Excel terpingkal, mereka bertos ria merasa berhasil mengerjai Bagaskara, si guru menyebalkan bagi Excel. Terlihat Bagaskara mulai mengecek onderdil motor walau dia sama sekali tak tau mengenai mesin motor. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya.Netranya memincing, otaknya berfikir bagaimana mungkin motornya tiba-tiba mogok tanpa sebab. Pandangannya mengedar area setempat. terlihat mobil Excel terparkir di tempatnya.Bibir guru idola ini tersungging. Dia menemui Pak Satpam untuk menitipkan motornya, dan akan dia urus besok hari. "Dek sini!" Bagaskara memanggil Irma, gadis imut ini mendekat. "Sana kamu pulang dulu.""Mas, gimana?" "Udah sana pulang." Bagas menggiring Irma ke motor Laras. "Mas pulang sore." "Mas, mau ngapain sama Laras?" Irma bingung. "Nggak, ngapa-ngapain. Mas cuma mau kasih pelajaran sama orang yang udah ngerjain, Mas," ujar Bagaskara. "Jangan buat masalah, Mas." Irma mengingatkan. "Iya, udah sana." Usir Bagas. "Pak, terus gimana saya pulang nanti?" "Mulai
"Kamu lagi ngapain bisa sampe begini, Neng?" tanya Dewi, sambil mengompres pipi Laras. "Kan udah sering mamih bilang jangan suka berurusan sama laki-laki, ngeyel aja jadi anak." Dewi tak berhenti bicara. Laras hanya meringis karna bekas memarnya di tekan oleh Dewi. "Udah lah, Mih. Kaya Mamih nggak pernah muda aja," ujar Dani-Ayah Laras."Karna mamih pernah muda, Pih. Makanya mamih cerewet," Sewot Dewi. Aww ... Laras terpekik karna lagi-lagi memarnya di tekan oleh Dewi."Mpok ada Kak Irma." kepala Andi menyembul di balik pintu."Masuk, Neng," panggil Dewi. Dani pergi setelah Irma mencium tangan kedua orang tua Laras. "Ras, gimana masih sakit?" tanya Irma. Laras hanya mengangguk. Neng, Mamih bilangin ya!! kalian berdua masih pada sekolah, masih SMA, masih lagi mekar-mekarnya, ibarat bunga kalian itu lagi cantik-cantiknya. Jangan sia-sia-in masa muda cuma buat seneng-senengan. Mending kejar cita-cita setinggi langit." Nasehat Dewi dengan menggebu. Mendengar Dewi tak berhenti bicar
Excel menelungkupkan kepala di setir. "Abang elo ada masalah apa sama Sarah? Gue yakin Laras di jadiin alat sama Pak Bagas." Tangan Excel mencengkeram stir mobil."Nah itu dia masalahnya, Bang. Gue mau jelasin ke Laras juga susah, dia lagi jatuh cinta. Tapi gue tau abang gue nggak sungguh-sungguh ke dia. Bang, elo harus bisa lindungi Laras," ucap Irma. Kepala Excel mendongak, menatap Irma. Isi kepalanya mulai berfikir dan menyusun rencana. Apa yang harus dia lakukan. Apakah saran Sarah bisa menjadi solusi? Pikir lelaki tinggi ini. ***Bagaskara menyorot cerah pagi ini, lelaki tampan yang memiliki nama sama dengan si pemberi kehangatan ini menyusuri kapling blok dengan berlari kecil. Handuk kecil melingkar di leher, titik keringat menghiasi kening dan leher. Sesekali lelaki tampan ini menyeka keringat di dagu. Tanpa dia sadari ada sebuah mobil mengikuti di belakangnya. Hingga Bagaskara berhenti si taman komplek duduk di bangku istirahat, lalu menenggak minuman yang dia gengam sejak
