Excel menelungkupkan kepala di setir. "Abang elo ada masalah apa sama Sarah? Gue yakin Laras di jadiin alat sama Pak Bagas." Tangan Excel mencengkeram stir mobil."Nah itu dia masalahnya, Bang. Gue mau jelasin ke Laras juga susah, dia lagi jatuh cinta. Tapi gue tau abang gue nggak sungguh-sungguh ke dia. Bang, elo harus bisa lindungi Laras," ucap Irma. Kepala Excel mendongak, menatap Irma. Isi kepalanya mulai berfikir dan menyusun rencana. Apa yang harus dia lakukan. Apakah saran Sarah bisa menjadi solusi? Pikir lelaki tinggi ini. ***Bagaskara menyorot cerah pagi ini, lelaki tampan yang memiliki nama sama dengan si pemberi kehangatan ini menyusuri kapling blok dengan berlari kecil. Handuk kecil melingkar di leher, titik keringat menghiasi kening dan leher. Sesekali lelaki tampan ini menyeka keringat di dagu. Tanpa dia sadari ada sebuah mobil mengikuti di belakangnya. Hingga Bagaskara berhenti si taman komplek duduk di bangku istirahat, lalu menenggak minuman yang dia gengam sejak
Excel masuk ke dalam kamar membanting kasar tubuhnya di atas ranjang. Lengannya menempel di pelipis, matanya terpejam, dadanya terlihat turun naik, sepertinya menahan amarah yang membuncah. Setelah terlihat tenang dia ambil ponsel lalu dia tekan nomor Laras, tetapi hingga beberapa kali panggilan tak juga di angkat. Lelaki ini mengirim pesan pada Laras. Tak lama centang biru tanda pesannya di baca. Namun sampai beberapa saat tak juga terlihat Laras membalas. [Ras, aku ke rumah kamu, ya]. Send Satu, dua, tiga menit Excel menunggu tapi tak di jawab juga. Padahal pesannya terbaca dan Laras terlihat on line. [Ras, aku otw, ke rumah kamu. Kamu mau di beliin apa?]Excel menyahut kunci mobil, keluar kamar dan menuruni tangga cepat. "Den mau ke mana?" tanya Ros. "Keluar bentar, Mba," jawab Excel. "Den, tadi Bapak pesen, Aden nggak boleh ke mana-mana," ujar Ros. Namun Excel seolah tak mendengar penuturan Ros, dia tetap melenggang keluar melewati pintu. Excel mengeluarkan mobil dari gara
Pagi menyingsing aktifitas di rumah Laras ramai seperti biasa Dewi sibuk membangunkan seluruh keluarga juga menyiapkan bekal dan keperluan lain. Laras sudah duduk rapih di kursi depan meja makan, bersiap kembali menjalankan aktivitas yang dia tinggalkan satu Minggu kemarin. "Mulai sekarang kamu di antar jemput sama Bang Gilang," ujar Dani pada anak perempuan semata wayangnya. "Emangnya kenapa, Pah, Laras bisa kok pulang pergi sendiri, Laras nggak apa-apa," Laras berusaha berkelit, dia tak ingin kebebasannya terbelenggu sebab Gilang tak bisa di ajak kerjasama selama ini. " Abang kamu nggak ngapa-ngapain, biar ada kerjaan, 'kan tinggal nunggu wisuda lagi nyari-nyari kerja belum dapet," ujar Dani, sambil menyeruput kopi. Huft Laras mengeluarkan nafas berat, menatap Gilang yang tersenyum penuh arti padanya. "Jangan isengin, Neng. Bang. Awas kalo kamu masih iseng aja." Dewi mengepalkan tangan melihat tatapan Gilang pada Laras. "Apaan sih, Mih. Udah gede masa mau iseng terus," ela
