Satu kuliah telah terlewati, tinggal satu kuliah lagi dan setelahnya hari ini selesai. Lian dan Zia keluar kelas untuk makan siang terlebih dahulu lalu setelahnya kami masuk kelas lagi untuk kuliah.
Saat kami melewati lapangan, Lian tak sengaja melihat Mahesa yang berjalan bersama dengan teman-temannya mengarah pergi ke tempat yang sama yaitu kantin. Lian berusaha untuk diam meskipun Lian tau kalau Mahesa yang sedang berjalan di sana juga tak sengaja melihat ke arahnya.
Begitu sampai di kantin, suasana ramai sangat terasa di sana. Memang jam sekarang adalah jam istirahat, makanya banyak yang makan di jam-jam segini. Begitu juga dengan meja yang ada di kantin itu, semuanya sudah terlihat terisi.
"Wah ramai sekali ya, kita bisa nggak ya makan di sini? Penuh, kayaknya nggak akan bisa deh. Kecewa," ujar Zia yang melihat betapa banyaknya orang yang berada di sana.
"Kalau gitu kita beli roti saja lalu makan di taman, gimana?" Zia kembali memberi usul pada Lian.
"Boleh juga. Aku ikut usul kamu. Kalau begitu kamu saja yang membeli, aku akan tunggu di sana. Daripada ribet dua-duanya ke sana, mending salah satu aja yang beli. Aku titip kamu ya." Lian menunjuk pohon tak jauh dari mereka dan Zia pun menurut.
Belum Lian berbalik menuju pohon yang Lian maksud, sebuah tangan dengan tiba-tibanya menyentuh tanganku.
"Kalian ikut aku saja." Mahesa memberikan penawaran pada kami berdua dengan matanya yang melihat ke arah Lian. Mulutnya bicara namun matanya tak beralih kemana pun. Mahesa hanya melihat satu titik dimana Lian berada saat ini.
Lian langsung melepas tangannya. Tak akan lagi Lian menerima belas kasihan orang lain. Apalagi sama dia yang sudah menganggapnya tak ada. Itu sudah terbukti saat kami makan bersama kemarin malam. Lian tidak mau berhubungan lagi sama dia kecuali kalau terpaksa. Mau tidak mau Lian mengalah.
"Maaf, kami tidak mau makan di kantin. Kami mau makan di tempat lain."
Lian pun melangkah ingin berbalik tapi lagi-lagi Mahesa mencegahnya dan itu membuat Lian tak habis pikir sama laki-laki itu, sudah sering dibilangin juga kalau mereka tak lagi ada apa-apa tapi Mahesa tetap tidak mau tau. Lian harus berbuat apa biar Mahesa mengerti? Rasanya memikirkan hal itu membuat kepalanya ingin pecah saja.
"Kamu keras kepala," geram Mahesa
"Terserah. Aku keras kepala atau nggak, itu bukan urusan kamu. Kamu nggak usah banyak omong. Minggir kamu dari hadapan aku. Aku mau pergi. Kamu itu halangin jalan aku tau."
Mahesa mendecak dan terlihat tak percaya sama perkataan Lian. Tidak pernah seorang Lian bisa berbeda seperti ini. Dulu apa yang dia katakan selalu menurut. Tapi kenapa sekarang malah dia jadi wanita yang keras kepala. Tidak mau patuh sama perkataannya.
"Baru beberapa hari tapi kamu sudah berubah."
"Benar. Aku berubah karna seseorang. Seseorang yang tadinya aku cinta, sekarang malah menjadi membencinya. Aku berubah karna keadaan. Jadi jangan salahkan aku karna bersikap seperti ini."
"Kalian itu bicara apa sih? Aku nggak ngerti," Zia mengaruk kepalanya melihat Mahesa dan Lian saling berpandangan tapi dengan tatapan dingin. Berbeda halnya sebelum ini, mereka terlihat mesra sampai-sampai membuat iri saja yang melihatnya. Tapi sekarang kenapa bisa berubah begini. Lian tidak bilang apa-apa sama Zia sampai detik ini. Jangan-jangan ada yang terjadi di antara mereka.
"Aku begini karna keadaan. Percaya Lian aku ini masih cinta sama kamu. Sejujurnya hati aku itu cuma ada kamu seorang. Masa kamu nggak percaya?"
"Halah. Aku nggak akan percaya sama omongan laki-laki munafik kayak kamu. Kamu itu pandai berdusta dan juga pandai berakting. Sudah cukup bagiku. Ayo Zia kita makan di luar kampus saja. Aku sudah tidak berselera makan di sini."
