Deg!!Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim. "Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di sebe
Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata. "Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan. Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana. "Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan l
Aku bersama beberapa orang lainnya berlarian di lobi rumah sakit. Kami berlari menyusuri lorong rumah sakit yang mana tangan kami memegangi dan mendorong kursi tandu dengan hati yang bertalun-talun. Deru roda bergesekan pada lantai kramik mengerenyitkan dada. Peluh terkucur bak mandi di bawah seruan air yang mengalir tepat jatuh ke badan.Aku, baru saja datang dari Mesir. Setelah mendapatkan info Kiayi sakit, aku langsung beranjak dari Mesir kembali ke Indonesia. Penerbangan yang terbilang mendadak ini membuatku harus bergerak gesit. Semua wajah nampak duka, tak ada senyuman yang melengkung, yang ada hanya wajah sendu dan air mata. "Mohon untuk menunggu di luar!" sergah dokter pada kami yang baru saja sampai di depan ruangan. Pintu ditutup rapat. Hanya Kiayi, dokter dan beberapa orang suster yang ada di dalam sana. "Abim, antum bawa handphone ndak?" tanya Gus Adnan kepadaku."Ada, Gus." Langsung saja jemariku merogoh isi saku bajuku. Sebuah benda persegi panjang yang aku serahkan l
Satu tahun di Mesir berlalu. Entah mengapa beberapa waktu ini aku merasakan gelisah yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya. Pastinya bukan karena belum terbiasa dengan tempatku sekarang karena aku sudah cukup lama menghabiskan waktu di sini. "Argh, mungkin hanya karena Ibu sama ayah yang lagi kangen aku. Lagian sudah satu tahun aku belum pulang ke Indonesia." Aku mencoba memperbaharui wudlu, kemudian kembali ke kamar dan merapikan kitab yang baru saja aku muthola'ah. "Sudah tengah malam. Sebaiknya aku tidur." Baru saja aku duduk di bibir ranjang dan melepas peciku, tiba-tiba benda persegi panjang ku bergetar. "Siapa yang nelpon malam-malam gini? Kok aku ngerasa makin nggak enak ya." Aku kembali berdiri untuk segera mengambil telepon genggam milikku yang aku letakkan di atas meja belajar. "Gus Adnan," ucapku setelah melihat nama kontak yang tertera pada panggilan telepon. 'Assalamu'alaikum, Gus.''Waalaikumussalam, Abim. Besok kamu bisa pulang ke Indonesia? Ana bakalan urus pen
Berangkat ke Mesir adalah impian kedua orang tuaku untuk anak semata wayang mereka ini. Aku mengesampingkan segala cita-citaku untuk kebahagiaan kedua orang tua yang telah membesarkanku. Bagiku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari menyenangkan hati keduanya. "Abim pamit. Doakan Abim!" Kukecup punggung tangan ayah dan ibu secara bergantian. "Baik-baik di sana, Nak. Ibu sama Ayah pasti doain yang terbaik buat kamu. Jaga nama baik kami, jaga nama baik negeri ini dan jaga nama baik pesantren di negeri orang!" petuah ayah menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam. "Nggih, Yah. In syaa Allah." Penerbangan ini membuat hatiku bertalun-talun tidak karuan. Jauh dari negeri tercinta, jauh dari keluarga dan pesantren tercinta. "Bismillah." ***Kaki sudah menginjak tanah Mesir, para penuntut ilmu asyik dengan buku bacaan yang selalu mereka bawa ke mana saja. Tak jauh beda dengan di pesantren. Aku memasuki tempat tinggalku, asrama yang sudah diboking Kiai untuk muridnya ini. Aku hanya
Dua hari telah berlalu, kecemasan dengan kertas bucin itu semakin terlupakan di benakku. Hari ini, aku telah resmi menjadi pengurus bagian tarbiyah wa ta'lim (kegiatan belajar).Ucapan selamat terlontar dari semua pengurus dan juga para santri. Setelah semuanya berlalu, tidak terasa satu tahun masa kepengurusanku. Saatnya aku harus pergi mengemban ilmu ke Mesir, seluruh biaya ditanggung oleh pondok karna aku mendapatkan beasiswa atas prestasiku selama di pondok. Ayah dan ibuku tentunya mendukung anak lelakinya ini untuk pergi. Rasa bangga mereka menjadi penyemangat yang sangat mendominasi tekadku. Tidak lupa, aku meminta izin beberapa waktu pulang ke rumah sebelum keberangkatanku yang sebenarnya ada maksud lain dari perizinan pulangku itu. Tidak lain untuk bertemu dengan seseorang...Senyumku mengembang menatap sosok perempuan berbadan dengan tinggi 155cm yang sedang tersenyum lebar menatapku. Dia adalah Aulia, kekasihku yang selama ini aku rindukan. Pertemuan kami hari ini terlampi
Deg!!Perempuan itu? Bukannya dia adalah santriwati berkursi roda yang menemukan kertas bucinku. Astagfirullah, ini sudah pasti aku akan mendapatkan hukuman dari Kiayi langsung. Santriwati itu sudah pasti telah mengadu pada Kiayi.Aku mengintip dari sela pintu. Tapi, aku tampak heran melihat santriwati itu sangat akrab dengan Kiayi, adakah dari santriwati yang boleh seakrab itu dengan Kiayi? Rasanya tak ada, kecuali memang dari keluarga Kiayi.Aduh, mampus aku kalau begini. Masih dengan kaki yang bergetar. Aku pun menguatkan langkahku untuk masuk kedalam ruangan Kiayi.Tok..Tok... Tok..."Assalamu'alaikum," tuturku lembut."Wa'alaikumussalam," jawaban dari dalam ruangan Kiayi."Afwan, Kiayi. Kiayi manggil ana?" tanyaku menunduk di depan pintu."Iya, Abim. Silakan masuk!" Kiayi mempersilakanku.Santriwati itu nampak bergeser dari samping Kiayi. Aku perlahan masuk dengan menundukkan badanku dengan takzim. "Silakan duduk dulu, Bim!"Aku mengangguk pelan dan meraih kursi yang ada di sebe
“Saya terima nikah dan kawinnya, Siti Fatimah Az-Zahra binti K.H. Muhammad Ja'far dengan seperangkat alat sholat dan mahar yang telah disebutkan, dibayar tunai.”Akad pernikahan telah aku tunaikan di depan para saksi dengan wali dan juga penghulu. Getar di dadaku sama sekali tak menujukkan kata ingin dengan perempuan yang aku nikahi secara mendadak seperti ini. Ning Zahra, anak Kiayi Ja'far seorang guru sekaligus orang tua asuh bagiku selama aku mengemban ilmu di pondok pesantren ini.Tidak seperti pengantin baru kebanyakan, mereka digandrongi rasa gugup saat mengucapkan kata akad untuk sepenuhnya menjadikan wanita yang mereka cintai menjadi halal untuk mereka. Berbeda denganku, aku mengucapkan akad tanpa rasa gugup dan sakral sekalipun, serasa semuanya terlontar saja dari mulutku sepertimana latihan praktik di sekolah tentang pernikahan.Hari yang seharusnya menjadi hari terbaik dan paling menyenangkan di hidupku, malah menjadi hari kegundahan dan kesedihan yang menimpai diriku. Baga