“Mungkin dengan mudahnya orang lain akan berkata, untuk apa mengejar setangkai bunga layu jika masih bisa mendapatkan bunga yang baru. Tapi aku tidak begitu. Bagaimana pun juga aku lah penyebab bunga itu menjadi layu dan aku berjanji akan mendapatkan bungaku itu. Setidaknya mungkin aku bisa membuatnya tidak terlalu menderita karena perbuatanku yang sudah merusaknya.”
Rasya gelisah menanti kabar lanjutan dari Andre. Asistennya itu baru saja mengabari bahwa dia sudah menemukan identitas perempuan yang menjadi korban Rasya. Rasya pun segera memanggil Andre ke ruangannya.
“Jadi katakan, siapa sebenarnya perempuan yang membersamaiku di hotel malam itu?” tanya Rasya sangat penasaran.
“Saya sudah menyelidikinya, Bos. Perempuan itu bernama Adinda Dwi Ersalina. Dia bekerja sebagai marketing di salah satu perbankan. Dia adalah putri tunggal dari sepasang suami istri. Ayahnya mengalami kelumpuhan karena sebuah kecelakaan. Selama ini dia yang membantu roda perekonomian keluarga. Selain itu dia dikenal sebagai perempuan baik-baik. Bahkan rekan-rekan kerja dan tetangganya menyebut sebagai perempuan yang taat dan agamis,” jelas Andre.
“Kalau memang dia perempuan baik-baik, lantas bagaimana dia bisa berada di dalam kamar hotel itu dan menghabiskan malam denganku?” ujar Rasya masih belum bisa memecahkan alur kejadiannya.
“Kalau masalah itu saya juga kurang tau, Bos. Penyelidikan lanjutan terhadap CCTV hotel tidak membawa petunjuk apa pun. Tidak diketahui siapa yang sudah membawa perempuan itu ke kamar yang sama dengan bos. Tapi sepertinya perempuan itu juga telah dijebak oleh seseorang.”
“Terus selidiki masalah ini sampai tuntas. Aku ingin tahu siapa musuh yang sudah menjebakku dan apa motifnya,” kata Rasya. Dia merasa harus waspada terhadap musuh yang belum dia ketahui dengan pasti. Dia tidak tahu apakah pelaku ingin menjadikan jebakan itu untuk mengganggu karir Rasya atau hal lainnya.
“Lalu bagaimana dengan perempuan itu, Bos?”
Pertanyaan Andre membuat Rasya kembali berpikir keras. Kini dia sudah tahu identitas termasuk alamat tempat tinggal perempuan yang sudah menjadi korbannya. Rasya tidak tahu apakah Adinda masih akan mengenali wajahnya setelah kejadian di hotel.
Rasya berniat untuk pergi ke rumah Adinda. Meski mungkin tidak langsung mengajukan pengakuan bahwa dia adalah laki-laki yang sudah merenggut kehormatan perempuan itu. Dia berpikir belum tentu juga orang lain tahu tentang apa yang terjadi antara mereka berdua. Setidaknya mungkin dia bisa sedikit mengamati kehidupan perempuan itu dari jauh.
Setelah menerima kiriman email tentang identitas dan alamat Adinda dari Andre, Rasya pun bangkit hendak pergi. Namun di saat yang bersamaan pintu ruangannya sudah terbuka lebih dulu.
“Alvia?” ujar Rasya tak menyangka akan kedatangan sang tunangan ke kantornya.
Rasya merasa Alvia datang di saat yang tidak tepat. Meski mencintai Alvia dan merindukan gadis itu karena belakangan jarang bertemu, tapi tetap saja Rasya merasa tidak siap dengan kedatangannya. Apalagi ketika Rasya tengah membicarakan perihal perempuan lain dengan asistennya.
Meski begitu Rasya tidak bisa menolak Alvia. Apalagi dia mendapati sosok Alvia yang berdiri dengan wajah tidak ceria seperti biasanya. Dia sudah bisa menebak bahwa ada sesuatu tidak menyenangkan yang ingin dibagi oleh sang kekasih.