Lian mengajak Zia pergi meninggalkan Mahesa yang berdiri melihat kepergian Lian dan Zia yang makin lama makin menjauh pergi.
Melihat hal itu Mahesa hanya bisa mengatakan dalam hati betapa sedihnya melihat hubungannya dengan Lian menjadi hancur berantakan seperti ini.
"Lian aku ingin menjadi orang lain Lian. Aku ingin. Tapi apalah daya, aku tidak bisa menjadi orang lain untuk mencintai kamu seutuhnya. Hanya kata maaf yang bisa aku katakan dari hati yang paling dalam," ucap Mahesa dengan miris.
Setelah meninggalkan Mahesa, mereka berjalan melewati gedung demi gedung yang ada di sana sampai mereka berada di depan gedung rektor.
"Eh kita makan di samping kampus aja deh yuk. Katanya di sana makanannya juga nggak kalah enak." Ajak Zia saat kami berjalan.
"Boleh deh. Yang penting aku nggak ketemu dia lagi."
"Lian sebenarnya apa sih yang terjadi antara kamu sama dia? Kamu nggak cerita apa-apa sama aku sampai detik ini. Aku dibikin binggung sama tingkah laku kalian. Jujur ini tuh kayak sebuah teka teki tau."
"Ceritanya cukup panjang dan kayaknya aku malas ceritain sama kamu."
"Loh kok gitu. Aku nggak mau diam aja lihat kamu ada apa-apa begini. Aku mau tau cerita yang sebenarnya. Kamu percaya kan sama aku?"
"Hm ... kita masuk dulu aja deh. Nanti aku ceritain sama kamu."
"Oke. Kamu harus cerita semuanya. Jangan ada yang di tutup-tutupin. Aku nggak mau ya kamu bohong sama aku. Kamu ngerti kan maksud aku Lian?"
Lian mengangguk kemudian sebagai jawaban atas pertanyaan Zia barusan. Kode itu sudah cukup membuat Zia diam makanya Lian tidak perlu usaha keras untuk memberhentikan pertanyaan Zia yang membuatnya malas untuk mengucap banyak kata.
Kami masuk ke dalam sebuah cafe yang bisa terbilang nyaman untuk para pelanggan yang akan datang berkunjung ke cafe ini lalu kami menempati salah satu tempat duduk yang bisa terbilang unik dan setelahnya kami memesan makanan dari menu yang tersedia di sana.
Saat kami memilih makanan, salah satu pelayan mendatangi meja kami.
"Eh tunggu! Kamu itu Fita bukan. Pacarnya Boss Arnold?" tunjuk pelayan laki-laki itu pada Lian yang sedang memilih makanan. Lian yang merasa di tunjuk langsung mendongakkan kepala melihatnya.
Fita? Arnold? Siapa mereka?
"Arnold siapa ya? Aku nggak tau," Jawab Lian dengan wajah binggung sembari mengaruk kepalanya.
Jujur, Lian memang tidak tau apa-apa, siapa yang di maksud pelayan ini.
"Fita itu pacar boss Arnold, pemilik cafe ini. Wajahnya persis kayak kamu. Eh tunggu dulu, kalau dilihat-lihat bedanya kalau Fita dia punya tahi lalat di pipi sementara kamu nggak punya tahi lalat. Kamu bersih. Tapi aku rasa wajahnya sama."
Lian dan Zia yang sedang duduk di sana saling memandang satu sama lainnya. Kami saling bertatapan dengan raut muka binggung.
"Dia udah lama nggak ke sini. Dengar-dengar gosipnya sih. Si Fita itu ninggalin boss kami entah karna apa. Tapi itu aku rasa cuma gosip. Nggak tau yang sebenarnya. Aku juga nggak yakin sih."
"Hm mungkin aja Fita itu tipe wanita bosenan, nggak bisa bertahan sama satu laki-laki aja. Bisa jadi kan dia udah nggak sayang lagi sama boss kamu itu. Jadi pacarannya nggak lama sama boss kamu itu."
Ah tidak mungkin. Masa ya aku punya saudara kembar? Nggak mungkin ah, saudara kembarku itu cuma Raisa. Adikku seorang.
"Sudahlah tidak usah di pikirkan. Aku cuma heran saja sama wajah kamu kok bisa sama persis ya. Sekarang mau pesan apa?"
"Aku pesan yang biasa orang suka pesan di sini aja," ujar Lian tanpa ingin berlama-lama.
"Oh kalau gitu makanan favorit di sini sphagety bolognase. Jadi kalian pesan itu ya. Oke segera di antar."
