Sebagai seorang ibu, Vania merasa jika putranya terlalu cepat besar karna kini putranya itu sudah beberapa bulan bersekolah di sekolah dasar padahal baru kemarin ia melahirkan bayi yang setiap bayi itu menangis ia akan ikut menangis diam-diam setelah bayinya tidur.
“Pagi, mah!” sapaan itu membuatnya kaget lalu mencari sumber suara yang menampilkan raut tak bersalah.
“Varo! Kamu mau buat mama serangan jantung?”
Putranya itu menggeleng lalu berusaha melihat apa yang ia masak, “wah... nasi goreng ya, mah? Pasti enak!”
“Memang kapan masakan mama ngga enak?”
“Ngga pernah sih hehe... tapi masakan mama selalu enak”
Vania mengulum senyumnya lalu melirik jam yang menggantung di dinding, “siap-siap sana nanti terlambat!”
“Ya.. padahal Varo mau bantu mama lagi kayak kemarin”
Vania menggeleng, menolak niat Varo untuk membantunya memasak yang bukan membantu tapi menghancurkan dapur lalu ia membujuk putranya sampai akhirnya putranya mengangguk kemudian kembali ke kamarnya.
Sementara itu, Vania kembali melanjutkan perkerjaannya dari memindahkan nasi goreng ke dalam piring dan kotak bekal lalu membersihkan alat-alat memasak. Sebenarnya Vania tak perlu melakukan itu karna ia memiliki bik Nur tapi itu tidak membuat Vania serta merta lepas tangan.
Setelah semuanya bersih, Vania kembali ke kamar untuk bersiap-siap lalu keluar dari kamar dengan sergam gurunya. Menjadi guru adalah cita-citanya dari kecil yang tak pernah berubah sampai saat ini. Ia bersyukur kalau sebelum bercerai ia sudah menyelesaikan kuliahnya lalu di percaya menjadi guru BK selama satu bulan di salah satu sekolah menengah atas di Jakarta lalu berhenti karna selalu di sindir ibu mertuanya.
Vania mendaratkan bokongnya di kursi yang berada di samping Varo lalu menoleh pada bik Nur yang menyapu teras kecil yang berada di pintu samping rumahnya, “bik, sarapan bareng, yuk!?”
“Eh, ngga usah non. Saya sudah makan di rumah” tolaknya.
“Aku ngga terima penolakan, bik! Ayo ikut makan sama kami!”
Akhirnya bir Nur menuruti ucapan Vania tapi sebelum itu ia meletakkan sapu lalu ikut sarapan dengan Vania yang kini tersenyum, ia suka jika meja makan tidak di isi olehnya dengan putranya saja lalu mengalihkan pandangan pada Varo yang makan dengan lahap.
“Pelan-pelan ... liat tuh nasinya ada di dagu juga di baju!”
Varo mengabaikan ucapan ibunya lalu meraih gelas air putih dan meneguknya, “ngga bisa, mah! Soalnya masakan mama enak banget!” jawab Varo yang di hadiahi dengan rambut di acak oleh orang yang tak lain adalah Vania.
“Mama! Jangan di acak, nanti Varo ngga ganteng lagi!” ucap Varo sedikit merajuk lalu merogoh sesuatu di dalam celanya, Vania yang sudah biasa melihat Varo mengambil kaca kecil dari saku celananya hanya bisa menggelengkan kepala heran dengan kebiasaan anak zaman sekarang.
“Siapa bilang kalau anak mama ngga ganteng? Ngga kok, anak mama selalu ganteng! Iya kan, bik?”
Bik Nur mengangguk lalu kembali melanjutkan sarapannya, mengabaikan Varo yang cemberut dan Vania tersenyum kecil karna tingkah putranya semakin mirip dengan seseorang.
“Buk guru, kakak kelas dan teman perempuan di kelas Varo juga bilang kalau ‘Varo ganteng ya kalau rambutnya rapi’ gitu, mah”
“Masa sih! Menurut mama, Varo selalu ganteng kok! Eh tapi kalau mama ngga salah dengar yang nanya itu perempuan semua sih?” godanya.
“Mama! Varo malu!”
Vania juga bik Nur tertawa, tidak anak kecil dan tidak anak yang sudah dewasa kalau di puji pasti jadi malu apa lagi di zaman sekarang.