Alvia memang seperti itu. Dia bukan gadis manja yang selalu menuntut waktu dari pasangannya. Tapi dia juga selalu bisa menempatkan posisi Rasya sebagai seseorang yang dia butuhkan.
Itulah salah satu hal yang juga Rasya sukai dari diri Alvia. Alvia selalu berusaha mandiri untuk menyelesaikan setiap permasalahannya. Hanya saja biasanya dia akan datang pada Rasya seperti ini untuk berbagi cerita dan kekesalan hati.
Pada situasi seperti itu, mau tidak mau Rasya harus mengurungkan niatnya untuk pergi. Dia terpaksa menunda rencananya. Diam-diam dia juga mengirimkan pesan pada Andre agar menjaga rahasia tentang Adinda.
Rasya tidak mau masalah dirinya dengan Adinda sampai diketahui oleh Alvia. Rasya memberi kode pada Andre untuk membaca pesannya. Setelah asisten itu mengangguk paham, Rasya pun memintanya untuk keluar ruangan dan memberi privasi pada Rasya dan Alvia.
“Ada apa, Sayang? Kenapa wajahmu terlihat tidak bersemangat?” tanya Rasya setelah hanya ada mereka berdua di sana. Mereka sudah berpindah posisi dengan duduk berdampingan di sofa.
“Aku baru saja dari kampus untuk melakukan bimbingan tesis. Tapi apa kau tahu? Dosen pembimbingku itu cukup menyebalkan. Setelah aku mengerjakan bab dua, dia kembali menyuruhku merivisi bab pertama. Aku merasa kesal, Rasya” curhat Alvia.
Sementara itu Rasya hanya tersenyum memperhatikan ekspresi Alvia. Alvia bisa membuat Rasya merasa berarti bahkan hanya dengan cara sederhana seperti dibutuhkan sebagai teman berbagi.
“Aku percaya bahwa tunanganku ini adalah seorang perempuan yang cerdas dan tangguh. Jadi mau mendapat tantangan sesulit apa pun, aku yakin kamu pasti akan mampu melewatinya,” komentar Rasya yang lebih tepat disebut sebagai pujian.
“Terima kasih atas keyakinanku padaku. Tapi tolong beri aku satu saran,” pinta Alvia.
“Baiklah. Dengarkan pendapatku dengan baik. Aku tahu kamu merasa kesal pada dosen pembimbingmu itu. Tapi jangan jadikan arahannya sebagai pematah semangatmu. Cobalah untuk lebih terbuka. Anggap saja dia memintamu mengulang bab lagi karena dia ingin hasil pekerjaanmu benar-benar menjadi yang terbaik. Sekarang tenangkan dulu dirimu dan pikiranmu. Istirahatlah. Setelah fresh kembali, barulah kamu kerjakan tugasmu lagi.”
“Terima kasih banyak, Rasya. Aku tahu kamu adalah orang paling tepat yang bisa aku datangi di saat seperti ini. Setiap kali datang padamu, aku selalu menemukan sandaran yang membuatku tenang. Aku bersyukur pada Tuhan karena menemukanmu dalam perjalanan hidupku. Kamu adalah rumah yang selalu mampu membawaku pada damai,” ungkap Alvia tulus. Kini selarik senyum kembali menghiasi wajahnya.
“Aku menyayangimu, Alvia” balas Rasya sembari memeluk erat sang kekasih.
“Maafkan aku, Al. Seandainya kamu tahu kesalahan apa yang sudah aku lakukan, mungkin saja kamu tidak akan lagi menganggapku sebaik itu. Tanpa sengaja aku sudah mengkhianatimu, Alvia. Aku sungguh minta maaf. Jika kamu tahu aku sudah melewati batas dengan perempuan lain, apakah kamu tetap akan bersyukur pada Tuhan karena dipertemukan dengan laki-laki sepertiku? Mungkin pandanganmu padaku akan langsung berubah. Tadinya rumah lantas menjadi sampah. Aku yang kamu anggap selalu membawa damai tapi sebenarnya menyimpan badai. Aku sunggu tidak sengaja, Alvia. Maaf!” ungkap batin Rasya.