"Yah hujan, gimana kita bisa pulang ya," ujar Zia yang saat ini sedang berdiri di sampingku. Kami mau pulang ke rumah tapi hujan turun seketika membuat kami berteduh di halte kampus."Kita tunggu sebentar lagi aja. Kali aja hujannya berhenti. Nggak usah kecewa gitu ah kayak kenapa aja.""Bener sih. Tapi ini deres banget Lian. Kayaknya kita bakalan pulang telat nanti deh. Bisa-bisa kita pulang jam setengah tujuh lewat."Lian berusaha acuh dengan menggerakkan bahunya ke atas. Tak tau harus bilang apa di saat seperti ini. Hujan adalah anugerah dari Allah, siapa yang tau akan diturunkan hujan saat kami mau pulang.Bersabar, itu yang bisa Lian lakukan sekarang. Menerobos hujan sama saja dengan berakhir dengan baju yang akan basah nantinya dan akan tercetak bagaimana bentuk tubuh bagian atasnya saat ini.Lian menggunakan kemeja putih longgar yang nyaman untuk Lian kenakan jika ada acara at
Mobil Mahesa berhenti di depan rumahku. Aku sudah bilang sama dia kalau aku di turunkan saja tak jauh dari rumah. Tapi Mahesa tetap keukeh sama pendiriannya dan bilang kalau dia tidak mau aku kehujanan. Alhasil yang terjadi sekarang membuat aku tidak bisa berkutik di depan Mama dan Raisa.Suara mobil Mahesa yang berhenti itu terdengar sampai ke dalam rumah dan itu membuat Raisa langsung membuka pintu dan berteriak senang memanggil nama Mahesa.Namun setelah aku keluar dari mobil Mahesa. Raut wajah senang Raisa itu tergantikan dengan raut wajah binggung bercampur penasaran. Kenapa bisa aku ada di dalam mobil pacarnya.Aku langsung berlari ke depan teras begitu keluar dari mobil dan berdiri di depan Raisa dan juga Mama yang baru saja datang dari dalam rumah."Kakak sama Kak Mahesa kenapa bisa satu mobil.""Itu." Aku merasa kesulitan untuk mengatakannya. Ada perasaan tidak enak ma
Sebelumnya Lian tidak mengetahui apa yang tengah terjadi antara Raisa dengan Mahesa. Namun, setelah Raisa menceritakan tentang Mahesa yang suka menceritakan wanita lain di saat mereka sedang bersama membuat Lian miris mengetahui hal itu.Sebagai wanita sekaligus Kakak dari Raisa sendiri. Lian tidak bisa menerima atas kenyataan yang terjadi antara mereka berdua. Berani benar Mahesa cerita tentang wanita lain di saat mereka sedang bersama. Memangnya adikku itu dianggap apa? Aku sebagai Kakaknya tidak bisa terima. Apa sih yang ada di dalam pikiran Mahesa itu? Aku tidak suka dia memperlakukan adikku seperti itu. Seperti tidak dianggap sama sekali.Bagaimana pun Mahesa kan sudah menginginkan Raisa sebagai pacar sekaligus calon istri untuknya kelak. Untuk masa depannya. Masa ya Raisa harus menderita begini. Siapa sih yang mau mendengarkan wanita lain di saat mereka sedang bersama. Padahal yang Lian dengar hubungan mereka juga belum terlalu lama tapi Raisa sudah mendapatkan k
Lian tidak bisa pergi karna tangannya saat ini di tahan oleh laki-laki yang tidak tau siapa sebenarnya.Lian melihat dari bawah sampai atas bagaimana penampilan laki-laki itu dan tak di sangka penampilan yang hadir di depannya Lian rasa sangat mengagumkan. Bisa di bilang boleh juga. Lian berusaha untuk tidak memberikan emosi berlebih dan ingin tau apa yang diinginkan laki-laki ini selanjutnya."Eh kita belum kenalan. Ayo kita kenalan dulu. Aku pengen tau kamu."Mendengar hal tidak berguna ini membuat Lian memutar bola matanya, lelah akibat pertemuan dengan laki-laki yang tidak di kenal ini di depan matanya.Jadi laki-laki ini mencegahnya untuk tidak pergi hanya ingin berkenalan. Basi!"Eh kamu itu cegat aku begini karna kamu mau kenalan sama aku? Begitu? ck. ck. ck. Aku nggak ada waktu buat ngeladenin kamu sekarang ya. Kamu salah orang kayaknya deh kalau ngajak aku kenalan. Sorry, aku mau masuk kuliah."Lian langsung beranjak per
