Laras merapatkan mata, hanya pasrah menunggu apa yang akan di lakukan Excel. Hingga suara ponsel mengagetkan dua remaja ini. Excel mencium kening Laras kilat. Desiran halus terasa di seluruh tubuh Laras, baru kali ini dia di cium laki-laki selain ayah dan kedua saudaranya.
Laras diam dalam waktu lama, hingga Excel selesai berbicara dengan Dewi. "Ras, ayo aku antar pulang. Atau kamu mau nginep di sini? Biar besok pagi kita di nikahin." Laras meraih bantal kursi dan melempar ke arah wajah Excel, dan dengan tangkas tangannya menangkis bantal lemparan Laras. "Siapa lagi, yang mau sama elo!!" gumam Laras, bangun dari duduk, melangkah mengambil ponsel, dan menuju lift. Sesungguhnya jantung Laras masih berdetak tak karuan karna di cium Excel tadi. Dewi menunggu gadis semata wayangnya di depan rumah dengan gelisah. "Bang, jemput adek kamu, sana. Di apartmen Excel barusan Mamih telpon, pokoknya Mamih itu nggak percaya seratus peAir mata meleleh, rasa salah dan dosa menyeruak, Niken berusaha menyembunyikan dirinya, tapi tak ada tempat bersembunyi, dia hanya bisa memeluk kaki dan menelungkupkan wajah. Hatinya terus berdoa memohon pertolongan pada Tuhannya. Apakah Tuhan masih mendengar segala doaku, pikir Niken, jika pun mendengar, apakah Tuhan mau menolongku. Pikiran gadis ini terus bertanya. Hingga. Akhh ... Jangan sakiti aku!!! Teriak Niken. Karna bahunya di remas erat. Dia berontak dan meronta berusaha menghalau tangan yang berusaha memeluknya. "Ken, Niken. Ini gue." Suara Roy menyadarkan Niken, dia berhenti berontak dan berteriak. "Roy. I-ini elo Roy beneran bukan?" tanya Niken terbata-bata. Wajahnya kusut pasai. "Iya, lo lagi ngapain di sini, gue cari-cari," ujar Roy, mengamit wajah Niken. "Roy." Niken memeluk Roy erat, saat yakin di hadapannya adalah teman setianya. ***Excel duduk kasar di sofa. Di depan televisi, kepalanya masih ter
"Ken." "Hmm ..." gumam Niken, dia lahap menikmati nasi padang di hadapannya. "Lulus sekolah, gue niakahin mau nggak?" Niken menatap Roy, hampir dia tersedak makanannya. Lalu melanjutkan makan hingga tandas. Roy pun tak melanjutkan pertanyaannya melihat Niken tersedak. Niken mencuci tangan lalu duduk di sebelah Roy yang sedang mengutak atik gawai. "Lo udah Izin sekolah belum?" tanya Roy. "Udah, tadi pagi," ujar Niken. "Ken." Roy menyentuh tangan Niken, meremas lembut. Kepala Niken menengok ke arah Roy, netra mereka saling tatap. "Roy. Jangan di ambil hati ya. Yang kita lakuin ini cuma suka sama suka." Niken mengalihkan pandangan. "Maaf ya, lo harus terjerat sama gue, jangan pake perasaan, ya," ulang Niken, dia menundukkan kepala. "Ken, gue akan selalu ada kapan pun lo butuh." Roy mencubit dagu Niken, membawa wajahnya untuk menatap matanya. Net
"Cel." Telapak tangan bergelayut di lengan Excel. "Ken. Elo ada di sini?" "Iya dong. Gue harus kasih semangat ke elo. Gimana rencana kita? Mumpung dia nggak ada yang jagain." Niken menatap Laras dengan kilatan kebencian. "Lagian gue denger tadi dia mau di jodohin," ujar Niken. "Elo nguping?" "Gue nggak sengaja denger, ngapain gue nguping," ucap Niken, cuek."Noh liatin, lo nggak cemburu." Niken terus menghembuskan kecemburuan pada Excel. "Kita lakuin sekarang ya rencana kita." "Lakuin." Excel meninggalkan Niken setelah mengatakan itu. setelah itu lelaki jangkung ini duduk memperhatikan Laras yang sedang berbincang dengan Bagaskara.Suasana Auditorium terlihat riuh ramai, pertandingan sudah di mulai sejak tadi. Laras baru datang mendekati Excel saat nama lelaki ini di panggil untuk naik ke arena pertandingan. "Bang, semangat ya, lo harus menang!" Laras berkata penuh semangat. Excel menga