Setelah tertawa mereka melanjutkan sarapan apa lagi Vania yang tak mau membuat putranya nantinya tidak akan bicara padanya lalu setelah sarapannya habis mereka pamit pada bik Nur tak lupa dengan membawa bekal yang sudah ia siapkan tadi.
Vania memarkirkan motornya tidak jauh dari gerbang sekolah lalu turun dari motor Itu, sebagai ibu yang baik Vania ikut mengantarkan Varo sampai koridor sekolah dasar. Sesekali mereka para orang tua saling bertukar senyum sebagai tanda sopan.
“Kebetulan ada Varo di sini” ucap seseorang di depan pintu kelas Varo, Vania yang masih ada di situ menatap seseorang yang bicara pada putranya.
“Tante bisa minta tolong sama kamu?”
“Tolong apa tante?”
“Eza demam, tolong bilang ke bu guru ya?”
Varo mengangguk lalu wanita itu mengucapkan terima kasih padanya dan juga putranya kemudian pergi meninggalkan, “jangan lupa bilang sama gurunya”
“oke! Kalau aku masuk dulu ya, mah”
“Ingat, jangan nakal!” pesan Vania yang entah bisa di dengar atau tidak oleh anaknya itu lalu berjalan menuju parkirkan.
Rajawira Abimayu mengumpat karna mobil yang ia kendarai tib-tiba mogok di jalan dan sialnya hari ini adalah hari Senin yang hari di mana tidak boleh ada guru yang terlambat tanpa alasan yang jelas atau akan mendapatkan poin untuk sesama guru.Raja turun dari mobil untuk mencari tumpangan pada murid yang membawa kendaraan sendiri, ojek dan apa pun itu yang pasti satu tujuan dengannya. Beberapa menit Raja menunggu, tapi tidak ada satu pun orang yang di kenalnya lewat di jalan ini. Terbesit di pikiran Raja apa jalan ini benar jalan menuju sekolah? Pasalnya Raja tidak terlalu hafal jalan di kota tempatnya mengajar selama satu tahun ini.
Raja mondar-mandir di depan mobilnya, sesekali Raja berdiri di tengah jalan yang mulai sepi lalu melihat dari kejauhan ada atau tidaknya kendaraan yang lewat. Kalaupun ada, paling motor yang di tumpangi dua orang. Jadi tidak mungkin kan jika Raja menumpang? Mau duduk di mana ia nanti? Di ban sepeda motor?
Raja sesekali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, astaga setengah jam lagi tamat sudah nama baik yang ia jaga.
Walaupun Raja seorang guru, Raja juga tidak mau terlambat berangkat ke sekolah, bukan guru itu adalah cerminan murid? Melihat guru yang terlambat masuk membuat murid juga ikut terlambat masuk dan juga Raja tidak mau makan gaji buta walau tanpa gaji itu ia tak akan jatuh miskin tapi sekali lagi nama baik yang selama ini ia jaga akan hancur hanya karna terlambat.
“Pak Wira kenapa berdiri di sini? Mobilnya kenapa? Mogok?” tanya seseorang yang baru saja turun dari mobilnya lalu menghampiri Raja yang berdiri di tepi jalan, Raja yang menang mengenal perempuan satu-satunya yang memanggil ia dengan sebutan ‘pak Wira’ hanya bisa memutar bola matanya sebelum melirik perempuan yang berprofesi yang sama dengannya.
“Iya” balas Raja dengan malas.