"Zia aku ke rak sastra dulu ya. Aku pengen baca-baca novel di sana, kali aja ada novel baru yang baru aja terbit," ujar Lian begitu kami memasuki toko buku yang terbilang lumayan besar yang berada di pusat kota B itu.Zia mengangguk cepat dan Lian pun langsung melangkah ke arah rak yang bertuliskan sastra di atas raknya."Wah lumayan juga buku-buku yang ada di sini. Lumayan banyak dan sepertinya lengkap," ucap Lian dalam hati. Lalu matanya memandang satu persatu judul buku yang ada di rak buku itu beserta ringkasan cerita yang ada di belakangnya sampai pencariannya ke rak buku paling bawah namun buku yang ada di sana tidak ada yang membuatnya selera untuk membeli salah satunya.Lian pun mencari ke sebelahnya, tak dia sangka saat Lian melihat ke rak sebelah. Seorang laki-laki menjatuhkan satu buku yang dia pegang ke lantai dan menimbulkan bunyi bum yang teramat keras akibat dari buku yang terjatuh itu.Lian yang melihat seseorang menjatuh
Seperti dugaan Lian setelah nomer ponselnya di simpan oleh laki-laki yang bernama Axel itu. Tepat malam harinya saat Lian mau beranjak tidur, Axel mengirimkan pesan padanya. Isinya memang nggak lebih dari sekedar pedekate membosankan ala-ala anak muda yang sering Lian tau. Di dalam pesannya, Axel berkata hai lagi apa, udah makan belum, kamu lagi apa dan kata-kata lain yang sangat membosankan yang Lian tau itu tidak lah terlalu penting. Maka dari itu, pesan itu diabaikannya dan lebih baik Lian memilih tidur agar besok Lian bisa pergi ke kampus pagi-pagi seperti biasanya.Tok... Tok... Tok...Baru saja Lian mau menutup tubuhnya dengan menggunakan selimut lalu memejamkan mata. Pintu kamarnya diketuk entah oleh siapa. Setelah orang itu berkata, baru Lian mengerti kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Raisa dengan sikap tidak sabaran."Kak bukain pintunya dong Kak, aku mau ngomong, kok pintunya di kunci sih Kak. Aku jadi nggak bisa masuk nih Kak. Kak
Raisa menelepon Mahesa dengan menggunakan ponselnya. Menunggu apa Mahesa masih ada di dalam rumah atau Mahesa sedang pergi keluar."Gimana? Mahesa ada di dalam nggak? Rumahnya kelihatan sepi gitu. Kayaknya nggak ada orang deh." Lian langsung bertanya begitu Raisa menutup teleponnya dan memperlihatkan wajah yang tak bisa terbaca. Kemungkinan besar kalau laki-laki itu tidak ada di sana. Rumahnya kelihatan sepi banget. Mungkin Mahesa sedang pergi keluar tapi ngapain juga dia pergi malam-malam begini. Aneh. Dari dulu rasanya tidak mungkin kalau Mahesa itu suka keluyuran malam-malam. Dia itu tipe laki-laki baik menurut Lian. Tapi itu dulu saat mereka sedang pacaran entah kalau sekarang. Bisa aja Mahesa sudah berubah."Ya udah kalau gitu, kita pulang saja. Ngapain juga kita nunggu dia di sini kalau orangnya juga nggak ada. Percuma kan." Lian memberi saran pada Raisa."Tapi kak gimana sama es krim yang udah aku buat. Tadi katanya dia ada di rumah tapi
"Mahesa tunggu sebentar, aku mau ngomong," teriak Lian saat dia berjalan di lorong kampus.Tepat saat Lian berjalan berbelok setelah menyelesaikan satu mata kuliah yang baru saja Lian masuki, Lian melihat sosok yang Lian kenal. Siapa lagi kalau bukan Mahesa yang Lian tau dari cara berpakaian Mahesa dan juga cara berjalan Mahesa saat itu.Lian sudah tau persis bagaimana penampilan Mahesa yang sudah diluar kepala. Mahesa selalu memakai kemeja kotak-kotak dengan celana jeans berwarna hitam. Memang tidak selalu Mahesa memakai Kemeja kotak-kotak dan celana baggy hitam. Tapi keseringan Mahesa selalu memakai kemeja entah buat penutup kaosnya atau Mahesa memakai kemeja tersendiri dengan memadu padankan menggunakan celana jeans atau celana baggy yang Mahesa punya.Mahesa yang disebut namanya langsung menoleh ke belakang untuk melihat orang yang memanggilnya tadi.Begitu Mahesa berhenti, Lian langsung berlari mendekati Mahesa yang sedang menunggun