"Ras." Excel mengetuk pintu karna Laras tak kunjung keluar. "Sebentar Bang, gue nggak tau kenapa gue kepanasan, ya?" ujar Laras, berkata sedikit keras. "Buka dulu pintunya," suruh Excel, sambil mengetuk pintu."Gue lagu mandi, Bang." "Berendam Ras, biar enak, nyalain Bath tubhnya." Excel memberi solusi. Dia tau tubuh Laras harus di dinginkan. Di dalam kamar mandi Laras gelisah, gadis ini mengingat Dewi, air matanya mengalir, di ingatannya terngiang perkataan-perkataan Dewi yang selama ini terasa membosankan."Mak, Laras kenapa ini." gumam Laras. Dia mencoba mengingat, tak ada yang salah dari makanan dan minumannya. "Mak, maafin Laras, suka ngeyel selama ini." Laras mulai menyadari perkataan Dewi banyak benernya.Ketukan di pintu kembali mengingatkan di mana laras berada. "Ras, buka pintunya. Ini minum dulu, kamu kenapa? kamu udah lama di dalam, nanti masuk angin," tanya Excel perhatian. Laras mencelupk
Beberapa waktu sebelum ini. "Bang, gue kenapa ini?" Laras bertanya, bibirnya bergetar. Excel memberikan sebuah pil. "Ini minum dulu, biar kepala kamu nggak berat." Laras menerima gelas dan obat yang di berikan Excel, lalu meminumnya. Setelah meminum obat masih belum ada reaksi apapun, Laras masih terasa gelisah, jari-jari tangannya memijat pangkal hidung. Lelaki ini mengambil anduk dan bathrobe, lalu memakaikan ke tubuh Laras. "Ayo keringin badannya dulu." Excel mengangkat tubuh Laras, dia berusaha memejamkan mata melihat penampakan Laras, setelah bathrobe di pakai Excel membopong Laras."Bang." Mereka saling pandang. "Tenang, nanti juga nggak apa-apa. Ada aku," ucap Excel membawa Laras ke pembaringan. Excel gesit mengeringkan rambut Laras. Mengambil pakaian Laras yang tergantung di kamar mandi. Lelaki ini malu sendiri menatap pakaian dalam Laras. Tetapi tetap meraih dan membawa untuk di pakaikan ke Laras. Tubuh Laras mengigil. Bibinya bergetar, "Mak." Laras bergumam memangg
Excel bangun dari dari tubuh Laras karna dengan membabi buta tangan dan kakinya meninju dan menjejek Excel. Hingga dengkul Laras mengenai sesuatu yang sangat di jaga Excel."Aduh ..." Excel meringis memegangi pejantanntangguhnya. Bibir Laras tertarik kebelakang, salah tingkah. "Ya ampun, Bar-bar banget tau begini, tadi gue embat aja kamu, Ras." gerundel Excel. Bangun perlahan duduk di tepi ranjang."Gue pecat jadi temen, kalo lo berani!" Salak Laras. Excel tersenyum miris, kapan statusnya berubah, udah di cium aja statusnya masih temen. Duh cinta susah banget di dapet, monolog Excel,sambil mengelus-elus kejantanannya."Bang, baju gue tadi pada kemana?" tanya Laras setelah rapih menggunakan pakaian lengkap tanpa daleman, dia merasa tak nyaman bergerak, jadi dia hanya duduk sambil merapatkan tangan di dada."Udah biarin nanti gue beresin. Ayo buruan pulang, keburu malam, untung Mamih nggak telpon terus." Mereka meninggalkan Apartemen."Mamih lagi ketemu sodara-sodaranya, lagi asik mak