Excel masuk ke dalam kamar membanting kasar tubuhnya di atas ranjang. Lengannya menempel di pelipis, matanya terpejam, dadanya terlihat turun naik, sepertinya menahan amarah yang membuncah. Setelah terlihat tenang dia ambil ponsel lalu dia tekan nomor Laras, tetapi hingga beberapa kali panggilan tak juga di angkat. Lelaki ini mengirim pesan pada Laras. Tak lama centang biru tanda pesannya di baca. Namun sampai beberapa saat tak juga terlihat Laras membalas. [Ras, aku ke rumah kamu, ya]. Send Satu, dua, tiga menit Excel menunggu tapi tak di jawab juga. Padahal pesannya terbaca dan Laras terlihat on line. [Ras, aku otw, ke rumah kamu. Kamu mau di beliin apa?]Excel menyahut kunci mobil, keluar kamar dan menuruni tangga cepat. "Den mau ke mana?" tanya Ros. "Keluar bentar, Mba," jawab Excel. "Den, tadi Bapak pesen, Aden nggak boleh ke mana-mana," ujar Ros. Namun Excel seolah tak mendengar penuturan Ros, dia tetap melenggang keluar melewati pintu. Excel mengeluarkan mobil dari gara
Pagi menyingsing aktifitas di rumah Laras ramai seperti biasa Dewi sibuk membangunkan seluruh keluarga juga menyiapkan bekal dan keperluan lain. Laras sudah duduk rapih di kursi depan meja makan, bersiap kembali menjalankan aktivitas yang dia tinggalkan satu Minggu kemarin. "Mulai sekarang kamu di antar jemput sama Bang Gilang," ujar Dani pada anak perempuan semata wayangnya. "Emangnya kenapa, Pah, Laras bisa kok pulang pergi sendiri, Laras nggak apa-apa," Laras berusaha berkelit, dia tak ingin kebebasannya terbelenggu sebab Gilang tak bisa di ajak kerjasama selama ini. " Abang kamu nggak ngapa-ngapain, biar ada kerjaan, 'kan tinggal nunggu wisuda lagi nyari-nyari kerja belum dapet," ujar Dani, sambil menyeruput kopi. Huft Laras mengeluarkan nafas berat, menatap Gilang yang tersenyum penuh arti padanya. "Jangan isengin, Neng. Bang. Awas kalo kamu masih iseng aja." Dewi mengepalkan tangan melihat tatapan Gilang pada Laras. "Apaan sih, Mih. Udah gede masa mau iseng terus," ela
"Ras."Laras menengok ternyata Alya yang memanggil."Eh kamu, Al," sapa Laras. "Ras, gue denger kasus elo kemaren. Beneran elo udah jadian sama Pak Bagas?" tanya Alya sendu. Netra Laras sedikit berbinar, jiwa jahilnya meronta-ronta, ingin dia kerjain Alya, tapi hatinya kini pun sedang di landa gundah."Belum jadian juga sih, Al, tapi yahh ... Kayanya sedikit lagi," ujar Laras, memasang mimik wajah sumringah. Sungguh jiwa usilnya tak bisa di hentikan. Wajah Alya semakin sendu mendengar penuturan Laras. Apalagi Laras terlihat bersemangat membicarakan Bagaskara. "Terus gimana taruhan kita, gue nggak mungkin ngikutin kampus elo mau masuk, secara otak kita 'kan beda level, Ras!! Palingan elo di terima di kampus swasta, sedang gue minimal di kampus terbaik di Jakarta, Ras," ujar Alya pelan.Laras memutar bola mata malas, "Udah mau kalah aja elo masih sombong gitu Al," cibir Laras, "Pokonya taruhan belum berakhir. Kalo elo sampe kalah, ya ... lo tau kan konsekwensinya," ucap Laras kedua
Di rumah cluster milik ayah Bagaskara, mereka terlihat khawatir. Berkali-kali Pram melihat ke arah luar jendela, di sana beberapa orang terus mengawasi rumah mereka. "Ayah untuk apa takut pada mereka, melarikan diri pun tak akan bisa," ujar Bagas. "Ayah bukan takut, tapi ayah hanya menjaga kalian. Ayah tak ingin terjadi sesuatu terhadap kalian, mereka dari kalangan atas memiliki kekayaan. Apapun yang mereka ancamkan pasti terjadi jika kita melawan. Ayah heran bagaimana bisa kamu terlibat dengan wanita seperti itu??" tanya Pram, pelan."Perempuan itu menjebak ku, awalnya dia membantuku untuk bekerja di klink, untuk uang tambahan kuliahku, ternyata klinik tersebut klinik aborsi, saat itu klinik di grebek, dia juga yang menjamin sehingga aku bebas dari penjara.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Dia ingin kamu menikahinya?" "Itulah sebabnya, aku pikir jika aku memacari kekasih adiknya dia akan mundur, karna adiknya bisa melakukan apapun. Nyatanya dia keras kepala. Dan du
