Sudah berminggu-minggu berlalu, tetapi suasana di kantin masih tidak nyaman untuk Tabitha. Setiap kali melihat Tabitha, seluruh karyawan baik pria atau wanita yang sedang makan di sana, yang sudah menikah atau yang masih lajang, masih ada saja yang memperhatikan Tabitha dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sambil saling berbisik di antara mereka. "Mereka nggak punya kerjaan kali ya, ngomongin guee ... terus! Nggak capek tuh? Nggak ada topik yang lain selain gue?" Tabitha mengeluh. “Ck, lo cuek aja kenapa sih! Masih untung mereka nggak ada yang pasang muka jutek sama lo! Kalo cuma dilihatin aja mah biarin aja kali! Ngapain lo ambil pusing? Udah deh, nggak usah lo ambil hati! Yang penting, sekarang lo cepat habisin sarapan lo! Waktunya kita masuk kantor nih! Gue nggak mau kita telat! Oke?” Anna menunjukkan tampang galak setelah melirik jam di pergelangan tangannya. “Iya!" Tabitha cemberut. "Tapi ... mana bisa gue makan kalau sambil dilihatin sama mereka, Na! Seakan-akan gue i
Jam pulang kantor sudah lama lewat, tetapi Tabitha masih betah berada di ruang kerjanya. Beberapa pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan esok hari malah sudah dia selesaikan hari ini. Sedangkan Anna malah sudah pulang sejak sore tadi, dan gadis itu hanya bisa geleng-geleng kepala sewaktu Tabitha bilang dia mau kerja lembur malam ini. “Udah tadi siang lo asyik makan sendirian tanpa ngajak gue! Makan siangnya di restoran mahal lagi sama Pak Suryadi! Sekarang lo mau kerja lembur sendirian juga? Aduh Tabitha, ada apakah dengan lo hari ini?” Anna merajuk. Tabitha meringis. “Maaf, Na! Gue nggak ada apa-apa kok! Seriusan! Gue cuma lagi malas pulang cepat-cepat aja!" “Oke! Gue percaya aja deh sama lo! Gue mau pulang duluan ya! Tapi, lo harus tahu kalo gue adalah teman yang bisa lo percaya, Tabitha! Kalo memang lo lagi ada masalah, lo lagi bete, lo bisa cerita sama gue kok! Anytime, besti! Gue jamin rahasia lo tetap aman sama gue!” Anna menunjukkan mimik wajah serius. “Siap, Na! Ma
Seorang pria berkulit putih kecokelatan melangkah keluar dari toko perhiasan dengan senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Langkah kakinya panjang, sepanjang harapannya bahwa benda berharga yang saat ini tersimpan aman di dalam saku jasnya tidak lama lagi akan berpindah ke tangan seorang gadis yang berhasil membuat dia jatuh cinta. Setelah itu, dia bertekad gadis itu harus menjadi miliknya. Pria itu pun sudah separuh yakin bahwa tekadnya pasti berhasil. Namun, di belakangnya, seorang gadis yang lain rupanya sedang diam-diam mengikuti langkah kakinya. Di tangan gadis itu, ada kamera ponsel yang sedari tadi selalu terarah kepadanya. Beberapa foto dirinya pun sudah berhasil diambil. Entah apa yang akan dilakukan oleh gadis itu dengan foto-foto dirinya nanti. Setelah merasa puas melihat hasil foto-foto yang diambilnya, gadis itu tersenyum licik. Jari tangannya yang putih kurus men-scroll daftar nama kontak yang tersimpan di ponselnya. Kemudian, dia memilih satu nama, dan nama
"Kamu harus tunggu di sini! Aku mau siapin mobilnya dulu!" Fajar langsung bergegas keluar dari kamar Tabitha. Langkahnya kelihatan sangat tergesa-gesa. Wajahnya pun kelihatan panik. Seorang gadis memperhatikan Fajar dari kejauhan dengan keheranan. "Mas! Mas Fajar!" panggil gadis itu. Fajar menoleh. "Eh ... kamu, Nda! Kenapa?" "Nggak! Nggak kenapa-kenapa! Mas mau ke mana?" tanya Nanda, gadis itu. "Ooh ... mau cari bantuan buat Bitha!" "Hah?" Nanda terjejut. "Bantuan buat Bitha? Memangnya Bitha kenapa, Mas?" tanyanya. "Bitha sakit! Eh, sudah dulu ya, Nda! Saya lagi buru-buru soalnya. Maaf ya!" Fajar segera berlalu. "Ooh ... iya, Mas!" Nanda garuk-garuk kepala. "Sakit apa si Bitha?" ------- Tabitha mencubit lengan Anna yang berdiri di samping tempat tidurnya. “Aduh ... duuh ... Bitha! Sakit, tahu!” Anna mengaduh kesakitan. “Lo cerita sama Fajar ya, kalau gue sakit dari semalam?” tanya Tabitha, galak. “Iya. Lah kan memang bener! Gue nggak bohong kan?” Anna