"Ras."Laras menengok ternyata Alya yang memanggil."Eh kamu, Al," sapa Laras. "Ras, gue denger kasus elo kemaren. Beneran elo udah jadian sama Pak Bagas?" tanya Alya sendu. Netra Laras sedikit berbinar, jiwa jahilnya meronta-ronta, ingin dia kerjain Alya, tapi hatinya kini pun sedang di landa gundah."Belum jadian juga sih, Al, tapi yahh ... Kayanya sedikit lagi," ujar Laras, memasang mimik wajah sumringah. Sungguh jiwa usilnya tak bisa di hentikan. Wajah Alya semakin sendu mendengar penuturan Laras. Apalagi Laras terlihat bersemangat membicarakan Bagaskara. "Terus gimana taruhan kita, gue nggak mungkin ngikutin kampus elo mau masuk, secara otak kita 'kan beda level, Ras!! Palingan elo di terima di kampus swasta, sedang gue minimal di kampus terbaik di Jakarta, Ras," ujar Alya pelan.Laras memutar bola mata malas, "Udah mau kalah aja elo masih sombong gitu Al," cibir Laras, "Pokonya taruhan belum berakhir. Kalo elo sampe kalah, ya ... lo tau kan konsekwensinya," ucap Laras kedua
Di rumah cluster milik ayah Bagaskara, mereka terlihat khawatir. Berkali-kali Pram melihat ke arah luar jendela, di sana beberapa orang terus mengawasi rumah mereka. "Ayah untuk apa takut pada mereka, melarikan diri pun tak akan bisa," ujar Bagas. "Ayah bukan takut, tapi ayah hanya menjaga kalian. Ayah tak ingin terjadi sesuatu terhadap kalian, mereka dari kalangan atas memiliki kekayaan. Apapun yang mereka ancamkan pasti terjadi jika kita melawan. Ayah heran bagaimana bisa kamu terlibat dengan wanita seperti itu??" tanya Pram, pelan."Perempuan itu menjebak ku, awalnya dia membantuku untuk bekerja di klink, untuk uang tambahan kuliahku, ternyata klinik tersebut klinik aborsi, saat itu klinik di grebek, dia juga yang menjamin sehingga aku bebas dari penjara.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Dia ingin kamu menikahinya?" "Itulah sebabnya, aku pikir jika aku memacari kekasih adiknya dia akan mundur, karna adiknya bisa melakukan apapun. Nyatanya dia keras kepala. Dan du
Excel terus menatap Laras. "Kamu cemburu?" tanya Excel lagi. Berharap Laras mengangguk. "Emang penting gue jawab pertanyaan ini? Excel mengenggam telapak tangan Laras tetapi Laras langsung menarik tangannya. Dengan gesit Excel meraih kembali telapak tangan Laras dan mengenggam erat. "Aku cuma mau pegang tangan kamu, Ras," ujar Excel. "Jangan, Bang. Nggak boleh," ujar Laras. "Cuma pegang tangan." Paksa Excel. Sekuat apapun Laras menarik tangannya Excel lebih kuat menggenggam. Lelaki tinggi ini mengelus pipi Laras. "Ras maafin aku, ya." Tatapan Excel terlihat tulus. "Iya, Bang, gue udah maafin, tapi janji, lo harus bisa ngontrol diri, jangan terulang lagi hal kaya kemarin," ujar Laras. "Iya, aku usahain."Netra mereka saling tatap, bibir tersenyum."Kalian sedang apa?" Suara di depan pintu membuat dua anak menjelang dewasa ini menengok. "Bang Gilang." Laras menarik tangannya begitu pun Excel melonggarkan genggaman dan menarik tangan lain, yang berada di pipi Laras. Mereka terpe
"Laras udah gede, nggak usah di kawal melulu, nanti Laras ajak Irma kalo Emak nggak percaya.""Udah lah, Mih jangan terlalu di kekang anak-anak." "Bukan di kekang, Pih. Mamih khawatir, pergaulan anak jaman sekarang, apa-apa di bilang wajar, anak pacaran wajar, yang nggak pacaran di bilang nggak laku, kuper lah, ini lah, itu lah, pandangan negatif. Padahal pacaran itu mudharatnya banyak banget." Panjang lebar Dewi berbicara, menggebu.Laras dan Dani berpandangan. Mereka mulai menyiapkan telinga mendengarkan tausiah yang Laras sudah tau isinya. "Laras masuk kamar ya, Mak," Bibirnya tersenyum kikuk. "Mau belajar besok ada ulangan." Alasan lanjutan, karna netra Dewi berkilat, perlahan Laras bangun dari duduk. "Udah lah, Mih." Dani membantu Laras untuk bebas."Kebiasaan," ujar Dewi, menatap Laras kesal. Laras hanya menyunggingkan senyum, Dani menyuruh Laras pergi dengan mengibaskan telapak tangan. "Udah sana, Neng. N