Bukan bermaksud untuk membohongi Alvia, tapi dia tahu betul resiko apa yang bisa saja terjadi jika sampai Alvia tahu segalanya. Hubungan dua tahun pertunangan akan dipertaruhkan. Rasya tidak punya keberanian untuk mengungkap peristiwa besar itu. Dia tidak ingin kehilangan perempuan yang dia cintai hanya karena kesalahan satu malam saja.
Dengan cepatnya suasana hati Alvia bisa berubah membaik jika ada Rasya di sampingnya. Mereka pun mengobrolkan hal lain sekaligus untuk mengalihkan fokus pikiran Alvia dari masalah bimbingan tesis. Namun sesaat kemudian, pintu ruangan Rasya tiba-tiba dibuka tanpa meminta izin atau mengetuk sebelumnya.
“Bos, ada kabar penting mengenai Nona Adinda,” ucap Andre langsung menyampaikan pesannya tanpa mempedulikan keberadaan Alvia yang masih di dalam sana.
“Siapa Adinda?”
Hari itu Adinda dihubungi pihak butik terkait fitting baju pengantin untuk pernikahannya dengan Ardiaz. Hampir delapan puluh persen persiapan telah terlaksana. Hari demi hari yang terlewati juga semakin mengikis waktu hingga sampai pada hari yang seharusnya bahagia itu. Semua orang begitu bahagia dan tak sabar menantikan hari besar bagi dua keluarga. Tapi berbeda bagi Adinda yang dipenuhi dengan ketakutan dalam batinnya. Harapan terlaksananya akad nikah perlahan dia hapuskan dari angan. Belum tentu impiannya untuk menjadi istri Ardiaz akan menjadi kenyataan setelah kejujuran yang akan dia sampaikan. Setelah menimbang berkali-kali, Adinda memutuskan hari itu akan menyampaikan segalanya pada sang calon suami. Dia dan Ardiaz berjanji akan bertemu langsung di butik. Adinda berniat menggunakan kesempatan itu untuk menjelaskan kebenaran dirinya pada Ardiaz. Adinda bahkan tidak terlalu bersemangat untuk pergi ke sana. Dia takut dirinya belum benar-benar siap dengan kemungkinan buruk yang
Ardiaz menatap lekat perempuan bergamis abu-abu yang sedang terisak di hadapannya. Dia sadar butuh keberanian yang besar bagi Adinda untuk mengutarakan kejujuran seburuk itu pada laki-laki yang merupakan calon suaminya.Ardiaz bisa mengerti ketakutan Adinda. Hanya saja dia tidak menyangka jika ternyata pakaian longgar dan panjang itu bahkan tak mampu melindungi kehormatan calon istrinya. Sesungguhnya tanpa membutuhkan penjelasan dari Adinda, Ardiaz sudah bisa memahami bahwa semua itu terjadi tanpa keinginan dari Adinda sendiri.Ardiaz sudah cukup mengenal pribadi baik Adinda. Tapi tetap saja kali ini dia ingin mendengar cerita hingga kejadian naas itu menimpa Adinda. Ardiaz pun bertanya dengan hati-hati karena tak ingin semakin menyinggung perasaan Adinda yang jelas sedang terluka.“Bagaimana semua itu bisa terjadi padamu, Din?” tanya Ardiaz setelah memberikan jeda yang cukup lama bagi Adinda untuk mengurai tangisnya.“Aku tidak berniat untuk mengkhianatimu dengan sengaja, Mas. Maafka
