Pagi menyingsing aktifitas di rumah Laras ramai seperti biasa Dewi sibuk membangunkan seluruh keluarga juga menyiapkan bekal dan keperluan lain. Laras sudah duduk rapih di kursi depan meja makan, bersiap kembali menjalankan aktivitas yang dia tinggalkan satu Minggu kemarin. "Mulai sekarang kamu di antar jemput sama Bang Gilang," ujar Dani pada anak perempuan semata wayangnya. "Emangnya kenapa, Pah, Laras bisa kok pulang pergi sendiri, Laras nggak apa-apa," Laras berusaha berkelit, dia tak ingin kebebasannya terbelenggu sebab Gilang tak bisa di ajak kerjasama selama ini. " Abang kamu nggak ngapa-ngapain, biar ada kerjaan, 'kan tinggal nunggu wisuda lagi nyari-nyari kerja belum dapet," ujar Dani, sambil menyeruput kopi. Huft Laras mengeluarkan nafas berat, menatap Gilang yang tersenyum penuh arti padanya. "Jangan isengin, Neng. Bang. Awas kalo kamu masih iseng aja." Dewi mengepalkan tangan melihat tatapan Gilang pada Laras. "Apaan sih, Mih. Udah gede masa mau iseng terus," ela
"Ras."Laras menengok ternyata Alya yang memanggil."Eh kamu, Al," sapa Laras. "Ras, gue denger kasus elo kemaren. Beneran elo udah jadian sama Pak Bagas?" tanya Alya sendu. Netra Laras sedikit berbinar, jiwa jahilnya meronta-ronta, ingin dia kerjain Alya, tapi hatinya kini pun sedang di landa gundah."Belum jadian juga sih, Al, tapi yahh ... Kayanya sedikit lagi," ujar Laras, memasang mimik wajah sumringah. Sungguh jiwa usilnya tak bisa di hentikan. Wajah Alya semakin sendu mendengar penuturan Laras. Apalagi Laras terlihat bersemangat membicarakan Bagaskara. "Terus gimana taruhan kita, gue nggak mungkin ngikutin kampus elo mau masuk, secara otak kita 'kan beda level, Ras!! Palingan elo di terima di kampus swasta, sedang gue minimal di kampus terbaik di Jakarta, Ras," ujar Alya pelan.Laras memutar bola mata malas, "Udah mau kalah aja elo masih sombong gitu Al," cibir Laras, "Pokonya taruhan belum berakhir. Kalo elo sampe kalah, ya ... lo tau kan konsekwensinya," ucap Laras kedua
Di rumah cluster milik ayah Bagaskara, mereka terlihat khawatir. Berkali-kali Pram melihat ke arah luar jendela, di sana beberapa orang terus mengawasi rumah mereka. "Ayah untuk apa takut pada mereka, melarikan diri pun tak akan bisa," ujar Bagas. "Ayah bukan takut, tapi ayah hanya menjaga kalian. Ayah tak ingin terjadi sesuatu terhadap kalian, mereka dari kalangan atas memiliki kekayaan. Apapun yang mereka ancamkan pasti terjadi jika kita melawan. Ayah heran bagaimana bisa kamu terlibat dengan wanita seperti itu??" tanya Pram, pelan."Perempuan itu menjebak ku, awalnya dia membantuku untuk bekerja di klink, untuk uang tambahan kuliahku, ternyata klinik tersebut klinik aborsi, saat itu klinik di grebek, dia juga yang menjamin sehingga aku bebas dari penjara.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Dia ingin kamu menikahinya?" "Itulah sebabnya, aku pikir jika aku memacari kekasih adiknya dia akan mundur, karna adiknya bisa melakukan apapun. Nyatanya dia keras kepala. Dan du