“Kalung itu ternyata bukan untuk lo! Itu untuk perempuan lain!” Gadis itu tersenyum mengejek. Untung wanita muda itu tidak bisa melihatnya, karena saat ini mereka tidak sedang berdiri saling berhadapan. Kalau iya, wanita muda itu pasti sudah mencakar wajah gadis itu dengan kuku-kukunya yang panjang dan diberi cat pewarna kuku yang selalu berganti warna, karena dia paling tidak suka bila ada orang lain yang merendahkannya, apalagi sampai berani mentertawakannya. Tidak percuma julukan “singa” yang didapat oleh wanita itu, karena dia tidak pernah segan untuk menyerang setiap orang yang tidak disukainya. Entah itu pria atau sesama wanita. “Oh begitu ya? Lo yakin itu bukan untuk gue?” tanya wanita muda itu, sambil mengeluarkan rokok elektrik dari dalam tas bermerek miliknya.Tetapi, rokok itu tidak segera dia nyalakan. Dia hanya iseng memutar-mutarnya di antara sela-sela jari tangannya, sambil memutar pandang ke sekelilingnya. Saat ini wanita muda itu sedang berdiri di tengah lahan p
Tabitha menaiki tangga menuju lantai dua rumah kosnya dengan langkah lemas, seolah hampir tidak bertenaga. Bahkan, di ujung tangga tadi, awal dia baru melangkah menaikinya, dia hampir jatuh terpeleset. Untung saja tangan kanannya yang bebas tanpa direpoti tas bahu warna putih gading dengan sigap mencengkeram besi selusur tangga di sebelah kanan badannya. Dan sekarang, bunyi sepatu pantofel hitam yang dia pakai mulai menggema di sepanjang lorong lantai dua. Enam kamar kos yang berada di lantai dua itu, termasuk kamarnya, tampak masih gelap gulita. Pertanda bahwa para penghuninya belum ada yang kembali dari aktivitas mereka masing-masing. Baik di kantor, di kampus, atau di mana pun. Diam-diam Tabitha bersyukur, karena itu berarti dia tidak perlu repot-repot tersenyum seandainya tiba-tiba dia harus berpapasan dengan salah satu dari para tetangga kamar kosnya, karena tersenyum adalah satu hal yang sangat tidak ingin dia lakukan saat ini. Senyum apa? Senyum manis? Bagaimana mungkin? Hatin
Hidup bukan tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan, Tapi tentang menghargai apa yang kamu miliki, dan sabar menanti apa yang akan menghampiri. =Koleksi Mutiara Kata= Pria itu seperti tidak menyadari kalau kehadirannya di depan mata Tabitha selalu membuat Tabitha resah. Bagaimana aku bisa melupakan dia, kalau dia selalu muncul di depan mata? Tabitha mengeluh. Kedua mata bulatnya menatap seorang pria yang baru saja keluar dari lift yang membawanya turun dari gedung menara utara. Merasa enggan untuk sekedar bertegur sapa, Tabitha lekas bersembunyi, berdiri di balik tanaman hias besar di samping pintu lift. Untungnya, Adriano terlalu sibuk dengan ponsel di tangan hingga akhirnya pria itu melintas di depan Tabitha tanpa menyadari kehadiran gadis itu di sana. Tabitha menarik nafas lega. Diperhatikannya langkah kaki panjang pria itu dan sosok tubuh tinggi menawannya yang mulai menjauh. Punggungnya terlihat kokoh, seolah menjanjikan tempat paling nyaman untuk bersandar. Teta
"Apakah … Helen pernah datang menemuimu? Di kantormu atau … di rumah kosmu, mungkin?” tanya Adriano, membuat Tabitha terkejut. "Pernahkah?" Adriano mengulang pertanyaannya. Tabitha memandang pria itu dengan heran. "Hmm ... iya, kok kamu tahu?" Tabitha balik bertanya. “Sudah kuduga!” Adriano tersenyum. “Apa yang dia katakan padamu waktu itu? Kamu masih mengingatnya?” tanya Adriano, sambil menatap wajah Tabitha lekat-lekat. Sorot mata cokelatnya terasa tajam bagi Tabitha, hingga berhasil membuat gadis itu merasa gugup. Tabitha menggigit bibirnya dengan gelisah. Kebiasaan lama yang dia pikir adalah cara yang paling efektif untuk membantunya menghilangkan efek kegugupan yang muncul tiba-tiba. Satu detik ... dua detik ... tiga detik ... Adriano memperhatikan Tabitha dalam diam. Dengan sabar pria itu menanti sampai akhirnya gadis itu berhenti menggigiti bibirnya, dan mulai membuka mulutnya. “Dia … dia bilang kamu itu miliknya, jadi ... aku nggak boleh dekat-dekat sama kamu. W