Excel terus menatap Laras. "Kamu cemburu?" tanya Excel lagi. Berharap Laras mengangguk. "Emang penting gue jawab pertanyaan ini? Excel mengenggam telapak tangan Laras tetapi Laras langsung menarik tangannya. Dengan gesit Excel meraih kembali telapak tangan Laras dan mengenggam erat. "Aku cuma mau pegang tangan kamu, Ras," ujar Excel. "Jangan, Bang. Nggak boleh," ujar Laras. "Cuma pegang tangan." Paksa Excel. Sekuat apapun Laras menarik tangannya Excel lebih kuat menggenggam. Lelaki tinggi ini mengelus pipi Laras. "Ras maafin aku, ya." Tatapan Excel terlihat tulus. "Iya, Bang, gue udah maafin, tapi janji, lo harus bisa ngontrol diri, jangan terulang lagi hal kaya kemarin," ujar Laras. "Iya, aku usahain."Netra mereka saling tatap, bibir tersenyum."Kalian sedang apa?" Suara di depan pintu membuat dua anak menjelang dewasa ini menengok. "Bang Gilang." Laras menarik tangannya begitu pun Excel melonggarkan genggaman dan menarik tangan lain, yang berada di pipi Laras. Mereka terpe
Laras duduk di depan televisi, menggonta gonti chanel, wajahnya di tekuk, suara Irma selalu menghiasi pendengarannya. "Kenapa Mpok BT banget?" Andi duduk di sebelah Laras. Laras tak menyahut, hanya terus menganti-ganti chanel."Mpok, mana bisa di lihat itu kalo di ganti terus." Andi memberengut. "Kenapa sih, Mpok!!" Andi meraih remote yang ada di tangan Laras, karna Laras tak berhenti menggonta ganti chanel. Laras menghela nafas, masuk ke dalam kamarnya. Andi hanya mentap kakaknya yang terlihat boring. Di dalam kamar Laras membaca lagi pesan yang di kirim Excel barusan. "Apa aku samperin ke sana ya??" Laras mulai berfikir. Gadis ini menelpon Irma. Meminta pendapatnya. Irma menyarankan lebih baik Laras menyusul. "Gue ke sana sama siapa, Ma?" "Laaahh katanya kemaren mau di jemput sama supirnya.""Iya, tapi gue males kalo di jemput sopir.""Terserah elo lah, elo emang kadang-kadang susah. Bandung itu jauh, ini udah malem, dan yang pasti kita belum bisa bawa mobil sendiri!!" seru
Hari ini Excel begitu bersemangat menyambut hari, hari ini hari terakhir dia di Bandung. Ternyata jika sudah di jalani semua terasa mudah dan gampang. Lelaki ini menatap pantulan dirinya di cermin. Semakin dewasa, pikirnya. Bibirnya tersinggung.Di langkahkan kaki keluar kamar, menuruni anak tangga, menuju meja makan. "Aa mau makan nasi atau roti." Wanita tua menyambutnya."Adanya apa, Mbu?"Dulu sesekali Excel di ajak Nata ke sini, wanita tua ini yang menunggui rumah ini, dan menyiapkan kebutuhan Excel."Nasi ada, roti juga Ada. Ambu masak ikan bakar. Bapak yang ambil di kolam belakang kemarin. Aa dulu suka banget kalo ambu masak ini.""Ya sudah itu saja." Excel duduk di depan meja makan. Lia-wanita tua ini mengambilkan nasi dan ikan yang tadi di maksud wanita tua ini. Excel menatap kursi kosong di sebelahnya. "Aku akan sekuat tenaga belajar dan mengembangkan usaha agar lebih berkibar dari sekarang, untuk menjadikan kamu ratu dan mendampingiku kemana pun aku pergi." Excel terus me