“Bareng aja, yuk!” ajak perempuan yang bernama Zara yang langsung dapat galengan dari Raja, “yakin ngga mau bareng? Jalan ini jarang lho di lalui anak sekolah”
Raja tetap kukuh untuk tidak menumpang jika nantinya perempuan itu akan mengatakan yang tidak-tidak pada rekan sesama guru tapi seketika Raja mengingat sesuatu, “Bu Zara, masuk hari ini?”“Ngga sih, aku sekolah mau mengambil barang yang ketinggalan. Pak Raja yakin ngga mau bareng aku?”Raja kembali berpikir, rupanyapa pertahanannya mulai runtuh karna ucapan Zara tidak mungkin lama di sekolah. Jadi ia akhirnya mengangguk toh menerima tawaran Zara tak ada salahnya.“Aku ngga mengerti” ucap Zara pura-pura bodoh dengan arti anggukan RajaRaja memutar bola matanya malas, “baiklah”“Yes! Tapi kamu yang menyetir, ya?”Satu alis Raja terangkat, Yes? Apa yang Yes? Atau Zara bahagia dengan ia harus jadi sopir untuk Zara, iya mungkin karna itu tapi ia tak peduli yang pasti ia tidak akan terlambat ke sekolah lalu bergum
Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti dengan malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi ia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.Vania menguap untuk yang ke sekian kalinya tapi ia tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bacaannya, ia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengatur keuangannya.Mulai dari menggaji bik Nur sampai biaya kuliah Varo nantinya juga ia pikirkan, Vania sedikit menyesal kenapa dulu ia tak membeli rumah sederhana saja? Mungkin saat ini tabungannya dari bekerja sepulang sekolah menengah pertama sampai jadi guru masih banyak tapi Vania tak boleh menyesal, toh tinggal di lingkungan bersebelahan dengan perumahan Elit tak membuatnya menyesal karna keamanannya dapat di percaya.
“Ngga, gue ngga salah menilai perasaan sendiri” gumamnya lalu keluar dari mobil Raja sembari meraih tas yang berisi baju.Di dalam rumah, Raja langsung masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk mencari sesuatu yang sudah lama atau sangat lama ia sembunyikan. Raja masih ingat benda itu saat kuliahnya di Jakarta berjalan beberapa baru beberapa bulan ia dan seseorang itu berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan“Kok pandangi itu terus? Kamu suka?”“Eh? Hem... Ngga Cuma...” perempuan itu mengalihkan pandangan dari toko satu ke toko lainnya lalu tersenyum lebar, “ah, itu dia tokonya”Perempuan itu pergi meninggalkan Raja yang mendekati benda itu, “kalau suka kenapa ngga bilang sih?” gumamnya sembari memanggil pemilik toko.Mengingat itu membuat kedua sudut bibirnya mengembang lalu menghilang karna sampai saat ini benda yang tak lain adalah kalung itu tak pernah di pakai pemiliknya.Sungguh p
“Tapi sepatunya ada pada saya jadi milik saya!”Raja menghela nafas panjang sambil memijit keningnya yang tiba-tiba sakit, demi tuhan ia menyesal menjadi sopir Rio kalau ujung-ujungnya ia yang akan malu. Bagaimana tidak? Rio dengan keras kepala masih mempertahankan sepatu yang ada di tangannya sementara si wanita yang di belakangnya terdapat anak kecil itu sudah terisak antara menginginkan sepatu dan juga takut karna banyak orang.“Ngga bisa gitu dong, liat keponakan saya sudah nangis setidaknya anda sebagai orang yang sudah punya anak mengerti tentang anak kecil!”“Maaf saya tidak bisa karna anak saya jauh lebih tertarik dengan sepatu ini!” Rio masih kukuh dengan pendiriannya mengabaikan kalau putrinya berada di kota berbeda.“Anda tidak punya hati, anak anda jelas tidak ada di sini!” ujarnya lagi walau sudah di tenangkan dan di beri sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda oleh pemilik toko tetap saja pili
“Tapi sepatunya ada pada saya jadi milik saya!”Raja menghela nafas panjang sambil memijit keningnya yang tiba-tiba sakit, demi tuhan ia menyesal menjadi sopir Rio kalau ujung-ujungnya ia yang akan malu. Bagaimana tidak? Rio dengan keras kepala masih mempertahankan sepatu yang ada di tangannya sementara si wanita yang di belakangnya terdapat anak kecil itu sudah terisak antara menginginkan sepatu dan juga takut karna banyak orang.“Ngga bisa gitu dong, liat keponakan saya sudah nangis setidaknya anda sebagai orang yang sudah punya anak mengerti tentang anak kecil!”“Maaf saya tidak bisa karna anak saya jauh lebih tertarik dengan sepatu ini!” Rio masih kukuh dengan pendiriannya mengabaikan kalau putrinya berada di kota berbeda.“Anda tidak punya hati, anak anda jelas tidak ada di sini!” ujarnya lagi walau sudah di tenangkan dan di beri sepatu dengan model yang sama tapi warna berbeda oleh pemilik toko tetap saja pili