Dijodohin lagi? Kali ini bapak mau menjodohkan aku sama Paklèk Juhari untuk jadi istri keduanya? Yang benar aja, Pak! Sebenarnya ... Bapak sayang sama Tabitha atau nggak sih, Pak? Tabitha bersandar ke dinding sambil tersenyum pahit. Tanpa terasa air mata mulai mengalir begitu saja dari pelupuk mata bulatnya. Tabitha buru-buru menghapus air mata yang mengalir itu. Sementara itu, di ruang tamu, seorang pria setengah tua yang bernama Juhari sedang tertawa senang sambil menepuk-nepuk bahu Rismanto, ketika pria tua yang dipanggil “Bapak” oleh Tabitha itu akhirnya menganggukkan kepala, pertanda bahwa beliau sudah memberikan persetujuan atas lamaran itu, dan sudah menerima rencana pernikahan yang akan segera mereka susun bersama untuk putri sulungnya. "Nah, kalau begini kan aku sudah bisa lega, Mas! Hatiku tentrem! Lèk sampeyan wes ... tenang saja! Aku nanti sèng urus semuanya! Pokokè sampeyan tahu beres! Hahaha...." Juhari kembali tertawa senang. Sedangkan Lasmi, perempuan yang dipan
“Tabitha! Nduk! Mau ke mana toh, Cah ayu?” panggil seseorang. Tabitha menoleh ke belakang. Seorang pria dengan usia dan penampilan yang hanya sedikit lebih muda dari ayahnya terlihat sedang mengendarai motor tidak jauh di belakangnya. Melihat kemunculan pria setengah tua itu, Tabitha mendadak merasa perutnya sedikit mual dan tidak nyaman. Duh, kenapa harus ketemu orang ini pagi-pagi sih? Bikin aku bad mood aja! keluh Tabitha. “Eh ... Pak lèk! Aku ... hmm ... mau ke warung sayur yang di ujung jalan itu, Pak lèk! Ibu titip minta dibelikan sayur-sayuran dan ikan.” sahut Tabitha dengan tetap sopan, sambil terus berjalan melenggang dan menatap lurus ke depan. Terus terang Tabitha enggan dan sedikit pun memang tidak ingin menatap wajah pria setengah tua itu, yang kemudian seperti dengan sengaja malah mengatur laju motor yang dikendarainya agar menyamai kecepatan langkah kaki Tabitha. “Ooh .... ke warung sayur yang di depan itu? Warung si Minah? Ya sudah, Ayo! Kamu bonceng Paklèk sa
“Lo serius, Bith? Lo mau pulang kampung sekarang?” tanya Sandra, sambil memandangi sahabatnya yang sedang sibuk melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. “Ya serius lah, San! Masa’ lo pikir gue lagi bercanda? Mau ngeprank lo maksudnya? Ih, ribet banget!” sahut Tabitha, sambil mengunci koper berisi pakaian yang sudah tersusun rapi di dalamnya. “Terus, di kampung nanti lo mau ngapain? Memangnya lo udah rela untuk melepas mimpi lo yang katanya pingin punya karir bagus di Jakarta? Lo udah rela kalau seandainya di kampung nanti bapak lo tiba-tiba langsung nyuruh lo menikah sama cowok yang udah dia pilih buat lo? Alias lo bakal dijodohin lagi! Terus, memangnya lo yakin kalo lo udah bisa melupakan cinta lo sama Adriano untuk selama-lamanya? Lo udah rela kalo seandainya si Adriano itu akhirnya benar-benar pacaran sama si Helen? Lo udah ngerelain dia untuk dipeluk selamanya sama perempuan itu? Bitha, please ... jawab gue!” tanya Sandra, bertubi-tubi, dengan nada emosi. Tabitha men
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap. “Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha. Astaga! Tabitha terperanjat. Suara ... suara itu ... suara itu pernah aku dengar! “Siapa ka ... kamu?" “Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan!" APA? Tabitha terperanjat lagi. "Lo pasti masih ingat gue kan? Ini gue ... yang waktu itu hampir memperkosa lo, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan, perawan?” Pria itu menyeringai, seolah menertawakan, sambil tangannya mengelus bagian dalam paha Tabitha. Tabitha langsung terlonjak kaget. "Nggaak...! Tolong! Hmmph...!" Pria itu langsung membekap mulut Tabitha lagi. "Ssshhtt ... tenang dong! Jangan berteriak!" bisik pria itu di telinga Tabitha. Suaranya nyaris terdengar bagai hukuman yang tidak berkesu