Excel duduk menatap hamparan kebun teh di hadapannya, di hirup dalam udara dingin di balkon villanya. Sesekali netranya menatap ponsel yang ada di tangan."Kamu kenapa susah banget di telpon sih, Ras," gumam Excel.Di dering yang entah sudah ke berapa kali akhirnya panggilan di angkat. "Assalamualaikum, Babang. Sayang."Excel yang sudah hampir mengeluarkan omelan tetiba luluh mendengar kata sayang dari Laras. Wajah yang barusan sudah menegang seketika mengendor, darah yang sudah berada di ubun-ubun seketika terjun bebas, suhu tubuh yang panas akibat tekanan darah yang tinggi seketika mendingin. Bibirnya seketika melengkung menampakkan gigi putih bersih, netranya menatap Laras rindu. "Coba ulangi."Laras merebahkan tubuh di kasur. Mentap ponsel di tangan. "Apanya di ulangi?" tanya Laras bingung. "Salamnya, tadi gimana?""Assalamualaikum, Babang." Laras mengulang, netranya mengerjab, senyum terkembang.Nafas Excel di tahan, lalu di keluarkan perlahan, "Ada yang kurang, setelah itu
Excel terkejut dengan suara yang menjawab dari ponsel Laras. Belum juga memperjelas siapa gerangan lelaki di sana suara gaduh terdengar dari area sekolah.Excel dan beberapa orang yang berada di kantin menghampiri kegaduhan. Sesaat kemudian Excel menyadari jika dia sedang menelpon Laras. Di lihatnya panggilan sudah di matikan. Siapa tadi yang ngangkat telpon?? kok suara laki? Papahnya Larah atau Bang Gilang. Tapi kok kaya bukan suara mereka. Pikiran Excel berkecamuk. Baru saja jari-jari tangannya ingin mendial tombol hijau, kembali menelpon Laras, berlalu pergi dari area kegaduhan tadi, seseorang memanggil Excel. "A, Aa tolongin atuh. Ini siswi pingsan dari tadi nggak bangun-bangun."Si wanita semok bergincu merah yang tadi menyediakan makanan untuk Excel memanggil. Tanpa ragu Excel masuk ke kerumunan, rupanya seorang siswi jatuh pingsan saat pelajaran sedang berlangsung. Guru pengajar yang sedang mengurus siswa tersebut menatap Excel ketika Excel berjongkok di sebelah murid gu
Pagi ini hari terasa berbeda bagi lelaki menuju dewasa ini. Hari ini dia begitu bersemangat. Lelaki ini sudah menggunakan pakaian formil. Mulai belajar mengikuti Nata mengendalikan usaha yang dia kelola. Terutama yayasan pendidikan yang berdiri di beberapa kota. "Sudah siap?" Excel mengangguk berjalan di sebelah Nata di ikuti oleh beberapa asisten Nata. "Pah. Aku mau tanya.""Tanya apa?" ucap Nata. Mereka berjalan dengan langkah lebar menuju ruang meeting. "Mengenai Kak Sarah." Nata menghentikan langkah, menatap putranya. "Kita bicarakan di rumah."Rapat yang di hadiri para ketua yayasan berjalan dengan baik. Excel memperhatikan tiap detai apa saja yang di bahas dalam rapat kali ini, mulai dari membicarakan menaikan value sekolah hingga bea siswa bagi yang membutuhkan. "Oke mulai tahun depan kita naikkan jumlah siswa penerima bea siswa, dari hanya 15 orang yang menerima menjadi 30 orang siswa. Ini semua aku berikan atas rasa syukurku karna putraku sudah mau bergabung di yayasan
Sarah mencium bibir lelaki di atasnya. Menghilangkan gugup yang dia rasa. Bagaskara melepaskan pagutan. "Bagaimana? Sama kah dengannya? Atau ... Aku lebih hebat darinya?" Netra Sarah berembun. "Aku sudah melupakannya, kenapa kamu terus mengungkitnya.""Karna aku hanya pelarian mu. Jika dia kembali apa yang akan kamu lakukan?" Bagaskara mengendus ceruk leher Sarah. Miris Bagaskara merasa gagal menjadi laki-laki. Dia membiarkan dirinya di kuasai Sarah. Namun kini Bagas akan melakukan apapun untuk bisa mengendalikan wanita yang kini ada dalam kungkungannya. Sarah menggeleng. "Hatiku sudah tertutup untuknya." "Benarkah? Sekarang kita buktikan siapa yang akan kamu gaungkan ketika kita bercinta." Bagaskara terus memberikan kecupan-kecupan menggairahkan. Sarah menggigit bibirnya. Kepalanya berusaha mengingat apakah benar dia masih mengingat pria bajingan itu, bahkan Sarah sudah beberapa kali berganti pasangan, apakah masih nama sialan itu yang selalu Sarah erangkan saat kenikmatan itu