"Laras." Laras terjengkit karna bahunya di tepuk. "Kamu mau bolos pelajaran ya?!" Ida menepuk pundak Laras. "Nggak, Bu!!" Laras menggoyang-goyang kedua telapak tangan. "Tadi saya liat ada bayangan ke arah sini! Kayanya mau bolos." Elak Laras. "Dari tadi ibu cuma liat kamu, nggak liat siapa-siapa," jawab Ida, menelisik wajah Laras. "Ayo, ikut ibu, kamu udah kelas 3, udah mau lulus, jangan seneng bolos sekolah." Sepanjang jalan Ida memberikan wejangan. Di balik tembok Niken menatap Laras dan Ida. Kakinya di hentak. "Ish, Bu Ida kenapa selalu keliling sekolah, kayanya nggak bisa ngelakuin rencana di area sekolah," gumam Niken. ***Lelaki tampan memarkir mobil di depan rumah Laras, sebelum keluar dari mobil Excel merapikan rambut meneliti wajahnya di kaca spion. "Bismillah, semoga di bolehin sama Mamih ngajakin Laras pergi besok. Setelah di rasa penampilannya oke, kelaki ini turun dan melangkahkan kaki m
Tiga temannya ini fokus menatap Excel, merasa di perhatikan Excel menjentikkan jari. "Nggak usah berpikir mesum, gue nggak abis ngapa-ngapain. Noh Laras lagi tidur."Tiga perempuan ini gegas mengalihkan pandangan. Bibir terulas senyum malu, lalu kembali menikmati siaran televisi, enggan membahas. Tak lama teman-teman yang lain datang. "Hai Bro!!" Roy, Boy juga Niken menghampiri Excel yang sedang makan di meja makan. Mereka tos kepal. "Makan-makan," tawar Excel. Roy juga Boy gesit duduk, tangannya mengambil piring. Perutnya lansung terasa lapar melihat hidangan di atas meja. "Stoooppp ..." Irma berteriak menginterupsi kegiatan mereka. Duo pesuruh Excel ini terjingkat mendengar teriakan Irma. Irma merebut piring yang Roy dan Boy pegang. "Enak aja baru dateng langsung makan. Kita makan bareng-bareng." salak Irma. "Itu Excel makan." Tunjuk Boy. "Dia yang beli barusan. Lah kalian baru dateng!! Kita udah kumpul semua 'kan yuk kita doa dulu!" Seru Irma. "Eh bentar gue bangunin Lar
Bibir Laras melengkung malu, "Dia sampe ngibarin bendera putih, gue rayu nggak mau bangun lagi itunya."Irma membalikan tubuh menatap Laras yang duduk di sebelah kepalanya. Netranya mengerjab. "Berapa kali?" Laras menggeleng. "Nggak tau. Gue nggak ngitung."Irma duduk, makin penasaran gadis ini. "Selalu di bungkus nggak itunya Excel." Irma nyengir mendapat tatapan dari Laras. "Itung ... jadi ketauan main berapa kali semalem."Laras menoyor jidat Irma. "Penting banget ngitungin begituan." Irma terkekeh, mengikuti Laras yang pergi ke luar kamar, karna ponselnya berdering. "Hallo Al. Langsung naik aja." Setelah memberikan akses masuk Laras mematikan ponsel. "Ma, kita masak yuk, buruan beli bahan, pesen anter aja biar cepet."Irma meraih ponsel memesan apa saja yang di butuhkan. Alya keluar dari lift ikut bergabung request makanan apa saja yang akan mereka hidangkan. "Kita bikin tom yam aja, sama barbeqiu, yang lain food dilevery," ujar Laras. Mana bisa Laras dan teman-temannya masa