Excel terus menatap Laras. "Kamu cemburu?" tanya Excel lagi. Berharap Laras mengangguk. "Emang penting gue jawab pertanyaan ini? Excel mengenggam telapak tangan Laras tetapi Laras langsung menarik tangannya. Dengan gesit Excel meraih kembali telapak tangan Laras dan mengenggam erat. "Aku cuma mau pegang tangan kamu, Ras," ujar Excel. "Jangan, Bang. Nggak boleh," ujar Laras. "Cuma pegang tangan." Paksa Excel. Sekuat apapun Laras menarik tangannya Excel lebih kuat menggenggam. Lelaki tinggi ini mengelus pipi Laras. "Ras maafin aku, ya." Tatapan Excel terlihat tulus. "Iya, Bang, gue udah maafin, tapi janji, lo harus bisa ngontrol diri, jangan terulang lagi hal kaya kemarin," ujar Laras. "Iya, aku usahain."Netra mereka saling tatap, bibir tersenyum."Kalian sedang apa?" Suara di depan pintu membuat dua anak menjelang dewasa ini menengok. "Bang Gilang." Laras menarik tangannya begitu pun Excel melonggarkan genggaman dan menarik tangan lain, yang berada di pipi Laras. Mereka terpe
"Laras udah gede, nggak usah di kawal melulu, nanti Laras ajak Irma kalo Emak nggak percaya.""Udah lah, Mih jangan terlalu di kekang anak-anak." "Bukan di kekang, Pih. Mamih khawatir, pergaulan anak jaman sekarang, apa-apa di bilang wajar, anak pacaran wajar, yang nggak pacaran di bilang nggak laku, kuper lah, ini lah, itu lah, pandangan negatif. Padahal pacaran itu mudharatnya banyak banget." Panjang lebar Dewi berbicara, menggebu.Laras dan Dani berpandangan. Mereka mulai menyiapkan telinga mendengarkan tausiah yang Laras sudah tau isinya. "Laras masuk kamar ya, Mak," Bibirnya tersenyum kikuk. "Mau belajar besok ada ulangan." Alasan lanjutan, karna netra Dewi berkilat, perlahan Laras bangun dari duduk. "Udah lah, Mih." Dani membantu Laras untuk bebas."Kebiasaan," ujar Dewi, menatap Laras kesal. Laras hanya menyunggingkan senyum, Dani menyuruh Laras pergi dengan mengibaskan telapak tangan. "Udah sana, Neng. N
"Laras." Laras terjengkit karna bahunya di tepuk. "Kamu mau bolos pelajaran ya?!" Ida menepuk pundak Laras. "Nggak, Bu!!" Laras menggoyang-goyang kedua telapak tangan. "Tadi saya liat ada bayangan ke arah sini! Kayanya mau bolos." Elak Laras. "Dari tadi ibu cuma liat kamu, nggak liat siapa-siapa," jawab Ida, menelisik wajah Laras. "Ayo, ikut ibu, kamu udah kelas 3, udah mau lulus, jangan seneng bolos sekolah." Sepanjang jalan Ida memberikan wejangan. Di balik tembok Niken menatap Laras dan Ida. Kakinya di hentak. "Ish, Bu Ida kenapa selalu keliling sekolah, kayanya nggak bisa ngelakuin rencana di area sekolah," gumam Niken. ***Lelaki tampan memarkir mobil di depan rumah Laras, sebelum keluar dari mobil Excel merapikan rambut meneliti wajahnya di kaca spion. "Bismillah, semoga di bolehin sama Mamih ngajakin Laras pergi besok. Setelah di rasa penampilannya oke, kelaki ini turun dan melangkahkan kaki m
Dalam perjalanan Laras berfikir, kenapa Niken ngasih dia alamat? Bukannya tadi mau ke tempat Excel? Kenapa nggak langsung ke sana aja? Otak lemot Laras mencoba berfikir. Gadis tengil ini menepikan motor, kembali melihat kertas yang di berikan wanita tadi. "Lagian alamatnya lumayan jauh dan bertolak belakang sama apartmen Excel." Laras terus mencoba berfikir. "Apa tuh perempuan salah, ya?" Laras menggaruk kepalanya, bingung, dan kembali melajukan motornya. ***Excel memarkir mobil sembarang, di depan gerbang rumahnya, gegas dia turun lalu menggedor gerbang kencang membuat Parjo terjengkit kaget, matanya merah, pandangannya nyalang, lelaki tua ini sedang terlelap entah jiwanya sedang berada di mana tadi."Hai, siapa berani-berani iseng!!?" suara Parjo lantang terdengar marah. Dengan langkah lebar dia menghampiri pintu kecil, ketika dia melihat majikan kecilnya yang menggedor pintu besi, Parjo semakin kaget. "Sebentar saya buka, Den