“Ngga, gue ngga salah menilai perasaan sendiri” gumamnya lalu keluar dari mobil Raja sembari meraih tas yang berisi baju.Di dalam rumah, Raja langsung masuk ke dalam kamar membuka lemari untuk mencari sesuatu yang sudah lama atau sangat lama ia sembunyikan. Raja masih ingat benda itu saat kuliahnya di Jakarta berjalan beberapa baru beberapa bulan ia dan seseorang itu berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan“Kok pandangi itu terus? Kamu suka?”“Eh? Hem... Ngga Cuma...” perempuan itu mengalihkan pandangan dari toko satu ke toko lainnya lalu tersenyum lebar, “ah, itu dia tokonya”Perempuan itu pergi meninggalkan Raja yang mendekati benda itu, “kalau suka kenapa ngga bilang sih?” gumamnya sembari memanggil pemilik toko.Mengingat itu membuat kedua sudut bibirnya mengembang lalu menghilang karna sampai saat ini benda yang tak lain adalah kalung itu tak pernah di pakai pemiliknya.Sungguh p
Matahari telah di ganti dengan bulan, siang sudah berganti dengan malam yang artinya saat yang tepat untuk terlelap di ranjang tapi tidak untuk Vania. Mengingat beberapa hari lagi, ia akan mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil jadi ia harus belajar dengan giat siapa tahu jika kesempatannya ada di situ.Vania menguap untuk yang ke sekian kalinya tapi ia tak bisa tidur sebelum menyelesaikan bacaannya, ia sadar kalau kebutuhan mereka semakin hari akan semakin bertambah dan Vania harus pandai-pandai mengatur keuangannya.Mulai dari menggaji bik Nur sampai biaya kuliah Varo nantinya juga ia pikirkan, Vania sedikit menyesal kenapa dulu ia tak membeli rumah sederhana saja? Mungkin saat ini tabungannya dari bekerja sepulang sekolah menengah pertama sampai jadi guru masih banyak tapi Vania tak boleh menyesal, toh tinggal di lingkungan bersebelahan dengan perumahan Elit tak membuatnya menyesal karna keamanannya dapat di percaya.
Raja tetap kukuh untuk tidak menumpang jika nantinya perempuan itu akan mengatakan yang tidak-tidak pada rekan sesama guru tapi seketika Raja mengingat sesuatu, “Bu Zara, masuk hari ini?”“Ngga sih, aku sekolah mau mengambil barang yang ketinggalan. Pak Raja yakin ngga mau bareng aku?”Raja kembali berpikir, rupanyapa pertahanannya mulai runtuh karna ucapan Zara tidak mungkin lama di sekolah. Jadi ia akhirnya mengangguk toh menerima tawaran Zara tak ada salahnya.“Aku ngga mengerti” ucap Zara pura-pura bodoh dengan arti anggukan RajaRaja memutar bola matanya malas, “baiklah”“Yes! Tapi kamu yang menyetir, ya?”Satu alis Raja terangkat, Yes? Apa yang Yes? Atau Zara bahagia dengan ia harus jadi sopir untuk Zara, iya mungkin karna itu tapi ia tak peduli yang pasti ia tidak akan terlambat ke sekolah lalu bergum
Sebagai seorang ibu, Vania merasa jika putranya terlalu cepat besar karna kini putranya itu sudah beberapa bulan bersekolah di sekolah dasar padahal baru kemarin ia melahirkan bayi yang setiap bayi itu menangis ia akan ikut menangis diam-diam setelah bayinya tidur.“Pagi, mah!” sapaan itu membuatnya kaget lalu mencari sumber suara yang menampilkan raut tak bersalah.“Varo! Kamu mau buat mama serangan jantung?”Putranya itu menggeleng lalu berusaha melihat apa yang ia masak, “wah... nasi goreng ya, mah? Pasti enak!”“Memang kapan masakan mama ngga enak?”“Ngga pernah sih hehe... tapi masakan mama selalu enak”Vania mengulum senyumnya lalu melirik jam yang menggantung di dinding, “siap-siap sana nanti terlambat!”“Ya.. padahal Varo mau bantu mama lagi kayak kemarin”Vania menggeleng, menolak niat Varo untuk membantunya memasak yang bukan membantu tapi menghancurkan dapur lalu ia membujuk putranya sampai akhirnya putranya mengangguk kemud