"Duh apa yang salah dengan bawang ini, rasa pedasnya langsung membuat mataku ingin menangis. Alhasil sembari mengupas bawang merah airmataku turun juga. Padahal cuma ngupas bawang kenapa aku malah menangis. Aku emang nggak berguna." Lian menggerutu sembari mengelap airmata yang turun akibat pedasnya bawang yang masuk ke dalam matanya.
Vani yang melihat Lian mengusap airmata terus menerus seraya mengupas bawang tidak tega mendekatinya.
"Udah jangan diterusin, mata kamu nggak tahan tuh buat ngupas bawang. Mama saja yang ngupasin, kamu aja yang mengaduk sopnya. Tinggal sebentar lagi sop ikannya matang. Mama nggak tega lihat kamu begitu terus."
"Ini bawangnya tinggal dikit lagi kok Tan. Udah nggak apa-apa, Lian bisa kok ngupas bawang. Mama nggak usah khawatir."
"Panggil Mama saja jangan Tante. Kamu kan pacarnya Alex dan kamu sama Alex juga udah serius mau menjalin hubungan. Jadi ikuti Alex panggil Mama ya jangan Tante. Mama senang kok kamu panggil M
Setelah semua masakan selesai. Vani mengajak Lian untuk duduk di kursi makan namun Lian merasa kursi yang ada di sana ada 6. Lian juga tidak tahu urutan kursi mana saja yang biasa keluarga ini tempati. Daripada nantinya salah, Lian lebih baik memilih untuk memanggil Alex saja daripada duduk menunggu dengan cangggung bersama Mama mertuanya. Namun saat tahu bahwa Alex ada di kamarnya. Lian menjadi ragu apakah ia akan memanggilnya atau tidak. Masalahnya ia tidak pernah masuk ke dalam kamar laki-laki. Hubungan bersama Mahesa dulunya juga tidak pernah ingin mau masuk ke dalam kamar laki-laki itu. Lian merasa tidak nyaman saja. Makanya ia tidak mau masuk ke sana. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa tapi tetap saja membuat Lian merasa kurang baik jika wanita masuk ke dalam kamar seorang laki-laki. Tapi, sekarang Lian merasa tidak tahu apakah ia akan masuk dan memanggil Alex di sana atau tidak. Lian mengigit bibirnya, jantungnya berdebar kencang dan ia juga resah.
Lian berjalan dengan begitu santai ke meja makan keluarga begitu juga dengan Alex yang mengikuti Lian di belakangnya. Ada dua kursi kosong yang tidak terisi jadi Lian bisa duduki dengan Alex nantinya. Kebiasaan keluarga Alex sebelum makan yaitu Alex sebagai anak tertua dari keluarga itu memimpin doa sebelum makan dan setelahnya kami makan bersama layaknya orang yang sudah saling kenal. Padahal Lian tidak pernah menginginkan hal ini terjadi dan anehnya semua orang yang ada di sana jadi merasa akrab dengannya. Entah apa yang Lian rasakan kini. Perasaannya bercampur aduk antara senang atau sedih. Senang karna semua orang yang ada di sini memperlakukan Lian dengan baik. Lian tak henti-hentinya tersenyum menanggapi semua percakapan yang ada dan sedih apakah Lian akan merasakan hal seperti ini sampai nanti. Takdir tidak ada yang tahu bukan makanya Lian hanya bisa berharap semoga tidak akan berubah, hubungan ini masih terjalin erat sampai keinginan kami bisa terlaks
Sebelum pergi ke kampusnya, Lian ingin menemui Alex terlebih dahulu. Ada yang ingin ia katakan padanya. Ia tahu Alex ada di ruang kerjanya jadi ia memutuskan untuk pergi ke ruang kerjanya dan menyelesaikan masalah yang ada dalam pikirannya. "Ini siapa?" "Ini Elisa. Agak mirip sama Kak Lian tapi masih cantikan Kak Lian sih." "A-aku masih nggak ngerti kenapa kamu nunjukkin foto ini sama aku?" "Aku cuma mau kasih tahu siapa dia. Dia itu teman Kak Axel dari kecil dan Kak Axel patah hati gara-gara dia tapi yang aku tahu Kak Elisa ini selalu deketin Kak Alex terus. Aku takut Kak Lian sakit hati gara-gara kelakuan Kakakku itu. Kakak udah pernah tanya gimana perasaannya saat ini sama Kak Lian?" "Belum." "Saranku sih tanya perasaannya Kak Axel tuh gimana sama Kak Lian biar Kak Lian nggak terluka pada akhirnya. Gresia nggak mau ada yang tersakiti di sini." "K
