Deg!!
Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim."Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di seberang meja Kiayi lalu duduk."Abah, Zahra ke asrama ya!" ucap santriwati itu.Abah? Siapa sebenarnya santriwati satu ini. Aku rasa Kiayi tidak mempunyai anak perempuan. Tapi, kenapa dia memanggil Kiayi dengan sebutan Abah. Hatiku semakin bertalun-talun tak karuan."Abim, tunggu sebentar ya! Saya mau anterin Zahra keluar dulu.""Ndak usah, Bah. Zahra bisa sendiri," tolaknya. Dia pun berlalu dengan menggulir roda dari kursi rodanya.Selesai dari ruangan Kiayi yang mana membahas tentang kepengurusanku yang dipercepat, yang seharusnya tahun depan malah tugas diberikan padaku dua hari kedepan. Aku berjalan sembari menunduk dengan hati yang berkecamuk campur aduk. Ada rasa rindu yang tertahan dan ada rasa khawatir dan ketakutan yang tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam.“Afwan, Akh.” Suara lembut itu membuatku terkesiap. Sedikit kuangkat kepalaku lalu dengan cepat menunduk kembali saat mataku tak sengaja melihat ujung abaya dari seseorang yang berada di depanku.“Afwan, man anti? (Siapa kamu; perempuan)”“Afwan, Akh. Ana hanya mau mengembalikan milik antum,” ucapnya sembari tangannya menyerahkan secarik kertas padaku.Deg!Kertas itu. Tanpa pikir panjang dan rasa takut jikalau ada yang melihat kejadian ini, aku langsung meraih kertas tersebut dari tangannya.“Syukron katsir. (Terimakasih banyak)”Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung beranjak pergi dengan mengantongi secarik kertas tersebut.Saat jarakku mulai jauh dari perempuan berkursi roda itu, aku setengah berlari menuju asrama santri. Peluh dingin terkucur begitu saja dari pelipisku. Tidak lupa napas yang tersengal membuatku hampir kehabisan napas.“Kenapa, Bim? Kayak habis dikejar setan aja,” celetuk Arka yang sedang memegangi kitabnya.Asrama saat ini sedang sunyi, hanya ada Arka dan juga aku. Semuanya sedang sibuk mencuci pakaian mereka dan kegiatan lainnya karna hari ini adalah hari libur.“Arka, antum tau ndak siapa di santriwati yang pakai kursi roda?” tanyaku yang masih ngos-ngosan.Arka menutup kitabnya lalu mengerutkan dahinya sembari berpikir. “Yang ana tahu cuman satu orang sih, Bim.”“Siapa?” selaku.“Itu, anak Kiayi yang baru pulang dari Mesir,” jawab Arka dengan wajah tanpa ekspresi. “Emangnya kenapa?”Mataku membulat tak percaya, rasanya tenagaku habis terkuras mendengar jawaban dari Arka.“Namanya?” tanyaku lagi dengan harapan dia bukan orang yang sama.“Kalau ndak salah, Zahra.”Deg!Aku teringat ucapan Kiayi waktu aku di ruangan beliau. Bahwa beliau menyebut perempuan berkursi roda itu dengan nama Zahra dan perempuan itu menyebut Kiayi dengan sebutan Abah. Argh, aku bisa apa sekarang?“Emangnya kenapa, Bim?”“Antum ingat ndak yang ana ceritain waktu di pendopo ujung tentang kertas ana yang ilang?”“Jadi maksud antum, yang nemuin kertas itu Ning Zahra?” ujar Arka dengan suara lantang.Dengan cepat aku menutup mulut Arka dengan telapak tanganku karna akan semakin gawat jika terdengar oleh orang lain selain kami.“Jangan kenceng-kenceng, Akh!” sergahku setengah berbisik.“Iya, afwan. Terus gimana?”“Ana juga ndak tahu. Mana lusa nanti ana diangkat jadi pengurus.”“Wih, keren lah, Bim!”“Keren? Ana lagi bingung nih. Kenapa bisa dipercepat gini, ana jadi khawatir kalau ini ada sangkut pautnya sama anak Kiayi itu,” asumsiku kuat dan kokoh.Arka menelaah pikirannya, mencoba mencari jawaban dengan kerutan pada dahinya yang nampak jelas bagai dilukis oleh tangan pelukis terkenal. Begitupun aku yang juga berusaha berpikir dalam kesunyian beberapa menit ini. Dengan debar di dada yang masih menggebu tanpa henti, rasa takut dan khawatir ini menjadi-jadi.“Akhi Abim, antum dipanggil Al-'Ah Sofwan di asrama ujung!” Seseorang memecah kesunyian antara aku dan Arka, aku mendilikkan mataku pada Arka yang sedang menganga menatapku. Debar jantung ini semakin terbawa ketegangan yang ada dalam dada.“Ada, a-da apa?” tanyaku gugup pada lelaki yang sedang berdiri di ambang pintu asrama ini.“La adri, akhi (Saya tidak tahu, saudara).”Peluh dingin kembali terkucur dari pelipisku, kusibak pelan dengan pergelangan tanganku yang mungkin saat ini sedang gemetar. “Syukron, Akh.”Lelaki itu mengangguk pelan memberi jawaban lalu beranjak pergi dari ambang pintu.“Arka, gimana ini?” tanyaku cemas.“Ana juga ndak tahu, Bim. Coba antum temui aja Al-'Ah biar kelar urusannya!” Arka memberikan usulan.“Iya, Arka. Antum benar. Kalau gitu ana ke asrama ujung dulu ya!” Meski dengan rasa takut, aku tetap harus menemui Al-'Ah. Bagaimanapun, aku harus mempertanggungjawabkan kesalahanku.Dengan kaki yang melangkah dengan berat, dengan hati yang amat kacau ini. Aku melangkahkan kaki, menguatkan tekad berdiri di depan asarama ujung tempat perkumpulan para pengurus. Aku mendengkus kasar, dengan suara yang agak parau aku mengucapkan salam setelah mengetuk pintu asrama yang tidak tertutup rapat ini.Setelah salam terlontar dari mulutku, seseorang dari dalam asrama menyambangiku ke dekat pintu dengan menjawab salam yang baru beberapa detik aku ucapkan. Senyuman simpul begitu berat terukir pada bibirku, karna rasa takut yang kini mendominasi seluruh pikiran dan hatiku.“Akhi Abim, nyari Al-'ah Sofwan, toh?”Aku mengangguk pelan membenarkan.“Silakan masuk saja! Al-'ah Sofwan sudah menunggu di dalam!” ujarnya mempersilakanku dengan sangat sopan sembari melebarkan bukaan pintu asrama ini.Dengan badan jangkungku, aku masuk dengan menundukkan badanku, menatap lantai keramik yang menjadi pusat penglihatanku. Seorang lelaki bersarung batik dengan corak warna merah dan hitam yang terpasang rapi dari pinggangnya menjulur sampai atas mata kakinya sedang menghentakkan kaki pelan ke lantai kramik.“Akhi Abim, antum tahu tujuan antum dipanggil kemari?” Suara serak basah dari lelaki itu membuatku terhenyak. Tak tahu apa jawaban yang harus aku lontarkan saat ini padanya.“La adri ya Al-'ah (Saya tidak tahu wahai pengurus),” jawabku dengan bibir yang tertahan gemetar.Tepukan pelan dari bahuku hampir meruntuhkan keseimbangan badanku yang lemah karna rasa takut saat ini. “Jangan gugup Akh. Antum pasti sudah bertemu dengan Kiayi kan barusan? Pastinya Kiayi sudah membocorkannya.”Aku mendesah lega, ternyata tentang ke pengurusku yang dipercepat, bukan tentang kertas bucin itu. “Na’am, Al-'Ah.”“Nah itu, Nahnu(kami) para pengurus di pondok ini ingin mengucapkan selamat bergabung. Mulai hari ini, antum satu asrama dengan kami di sini. Semua barang-barang antum yang ada di asrama Mujahid akan dipindahkan ke asaram ujung ini!” jelasnya dengan sangat santai.Getar di bibirku mereda, sekarang senyuman terasa lebih mudah melengkung di bibirku. Aku mengangkat sedikit kepalaku yang tadi hanya mentap lantai keramik yang dipijk oleh kakiku. Ku tatap manik matanya yang sedang berada di hadapanku. Uluran tangannya mengarah ke arahku, sontak saja tanganku meraih uluran tangannya dengan senyuman yang melebar. “Syukron, Al'Ah,” ucapku. Lalu Al'ah Sofwan memelukku seperti seorang teman.“Mulai sekarang, antum resmi menjadi bagian dari kami.”Aku berjalan di setiap lorong asrama bertingkat ini, senyuman masih terpapar lebar di bibirku. Aku berdehem pelan saat melihat Arka yang sedang duduk di bangku panjang yang ada di depan asrama Mujahid dengan air es teh yang ada dalam plastik transparan dengan sedotan yang ujungnya ada di mulut Arka.“Abim, gimana?” Langsung saja dia bangkit dari bangku saat mendengar deheman dariku yang memang mencuri perhatiannya yang tadi fokus pada halaman depan asrama.“Aman!” jawabku kegirangan. “Oh iya, Arka. Ana hari ini pindah ke asrama pengurus.”“Widih, ninggalin ana nih. Btw selamat ya, semoga bisa jadi pengurus yang baik!”“Aamiin. Syukron!”Dengan hati yang mulai tenang ini, aku dan Arka masuk ke dalam asrama. Mengumpulkan semua barang-barangku yang akan dipindahkan ke asrama ujung.Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata. "Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan. Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana. "Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan l
“Saya terima nikah dan kawinnya, Siti Fatimah Az-Zahra binti K.H. Muhammad Ja'far dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disebutkan, dibayar tunai.”Akad pernikahan telah aku tunaikan di depan para saksi dengan wali dan juga penghulu. Getar di dadaku sama sekali tak menujukkan kata ingin dengan perempuan yang aku nikahi secara mendadak seperti ini. Ning Zahra, anak Kiayi Ja'far seorang guru sekaligus orang tua asuh bagiku selama aku mengemban ilmu di pondok pesantren ini.Tidak seperti pengantin baru kebanyakan, mereka digandrongi rasa gugup saat mengucapkan kata akad untuk sepenuhnya menjadikan wanita yang mereka cintai menjadi halal untuk mereka. Berbeda denganku, aku mengucapkan akad tanpa rasa gugup dan sakral sekalipun, serasa semuanya terlontar saja dari mulutku sepertimana latihan praktik di sekolah tentang pernikahan.Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dan paling menyenangkan di hidupku, malah menjadi hari kegundahan dan kesedihan yang menimpai diriku. Baga
Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata. "Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan. Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana. "Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan l
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Deg!!Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim. "Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di sebe
“Saya terima nikah dan kawinnya, Siti Fatimah Az-Zahra binti K.H. Muhammad Ja'far dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disebutkan, dibayar tunai.”Akad pernikahan telah aku tunaikan di depan para saksi dengan wali dan juga penghulu. Getar di dadaku sama sekali tak menujukkan kata ingin dengan perempuan yang aku nikahi secara mendadak seperti ini. Ning Zahra, anak Kiayi Ja'far seorang guru sekaligus orang tua asuh bagiku selama aku mengemban ilmu di pondok pesantren ini.Tidak seperti pengantin baru kebanyakan, mereka digandrongi rasa gugup saat mengucapkan kata akad untuk sepenuhnya menjadikan wanita yang mereka cintai menjadi halal untuk mereka. Berbeda denganku, aku mengucapkan akad tanpa rasa gugup dan sakral sekalipun, serasa semuanya terlontar saja dari mulutku sepertimana latihan praktik di sekolah tentang pernikahan.Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dan paling menyenangkan di hidupku, malah menjadi hari kegundahan dan kesedihan yang menimpai diriku. Baga