“Gawat, Bos! Saya baru saja mendapat informasi terbaru mengenai perempuan bernama Adinda itu,” ujar Andre yang tiba-tiba datang dengan tergesa ke ruangan Rasya.Rasya yang sedang memeriksa beberapa berkas laporan pun mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa selama beberapa waktu belakangan, topik Adinda menjadi sesuatu yang seolah tak ingin dia lewatkan. Dia memang memerintahkan Andre untuk selalu mengawasi perempuan yang merupakan korbannya itu.“Ada apa dengan perempuan itu? Apa dia frustasi dan ingin bunuh diri?” ujar Rasya menduga hal-hal buruk yang mungkin akan dilakukan oleh seorang korban pelecehan.“Bukan itu, Bos” elak Andre.“Lalu apa?”“Ternyata Nona Adinda sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi mereka akan menikah.”“Apa?” ucap Rasya refleks.Laki-laki itu langsung terdiam begitu mendengar penuturan dari Andre. Entah mengapa ada gejolak tak nyaman saat mendengar tentang pernikahan Adinda. Walau tak mengenal Adinda dengan baik, tapi kejadian malam itu sudah membuat Ras
“Sekarang pengantinnya sudah siap. Wah...Mbak Adinda cantik sekali. Pasti Mas Ardiaz akan pangling melihatnya,” puji seorang perias pengantin yang membantu menyiapkan Adinda. Tarian jemarinya sudah menyulap Adinda bak ratu sehari. Adinda yang memang aslinya cantik dibuat semakin cantik.Adinda hanya menanggapi pujian itu dengan senyum datar. Dia tak begitu bersemangat menyongsong hari pernikahan karena keadaannya sudah berbeda. Setiap diamnya dipenuhi gelisah dan takut. Keraguan di hati menari-nari tanpa henti.Adinda menatap lekat dirinya di cermin. Binar kebahagiaan tak memancar di sana. Batinnya bermonolog tanpa ada seorang pun yang mampu memahaminya.“Awalnya aku adalah sebuah bunga yang indah tapi berduri. Aku tidak membiarkan seseorang menyentuh apalagi merenggut kelopakku dengan mudah. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah duriku sudah tidak lagi tajam hingga tak mampu menghalau tangan jahat yang ingin menghancurkan? Oh bahkan sekarang aku hanya seperti setangkai bunga layu ta
Malam itu Adinda mematung di dekat jendela kamarnya. Kini dia sudah tidak lagi tinggal di rumah orang tuanya. Setelah resmi menjadi istri dari Ardiaz, sore harinya setelah acara selesai, Ardiaz langsung memboyong Adinda ke rumah pribadinya. Rumah yang memang disiapkan untuk dihuni mereka berdua.Ardiaz adalah laki-laki yang memiliki pemikiran dewasa. Sejak awal dia bertekad untuk hidup mandiri dan membangun rumah tangganya sendiri. Itu sebabnya dia memilih tinggal terpisah dari orang tua maupun mertuanya.Sebenarnya rencana awal Ardiaz tidak ingin langsung memisahkan Adinda secepat itu dari keluarganya. Namun kini kondisinya sudah berbeda. Dia berpikir keputusan untuk pindah rumah akan lebih baik jika segera dilakukan. Ardiaz tidak mau ada orang lain yang tahu tentang aib sang istri yang dia sembunyikan.Sejak masih berlangsungnya acara pernikahan saja Adinda sudah menunjukkan gelagat yang berbeda. Beban pikiran mungkin tak bisa ditutupinya. Beberapa kali ia mendapati Adinda melamun s
Hidup baru Ardiaz dan Adinda sudah dimulai. Mereka menjalani hari-hari bersama di rumah baru. Sudah satu minggu mereka resmi menjadi suami istri. Tapi sampai saat itu Adinda tetap tak juga memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri untuk menyerahkan diri pada Ardiaz. Semua upaya dia lakukan agar bisa menjadi istri yang baik. Dia menyiapkan segala kebutuhan Ardiaz setiap hari. Hanya saja untuk urusan ranjang, dia masih belum bisa memenuhi. Ardiaz rupanya juga sangat memahami. Setelah penolakan Adinda di malam pertama mereka, Ardiaz tidak pernah meminta hal itu lagi. Membahasnya pun tidak. Ardiaz seolah benar-benar berlapang dada menyikapi ketidak siapan istrinya. Namun sikap Ardiaz itu justru membuat Adinda tidak enak sendiri. Adinda mulai menyadari ada yang tidak normal dalam hubungan pernikahannya. Dia tidak mau ketakutan dan trauma masa lalu mempengaruhi rumah tangganya. Adinda berpikir dia harus berusaha untuk melawan rasa takutnya sendiri dan menjadi istri Ardiaz seutuhnya. “M