Laras sudah berpakaian rapih, dia berdiri menatap gedung tinggi di hadapannya. Rumah-rumah yang terlihat kecil, jalan raya yang selalu padat merayap. Excel keluar dari kamar mandi, dan laras hanya melirik enggan mendekat. Rasanya jantungnya masih bertalu jika melihat lelakinya berpenampilan seperti ini. Excel membuka pintu wardrobe. "Bang, ini udah aku ambilin."Lelaki ini berbalik. "Makasih ya."Laras mengangguk, menundukkan kepala. Malu melihat Excel. Mereka bangun siang hari ini karna semalam Laras memborbardir Excel. Laras menepati janjinya akan buat Excel terkapar sampai dia mengibarkan bendera putih. Mengingat semalam bibir Laras tersungging, dia sedikit berlari ke arah pintu. "Mau ke mana?" tanya Excel. "Mau masak mie, kamu mau?" tanpa menengok Laras menjawab. Excel mengangguk."Mau nggak??" tanya Laras lagi karna tak ada jawaban. "Iya, mau."Selama memasak Laras terus senyum-senyum juga tersipu. Dua mangkok mie telor plus sosis tersedia di meja makan. "Bang. Ayo buru
Laras menarik tangan Excel yang sudah hampir berbalik. "Bang, jangan. Ayo kita pulang."Sampai di mobil Excel membuka dasbor mengambil surat nikah yang dia bawa-bawa. "Di sini dulu, aku mau masuk lagi sebentar," Excel berjalan cepat ke arah kasir, tak pedulikan panggilan Laras.Laras melihat Excel menunjukkan barang yang tadi di bawa pada emak-emak yang mengatainya gila. "Liat nih Bu, perempuan itu istri saya, saya mau beli kondom satu truk pun nggak masalah karna saya gunain sama istri saya." Excel Membuka surat nikah yang ada foto dirinya dan Laras. Menunjukkan pada ibu tersebut, pada kasir dan beberapa pengunjung yang tadi sempat menggunjingnya. Para pengunjung ada yang melihat buku itu sepintas ada yang memperhatikan seksama ini buku ASPAL bukan?? Sudah kan, saya hanya tak suka kalian menjelekkan istri saya, kenapa saya menikah muda karna dia dan keluarganya menjaga dirinya. Setelah itu Excel pergi dengan langkah lebar. Dia tak mau Laras di hina, sebab tadi Excel juga mend
"Mpok, Bang Excel lagi ngapain?"Laras dan Excel mendongak berbarengan menatap Andi, Laras langsung merenggangkan duduk sedikit memberi jarak. Netra Andi berkilat penuh intrik, di kepalanya langsung berputar uang. "Nggak lagi ngapa-ngapain. Emang lagi ngapain?" Laras seperti ke gap berbuat mesum.Andi tak bicara hanya menatap Excel penuh Arti. Excel meraih dompet di saku celana. Mengambil beberapa lembar uang merahan. "Nih, buat top up ML."Senyum Andi merekah, tetapi belum uangnya sampai di tangannya, tangan Laras menghadang."Udah biarin, biar Andi seneng. Lagian uangku nggak berseri, masih banyak di bank di brangkas sama yang lagi mendekat."Lagi bibir Andi mengembang mendapatkan pembelaan. Kembali tangan Excel menyerahkan uang, Andi menerima lalu melenggang masuk kamar. "Anggap aja Andi buta Bang!!" "Sue banget lo Ndi, dasar pemeras!!!" teriak Laras. Excel mengangkat Laras ke dalam kamar. Tak ada suara dari Laras dan Excel, Andi penasaran, kepala bocah ini melongok ke luar
Excel mandi perlahan tanpa mengeluarkan suara kecuali suara gemericik air dari shower. Setalah selesai Excel keluar perlahan, tubuh hanya terlilit handuk itu sedikit mengigil.Ehem.suara deheman dari ruang tengah membuat Excel terperanjat."Pah," sapa Excel kikuk, udah mindik-mindik masih juga kepergok."Gini hari udah mandi, nggak sekalian aja mandinya sebelum subuh? nanti mau lagi." perkataan Dani membuat Excel tak dapat menelan air liurnya.Beruntung ruangan dalam keadaaan remang-remang jika terang benderang sudah di pastikan muka Excel sekarang seperti kepiting rebus. Sialnya begitu sudah sampe di depan pintu Gilang membuka pintu kamarnya. "Set gini hari lo mandi, Bro??" Gilang nyengir melihat tubuh Excel hanya terlilit handuk.Tanpa berniat menjawab Excel masuk ke dalam kamar Laras. Di lihat Laras sudah kembali tertidur lelap. "Dia tidur lagi, gue di jadiin tumbal."Excel memakai pakaian dan kembali memeluk Laras dari belakan, Laras membalikkan badan mengendus ceruk leher Ex