Hilir mudik terlihat di area sekolah. Pagi ini terasa berbeda untuk Laras. Dia sangat bersemangat pagi ini, selain dia di beri lagi kebebasannya membawa motor kesayangannya sendiri, hari ini dia ada pelajaran olah raga, "kita ketemu lagi Mas Bagas." Semangat Laras. Walau ada yang mengganjal di hati tapi Laras tak ambil pusing. Menurut rumor yang beredar Bagaskara hari ini terakhir mengajar di kelas Laras. Laras ingin memastikannya bertanya langsung pada Bagaskara nanti. Laras memarkir motor apik. Gadis ini turun dan merapikan penampilan sebelum melenggang menuju kelas. Segerombolan anak-anak sedang mengamati di bawah pohon tanpa Laras sadari. Priwuiiitttt. Laras menengok ke asal siulan panjang. Bibirnya mencebik mendapati Boy menggodanya. Dengan cepat Laras memalingkan wajah kembali melangkahkan kaki. Tak lama kembali suara silan seperti menggodanya. Kembali Laras menengok, dan mengepalkan tangan, "Awas, lo
Alya melambaikan tangan pada Laras yang menengok padanya. Laras menghampiri Alya. "Kenapa, Al??" tanya Laras. Alya mengajak Laras sedikit menepi dari keramaian. Ras. Lo udah ada pilihan kampus?" tanya Alya. Laras mengangguk. "Lo pilih di mana?" "Belum pasti juga, gue mau kompromi sama Abang gue dulu." "Iya tapi lo mau pilih di mana kira-kira," tanya Alya penasaran. Pilihannya tiga, palingan gue pilih, yang ini, ini, sama ini." Laras memberikan gambaran pada Alya. "Ya ampun." Alya uring-uringan. "Kenapa lo uring-utingan begitu? Emang kenapa kampus pilihan gue??" "Ras, lo udah lupa taruhan kita? Kita batalin aja, ya." Wajah Alya terlihat memelas. "Oh. No." Laras menyilangkan tangan di depan dada. "Lo bakal kalah makanya minta di batalin, coba gue yang kemungkinan kalah pasti di kepala lo udah bejibun rencana buat ngerjain gue." "Ya udah buruan kita realisasikan, kapan kita nembak Pak Bagas biar pasti. Kita harus segera milih kampus," ujar Alya. Tetapi raut wajahnya begitu ter
Hingga beberapa waktu Laras bangkit dari duduk. gadis ini mendongak ke atas, memperhatikan sesuatu di atas pohon. Perlahan dia membuka sepatu, dan mulai menaiki pohon besar ini. Excel yang memperhatikan dari jauh mengernyitkan kedua alis. Gegas lelaki ini menghampiri Laras. "Kamu mau ngapain Ras? Jangan gila, kamu mau bunuh diri?" Excel panik di bawah pohon karna Laras sudah ada di atas dahan lumayan tinggi."Bang, elo ada di sini?" Bang gue nolongin kucing, kakinya kejepit dahan barusan," Laras panik begitu melihat kebawah ternyata dia sudah berada di ketinggian. Kakinya bergetar, tangannya memegangi dahan erat, kucing tadi sudah melompat entah kemana setelah Laras berhasil mengeluarkan kakinya dari jepitan dahan. Kini dia yang terjebak di sini. Tanpa pikir panjang Excel melepas sepatu, dan dengan cepat menaiki pohon meraih tubuh Laras, perlahan mereka turun. "Lagian kamu tuh, ngapain di sini sendirian, untung ada aku," gumam Excel setelah mereka sampa
pucuk dicinta ulam pun tiba. Netra Laras mendapati Bagaskara sedang menikmati segelas kopi dingin di pojokan kantin. “Assalamualaikum, Pak. “ Salam Laras pada sosok tampan di depannya yang sedang fokus pada buku yang dipegang. “Waalaikumsalam,” jawab Bagas menengok ke asal suara. “Eehhh Laras,” ucapnya lagi, menatap Laras yang berdiri di hadapannya. “Ada apa? Kamu nggak ada kelas lagi?” tanyanya. “Eemmm, ada Mas. Emm ... saya mau bicara boleh? “ tanya Laras gerogi, jari-jari tangan saling menaut. Gadis ini tak berani menatap Bagaskara. “Silahkan duduk. Mau tanya apa?” Bagas mempersilahkan Laras duduk di kursi yang berada dihadapannya, menutup buku yang dia pegang lalu menyeruput es kopi yang terlihat begitu segar. Laras melirik pada Bagas, kerongkongannya seketika ikut terasa segar melihat yang segar-segar meminum minuman segar. Ji ahhhh Laras, tau aja sama yang seger-seger. “Maaf Mas, Mas beneran nggak ngajar di kelas saya lagi setelah ini?” "Iya, Pak Arif sudah aktif ngaj