Laras merapatkan mata, hanya pasrah menunggu apa yang akan di lakukan Excel. Hingga suara ponsel mengagetkan dua remaja ini. Excel mencium kening Laras kilat. Desiran halus terasa di seluruh tubuh Laras, baru kali ini dia di cium laki-laki selain ayah dan kedua saudaranya. Laras diam dalam waktu lama, hingga Excel selesai berbicara dengan Dewi. "Ras, ayo aku antar pulang. Atau kamu mau nginep di sini? Biar besok pagi kita di nikahin." Laras meraih bantal kursi dan melempar ke arah wajah Excel, dan dengan tangkas tangannya menangkis bantal lemparan Laras. "Siapa lagi, yang mau sama elo!!" gumam Laras, bangun dari duduk, melangkah mengambil ponsel, dan menuju lift. Sesungguhnya jantung Laras masih berdetak tak karuan karna di cium Excel tadi. Dewi menunggu gadis semata wayangnya di depan rumah dengan gelisah. "Bang, jemput adek kamu, sana. Di apartmen Excel barusan Mamih telpon, pokoknya Mamih itu nggak percaya seratus pe
Hingga beberapa waktu Laras bangkit dari duduk. gadis ini mendongak ke atas, memperhatikan sesuatu di atas pohon. Perlahan dia membuka sepatu, dan mulai menaiki pohon besar ini. Excel yang memperhatikan dari jauh mengernyitkan kedua alis. Gegas lelaki ini menghampiri Laras. "Kamu mau ngapain Ras? Jangan gila, kamu mau bunuh diri?" Excel panik di bawah pohon karna Laras sudah ada di atas dahan lumayan tinggi."Bang, elo ada di sini?" Bang gue nolongin kucing, kakinya kejepit dahan barusan," Laras panik begitu melihat kebawah ternyata dia sudah berada di ketinggian. Kakinya bergetar, tangannya memegangi dahan erat, kucing tadi sudah melompat entah kemana setelah Laras berhasil mengeluarkan kakinya dari jepitan dahan. Kini dia yang terjebak di sini. Tanpa pikir panjang Excel melepas sepatu, dan dengan cepat menaiki pohon meraih tubuh Laras, perlahan mereka turun. "Lagian kamu tuh, ngapain di sini sendirian, untung ada aku," gumam Excel setelah mereka sampa
pucuk dicinta ulam pun tiba. Netra Laras mendapati Bagaskara sedang menikmati segelas kopi dingin di pojokan kantin. “Assalamualaikum, Pak. “ Salam Laras pada sosok tampan di depannya yang sedang fokus pada buku yang dipegang. “Waalaikumsalam,” jawab Bagas menengok ke asal suara. “Eehhh Laras,” ucapnya lagi, menatap Laras yang berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kamu nggak ada kelas lagi?” tanyanya. “Eemmm, ada Mas. Emm ... saya mau bicara boleh? “ tanya Laras gerogi, jari-jari tangan saling menaut. Gadis ini tak berani menatap Bagaskara. “Silahkan duduk. Mau tanya apa?” Bagas mempersilahkan Laras duduk di kursi yang berada dihadapannya, menutup buku yang dia pegang lalu menyeruput es kopi yang terlihat begitu segar. Laras melirik pada Bagas, kerongkongannya seketika ikut terasa segar melihat yang segar-segar meminum minuman segar. Ji ahhhh Laras, tau aja sama yang seger-seger. “Maaf Mas, Mas beneran nggak ngajar di kelas saya lagi setelah ini?” "Iya, Pak Arif sudah aktif ngaj
