Duuh … kenapa lama banget sih rapatnya? Tabitha mengeluh sambil memegang perutnya yang terasa lapar. Tadi pagi dia memang belum sempat sarapan karena terlalu sibuk menyiapkan berkas untuk survei lokasi yang akan menjadi tempat pelaksanaan acara Employee Day dari kantornya. Selaku sekretaris panitia, memang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyiapkan berkas-berkas itu. “Mas Fajar, kapan selesainya sih? Masih lama, ya?” tanya Tabitha. "Memang kenapa?" Fajar, rekan kerja Tabitha yang terpilih untuk menjadi ketua panitia, balik bertanya. "Lapar nih, Mas!" ujar Tabitha dengan berbisik sambil menunjuk perutnya. “Sabaar…! Sebentar lagi juga selesai! Tadi pagi memangnya kamu nggak sarapan?” tanya Fajar. Tabitha menggeleng. “Nggak!” jawabnya. Fajar terkejut. “Ya ampun, Bitha! Bagaimana sih kamu? Kamu kan tahu hari ini kita pasti sibuk, kenapa pake acara nggak sarapan dulu tadi? Setelah rapat ini selesai kita masih harus tunggu ownernya datang dulu loh, Bith! Kalau mereka
Seandainya Tabitha belum berjanji kepada Fajar untuk tetap berada di sampingnya, saat ini gadis itu pasti lebih memilih kabur, bersembunyi, menghilang dari pandangan, daripada ikut berjalan bersama ketiga pria itu. Fajar, Pak Ferdinan, dan terutama ... Pak Adriano. Bagaimana tidak? Tubuh tinggi tegapnya yang menawan dengan dada bidang, dengan bulu-bulu halus dan lebat di kedua lengannya, dengan rambut hitam berkilaunya, dengan wajahnya yang tampan, seolah sosok pria itu adalah pahatan yang nyaris sempurna karya Sang Maha Pencipta, sedari tadi rupanya berhasil mengintimidasi setiap syaraf persendian di tubuh gadis itu. Setiap kali pria itu berjalan dan hampir mendekatinya, setiap kali itu pula Tabitha merasa tubuhnya lemas, seolah tidak mampu lagi untuk beranjak dari sudutnya. Dan, setiap kali pria itu memandang ke arahnya dengan sorot mata cokelatnya yang tajam, maka setiap kali itu pula Tabitha akan membeku di tempat. Apalagi yang bisa Tabitha harapkan saat ini kecuali jubah tid
“Kalau teman kalian tidak ada di sini, dan juga tidak ada bersama mereka, apa itu artinya ... you left her at the resort? Kalian tinggalkan dia di resort?” tanya Adriano.Tidak ada jawaban.Kelima pemuda pemudi itu hanya terdiam, saling melempar pandangan. Dan, memang tidak perlu ada jawaban. Ekspresi kebingungan di wajah mereka, serta gerak saling melempar pandangan saja sudah cukup menjadi isyarat bahwa memang tidak ada satu pun dari antara mereka berlima yang tahu di mana keberadaan Tabitha saat ini.“Lebih baik kalian segera putar balik, dan kembali ke Jakarta sebelum terlalu malam! Situasi di jalan buntu ini masih belum aman untuk kalian!” ujar Adriano, tenang, sebelum berlalu.Melihat Adriano melangkah pergi meninggalkan mereka, pemuda yang bernama Fajar langsung panik. Pemuda itu berlari mengejar pria yang sudah hampir masuk ke dalam mobilnya.“Pak! Tunggu! Pak Adriano!” panggil pemuda itu.Gerak tangan Adriano berhenti saat hendak menutup pintu. Pria itu menatap pemuda yang sud
“Bitha, lo ada di mana sekarang?” tanya Anna. Jam lima pagi gadis bermata sipit, berbadan sedikit gemuk, dengan rambut keriting sebahu itu sudah membangunkan Tabitha dengan panggilan teleponnya. Tabitha yang masih setengah mengantuk menjawab dengan malas.“Di kamar! Kenapa?”“Hah? Di kamar? Kamar siapa? Kamar Mister Vampir?”“Astaga! Parah lo, Na!” sembur Tabitha.Anna tertawa terbahak.“Kan gue cuma tanya!” ujarnya, kemudian.“Ya di kamar gue lah!”“Ooh ... lo udah di kos-kosan? Alhamdulillaah...! Gue tuh hampir nggak bisa tidur semalaman gara-gara bingung mikirin lo tahu! Lo nggak diapa-apain kan sama Mister Vampir semalam?”“Nggak!"“Syukurlaah...! Berarti ... pagi ini lo tetap masih perawan dong ya?”“Annaaa...! Ngeres banget sih lo!”Anna tertawa terbahak lagi.“Dia itu orang baik, Na! Dia sama sekali nggak jahil sama gue! Yang ada tuh malah kalian yang tega banget sama gue kemarin! Masa’ gue ditinggal pulang sih? Kalau semalam gue sampe nggak bisa balik ke Jakarta, gue nggak tah