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Dia teringat kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya Tapi, nggak mungkin itu dia! pikir Tabitha, sedih. Sudah beberapa minggu mereka memang tidak saling memberi kabar. Dan .... Betul kan! Memang bukan dia! Tabitha menutup lagi gorden jendela ruang tamu di rumah Sandra dengan wajah muram. “Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul dari balik pintu utama dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa ruang tamunya. “Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar. Tabitha tersenyum kecil. “Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha. “Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin aku lapar aja!” ujar Tabitha, mulai sumringah. “Pastilah! Aku beli di tukang Sate Padang langgananku! Dari jaman a
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya. Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, semua akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk melukiskan rasa yang sedang Tabitha alami saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki? Tabitha termenung sendiri sambil menatap ke luar dari balik jendela di kamar bayi Vanya. “Kangen ya?” tanya Sandra, yang kemudian masuk lalu meraih bayi Vanya yang sudah terlelap dari pelukan Tabitha. Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta. ~Pet Sematary, Stephen King~ “Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar Tabitha. “Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya. “Ke mana?” “Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu. Adriano menghela nafasnya. “Bitha, please ....” “Kamu nggak usah kawatir, Adrian! Aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah. “Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi. Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk d
“Sedang melamun di sini rupanya!” Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Tabitha. Tabitha yang memang sedang melamun spontan terkejut. Dia lalu menoleh ke arah pria itu, dan langsung terperangah. “Loh, Bapak?” "Jangan panggil saya 'Bapak'! Saya belum tua!" ujarnya. Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi dengan lebih teliti. “Iya, tapi ... Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?” tanyanya. Pria itu tertawa terkekeh. “Iya, itu memang saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Kamu boleh panggil saya Ferdinan, boleh juga panggil saya Matteo! Terserah mau yang mana!" ujarnya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. "Eh?" Tabitha menatapnya, heran. " Yaa ... dulu kan kita belum kenalan secara pribadi seperti ini! Iya kan?” ujar pria itu, sambil masih mengulurkan tangannya. Tabitha pun menyambut uluran tangan itu, dan balas tersenyum juga. “Iya juga sih, Pak!" ujarnya. "Tabitha.” "Yup! Sudah tahu!” “Eh? Iya kah?" Tabitha melirik pria itu, setengah tid
Beberapa jam sebelumnya. Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di dalam kamar mandi di dekat kolam renang. Sejak tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok kulit di sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di seluruh tubuhnya. Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”. Dia tidak ikhlas tubuhnya "kotor" dan "tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak punya hak untuk menyentuh dia. Dan, gadis itu menangis tersedu-sedu ketika akhirnya dia menyadari bahwa “kotoran” itu memang tidak akan bisa hilang. “Kotoran” itu memang tidak kasat mata. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Tetapi, “kotoran” itu terus menghantui dirinya. Membuat dia merasa buruk. Merasa kotor. Merasa ternoda. Merasa tidak layak. Merasa terhina. Merasa tidak berharga. Seorang psikolog menamakan “kotoran” itu sebagai “Trauma”. Hasil dari sebuah k