Alya melambaikan tangan pada Laras yang menengok padanya. Laras menghampiri Alya. "Kenapa, Al??" tanya Laras. Alya mengajak Laras sedikit menepi dari keramaian. Ras. Lo udah ada pilihan kampus?" tanya Alya. Laras mengangguk. "Lo pilih di mana?" "Belum pasti juga, gue mau kompromi sama Abang gue dulu." "Iya tapi lo mau pilih di mana kira-kira," tanya Alya penasaran. Pilihannya tiga, palingan gue pilih, yang ini, ini, sama ini." Laras memberikan gambaran pada Alya. "Ya ampun." Alya uring-uringan. "Kenapa lo uring-utingan begitu? Emang kenapa kampus pilihan gue??" "Ras, lo udah lupa taruhan kita? Kita batalin aja, ya." Wajah Alya terlihat memelas. "Oh. No." Laras menyilangkan tangan di depan dada. "Lo bakal kalah makanya minta di batalin, coba gue yang kemungkinan kalah pasti di kepala lo udah bejibun rencana buat ngerjain gue." "Ya udah buruan kita realisasikan, kapan kita nembak Pak Bagas biar pasti. Kita harus segera milih kampus," ujar Alya. Tetapi raut wajahnya begitu ter
Hilir mudik terlihat di area sekolah. Pagi ini terasa berbeda untuk Laras. Dia sangat bersemangat pagi ini, selain dia di beri lagi kebebasannya membawa motor kesayangannya sendiri, hari ini dia ada pelajaran olah raga, "kita ketemu lagi Mas Bagas." Semangat Laras. Walau ada yang mengganjal di hati tapi Laras tak ambil pusing. Menurut rumor yang beredar Bagaskara hari ini terakhir mengajar di kelas Laras. Laras ingin memastikannya bertanya langsung pada Bagaskara nanti. Laras memarkir motor apik. Gadis ini turun dan merapikan penampilan sebelum melenggang menuju kelas. Segerombolan anak-anak sedang mengamati di bawah pohon tanpa Laras sadari. Priwuiiitttt. Laras menengok ke asal siulan panjang. Bibirnya mencebik mendapati Boy menggodanya. Dengan cepat Laras memalingkan wajah kembali melangkahkan kaki. Tak lama kembali suara silan seperti menggodanya. Kembali Laras menengok, dan mengepalkan tangan, "Awas, lo
Excel bangun dari dari tubuh Laras karna dengan membabi buta tangan dan kakinya meninju dan menjejek Excel. Hingga dengkul Laras mengenai sesuatu yang sangat di jaga Excel."Aduh ..." Excel meringis memegangi pejantanntangguhnya. Bibir Laras tertarik kebelakang, salah tingkah. "Ya ampun, Bar-bar banget tau begini, tadi gue embat aja kamu, Ras." gerundel Excel. Bangun perlahan duduk di tepi ranjang."Gue pecat jadi temen, kalo lo berani!" Salak Laras. Excel tersenyum miris, kapan statusnya berubah, udah di cium aja statusnya masih temen. Duh cinta susah banget di dapet, monolog Excel,sambil mengelus-elus kejantanannya."Bang, baju gue tadi pada kemana?" tanya Laras setelah rapih menggunakan pakaian lengkap tanpa daleman, dia merasa tak nyaman bergerak, jadi dia hanya duduk sambil merapatkan tangan di dada."Udah biarin nanti gue beresin. Ayo buruan pulang, keburu malam, untung Mamih nggak telpon terus." Mereka meninggalkan Apartemen."Mamih lagi ketemu sodara-sodaranya, lagi asik mak
