memainkannya.
Setelah menyampaikan pesan dari kepala sekolah bahwa rapat di batalkan Raja kembali ke ruang guru. Raja sebagai wakil kepala sekolah wajib menyampaikan berita itu, walaupun sebagian guru sudah pada tahu. Seperti yang sudah ia perkirakan jika akan ada gosip baru tentang dirinya berangkat bareng Zara tapi karna sudah terbiasa jadi Raja hanya mengabaikan saja toh besok gosip itu akan hilang sendirinya.Raja kembali mengingat kesialannya hari ini, walau raja tidak mempercayai adanya hari sial tapi setelah mobilnya mogok ia terpaksa menumpang kepada wanita gila itu, ingat TERPAKSA!
“Pak, kertas ulangannya di letakkan di atas meja kami atau di atas meja bapak?” tanya seorang murid membuyarkan lamunan Raja.
“Di atas meja saya!”
Murid itu mengangguk lalu berdiri dengan membawa serta tasnya, dia juga menghiraukan bisikan temannya yang minta jawaban.
“Gue pulang dulu, ya” ucap murid laki-laki itu lalu keluar dari kelas, sementara Raja?
Ia memijit keningnya setelah membaca jawaban yang di tulis murid laki-laki itu, dari sepuluh pertanyaan yang di jawab hanya benar satu itu pun di buat hanya satu contoh saja sementara yang di minta semua contohnya.
Jadi apa yang akan ia nilai?
Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti dengan malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi ia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.Vania menguap untuk yang ke sekian kalinya tapi ia tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bacaannya, ia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengatur keuangannya.Mulai dari menggaji bik Nur sampai biaya kuliah Varo nantinya juga ia pikirkan, Vania sedikit menyesal kenapa dulu ia tak membeli rumah sederhana saja? Mungkin saat ini tabungannya dari bekerja sepulang sekolah menengah pertama sampai jadi guru masih banyak tapi Vania tak boleh menyesal, toh tinggal di lingkungan bersebelahan dengan perumahan Elit tak membuatnya menyesal karna keamanannya dapat di percaya.
“Ngga, gue ngga salah menilai perasaan sendiri” gumamnya lalu keluar dari mobil Raja sembari meraih tas yang berisi baju.Di dalam rumah, Raja langsung masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk mencari sesuatu yang sudah lama atau sangat lama ia sembunyikan. Raja masih ingat benda itu saat kuliahnya di Jakarta berjalan beberapa baru beberapa bulan ia dan seseorang itu berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan“Kok pandangi itu terus? Kamu suka?”“Eh? Hem... Ngga Cuma...” perempuan itu mengalihkan pandangan dari toko satu ke toko lainnya lalu tersenyum lebar, “ah, itu dia tokonya”Perempuan itu pergi meninggalkan Raja yang mendekati benda itu, “kalau suka kenapa ngga bilang sih?” gumamnya sembari memanggil pemilik toko.Mengingat itu membuat kedua sudut bibirnya mengembang lalu menghilang karna sampai saat ini benda yang tak lain adalah kalung itu tak pernah di pakai pemiliknya.Sungguh p
“Tapi sepatunya ada pada saya jadi milik saya!”Raja menghela nafas panjang sambil memijit keningnya yang tiba-tiba sakit, demi tuhan ia menyesal menjadi sopir Rio kalau ujung-ujungnya ia yang akan malu. Bagaimana tidak? Rio dengan keras kepala masih mempertahankan sepatu yang ada di tangannya sementara si wanita yang di belakangnya terdapat anak kecil itu sudah terisak antara menginginkan sepatu dan juga takut karna banyak orang.“Ngga bisa gitu dong, liat keponakan saya sudah nangis setidaknya anda sebagai orang yang sudah punya anak mengerti tentang anak kecil!”“Maaf saya tidak bisa karna anak saya jauh lebih tertarik dengan sepatu ini!” Rio masih kukuh dengan pendiriannya mengabaikan kalau putrinya berada di kota berbeda.“Anda tidak punya hati, anak anda jelas tidak ada di sini!” ujarnya lagi walau sudah di tenangkan dan di beri sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda oleh pemilik toko tetap saja pili
Sebagai seorang ibu, Vania merasa jika putranya terlalu cepat besar karna kini putranya itu sudah beberapa bulan bersekolah di sekolah dasar padahal baru kemarin ia melahirkan bayi yang setiap bayi itu menangis ia akan ikut menangis diam-diam setelah bayinya tidur.“Pagi, mah!” sapaan itu membuatnya kaget lalu mencari sumber suara yang menampilkan raut tak bersalah.“Varo! Kamu mau buat mama serangan jantung?”Putranya itu menggeleng lalu berusaha melihat apa yang ia masak, “wah... nasi goreng ya, mah? Pasti enak!”“Memang kapan masakan mama ngga enak?”“Ngga pernah sih hehe... tapi masakan mama selalu enak”Vania mengulum senyumnya lalu melirik jam yang menggantung di dinding, “siap-siap sana nanti terlambat!”“Ya.. padahal Varo mau bantu mama lagi kayak kemarin”Vania menggeleng, menolak niat Varo untuk membantunya memasak yang bukan membantu tapi menghancurkan dapur lalu ia membujuk putranya sampai akhirnya putranya mengangguk kemud