Alya melambaikan tangan pada Laras yang menengok padanya. Laras menghampiri Alya. "Kenapa, Al??" tanya Laras. Alya mengajak Laras sedikit menepi dari keramaian. Ras. Lo udah ada pilihan kampus?" tanya Alya. Laras mengangguk. "Lo pilih di mana?" "Belum pasti juga, gue mau kompromi sama Abang gue dulu." "Iya tapi lo mau pilih di mana kira-kira," tanya Alya penasaran. Pilihannya tiga, palingan gue pilih, yang ini, ini, sama ini." Laras memberikan gambaran pada Alya. "Ya ampun." Alya uring-uringan. "Kenapa lo uring-utingan begitu? Emang kenapa kampus pilihan gue??" "Ras, lo udah lupa taruhan kita? Kita batalin aja, ya." Wajah Alya terlihat memelas. "Oh. No." Laras menyilangkan tangan di depan dada. "Lo bakal kalah makanya minta di batalin, coba gue yang kemungkinan kalah pasti di kepala lo udah bejibun rencana buat ngerjain gue." "Ya udah buruan kita realisasikan, kapan kita nembak Pak Bagas biar pasti. Kita harus segera milih kampus," ujar Alya. Tetapi raut wajahnya begitu ter
Hilir mudik terlihat di area sekolah. Pagi ini terasa berbeda untuk Laras. Dia sangat bersemangat pagi ini, selain dia di beri lagi kebebasannya membawa motor kesayangannya sendiri, hari ini dia ada pelajaran olah raga, "kita ketemu lagi Mas Bagas." Semangat Laras. Walau ada yang mengganjal di hati tapi Laras tak ambil pusing. Menurut rumor yang beredar Bagaskara hari ini terakhir mengajar di kelas Laras. Laras ingin memastikannya bertanya langsung pada Bagaskara nanti. Laras memarkir motor apik. Gadis ini turun dan merapikan penampilan sebelum melenggang menuju kelas. Segerombolan anak-anak sedang mengamati di bawah pohon tanpa Laras sadari. Priwuiiitttt. Laras menengok ke asal siulan panjang. Bibirnya mencebik mendapati Boy menggodanya. Dengan cepat Laras memalingkan wajah kembali melangkahkan kaki. Tak lama kembali suara silan seperti menggodanya. Kembali Laras menengok, dan mengepalkan tangan, "Awas, lo
Excel bangun dari dari tubuh Laras karna dengan membabi buta tangan dan kakinya meninju dan menjejek Excel. Hingga dengkul Laras mengenai sesuatu yang sangat di jaga Excel."Aduh ..." Excel meringis memegangi pejantanntangguhnya. Bibir Laras tertarik kebelakang, salah tingkah. "Ya ampun, Bar-bar banget tau begini, tadi gue embat aja kamu, Ras." gerundel Excel. Bangun perlahan duduk di tepi ranjang."Gue pecat jadi temen, kalo lo berani!" Salak Laras. Excel tersenyum miris, kapan statusnya berubah, udah di cium aja statusnya masih temen. Duh cinta susah banget di dapet, monolog Excel,sambil mengelus-elus kejantanannya."Bang, baju gue tadi pada kemana?" tanya Laras setelah rapih menggunakan pakaian lengkap tanpa daleman, dia merasa tak nyaman bergerak, jadi dia hanya duduk sambil merapatkan tangan di dada."Udah biarin nanti gue beresin. Ayo buruan pulang, keburu malam, untung Mamih nggak telpon terus." Mereka meninggalkan Apartemen."Mamih lagi ketemu sodara-sodaranya, lagi asik mak