Sudah berminggu-minggu berlalu, tetapi suasana di kantin masih tidak nyaman untuk Tabitha. Setiap kali melihat Tabitha, seluruh karyawan baik pria atau wanita yang sedang makan di sana, yang sudah menikah atau yang masih lajang, masih ada saja beberapa yang memperhatikan Tabitha dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya sambil saling berbisik di antara mereka.“Udah, lo cuek aja! Masih untung mereka nggak ada yang pasang muka jutek sama lo kan! Cuma dilihatin aja sih biarin aja kali! Nggak usah lo ambil hati! Yang penting, sekarang lo cepat habisin sarapan lo! Waktunya kita masuk kantor nih! Oke?”Anna menunjukkan jam di pergelangan tangannya.“Iya, tapi mana bisa gue makan kalau sambil dilihatin sama mereka, Na! Seakan-akan gue ini makhluk alien baru datang dari planet lain kali ya! Lama-lama gue bisa kapok makan di kantin!”Anna tertawa terkekeh.“Udah resiko! Namanya juga lagi digosipin punya affair sama selebritis kantor ya begitu! Untung cuma sama selebritis kantor! Coba kalo sele
Jam pulang kantor sudah lama lewat, tetapi Tabitha masih betah berada di ruang kerjanya. Beberapa pekerjaan yang sebenarnya bisa dikerjakan esok hari malah sudah dia selesaikan hari ini. Sedangkan Anna sudah pulang sejak sore tadi. Dan, gadis itu hanya bisa geleng-geleng kepala sewaktu Tabitha bilang dia mau kerja lembur malam ini.“Udah tadi siang lo asyik makan sendirian tanpa ngajak gue! Sekarang lo mau kerja lembur sendirian juga? Ada apakah dengan lo hari ini, Tabitha?” tanya Anna, sedikit merajuk tadi.Tabitha meringis.“Maaf, Na! Gue nggak ada apa-apa kok! Cuma lagi malas pulang cepat-cepat aja!"“Oke! Gue percaya aja deh sama lo! Gue mau pulang duluan ya! Tapi, lo harus tahu kalo gue adalah teman yang bisa lo percaya, Tabitha! Kalo memang lo lagi ada masalah, lo bisa cerita sama gue kok! Anytime, besti! Dan gue jamin rahasia lo tetap aman sama gue!” Anna menunjukkan mimik wajah serius.“Siap, Na! Makasih banyak ya!" Tabitha tersenyum.Akhirnya, Anna pasrah karena bibir merah mu
Seorang pria berkulit putih kecokelatan melangkah keluar dari toko perhiasan dengan senyum tipis terukir di wajahnya yang tampan. Langkah kakinya panjang, sepanjang harapannya bahwa benda berharga yang saat ini tersimpan aman di dalam saku jasnya tidak lama lagi akan berpindah ke tangan seorang gadis yang berhasil membuat dia jatuh cinta.Setelah itu, dia bertekad gadis itu harus menjadi miliknya. Dan, dia sudah separuh yakin bahwa tekadnya pasti berhasil.Namun, di belakangnya, seorang gadis yang lain rupanya sedang diam-diam mengikuti langkah kakinya. Di tangan gadis itu, ada kamera ponsel yang sedari tadi selalu terarah kepadanya. Beberapa foto dirinya pun sudah berhasil diambil. Entah apa yang akan dilakukan oleh gadis itu dengan foto-foto dirinya nanti.Setelah merasa puas melihat hasil foto-foto yang diambilnya, gadis itu tersenyum licik. Jari tangannya yang putih kurus men-scroll daftar nama kontak yang tersimpan di ponselnya. Kemudian, dia memilih satu nama. Dan, nama itu adala