Beberapa waktu sebelum ini. "Bang, gue kenapa ini?" Laras bertanya, bibirnya bergetar. Excel memberikan sebuah pil. "Ini minum dulu, biar kepala kamu nggak berat." Laras menerima gelas dan obat yang di berikan Excel, lalu meminumnya. Setelah meminum obat masih belum ada reaksi apapun, Laras masih terasa gelisah, jari-jari tangannya memijat pangkal hidung. Lelaki ini mengambil anduk dan bathrobe, lalu memakaikan ke tubuh Laras. "Ayo keringin badannya dulu." Excel mengangkat tubuh Laras, dia berusaha memejamkan mata melihat penampakan Laras, setelah bathrobe di pakai Excel membopong Laras."Bang." Mereka saling pandang. "Tenang, nanti juga nggak apa-apa. Ada aku," ucap Excel membawa Laras ke pembaringan. Excel gesit mengeringkan rambut Laras. Mengambil pakaian Laras yang tergantung di kamar mandi. Lelaki ini malu sendiri menatap pakaian dalam Laras. Tetapi tetap meraih dan membawa untuk di pakaikan ke Laras. Tubuh Laras mengigil. Bibinya bergetar, "Mak." Laras bergumam memangg
"Ras." Excel mengetuk pintu karna Laras tak kunjung keluar. "Sebentar Bang, gue nggak tau kenapa gue kepanasan, ya?" ujar Laras, berkata sedikit keras. "Buka dulu pintunya," suruh Excel, sambil mengetuk pintu."Gue lagu mandi, Bang." "Berendam Ras, biar enak, nyalain Bath tubhnya." Excel memberi solusi. Dia tau tubuh Laras harus di dinginkan. Di dalam kamar mandi Laras gelisah, gadis ini mengingat Dewi, air matanya mengalir, di ingatannya terngiang perkataan-perkataan Dewi yang selama ini terasa membosankan."Mak, Laras kenapa ini." gumam Laras. Dia mencoba mengingat, tak ada yang salah dari makanan dan minumannya. "Mak, maafin Laras, suka ngeyel selama ini." Laras mulai menyadari perkataan Dewi banyak benernya.Ketukan di pintu kembali mengingatkan di mana laras berada. "Ras, buka pintunya. Ini minum dulu, kamu kenapa? kamu udah lama di dalam, nanti masuk angin," tanya Excel perhatian. Laras mencelupk
"Cel." Telapak tangan bergelayut di lengan Excel. "Ken. Elo ada di sini?" "Iya dong. Gue harus kasih semangat ke elo. Gimana rencana kita? Mumpung dia nggak ada yang jagain." Niken menatap Laras dengan kilatan kebencian. "Lagian gue denger tadi dia mau di jodohin," ujar Niken. "Elo nguping?" "Gue nggak sengaja denger, ngapain gue nguping," ucap Niken, cuek."Noh liatin, lo nggak cemburu." Niken terus menghembuskan kecemburuan pada Excel. "Kita lakuin sekarang ya rencana kita." "Lakuin." Excel meninggalkan Niken setelah mengatakan itu. setelah itu lelaki jangkung ini duduk memperhatikan Laras yang sedang berbincang dengan Bagaskara.Suasana Auditorium terlihat riuh ramai, pertandingan sudah di mulai sejak tadi. Laras baru datang mendekati Excel saat nama lelaki ini di panggil untuk naik ke arena pertandingan. "Bang, semangat ya, lo harus menang!" Laras berkata penuh semangat. Excel menga
"Ken." "Hmm ..." gumam Niken, dia lahap menikmati nasi padang di hadapannya. "Lulus sekolah, gue niakahin mau nggak?" Niken menatap Roy, hampir dia tersedak makanannya. Lalu melanjutkan makan hingga tandas. Roy pun tak melanjutkan pertanyaannya melihat Niken tersedak. Niken mencuci tangan lalu duduk di sebelah Roy yang sedang mengutak atik gawai. "Lo udah Izin sekolah belum?" tanya Roy. "Udah, tadi pagi," ujar Niken. "Ken." Roy menyentuh tangan Niken, meremas lembut. Kepala Niken menengok ke arah Roy, netra mereka saling tatap. "Roy. Jangan di ambil hati ya. Yang kita lakuin ini cuma suka sama suka." Niken mengalihkan pandangan. "Maaf ya, lo harus terjerat sama gue, jangan pake perasaan, ya," ulang Niken, dia menundukkan kepala. "Ken, gue akan selalu ada kapan pun lo butuh." Roy mencubit dagu Niken, membawa wajahnya untuk menatap matanya. Net