"Sarah." Suara Bagas memanggil. Wanita cantik dengan pakaian selalu modis ini menghampiri Bagas. Menggandeng lengan Bagas lalu mengajaknya pergi. Terlihat Sarah begitu agresif, sesekali mendekatkan bibir ke telinga Bagaskara. Irma menatap kakaknya dengan perasaan sedikit lega. Kini dia tak lagi memikirkan Bagas, karna Bagas sudah menjelaskan kesepakatan yang dia lakukan dengan Nata. Excel mencium Laras yang terus menatap Kepergian guru gebetannya. Kesadarannya pulih, netranya mengerjab, bibirnya tersungging. "Nanti nggak bisa kedip matanya," ujar Excel datar, antara kesan dan cinta. "Cie, main cipok di mana-mana. Gue juga mau, Bang ..." Irma mendekati Excel hendak memeluk lelaki ini. Tetapi dihadang tubuh Laras."Eh ... Dulu lo boleh peluk-peluk, sekarang. No No No." telunjuk Laras bergoyang ke kanan dan ke kiri. "Dih, bagi-bagi, Ras." Irma merengek seperti anak kecil ingin juga menjilat permen stik yang di pegang temannya. NO!!Dengan keras Laras melarang kedua tangan menyilan
"Aku bilang 'kan jangan lagi, Bang." Wajah Laras masam. Pasalnya setelah keluar kamar mandi dan melakukan ibadah, kembali Excel menyalurkan keinginannya. Dan Laras pasrah, menerima setiap cumbu rayu yang dilayangkan lelaki yang ternyata sangat perkasa. Wk wk wk. Baru tau Laras. Excel berjongkok di hadapan Laras. Menatap penuh gairah. "Sekarang juga mau lagi." Suara Excel pelan dan parau.Laras menempelkan dua telapak tangannya ke muka Excel, mengusap kasar. "Pokoknya kalo gue nggak mau, jangan di paksa."Excel menggenggam telapak tangan Laras. Mendekatkan wajah, ingin mencium bibir yang menggunakan lipstik berwarna pink. Gadis ini melengos tetapi di tahan oleh Excel. Lembut, halus, kenyal dan manis. Sungguh semua menjadi candu untuk Excel sekarang.Laras mendorong pundak Excel, tetapi lelaki ini tak bergeming. Tanpa aba-aba lelaki ini membopong Laras ke atas pembaringan. "Bang!! Jangan kita mau makan!! Gue nggak mau!!" Laras memukuli dada Excel yang sudah berada di atasnya. Lel
Jari-jari lentik bergerak perlahan. Laras mulai menemukan kembali kesadarannya. Netranya mengerjab, melirik pada tubuh yang dia tiduri. Punggungnya terasa dingin karna selimut tersibak. Perlahan dia menekan dada Excel, lalu bangun. Mulut Laras menganga, netra membola. Kepalanya dimasukkan ke dalam selimut, semakin terkejut Laras. Tenggorokannya tercekat, rasanya kering. Dipukul-pukul nya kepala dengan tangannya, kembali berputar ingatannya pada kejadian semalam.Excel merasa terganggu dengan pergerakan Laras walau gadis ini tidak mengeluarkan suara, netra lelaki ini bergerak, mengerjab. Melihat Laras yang sepertinya syok. "Ras."Laras cepat menengok menatap Excel. Ingin marah tapi dia ingat jika dia yang memulai, bahkan Excel bertanya apakah di akhiri saja, gilanya Laras menggeleng, meminta Excel melanjutkan. Melihat Laras seperti syok, Excel menarik tubuh Laras ke dalam dekapannya. "Nangis aja kalo mau nangis."Laras tak menangis juga tak murka. Dia hanya berfikir kenapa semalam