“Tapi sepatunya ada pada saya jadi milik saya!”Raja menghela nafas panjang sambil memijit keningnya yang tiba-tiba sakit, demi tuhan ia menyesal menjadi sopir Rio kalau ujung-ujungnya ia yang akan malu. Bagaimana tidak? Rio dengan keras kepala masih mempertahankan sepatu yang ada di tangannya sementara si wanita yang di belakangnya terdapat anak kecil itu sudah terisak antara menginginkan sepatu dan juga takut karna banyak orang.“Ngga bisa gitu dong, liat keponakan saya sudah nangis setidaknya anda sebagai orang yang sudah punya anak mengerti tentang anak kecil!”“Maaf saya tidak bisa karna anak saya jauh lebih tertarik dengan sepatu ini!” Rio masih kukuh dengan pendiriannya mengabaikan kalau putrinya berada di kota berbeda.“Anda tidak punya hati, anak anda jelas tidak ada di sini!” ujarnya lagi walau sudah di tenangkan dan di beri sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda oleh pemilik toko tetap saja pili
“Ngga, gue ngga salah menilai perasaan sendiri” gumamnya lalu keluar dari mobil Raja sembari meraih tas yang berisi baju.Di dalam rumah, Raja langsung masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk mencari sesuatu yang sudah lama atau sangat lama ia sembunyikan. Raja masih ingat benda itu saat kuliahnya di Jakarta berjalan beberapa baru beberapa bulan ia dan seseorang itu berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan“Kok pandangi itu terus? Kamu suka?”“Eh? Hem... Ngga Cuma...” perempuan itu mengalihkan pandangan dari toko satu ke toko lainnya lalu tersenyum lebar, “ah, itu dia tokonya”Perempuan itu pergi meninggalkan Raja yang mendekati benda itu, “kalau suka kenapa ngga bilang sih?” gumamnya sembari memanggil pemilik toko.Mengingat itu membuat kedua sudut bibirnya mengembang lalu menghilang karna sampai saat ini benda yang tak lain adalah kalung itu tak pernah di pakai pemiliknya.Sungguh p
Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti dengan malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi ia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.Vania menguap untuk yang ke sekian kalinya tapi ia tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bacaannya, ia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengatur keuangannya.Mulai dari menggaji bik Nur sampai biaya kuliah Varo nantinya juga ia pikirkan, Vania sedikit menyesal kenapa dulu ia tak membeli rumah sederhana saja? Mungkin saat ini tabungannya dari bekerja sepulang sekolah menengah pertama sampai jadi guru masih banyak tapi Vania tak boleh menyesal, toh tinggal di lingkungan bersebelahan dengan perumahan Elit tak membuatnya menyesal karna keamanannya dapat di percaya.
Raja tetap kukuh untuk tidak menumpang jika nantinya perempuan itu akan mengatakan yang tidak-tidak pada rekan sesama guru tapi seketika Raja mengingat sesuatu, “Bu Zara, masuk hari ini?”“Ngga sih, aku sekolah mau mengambil barang yang ketinggalan. Pak Raja yakin ngga mau bareng aku?”Raja kembali berpikir, rupanyapa pertahanannya mulai runtuh karna ucapan Zara tidak mungkin lama di sekolah. Jadi ia akhirnya mengangguk toh menerima tawaran Zara tak ada salahnya.“Aku ngga mengerti” ucap Zara pura-pura bodoh dengan arti anggukan RajaRaja memutar bola matanya malas, “baiklah”“Yes! Tapi kamu yang menyetir, ya?”Satu alis Raja terangkat, Yes? Apa yang Yes? Atau Zara bahagia dengan ia harus jadi sopir untuk Zara, iya mungkin karna itu tapi ia tak peduli yang pasti ia tidak akan terlambat ke sekolah lalu bergum
Sebagai seorang ibu, Vania merasa jika putranya terlalu cepat besar karna kini putranya itu sudah beberapa bulan bersekolah di sekolah dasar padahal baru kemarin ia melahirkan bayi yang setiap bayi itu menangis ia akan ikut menangis diam-diam setelah bayinya tidur.“Pagi, mah!” sapaan itu membuatnya kaget lalu mencari sumber suara yang menampilkan raut tak bersalah.“Varo! Kamu mau buat mama serangan jantung?”Putranya itu menggeleng lalu berusaha melihat apa yang ia masak, “wah... nasi goreng ya, mah? Pasti enak!”“Memang kapan masakan mama ngga enak?”“Ngga pernah sih hehe... tapi masakan mama selalu enak”Vania mengulum senyumnya lalu melirik jam yang menggantung di dinding, “siap-siap sana nanti terlambat!”“Ya.. padahal Varo mau bantu mama lagi kayak kemarin”Vania menggeleng, menolak niat Varo untuk membantunya memasak yang bukan membantu tapi menghancurkan dapur lalu ia membujuk putranya sampai akhirnya putranya mengangguk kemud