"Bilang! Siapa dia? Jangan pernah bohong sama aku atau kamu tahu akibatnya Alex." Baru saja duduk, Lian langsung mengintrograsi Alex. Ia tidak ingin berbasa basi. Lebih cepat mengetahuinya lebih baik bukan. Ini yang Lian inginkan jangan pernah ada dusta. Jika memang Alex hanya ingin main-main, Lian tidak suka. Dengan suara yang penuh penekanan dan melengking tinggi. Lian bilang padanya. "Aku bukan wanita yang bisa di ajak main-main Alex. Aku bukan wanita seperti itu. Jika kamu mau main-main jangan sama aku. Lebih baik kamu cari wanita lain. Dan yang pasti lebih bisa memberikan kamu kepuasan. Bukan aku." Alex melihatnya dengan wajah datar dan dingin. Dia kelihatan tidak merasa punya salah sama sekali. Padahal kalau ada laki-laki yang merasa bersalah. Dia pasti akan terlihat ketakutan. Tapi Axel tidak begitu. Dia terlihat percaya diri seolah ini bukan suatu masalah. "Kenapa diam s
Hembusan angin masuk ke dalam kamar yang kini kami tempati. Angin itu masuk melalui sela-sela tirai yang jendelanya sedikit terbuka menerbangkan hordeng yang menutupi jendela. Di luar sana, langit masih gelap. Namun, sudah mau menjelang pagi. Alex melihat jam di nakas yang menunjukkan sudah pukul 5 pagi. Matanya melirik dimana seseorang tertidur teramat pulas di sampingnya. Hembusan nafasnya begitu teratur. Ia bermimpi indah. Alex bergerak untuk mengamati bagaimana wajah dari seorang Lian bisa hadir di dalam kehidupannya. Beberapa bulan ia bersama dan merasa ia tidak cukup waktu melewati kebersamaan mereka berdua. Tangannya terulur ingin menyentuh wajah yang terlelap itu. Alex kira sentuhannya tidak akan membuat Lian terbangun. Namun kenyataannya tidak begitu. Kelopak mata dengan bulu mata yang indah terbuka dan matanya melihat satu titik dimana Alex sedang melihatnya juga.
Hari ini Lian mendapat kerja shift pagi. Ada dua shift di cafe ini, shift pagi dan sore. Shift pagi dari jam setengah 7 pagi sampai jam 2 siang sementara shift sore dari jam 2 siang sampai jam 11 malam. Dan hari ini Lian kebagian shift pagi. Pagi-pagi begini pelanggan yang datang tidak menentu, kadang banyak tapi kadang juga sedikit. Mungkin itu juga tergantung dari cuaca. Jika cuacanya cerah banyak juga yang datang untuk memakan sarapan. Tapi kalau hujan kadang yang datang sedikit dan itu juga nggak tentu sih. Lian tahu bahwa Alex membuat cafe yang bernama My Deli Food ini menyuguhkan makanan anak muda seperti warung-warung di pinggir jalan. Karena bertempat di kawasan yang terkenal dengan banyaknya apartemen dan perkantoran harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau bagi mereka yang suka makan di luar. Ketukan jari di pintu membuat Lian terbangun dari lamunannya yang panjang. "Hm kayaknya ada yang
"Mahesa lepas! Sudah ku bilang setelah ini aku itu masih ada kuliah. Kalau kamu mau mengajak aku pergi nanti, setelah aku selesai kuliah. Aku nggak mau membolos. Kamu ngerti nggak sih?" "Diamlah! Kamu menyebalkan sekali. Kamu itu tidak cocok kalau merengek begitu. Ikuti saja kemauan aku. Toh kuliah tadi juga nggak penting-penting amat. Aku tahu pasti kamu bisa dapat nilai bagus di mata kuliah itu. Lagipula aku juga nggak ada waktu buat menunggu kamu sampai selesai kuliah. Aku mau pergi sama kamu. Sekarang! Nggak ada alasan." Mahesa menarik Lian dari keluar kelas, membawanya entah kemana yang membuat ia setengah berlari mengikutinya sampai Lian menyerah tidak bisa menolak. Kakinya tak cukup lebar untuk mengikuti langkah Mahesa yang lebar-lebar itu sehingga membuatnya terenggah-enggah seperti orang berlari cukup jauh. Menyamai langkahnya seperti mimpi buruk saja. Ia tidak bisa seperti ini terus. "Mahesa ... bisa nggak sih kamu mengajak aku pelan sedikit
Bruk ... "Kak ... Kak Lian, Kak Lian ini aku Raisa. Buka dong pintunya." Baru saja Lian mau merebahkan tubuhnya di tempat tidur, Raisa berteriak-teriak ingin dibukakan pintu kamarnya. "Ada apa sih. Kakak mau tidur nih." "Kak aku dapat telepon katanya Kak Mahesa sama Kak Axel berkelahi Kak. Ayo Kak kita temui mereka. Aku takut mereka terluka parah. Aku nggak mau hal itu terjadi." "Kamu dapat telepon dari siapa. Bisa jadi itu orang iseng yang telepon kamu. Jangan percaya. Lagian ini udah malam mana mungkin Mama mau kasih izin keluar. Tuh lihat jam berapa sekarang? Jam 10 malam. Nggak mau. Kakak nggak mau ikut campur. Kalau mereka berantem. Kakak nggak mau terlibat. Bodo amat." "Kakak kok begitu. Ini yang berantem nggak cuma Kak Mahesa tapi Kak Axel juga berantem. Kakak jangan egois begitu. Kita harus melerai mereka. Raisa takut terjadi apa-apa." "Mereka udah dewasa Raisa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Kamu jangan terlalu k