Sandra selingkuh? Nggak salah tuh? Ada apa sebenarnya dengan Sandra? Apa sih yang dilakukan si jantan itu sama Sandra sampai Sandra jadi nggak takut kehilangan Andre, dan lebih memilih pria yang sosoknya aja baru dia kenal? Ya Tuhan! Tabitha geleng-geleng kepala. Ke mana perginya Sandra yang pernah ngajarin aku untuk bisa menerima perjodohan, dan belajar untuk mencintai? “Bith? Bitha!” Suara Sandra di seberang telepon mengejutkan Tabitha. Membuat dia tersadar bahwa gagang telepon itu masih ada dalam genggamannya, dan masih menempel di telinganya. “Iya! Kenapa?” sahut Tabitha. “Gimana? Lo mau kan temani gue nanti malam ya? Mau kan ya?” tanya Sandra. Nada suaranya terdengar memelas. Tabitha merasa malas. "Lo temui dia sendiri aja kenapa sih?" ujarnya. "Nggak mau! Pokoknya lo harus mau temani gue! Gue kan butuh pendapat lo juga tentang dia!" balas Sandra. Tabitha menghela nafasnya. Berat. “Hmm ... memangnya … kalau ketemuannya besok pas hari Sabtu aja nggak bisa ya?”
Tabitha merasa kecewa. Dia merasa dibohongi oleh Sandra. Ingin rasanya dia mengamuk saat ini juga. Memarahi pria itu, memaki-makinya, dan juga Sandra. Tetapi, rasanya kok kenapa tidak pantas ya? Apa dia memang punya hak untuk memarahi mereka? Apa dia punya hak untuk mengatur kehidupan Sandra? Tabitha mulai meragukan emosinya. Baiklah, kalau begitu ... mungkin lebih baik kalau aku tutup mata saja. Tetap "diam" dan melupakan semua yang pernah aku dengar? Anggap saja aku memang nggak tahu apa-apa tentang ulah mereka? Tabitha sibuk berkutat dengan pikirannya. “Apa ... Anda tahu kalau sebenarnya dia ... dia sudah menikah?” Tetapi, akhirnya Tabitha tidak tahan juga untuk bertanya. Pria itu menatap Tabitha. Kelihatan sedikit heran dengan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh gadis cantik yang duduk di hadapannya. “Iya, saya tahu! Apa ada masalah dengan itu?” Kening pria itu sedikit berkerut. Tabitha mulai kesal. Fix! Pria ini ganteng, tapi perebut bini orang! pikirnya. “Oo
Sejauh ini, kisah hidupku memang bukan kisah hidup yang dramatis, penuh dengan derai air mata. Tidak ada cerita tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau mertua jahat seperti yang sering kubaca di novel-novel online selama ini. Juga tidak ada cerita tentang azab dari Tuhan seperti yang sering kutonton di televisi bersama ibu, bapak dan Dilla dulu. Sejauh ini, ya memang hanya seperti ini kisah hidupku. Aku juga bukan anak sultan yang punya banyak uang, karena orangtuaku memang hanya pengrajin batik kecil-kecilan. Keluarga kami cuma punya toko batik kecil di tengah pasar di pusat kota, dan sebidang tanah yang di atasnya dibangun sebuah rumah tempat kami tinggal, serta sedikit lahan kecil tempat Bapak memproduksi kain batiknya. Ya, aku memang hanya anak gadis biasa yang pergi merantau sendirian ke Ibukota. Aku belum tahu tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau tentang pertengkaran suami dan isteri dalam rumah tangga, yaa ... karena aku memang belum menikah. Aku masih
Seperti petir di siang bolong yang berbunyi tepat di depan gendang telinganya, suara itu berhasil membuat Tabitha terkejut. Tabitha lantas menoleh ke belakang, dan memandang seorang gadis yang sekarang sedang berdiri di hadapannya. Vina. Putri kedua Bu Ambar yang ternyata sudah setahun lebih dulu diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan Tabitha. Setelah sekian lama mereka berdua tidak bertemu, kenapa mereka harus bertemu di sini? Tabitha menelan ludah. Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tabitha menghela nafasnya. Sabaar ... ya, Tabitha! Tabitha mengelus dada. “Bisa sopan sedikit tidak bicaranya? Maksud kamu apa sih? Kok saya tidak mengerti ya?” sahut Tabitha. Tetap berusaha tenang, itu yang sedang Tabitha coba lakukan. Walaupun di dalam hati rasanya dia ingin sekali menarik rambut panjang sebahu milik gadis yang selalu memandangnya rendah dan hina sejak dulu itu. Bahkan hingga saat ini, sepertinya. Dulu, ketika Tabitha menumpang tinggal di rumah keluarga gadis itu, dia sudah dip