Beberapa waktu sebelum ini. "Bang, gue kenapa ini?" Laras bertanya, bibirnya bergetar. Excel memberikan sebuah pil. "Ini minum dulu, biar kepala kamu nggak berat." Laras menerima gelas dan obat yang di berikan Excel, lalu meminumnya. Setelah meminum obat masih belum ada reaksi apapun, Laras masih terasa gelisah, jari-jari tangannya memijat pangkal hidung. Lelaki ini mengambil anduk dan bathrobe, lalu memakaikan ke tubuh Laras. "Ayo keringin badannya dulu." Excel mengangkat tubuh Laras, dia berusaha memejamkan mata melihat penampakan Laras, setelah bathrobe di pakai Excel membopong Laras."Bang." Mereka saling pandang. "Tenang, nanti juga nggak apa-apa. Ada aku," ucap Excel membawa Laras ke pembaringan. Excel gesit mengeringkan rambut Laras. Mengambil pakaian Laras yang tergantung di kamar mandi. Lelaki ini malu sendiri menatap pakaian dalam Laras. Tetapi tetap meraih dan membawa untuk di pakaikan ke Laras. Tubuh Laras mengigil. Bibinya bergetar, "Mak." Laras bergumam memangg
"Ras." Excel mengetuk pintu karna Laras tak kunjung keluar. "Sebentar Bang, gue nggak tau kenapa gue kepanasan, ya?" ujar Laras, berkata sedikit keras. "Buka dulu pintunya," suruh Excel, sambil mengetuk pintu."Gue lagu mandi, Bang." "Berendam Ras, biar enak, nyalain Bath tubhnya." Excel memberi solusi. Dia tau tubuh Laras harus di dinginkan. Di dalam kamar mandi Laras gelisah, gadis ini mengingat Dewi, air matanya mengalir, di ingatannya terngiang perkataan-perkataan Dewi yang selama ini terasa membosankan."Mak, Laras kenapa ini." gumam Laras. Dia mencoba mengingat, tak ada yang salah dari makanan dan minumannya. "Mak, maafin Laras, suka ngeyel selama ini." Laras mulai menyadari perkataan Dewi banyak benernya.Ketukan di pintu kembali mengingatkan di mana laras berada. "Ras, buka pintunya. Ini minum dulu, kamu kenapa? kamu udah lama di dalam, nanti masuk angin," tanya Excel perhatian. Laras mencelupk
"Cel." Telapak tangan bergelayut di lengan Excel. "Ken. Elo ada di sini?" "Iya dong. Gue harus kasih semangat ke elo. Gimana rencana kita? Mumpung dia nggak ada yang jagain." Niken menatap Laras dengan kilatan kebencian. "Lagian gue denger tadi dia mau di jodohin," ujar Niken. "Elo nguping?" "Gue nggak sengaja denger, ngapain gue nguping," ucap Niken, cuek."Noh liatin, lo nggak cemburu." Niken terus menghembuskan kecemburuan pada Excel. "Kita lakuin sekarang ya rencana kita." "Lakuin." Excel meninggalkan Niken setelah mengatakan itu. setelah itu lelaki jangkung ini duduk memperhatikan Laras yang sedang berbincang dengan Bagaskara.Suasana Auditorium terlihat riuh ramai, pertandingan sudah di mulai sejak tadi. Laras baru datang mendekati Excel saat nama lelaki ini di panggil untuk naik ke arena pertandingan. "Bang, semangat ya, lo harus menang!" Laras berkata penuh semangat. Excel menga
"Ken." "Hmm ..." gumam Niken, dia lahap menikmati nasi padang di hadapannya. "Lulus sekolah, gue niakahin mau nggak?" Niken menatap Roy, hampir dia tersedak makanannya. Lalu melanjutkan makan hingga tandas. Roy pun tak melanjutkan pertanyaannya melihat Niken tersedak. Niken mencuci tangan lalu duduk di sebelah Roy yang sedang mengutak atik gawai. "Lo udah Izin sekolah belum?" tanya Roy. "Udah, tadi pagi," ujar Niken. "Ken." Roy menyentuh tangan Niken, meremas lembut. Kepala Niken menengok ke arah Roy, netra mereka saling tatap. "Roy. Jangan di ambil hati ya. Yang kita lakuin ini cuma suka sama suka." Niken mengalihkan pandangan. "Maaf ya, lo harus terjerat sama gue, jangan pake perasaan, ya," ulang Niken, dia menundukkan kepala. "Ken, gue akan selalu ada kapan pun lo butuh." Roy mencubit dagu Niken, membawa wajahnya untuk menatap matanya. Net