Laras duduk di depan televisi, menggonta gonti chanel, wajahnya di tekuk, suara Irma selalu menghiasi pendengarannya. "Kenapa Mpok BT banget?" Andi duduk di sebelah Laras. Laras tak menyahut, hanya terus menganti-ganti chanel."Mpok, mana bisa di lihat itu kalo di ganti terus." Andi memberengut. "Kenapa sih, Mpok!!" Andi meraih remote yang ada di tangan Laras, karna Laras tak berhenti menggonta ganti chanel. Laras menghela nafas, masuk ke dalam kamarnya. Andi hanya mentap kakaknya yang terlihat boring. Di dalam kamar Laras membaca lagi pesan yang di kirim Excel barusan. "Apa aku samperin ke sana ya??" Laras mulai berfikir. Gadis ini menelpon Irma. Meminta pendapatnya. Irma menyarankan lebih baik Laras menyusul. "Gue ke sana sama siapa, Ma?" "Laaahh katanya kemaren mau di jemput sama supirnya.""Iya, tapi gue males kalo di jemput sopir.""Terserah elo lah, elo emang kadang-kadang susah. Bandung itu jauh, ini udah malem, dan yang pasti kita belum bisa bawa mobil sendiri!!" seru
Hari ini Excel begitu bersemangat menyambut hari, hari ini hari terakhir dia di Bandung. Ternyata jika sudah di jalani semua terasa mudah dan gampang. Lelaki ini menatap pantulan dirinya di cermin. Semakin dewasa, pikirnya. Bibirnya tersinggung.Di langkahkan kaki keluar kamar, menuruni anak tangga, menuju meja makan. "Aa mau makan nasi atau roti." Wanita tua menyambutnya."Adanya apa, Mbu?"Dulu sesekali Excel di ajak Nata ke sini, wanita tua ini yang menunggui rumah ini, dan menyiapkan kebutuhan Excel."Nasi ada, roti juga Ada. Ambu masak ikan bakar. Bapak yang ambil di kolam belakang kemarin. Aa dulu suka banget kalo ambu masak ini.""Ya sudah itu saja." Excel duduk di depan meja makan. Lia-wanita tua ini mengambilkan nasi dan ikan yang tadi di maksud wanita tua ini. Excel menatap kursi kosong di sebelahnya. "Aku akan sekuat tenaga belajar dan mengembangkan usaha agar lebih berkibar dari sekarang, untuk menjadikan kamu ratu dan mendampingiku kemana pun aku pergi." Excel terus me
Excel duduk menatap hamparan kebun teh di hadapannya, di hirup dalam udara dingin di balkon villanya. Sesekali netranya menatap ponsel yang ada di tangan."Kamu kenapa susah banget di telpon sih, Ras," gumam Excel.Di dering yang entah sudah ke berapa kali akhirnya panggilan di angkat. "Assalamualaikum, Babang. Sayang."Excel yang sudah hampir mengeluarkan omelan tetiba luluh mendengar kata sayang dari Laras. Wajah yang barusan sudah menegang seketika mengendor, darah yang sudah berada di ubun-ubun seketika terjun bebas, suhu tubuh yang panas akibat tekanan darah yang tinggi seketika mendingin. Bibirnya seketika melengkung menampakkan gigi putih bersih, netranya menatap Laras rindu. "Coba ulangi."Laras merebahkan tubuh di kasur. Mentap ponsel di tangan. "Apanya di ulangi?" tanya Laras bingung. "Salamnya, tadi gimana?""Assalamualaikum, Babang." Laras mengulang, netranya mengerjab, senyum terkembang.Nafas Excel di tahan, lalu di keluarkan perlahan, "Ada yang kurang, setelah itu