Fajar langsung bergegas keluar dari kamar Tabitha. Langkahnya sangat tergesa-gesa. Wajahnya kelihatan panik. Seorang gadis memperhatikannya dengan keheranan."Mas! Mas Fajar!" panggil gadis itu.Fajar menoleh."Eh kamu, Nda! Kenapa?""Nggak! Nggak kenapa-kenapa! Mas mau ke mana?" tanya Nanda, gadis itu."Ooh ... mau cari bantuan buat Bitha!""Hah?" Nanda terjejut."Bantuan buat Bitha? Memangnya Bitha kenapa, Mas?" tanyanya."Bitha sakit! Eh, sudah dulu ya! Saya lagi buru-buru soalnya. Maaf, Nda!" Fajar segera berlalu."Ooh ... iya, Mas!"Tabitha mencubit lengan Anna yang berdiri di samping tempat tidurnya.“Aduh ... duuh ... Bith! Sakit, tahu!” Anna mengaduh kesakitan.“Lo cerita sama Fajar ya, kalau gue sakit dari semalam?” tanya Tabitha, galak.“Iya. Lah kan memang bener! Gue nggak bohong kan?”Anna membela diri.“Iya. Tapi, harusnya kan nggak usah cerita, Na!”“Harus, Bitha! Biar Fajar tahu kondisi lo yang sebenarnya, kalau lo tuh sakitnya memang sudah dari semalam!”“Tapi kan ....”
Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu
“Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap dan mengerang pelan ketika bekapan tangan pria itu dia rasakan mulai mengendur di mulutnya.“Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha.Astaga! Tabitha terperanjat.Suara itu ... suara itu seperti pernah aku dengar! Tapi ... suara siapa? Siapa dia?“Siapa ka_kamu ....”“Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan! Lo pasti masih ingat kan? Ini gue yang waktu itu hampir memperkosa lo di malam itu, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan?” Pria itu menyeringai, menertawakan, sambil tangannya lalu mengelus bagian dalam paha Tabitha.Tabitha langsung terlonjak kaget. Tubuhnya seketika memberontak. Mata bulatnya langsung membelalak. Sementara pria itu malah tertawa tergelak. Entah di mana pria itu menaruh otaknya. Di b
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Teringat olehnya kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya setiap kali pria itu tahu Tabitha sedang berada di rumah Sandra. Namun, kali ini tidak mungkin begitu kan? Sudah berapa minggu mereka tidak akur dan tidak saling memberi kabar?Dan ....Benar ... memang bukan Adriano!Mendadak Tabitha merasa sedih. Ditutupnya kembali gorden jendela ruang keluarga di rumah Sandra yang mengarah ke pintu gerbang, dan baru sekian detik tadi disibaknya.“Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul di tengah ruang keluarga dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa.“Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar.Tabitha tersenyum.“Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha.“Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya.Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tidak tahu apa yang harus dikatakan.Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk menggambarkan perasaan yang sedang Tabitha rasakan saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki?“Kangen ya?” tanya Sandra, sambil meraih bayi Vanya yang sudah tertidur lelap dari pelukan Tabitha.Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri kecilnya yang baru semata wayang ke atas kasur berlapis sprei merah muda. Ketika baru diletakkan, bayi mungil itu semp
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta.~Pet Sematary, Stephen King~“Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar gadis itu.“Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya.“Ke mana?”“Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu.Adriano menghela nafasnya.“Bitha, please ....”“Kamu nggak usah kawatir, aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah.“Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih ada banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi.Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk dirubah.“Tapi ... kamu
Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p
Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M
Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun