Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.
Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata."Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan.Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana."Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan langsung kepada Gus."Ana pinjam dulu ya, Bim. Mau hubungin Zahra, hp ana lowbate.""Na'am, Gus. Silakan!"Gus mulai menekan beberapa tombol pada layar ponselku.Tuuttt...Setelah bunyi getaran tersebut berganti dengan suara wanita di ujung ponsel, Gus pun menempelkan ponsel itu ke telinganya dan mulai berbincang.Seorang lelaki datang menyapaku, dengan wajahnya yang panik perlahan dia bertanya kepadaku. "Akh, gimana dengan Kiayi?" tanyanya. Dia adalah Zakki, pengurus pondok dan khodam Kiayi menggantikan posisiku karna aku pergi ke Mesir.Aku menggeleng tanda tidak tahu. Kutepuk pelan pundaknya yang ingin luruh itu, siapa yang tidak sedih jika Kiayi mereka sakit?"Duduk dulu! Gimana para santri?" Kami berdua pun duduk di bangku tunggu yang tersedia di depan ruangan yang mana ada Kiayi di dalamnya."Sejak kabar Kiayi sakit, para santri dan santriwati tak henti-hentinya berdo'a bersama untuk Kiayi. Duka menyelimuti pesantren kita, pesantren yang biasanya riuh dengan tawa dan teriakan penuntut ilmu, sekarang sendu. Hanya ada lirihan, air mata dan do'a yang terdengar." Zakki menutup wajahnya dengan telapak tangannya.Naluriku berdesir. Pikiranku mengerjap masa beberapa tahun mengenal Kiayi di pondok pesantren sampai menjadi khodam dan disekolahkan beliau ke Mesir sampai saat ini. Banyak sekali aku berhutang budi pada beliau, bagaimana caraku untuk membalasnya? Beliau adalah orang yang sangat baik kepada siapa pun, apalagi kepada para santrinya. Maka dari itu, para santri akan sangat terpukul saat Kiayi sakit seperti ini. Beliau juga sudah tua, sudah lama membina pondok pesantren yang menjadi taman surga dunia bagi kami para santrinya.Gesekan roda dengan lantai kembali menderu memekik pelupuk dada yang memperhatikan bunyinya. Kami yang tadinya duduk bersama dengan Gus yang telah selesai menelpon pun langsung berdiri.Kibaran ujung jubah syar'i sedikit menyapu lantai. Wajah yang teduh itu nampak sembab dan bergemuruh. Wanita di kursi roda, yang tidak lain adalah Ning Zahra putri bungsu Kiayi. Bersama dengan ibunya, Nyai Masithoh yang mendorong kursi roda putrinya itu dengan terukir sedikit lengkungan senyuman yang sangat tipis.Gus bersigera mendatangi kedua wanitanya itu. Aku yang tadinya menatap ke arah wanita berkursi roda itu pun langsung menunduk menatap lantai."Ummi, Zahra." Terdengar seruan dari Gus."Abah mana?" lirih Zahra gemetar."Zahra, Abah lagi di periksa sama dokter. Zahra do'ain Abah ya!" jawab Gus sangat lembut."Zahra mau lihat Abah!""Nduk, kita tunggu dulu ya! Biar dokter sembuhin Abah dulu. Ya sayang," ucap Nyai di samping telinga Zahra.Entah kenapa, hatiku mendadak terasa seperih ini setelah mendengar lirihan Ning Zahra. Getaran suaranya terasa sangat menusuk ke lubuk hati hingga meninggalkan sayatan kecil yang teramat perih. Aku memang bukan siapa-siapa Kiayi, tapi sedihku juga sangat luar biasa. Apalagi perasaan Ning Zahra sekarang sebagai anaknya, pasti dia jauh berkali-kali lipat sedihnya dari apa yang aku rasakan ini."Abah," lirihnya lagi disertai isakan."Zahra, kamu jangan gini. Ingat! Kata dokter kamu ga boleh sedih yang berlebihan kan! Sudah, Zahra. Do'akan saja Abah!""Tapi, Zahra ga bisa berhenti sedih, Bang!"Semakin perih rasanya dada ini mendengarnya. Air mata yang berusaha kubendung akhirnya pecah begitu saja. Bulir bening terasa hangat menjalar ke pipi. Aku yang masih menundukkan kepalaku ini pun segera beranjak terlebih dahulu, menyeka dengan cepat air mata agar tidak ada yang melihatnya. "Akh, ana ke musholla dulu!" izinku pada Zakki. Zakki mengangguk memberi jawaban.Mulutku tak bisa menolak meski sebenarnya batinku memberontak. Aulia, maafkan Abim! Abim telah mengingkari janji.Kiayi langsung memelukku erat, semakin kesini badan Kiayi terasa semakin dingin bagai es. Aku mendilik sekilas pada Zakki yang masih saja menunduk. 'Zakki, maafkan aku!' batinku meringis.Gus Adnan masuk ke dalam ruangan."Gus, gimana Zahra?" tanya Kiayi."Alhamdulillah, Abah. Zahra sudah siuman."Apa? Jadi, Ning pingsan? Mungkin saat tadi aku ke musholla."Abim, bisa ikut ana Sebentar!" pinta Gus Adnan.Aku mengangguk lalu mengikuti langkah Gus Adnan."Abim. Kamu adalah harapan kami satu-satunya saat ini. Cuman kamu yang bisa ngasih semangat ke Zahra. Ana khawatir, penyakitnya kambuh lagi.""Kiayi minta ana buat menikahi Ning Zahra, Gus.""Terus, antum bersedia atau tidak?" tanya Gus pelan."Apapun itu, untuk kebahagiaan Kiayi, ana bersedia, Gus.""Alhamdulillah. Terima kasih, Abim. Antum memang teman terbaik!" Gus Adnan memelukku erat. Aku berusaha tersenyum bahagia pula meski hati ini tetap saja berkata tidak dan tidak.“Saya terima nikah dan kawinnya, Siti Fatimah Az-Zahra binti K.H. Muhammad Ja'far dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disebutkan, dibayar tunai.”Akad pernikahan telah aku tunaikan di depan para saksi dengan wali dan juga penghulu. Getar di dadaku sama sekali tak menujukkan kata ingin dengan perempuan yang aku nikahi secara mendadak seperti ini. Ning Zahra, anak Kiayi Ja'far seorang guru sekaligus orang tua asuh bagiku selama aku mengemban ilmu di pondok pesantren ini.Tidak seperti pengantin baru kebanyakan, mereka digandrongi rasa gugup saat mengucapkan kata akad untuk sepenuhnya menjadikan wanita yang mereka cintai menjadi halal untuk mereka. Berbeda denganku, aku mengucapkan akad tanpa rasa gugup dan sakral sekalipun, serasa semuanya terlontar saja dari mulutku sepertimana latihan praktik di sekolah tentang pernikahan.Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dan paling menyenangkan di hidupku, malah menjadi hari kegundahan dan kesedihan yang menimpai diriku. Baga
Deg!!Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim. "Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di sebe
Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata. "Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan. Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana. "Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan l
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Deg!!Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim. "Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di sebe
“Saya terima nikah dan kawinnya, Siti Fatimah Az-Zahra binti K.H. Muhammad Ja'far dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disebutkan, dibayar tunai.”Akad pernikahan telah aku tunaikan di depan para saksi dengan wali dan juga penghulu. Getar di dadaku sama sekali tak menujukkan kata ingin dengan perempuan yang aku nikahi secara mendadak seperti ini. Ning Zahra, anak Kiayi Ja'far seorang guru sekaligus orang tua asuh bagiku selama aku mengemban ilmu di pondok pesantren ini.Tidak seperti pengantin baru kebanyakan, mereka digandrongi rasa gugup saat mengucapkan kata akad untuk sepenuhnya menjadikan wanita yang mereka cintai menjadi halal untuk mereka. Berbeda denganku, aku mengucapkan akad tanpa rasa gugup dan sakral sekalipun, serasa semuanya terlontar saja dari mulutku sepertimana latihan praktik di sekolah tentang pernikahan.Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dan paling menyenangkan di hidupku, malah menjadi hari kegundahan dan kesedihan yang menimpai diriku. Baga