Pria itu tersenyum lebar. “Harusnya aku yang tanya begitu! Kamu kenapa ada di sini? Sudah pindah kerja ya?” tanya pria itu dengan mata berbinar menatap gadis yang berdiri di depannya. “Iya, Mas!” Tabitha mengangguk. Pria itu adalah Andre, suami Sandra. “Wah, kejutan banget dong! Sejak kapan kamu kerja di sini?” tanya Andre. “Belum lama, Mas! Baru dua bulan yang lalu! Eeng ... Mas Andre juga kerja di sini?” “Hah? Ya iya lah! Memangnya selama ini kamu belum tahu?” Andre terheran-heran. “Belum, Mas!” Tabitha menggeleng, lalu tersenyum malu. Andre tertawa terkekeh. “Ya sudah, nggak apa-apa! Eh, hampir lupa! Aku mau ke kantin dulu ya, Bith! Mau beli titipan Sandra!” ujar Andre. “Ooh … iya, Mas!” Tabitha mengangguk. "Eeh ... Mas! Mas, tunggu dulu!" panggil Anna, tepat sebelum Andre melangkah pergi. "Kenapa?" Andre mengerutkan keningnya. "Mas yang namanya Surya Anemia itu ya? Yang artis itu? Yang host acara kuis buat emak-emak itu?" tanya Anna. "Ooh ... bukan! Nama saya Andre In
“Silahkan, Mbak! Ini titipan dari Pak Andre ya!” ujar resepsionis itu, sambil tersenyum ramah. “Iya, terimakasih!” Tabitha balas tersenyum sambil menerima bungkusan berisi kotak plastik yang diulurkan kepadanya. Harum dimsum sedikit menyelusup keluar, dan langsung menggoda perut Tabitha yang mulai terasa lapar. Dari balik dinding kaca yang membatasi antara ruang resepsionis dengan ruang kantor di belakangnya, terlihat seorang pria baru melangkah keluar dari sebuah ruangan. Pria itu tersenyum gembira ketika melihat Tabitha sedang menenteng sebuah bungkusan plastik di tangannya. Pria itu segera mempercepat langkah kakinya dan mengejar gadis itu. “Bith!” panggil Andre, pria itu. Tabitha menoleh, wajahnya sedikit heran ketika melihat kemunculan Andre. “Loh, Mas? Memang sudah selesai rapatnya?” tanya Tabitha. Andre tersenyum. “Iya nih, sudah! Ternyata rapatnya nggak selama yang aku kira! Eh, kita pulang bareng aja yuk!” ajaknya. “Loh, kok bareng?” Tabitha bingung. “Ya ngga
Duuh … kenapa lama banget sih rapatnya? Tabitha mengeluh sambil memegang perutnya yang terasa lapar. Tadi pagi dia memang belum sempat sarapan karena terlalu sibuk menyiapkan berkas untuk survei lokasi yang akan menjadi tempat pelaksanaan acara Employee Day dari kantornya. Selaku sekretaris panitia, memang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyiapkan berkas-berkas itu. “Mas Fajar, kapan selesainya sih? Masih lama, ya?” tanya Tabitha. "Memang kenapa?" Fajar, rekan kerja Tabitha yang terpilih untuk menjadi ketua panitia, balik bertanya. "Lapar nih, Mas!" ujar Tabitha dengan berbisik sambil menunjuk perutnya. “Sabaar…! Sebentar lagi juga selesai! Tadi pagi memangnya kamu nggak sarapan?” tanya Fajar. Tabitha menggeleng. “Nggak!” jawabnya. Fajar terkejut. “Ya ampun, Bitha! Bagaimana sih kamu? Kamu kan tahu hari ini kita pasti sibuk, kenapa pake acara nggak sarapan dulu tadi? Setelah rapat ini selesai kita masih harus tunggu ownernya datang dulu loh, Bith! Kalau mereka
