Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah lebih baik, walau masih terlihat lemah dan tidak berdaya. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka semua salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa. Ketika petugas aparat membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas itu sudah kecolongan. Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang. Pria itu bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya dalam seketika. Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari dan DNA pengemudi itu bahkan tidak terdaf
Beberapa jam sebelumnya. Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di dalam kamar mandi di dekat kolam renang. Sejak tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok kulit di sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di seluruh tubuhnya. Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”. Dia tidak ikhlas tubuhnya "kotor" dan "tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak punya hak untuk menyentuh dia. Dan, gadis itu menangis tersedu-sedu ketika akhirnya dia menyadari bahwa “kotoran” itu memang tidak akan bisa hilang. “Kotoran” itu memang tidak kasat mata. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Tetapi, “kotoran” itu terus menghantui dirinya. Membuat dia merasa buruk. Merasa kotor. Merasa ternoda. Merasa tidak layak. Merasa terhina. Merasa tidak berharga. Seorang psikolog menamakan “kotoran” itu sebagai “Trauma”. Hasil dari sebuah k
“Sedang melamun di sini rupanya!” Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Tabitha. Tabitha yang memang sedang melamun spontan terkejut. Dia lalu menoleh ke arah pria itu, dan langsung terperangah. “Loh, Bapak?” "Jangan panggil saya 'Bapak'! Saya belum tua!" ujarnya. Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi dengan lebih teliti. “Iya, tapi ... Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?” tanyanya. Pria itu tertawa terkekeh. “Iya, itu memang saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Kamu boleh panggil saya Ferdinan, boleh juga panggil saya Matteo! Terserah mau yang mana!" ujarnya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. "Eh?" Tabitha menatapnya, heran. " Yaa ... dulu kan kita belum kenalan secara pribadi seperti ini! Iya kan?” ujar pria itu, sambil masih mengulurkan tangannya. Tabitha pun menyambut uluran tangan itu, dan balas tersenyum juga. “Iya juga sih, Pak!" ujarnya. "Tabitha.” "Yup! Sudah tahu!” “Eh? Iya kah?" Tabitha melirik pria itu, setengah tid
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta. ~Pet Sematary, Stephen King~ “Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar Tabitha. “Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya. “Ke mana?” “Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu. Adriano menghela nafasnya. “Bitha, please ....” “Kamu nggak usah kawatir, Adrian! Aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah. “Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi. Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk d
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya. Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, semua akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk melukiskan rasa yang sedang Tabitha alami saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki? Tabitha termenung sendiri sambil menatap ke luar dari balik jendela di kamar bayi Vanya. “Kangen ya?” tanya Sandra, yang kemudian masuk lalu meraih bayi Vanya yang sudah terlelap dari pelukan Tabitha. Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Dia teringat kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya Tapi, nggak mungkin itu dia! pikir Tabitha, sedih. Sudah beberapa minggu mereka memang tidak saling memberi kabar. Dan .... Betul kan! Memang bukan dia! Tabitha menutup lagi gorden jendela ruang tamu di rumah Sandra dengan wajah muram. “Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul dari balik pintu utama dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa ruang tamunya. “Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar. Tabitha tersenyum kecil. “Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha. “Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin aku lapar aja!” ujar Tabitha, mulai sumringah. “Pastilah! Aku beli di tukang Sate Padang langgananku! Dari jaman a
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap. “Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha. Astaga! Tabitha terperanjat. Suara ... suara itu ... suara itu pernah aku dengar! “Siapa ka ... kamu?" “Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan!" APA? Tabitha terperanjat lagi. "Lo pasti masih ingat gue kan? Ini gue ... yang waktu itu hampir memperkosa lo, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan, perawan?” Pria itu menyeringai, seolah menertawakan, sambil tangannya mengelus bagian dalam paha Tabitha. Tabitha langsung terlonjak kaget. "Nggaak...! Tolong! Hmmph...!" Pria itu langsung membekap mulut Tabitha lagi. "Ssshhtt ... tenang dong! Jangan berteriak!" bisik pria itu di telinga Tabitha. Suaranya nyaris terdengar bagai hukuman yang tidak berkesu
“Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda
Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu
“Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap. “Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha. Astaga! Tabitha terperanjat. Suara ... suara itu ... suara itu pernah aku dengar! “Siapa ka ... kamu?" “Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan!" APA? Tabitha terperanjat lagi. "Lo pasti masih ingat gue kan? Ini gue ... yang waktu itu hampir memperkosa lo, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan, perawan?” Pria itu menyeringai, seolah menertawakan, sambil tangannya mengelus bagian dalam paha Tabitha. Tabitha langsung terlonjak kaget. "Nggaak...! Tolong! Hmmph...!" Pria itu langsung membekap mulut Tabitha lagi. "Ssshhtt ... tenang dong! Jangan berteriak!" bisik pria itu di telinga Tabitha. Suaranya nyaris terdengar bagai hukuman yang tidak berkesu
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Dia teringat kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya Tapi, nggak mungkin itu dia! pikir Tabitha, sedih. Sudah beberapa minggu mereka memang tidak saling memberi kabar. Dan .... Betul kan! Memang bukan dia! Tabitha menutup lagi gorden jendela ruang tamu di rumah Sandra dengan wajah muram. “Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul dari balik pintu utama dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa ruang tamunya. “Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar. Tabitha tersenyum kecil. “Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha. “Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin aku lapar aja!” ujar Tabitha, mulai sumringah. “Pastilah! Aku beli di tukang Sate Padang langgananku! Dari jaman a
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya. Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, semua akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk melukiskan rasa yang sedang Tabitha alami saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki? Tabitha termenung sendiri sambil menatap ke luar dari balik jendela di kamar bayi Vanya. “Kangen ya?” tanya Sandra, yang kemudian masuk lalu meraih bayi Vanya yang sudah terlelap dari pelukan Tabitha. Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta. ~Pet Sematary, Stephen King~ “Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar Tabitha. “Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya. “Ke mana?” “Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu. Adriano menghela nafasnya. “Bitha, please ....” “Kamu nggak usah kawatir, Adrian! Aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah. “Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi. Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk d
“Sedang melamun di sini rupanya!” Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Tabitha. Tabitha yang memang sedang melamun spontan terkejut. Dia lalu menoleh ke arah pria itu, dan langsung terperangah. “Loh, Bapak?” "Jangan panggil saya 'Bapak'! Saya belum tua!" ujarnya. Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi dengan lebih teliti. “Iya, tapi ... Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?” tanyanya. Pria itu tertawa terkekeh. “Iya, itu memang saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Kamu boleh panggil saya Ferdinan, boleh juga panggil saya Matteo! Terserah mau yang mana!" ujarnya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. "Eh?" Tabitha menatapnya, heran. " Yaa ... dulu kan kita belum kenalan secara pribadi seperti ini! Iya kan?” ujar pria itu, sambil masih mengulurkan tangannya. Tabitha pun menyambut uluran tangan itu, dan balas tersenyum juga. “Iya juga sih, Pak!" ujarnya. "Tabitha.” "Yup! Sudah tahu!” “Eh? Iya kah?" Tabitha melirik pria itu, setengah tid
Beberapa jam sebelumnya. Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di dalam kamar mandi di dekat kolam renang. Sejak tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok kulit di sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di seluruh tubuhnya. Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”. Dia tidak ikhlas tubuhnya "kotor" dan "tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak punya hak untuk menyentuh dia. Dan, gadis itu menangis tersedu-sedu ketika akhirnya dia menyadari bahwa “kotoran” itu memang tidak akan bisa hilang. “Kotoran” itu memang tidak kasat mata. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Tetapi, “kotoran” itu terus menghantui dirinya. Membuat dia merasa buruk. Merasa kotor. Merasa ternoda. Merasa tidak layak. Merasa terhina. Merasa tidak berharga. Seorang psikolog menamakan “kotoran” itu sebagai “Trauma”. Hasil dari sebuah k
Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah lebih baik, walau masih terlihat lemah dan tidak berdaya. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka semua salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa. Ketika petugas aparat membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas itu sudah kecolongan. Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang. Pria itu bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya dalam seketika. Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari dan DNA pengemudi itu bahkan tidak terdaf