Setelah kejadian ketika Adinda menangis histeris malam itu, Ardiaz pun berpikir untuk mulai berkonsultasi dengan dokter atau psikolog. Dia tidak tega membiarkan istrinya terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan demi kepentingannya, semua dia lakukan semata demi membuat sang istri bisa hidup normal kembali.Meski begitu Ardiaz tidak bisa memutuskan semuanya sendiri. Bagaimana pun juga dia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan dari Adinda. Oleh karena itu dia pun menyampaikan niatnya pada Adinda ketika mereka hendak sarapan bersama pada suatu pagi.“Setelah kejadian malam itu, aku berpikir untuk membawamu ke rumah sakit,” ujar Ardiaz membuat Adinda menghentikan aktivitasnya yang sibuk menata makanan di meja makan. Adinda menatap lekat pada Ardiaz.“Bagaimana pendapatmu?” imbuh Ardiaz merasa suasana di antara mereka mulai cukup tegang. Ardiaz sadar membicarakan masalah itu harus dilakukan dengan hati-hati agar Adinda tidak tersinggung atau pun salah paham.Adinda hanya diam.
Setelah diberi pemahaman dengan baik, Adinda akhirnya setuju untuk pergi ke rumah sakit. Ardiaz bahkan mengantarnya sendiri untuk berkonsultasi dengan dokter. Adinda menemui salah satu dokter yang bernama Dokter Sylva.Tidak seperti pemeriksaan kesehatan secara umum, masalah yang menyangkut psikis Adinda membuat proses yang dilalui cukup berbeda. Bahkan proses identifikasi justru seperti sesi curhat. Adinda diminta untuk menceritakan kejadian yang memicu traumanya.Adinda tak begitu nyaman jika harus menceritakan kejadian memilukan ketika kehilangan kehormatannya. Apalagi saat itu Ardiaz tepat berada di sampingnya. Dia memikirkan bagaimana perasaan Ardiaz jika mendengar peristiwa yang merenggut kesucian istrinya.Adinda hanya bergeming tak kunjung bicara. Dia justru melirik tak nyaman ke arah suaminya. Rupanya gelagat Adinda dapat dibaca oleh Dokter Sylva. Dengan penuh pengertian dokter itu meminta Ardiaz meninggalkan mereka berdua saja agar Adinda lebih leluasa untuk membuka diri ter
Setibanya di rumah sakit, Adinda langsung menemui mertuanya. Hani dan Hairi cukup terkejut dengan kedatangan Adinda yang tiba-tiba. Apalagi mereka melihat Adinda kembali ditemani oleh Rasya. Ada perasaan tak suka yang Hani pendam dalam hatinya ketika melihat menantunya pergi bersama laki-laki lain.“Lho Adinda kok bisa datang ke sini? Sama Pak Ahyan?” sapa Hairi ketika Adinda menyalami mereka.“Iya, Pa. Adin ingin menjenguk Mas Ardiaz. Adin diantar teman,” jawab Adinda.“Bayimu bagaimana, Sayang? Maaf kami belum sempat menjenguknya sama sekali. Lagi pula seharusnya kamu tidak bepergian jauh dalam masa pemulihan seperti ini,” ujar Hani. Dia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak sukanya pada Rasya.“Tidak masalah, Ma. Aku juga mengerti kondisinya. Bayiku aku tinggalkan bersama mama di rumah,” jawab Adinda.“Bagaimana keadaan Mas Ardiaz?” tanya Adinda langsung pada intinya.Adinda sudah mendengar semuanya dari penuturan Rasya. Tapi dia ingin mendengar jawaban langsung dari kedua mertua
“Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang perkembangan kondisi Ardiaz?” tanya Rasya langsung disambut gelengan cepat oleh Adinda.“Maksudnya setiap hari saya memang mendapat kabar tentang Mas Ardiaz dari keluarga mertua saya. Tapi sejujurnya saya merasa ada yang aneh dan sedang mereka sembunyikan dari saya,” kata Adinda.Rasya tampak menghela napas sejenak. Dia sudah menebak jika pihak keluarga tidak memberitahu Adinda dengan jujur. Dia bisa maklum karena mungkin kondisi Adinda masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.“Jadi kamu tidak tahu kalau Ardiaz akan dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?”“Apa?” ujar Adinda jelas merasa syok. Dia tidak pernah mendengar apa pun tentang hal itu.Rasya mengerti kebingungan di wajah Adinda. Dia pun menjelaskan seperti informasi yang dia dapat dari orang suruhannya. Ardiaz sudah dioperasi berkali-kali namun belum juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dokter di rumah sakit itu sudah angkat tangan dan memberi rujukan agar Ardiaz dip
“Mas Rasya pasti hanya bercanda. Semua itu tidak mungkin benar,” elak Adinda.“Saya serius, Adinda. Saya adalah ayah kandung dari bayi ini,” tegas Rasya. Dia sudah tahu bahwa Adinda tidak akan percaya begitu saja dengan perkataannya.“Tidak, Mas. Mohon maaf jika kesannya ini terlalu vulgar. Tapi saya tidak pernah tidur dengan Mas Rasya jadi bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Mengenai anak ini, mungkin Mas Rasya tahu dari Alvia kalau dia bukanlah anak kandung saya dengan Mas Ardiaz. Tapi saya tahu betul siapa laki-laki yang sudah menjebak dan menodai saya pada malam itu,” ucap Adinda dengan nada bergetar pada ujung kalimatnya. Hatinya masih terasa nyeri setiap kali mengingat malam naas yang dia alami.“Hotel Gardenia kamar nomor 304.”“Apa? Kenapa Mas Rasya bisa tahu tempat itu?” ujar Adinda dengan perasaan yang semakin melesak tak karuan.“Karena saya adalah pelakunya, Adinda. Saya yang sudah merenggut kesucianmu malam itu,” jawab Rasya mengakui segala rahasia dan beban yang se
Doa-doa keluarga dan orang tercinta seolah tak bekerja. Hari demi hari kondisi Ardiaz semakin memburuk dan menunjukkan penurunan. Orang tuanya khawatir berkepanjangan. Kondisi genting itu menyebabkan mereka tidak terlalu peduli pada Adinda dan bayinya yang baru saja dilahirkan.Perasaan Adinda pun tak jauh berbeda. Dia dan bayinya sudah dipulangkan dari rumah sakit. Tapi setiap hari pikirannya hanya tertuju pada Ardiaz. Dia sedikit mengalami kesulitan menghadapi peran sebagai ibu baru tanpa adanya sang suami di sisinya.Adinda sangat butuh dukungan. Hal itu membuatnya semakin merindukan Ardiaz. Untung saja Adinda pulang ke rumah orang tuanya sehingga ada ayah ibu yang membantunya bergantian mengurus si kecil. Bahkan anak itu belum juga diberi nama karena Adinda tetap teguh masih ingin menunggu Ardiaz.Adinda belum diizinkan pergi jauh untuk menjenguk Ardiaz secara langsung. Dia masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan. Apalagi bayinya juga tidak bisa ditinggalkan dalam waktu ya
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak
Setelah dari rumah sakit, Adinda terlebih dahulu pergi ke rumah yang dia tempati dengan Ardiaz. Dia mengambil barang-barangnya di sana untuk dibawa pindah sementara ke rumah orang tuanya. Anifa juga menemani dan membantunya berkemas. Sedangkan Rumini tampak kebingungan karena tidak tahu apa-apa.“Mas Ardiaz mengalami kecelakaan dan sekarang dia koma di rumah sakit,” tutur Adinda memberitahu. Terdengar Rumini mengucap istighfar dan ikut bersedih atas musibah yang menimpa majikannya.“Sementara waktu saya akan pulang ke rumah orang tua saya mengingat saya bisa melahirkan sewaktu-waktu. Bibi tolong tetap di sini dan jaga rumah ya,” pinta Adinda.“Lalu bagaimana dengan Mas Ardiaz, Non?” tanya Rumini.“Kondisi Mas Ardiaz tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke rumah sakit terdekat. Jadi Papa Hairi dan Mama Hani yang menjaganya di sana,” jelas Adinda.“Ya Allah…semoga Mas Ardiaz segera diberikan kesembuhan,” ucap Rumini mendoakan. Adinda dan Anifa mengamini dengan kompak.Setelah selesai me
“Ini tidak seperti yang mama pikirkan. Dia adalah Mas Rasya dan dia yang membantu mengantarku ke mari. Dia juga yang sudah menguruskan administrasi rumah sakit untuk Mas Ardiaz,” jelas Adinda tanpa diminta. Dia tidak ingin keluarga mertuanya salah paham mengenai kedekatannya dengan Rasya.“Mohon maaf, Tante. Apa yang dikatakan Adinda itu benar. Tadi saya hanya membantu,” timpal Rasya mengafirmasi. Namun tatapan Hani tetap tak bersahabat padanya.“Sudah, Ma. Harusnya kita berterima kasih pada Nak Rasya karena sudah membantu anak kita,” kata Hairi, ayah mertua Adinda.“Iya, Ma. Lagi pula Mbak Adin itu perempuan baik-baik. pikiran mama saja yang terlalu negatif. Sekarang yang terpenting adalah kondisi Mas Diaz,” imbuh Anifa yang juga ikut ke sana. Dia menyadarkan kembali tujuan kedatangan mereka ke rumah sakit. Setelah mendengarkan hal itu, Hani pun tidak lagi menaruh curiga pada menantu dan laki-laki yang menemaninya.“Bagaimana keadaan Ardiaz?” tanya Hani mengalihkan topik pembicaraan.
Adinda begitu terkejut saat mendapat kabar tentang kecelakaan yang menimpa suaminya. Seketika tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Dia pasti sudah terjatuh jika tidak ada Rasya yang langsung menopang tubuhnya.“Mbak Adinda kenapa?” tanya Rasya ikut panik. Saat itu Adinda juga tak menjawab apa-apa.“Kalau Mbak Adinda merasa tidak nyaman atau ada yang sakit biar saya antar ke ruang dokter. Kita periksa lagi ya?” tawar Rasya kebingungan sendiri. Adinda hanya diam dengan mata berkaca-kaca.“Suami saya mengalami kecelakaan,” tutur Adinda lemah.Rasya ikut terkejut mendengar kabar buruk itu. Sekarang dia mengerti apa yang membuat Adinda merasa bersedih seketika. Namun dia juga tidak pandai cara menghibur dalam situasi seperti itu.Perlahan Adinda menegakkan tubuhnya kembali. Rasya yang cukup sadar diri juga langsung menarik pegangan tangannya yang tadinya merengkuh Adinda. Kepanikan dan rasa takut masih tergambar jelas di wajah perempuan itu.“Apa yang akan Mbak Adinda lakukan sekarang?” tany