Seandainya Tabitha belum berjanji kepada Fajar untuk tetap berada di sampingnya, saat ini gadis itu pasti lebih memilih kabur, bersembunyi, menghilang dari pandangan, daripada ikut berjalan bersama ketiga pria itu. Fajar, Pak Ferdinan, dan terutama ... Pak Adriano. Bagaimana tidak? Tubuh tinggi tegapnya yang menawan dengan dada bidang, dengan bulu-bulu halus dan lebat di kedua lengannya, dengan rambut hitam berkilaunya, dengan wajahnya yang tampan, seolah sosok pria itu adalah pahatan yang nyaris sempurna karya Sang Maha Pencipta, sedari tadi rupanya berhasil mengintimidasi setiap syaraf persendian di tubuh gadis itu. Setiap kali pria itu berjalan dan hampir mendekatinya, setiap kali itu pula Tabitha merasa tubuhnya lemas, seolah tidak mampu lagi untuk beranjak dari sudutnya. Dan, setiap kali pria itu memandang ke arahnya dengan sorot mata cokelatnya yang tajam, maka setiap kali itu pula Tabitha akan membeku di tempat. Apalagi yang bisa Tabitha harapkan saat ini kecuali jubah tid
Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu
“Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap dan mengerang pelan ketika bekapan tangan pria itu dia rasakan mulai mengendur di mulutnya.“Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha.Astaga! Tabitha terperanjat.Suara itu ... suara itu seperti pernah aku dengar! Tapi ... suara siapa? Siapa dia?“Siapa ka_kamu ....”“Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan! Lo pasti masih ingat kan? Ini gue yang waktu itu hampir memperkosa lo di malam itu, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan?” Pria itu menyeringai, menertawakan, sambil tangannya lalu mengelus bagian dalam paha Tabitha.Tabitha langsung terlonjak kaget. Tubuhnya seketika memberontak. Mata bulatnya langsung membelalak. Sementara pria itu malah tertawa tergelak. Entah di mana pria itu menaruh otaknya. Di b
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Teringat olehnya kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya setiap kali pria itu tahu Tabitha sedang berada di rumah Sandra. Namun, kali ini tidak mungkin begitu kan? Sudah berapa minggu mereka tidak akur dan tidak saling memberi kabar?Dan ....Benar ... memang bukan Adriano!Mendadak Tabitha merasa sedih. Ditutupnya kembali gorden jendela ruang keluarga di rumah Sandra yang mengarah ke pintu gerbang, dan baru sekian detik tadi disibaknya.“Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul di tengah ruang keluarga dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa.“Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar.Tabitha tersenyum.“Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha.“Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya.Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tidak tahu apa yang harus dikatakan.Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk menggambarkan perasaan yang sedang Tabitha rasakan saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki?“Kangen ya?” tanya Sandra, sambil meraih bayi Vanya yang sudah tertidur lelap dari pelukan Tabitha.Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri kecilnya yang baru semata wayang ke atas kasur berlapis sprei merah muda. Ketika baru diletakkan, bayi mungil itu semp
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta.~Pet Sematary, Stephen King~“Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar gadis itu.“Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya.“Ke mana?”“Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu.Adriano menghela nafasnya.“Bitha, please ....”“Kamu nggak usah kawatir, aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah.“Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih ada banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi.Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk dirubah.“Tapi ... kamu
Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p
Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M
Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun