Untuk ke sekian kalinya, Lian memandang penampilannya pada sebuah kaca yang cukup besar yang ada di dalam kamarnya. Ia tidak bisa percaya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan keluarga Alex. Semua keluarganya berkumpul hanya untuk makan bersama dan dia ada di sana duduk bergabung bersama semua keluarga Axel sambil mengobrol entah apa.
Hufh ... rasanya begitu mengerikan.
"Argh ... bodo amat," teriak Lian terlihat begitu frustasi setelah selesai memakai gaun ungu yang dibawahnya terdapat renda-renda yang cukup cantik menurutnya. Gaun ini kepunyaan Raisa. Ia tidak mempunyai banyak gaun karna Lian merasa ia tidak cukup pantas memakainya dan lagi memakai gaun bukan passionnya. Ia lebih suka memakai kaos dan celana ketimbang gaun yang bisa membuatnya tidak leluasa bergerak.
Raisa terkejut begitu mendapati Lian hanya memakai gaun dan belum memakai polesan apa-apa. Wajahnya tampak begitu pucat pasi padahal Kak Alex sudah menunggunya sejak tadi. Ia menjadi bingg
"Duh apa yang salah dengan bawang ini, rasa pedasnya langsung membuat mataku ingin menangis. Alhasil sembari mengupas bawang merah airmataku turun juga. Padahal cuma ngupas bawang kenapa aku malah menangis. Aku emang nggak berguna." Lian menggerutu sembari mengelap airmata yang turun akibat pedasnya bawang yang masuk ke dalam matanya. Vani yang melihat Lian mengusap airmata terus menerus seraya mengupas bawang tidak tega mendekatinya. "Udah jangan diterusin, mata kamu nggak tahan tuh buat ngupas bawang. Mama saja yang ngupasin, kamu aja yang mengaduk sopnya. Tinggal sebentar lagi sop ikannya matang. Mama nggak tega lihat kamu begitu terus." "Ini bawangnya tinggal dikit lagi kok Tan. Udah nggak apa-apa, Lian bisa kok ngupas bawang. Mama nggak usah khawatir." "Panggil Mama saja jangan Tante. Kamu kan pacarnya Alex dan kamu sama Alex juga udah serius mau menjalin hubungan. Jadi ikuti Alex panggil Mama ya jangan Tante. Mama senang kok kamu panggil M
Setelah semua masakan selesai. Vani mengajak Lian untuk duduk di kursi makan namun Lian merasa kursi yang ada di sana ada 6. Lian juga tidak tahu urutan kursi mana saja yang biasa keluarga ini tempati. Daripada nantinya salah, Lian lebih baik memilih untuk memanggil Alex saja daripada duduk menunggu dengan cangggung bersama Mama mertuanya. Namun saat tahu bahwa Alex ada di kamarnya. Lian menjadi ragu apakah ia akan memanggilnya atau tidak. Masalahnya ia tidak pernah masuk ke dalam kamar laki-laki. Hubungan bersama Mahesa dulunya juga tidak pernah ingin mau masuk ke dalam kamar laki-laki itu. Lian merasa tidak nyaman saja. Makanya ia tidak mau masuk ke sana. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa tapi tetap saja membuat Lian merasa kurang baik jika wanita masuk ke dalam kamar seorang laki-laki. Tapi, sekarang Lian merasa tidak tahu apakah ia akan masuk dan memanggil Alex di sana atau tidak. Lian mengigit bibirnya, jantungnya berdebar kencang dan ia juga resah.
Lian berjalan dengan begitu santai ke meja makan keluarga begitu juga dengan Alex yang mengikuti Lian di belakangnya. Ada dua kursi kosong yang tidak terisi jadi Lian bisa duduki dengan Alex nantinya. Kebiasaan keluarga Alex sebelum makan yaitu Alex sebagai anak tertua dari keluarga itu memimpin doa sebelum makan dan setelahnya kami makan bersama layaknya orang yang sudah saling kenal. Padahal Lian tidak pernah menginginkan hal ini terjadi dan anehnya semua orang yang ada di sana jadi merasa akrab dengannya. Entah apa yang Lian rasakan kini. Perasaannya bercampur aduk antara senang atau sedih. Senang karna semua orang yang ada di sini memperlakukan Lian dengan baik. Lian tak henti-hentinya tersenyum menanggapi semua percakapan yang ada dan sedih apakah Lian akan merasakan hal seperti ini sampai nanti. Takdir tidak ada yang tahu bukan makanya Lian hanya bisa berharap semoga tidak akan berubah, hubungan ini masih terjalin erat sampai keinginan kami bisa terlaks
Sebelum pergi ke kampusnya, Lian ingin menemui Alex terlebih dahulu. Ada yang ingin ia katakan padanya. Ia tahu Alex ada di ruang kerjanya jadi ia memutuskan untuk pergi ke ruang kerjanya dan menyelesaikan masalah yang ada dalam pikirannya. "Ini siapa?" "Ini Elisa. Agak mirip sama Kak Lian tapi masih cantikan Kak Lian sih." "A-aku masih nggak ngerti kenapa kamu nunjukkin foto ini sama aku?" "Aku cuma mau kasih tahu siapa dia. Dia itu teman Kak Axel dari kecil dan Kak Axel patah hati gara-gara dia tapi yang aku tahu Kak Elisa ini selalu deketin Kak Alex terus. Aku takut Kak Lian sakit hati gara-gara kelakuan Kakakku itu. Kakak udah pernah tanya gimana perasaannya saat ini sama Kak Lian?" "Belum." "Saranku sih tanya perasaannya Kak Axel tuh gimana sama Kak Lian biar Kak Lian nggak terluka pada akhirnya. Gresia nggak mau ada yang tersakiti di sini." "K
"Bilang! Siapa dia? Jangan pernah bohong sama aku atau kamu tahu akibatnya Alex." Baru saja duduk, Lian langsung mengintrograsi Alex. Ia tidak ingin berbasa basi. Lebih cepat mengetahuinya lebih baik bukan. Ini yang Lian inginkan jangan pernah ada dusta. Jika memang Alex hanya ingin main-main, Lian tidak suka. Dengan suara yang penuh penekanan dan melengking tinggi. Lian bilang padanya. "Aku bukan wanita yang bisa di ajak main-main Alex. Aku bukan wanita seperti itu. Jika kamu mau main-main jangan sama aku. Lebih baik kamu cari wanita lain. Dan yang pasti lebih bisa memberikan kamu kepuasan. Bukan aku." Alex melihatnya dengan wajah datar dan dingin. Dia kelihatan tidak merasa punya salah sama sekali. Padahal kalau ada laki-laki yang merasa bersalah. Dia pasti akan terlihat ketakutan. Tapi Axel tidak begitu. Dia terlihat percaya diri seolah ini bukan suatu masalah. "Kenapa diam s
Hembusan angin masuk ke dalam kamar yang kini kami tempati. Angin itu masuk melalui sela-sela tirai yang jendelanya sedikit terbuka menerbangkan hordeng yang menutupi jendela. Di luar sana, langit masih gelap. Namun, sudah mau menjelang pagi. Alex melihat jam di nakas yang menunjukkan sudah pukul 5 pagi. Matanya melirik dimana seseorang tertidur teramat pulas di sampingnya. Hembusan nafasnya begitu teratur. Ia bermimpi indah. Alex bergerak untuk mengamati bagaimana wajah dari seorang Lian bisa hadir di dalam kehidupannya. Beberapa bulan ia bersama dan merasa ia tidak cukup waktu melewati kebersamaan mereka berdua. Tangannya terulur ingin menyentuh wajah yang terlelap itu. Alex kira sentuhannya tidak akan membuat Lian terbangun. Namun kenyataannya tidak begitu. Kelopak mata dengan bulu mata yang indah terbuka dan matanya melihat satu titik dimana Alex sedang melihatnya juga.
Hari ini Lian mendapat kerja shift pagi. Ada dua shift di cafe ini, shift pagi dan sore. Shift pagi dari jam setengah 7 pagi sampai jam 2 siang sementara shift sore dari jam 2 siang sampai jam 11 malam. Dan hari ini Lian kebagian shift pagi. Pagi-pagi begini pelanggan yang datang tidak menentu, kadang banyak tapi kadang juga sedikit. Mungkin itu juga tergantung dari cuaca. Jika cuacanya cerah banyak juga yang datang untuk memakan sarapan. Tapi kalau hujan kadang yang datang sedikit dan itu juga nggak tentu sih. Lian tahu bahwa Alex membuat cafe yang bernama My Deli Food ini menyuguhkan makanan anak muda seperti warung-warung di pinggir jalan. Karena bertempat di kawasan yang terkenal dengan banyaknya apartemen dan perkantoran harga yang ditawarkan juga relatif terjangkau bagi mereka yang suka makan di luar. Ketukan jari di pintu membuat Lian terbangun dari lamunannya yang panjang. "Hm kayaknya ada yang
"Mahesa lepas! Sudah ku bilang setelah ini aku itu masih ada kuliah. Kalau kamu mau mengajak aku pergi nanti, setelah aku selesai kuliah. Aku nggak mau membolos. Kamu ngerti nggak sih?" "Diamlah! Kamu menyebalkan sekali. Kamu itu tidak cocok kalau merengek begitu. Ikuti saja kemauan aku. Toh kuliah tadi juga nggak penting-penting amat. Aku tahu pasti kamu bisa dapat nilai bagus di mata kuliah itu. Lagipula aku juga nggak ada waktu buat menunggu kamu sampai selesai kuliah. Aku mau pergi sama kamu. Sekarang! Nggak ada alasan." Mahesa menarik Lian dari keluar kelas, membawanya entah kemana yang membuat ia setengah berlari mengikutinya sampai Lian menyerah tidak bisa menolak. Kakinya tak cukup lebar untuk mengikuti langkah Mahesa yang lebar-lebar itu sehingga membuatnya terenggah-enggah seperti orang berlari cukup jauh. Menyamai langkahnya seperti mimpi buruk saja. Ia tidak bisa seperti ini terus. "Mahesa ... bisa nggak sih kamu mengajak aku pelan sedikit
Pernikahan yang telah di tunggu-tunggu itu pun akhirnya terjadi dan terlaksana. Setelah sekian lama kami merajut suatu hubungan, kami memutuskan untuk melanjutkan kepada hubungan serius apalagi kalau bukan menikah.Tentu saja semua yang terjadi membuatku bahagia. Tidak ada rasa sedih sama sekali. Aku bahagia. Ku pikir yang tadinya aku merasa ragu dengan kenyataan. Nyatanya tidak begitu. Pertanyaan demi pertanyaan masuk ke dalam hati. Haruskah aku menikah dengan Alex. Apakah bisa aku menjalaninya bersama dia? Apakah hubungan kami akan baik-baik saja nantinya? Apakah kami akan bersama tanpa ada permasalahan yang timbul. Semua pertanyaan itu selalu saja ada selama waktu menunggu pernikahan itu terjadi.Tapi segera aku tepis ketika Alex dengan lantangnya mengucapkan janjinya pada penghulu. Memberikanku keyakinan kalau dia memang yang terbaik untukku.Dengan sorot mata tegas dia berikrar akan menjalani pernikahan bersamaku. Detik itu juga ada rasa lega da
Setelah taksi itu berhenti tepat di depan rumah Mahesa. Raisa dengan semangat turun dari taksi lalu melangkah masuk ke dalam rumah Mahesa. Pintu gerbang tak di kunci jadi dia langsung masuk dan mengentuk pintu depannya. Raisa menunggu dengan sabar sampai sepuluh menit kemudian Mahesa membuka pintu dengan penampilan yang sudah terlihat rapi. Pakaian yang biasa di pakai tidak seperti ini. Sekarang dia sudah menggunakan jaket yang menutupi tubuh atletisnya."Kak aku datang untuk menemuimu dan juga aku ingin kita pergi bersama. Aku sudah membuatkan bekal untuk kita berdua. Kita akan berpiknik dan mengunjungi satu tempat. Gimana? Kak Mahesa nggak sibuk kan? Ayolah kita pergi, lihat di luar sana. Hari ini terlihat begitu cerah jadi kita jangan membuang-buang waktu tanpa berpergian.""Hm ... aku tidak bisa. Aku harus melakukan sesuatu hari ini dan ... masuklah dulu, kita sebaiknya bicara di dalam. Aku akan memberitahu sesuatu untukmu."Raisa menelan salivanya karna uca
Raisa menatap penampilannya yang sudah rapi itu pada sebuah kaca yang di letakkan tak jauh dari tempat tidurnya. Dia mengamati penampilannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk keluar dari kamarnya.Sebelumnya dia merasa frustasi dengan gaun apa yang dirasa cocok untuk dia gunakan. Dia sudah berkali-kali memakai gaun yang dinilainya sempurna untuk bertemu seseorang tapi setelah dipakai kenyataannya tak terlihat cocok untuk dia pakai. Raisa menggerutu karna rasanya tak ada gaun yang menarik minatnya. Tapi saat melihat salah satu gaun tersisa yang belum dia coba, Raisa mencobanya dan sangat pas untuk tubuhnya. Akhirnya pilihan terakhir adalah gaun yang dia pakai ini. Bermotif bunga kecil berwarna kuning cerah.Merasa sudah baik semua, Raisa mengambil tas slempangnya dan keluar dari kamar. Langkahnya menuju ke dapur dimana dia sudah mempersiapkan sesuatu untuk Mahesa. Sesuatu yang akan membuatnya melupakan perasaannya pada Lian.Setelah Raisa tahu kalau Alex t
Lian membuka mata dan langsung menatap langit-langit kamar yang tak pernah berubah sedikit pun. Rasa pusing menyerang kepalanya. Namun dia abaikan. Semua itu penyebabnya adalah rasa lelah yang dia derita dan airmata yang ia tumpahkan sejak semalam. Pertemuannya dengan Mahesa menyisakan sebuah pertanyaan dan duka yang masih ada, dia tidak bisa menjawabnya tapi rasanya ia yakin kalau memang itu yang terbaik untuk mereka berdua.Tatapan terakhir dari sorot matanya itu mengisyaratkan betapa dia sangat mencintainya. Sungguh, hatiku berkata demikian. Tak mungkin kalau hanya sekedarnya saja dan bodohnya lagi, sentuhan yang diberi olehnya juga tak bisa membuat tubuhku menolak sedikit pun. Sangat memalukan. Jelas-jelas aku menerimanya dan tak berdusta ketika aku juga menginginkan hal yang sama.Tapi lagi-lagi aku berpikir, aku tak mau jatuh ke titik yang sama seperti dulu meskipun dengan satu alasan yang sama, Mahesa mencintaiku, aku tidak berbalik arah.Aku
Malam itu Raisa ingin memberi kejutan pada Mahesa. Dia sudah membuat sebuah coklat spesial untuknya. Mahesa pasti suka dengan coklat buatannya. Dulu dia bilang rasa coklat yang Raisa buat tergolong unik dan enak. Mahesa menyukainya dan sekarang Raisa akan memberinya lagi untuknya dengan tujuan supaya dia bisa lebih dekat dengan laki-laki itu.Raisa tak sabar ingin mengetahui bagaimana reaksinya saat Raisa membawakan coklat ini untuknya. Raisa tersenyum begitu mengingat wajah Mahesa yang tampak terkejut mengetahui Raisa yang begitu perhatian.Taksi pun berhenti di depan rumah Mahesa dan tanpa ragu kakinya melangkah mendekati rumah Mahesa membuka pintu gerbang yang tidak terkunci lalu mengetuk pelan pintu depan rumahnya.Tak lama kemudian pintu itu pun terbuka dengan penampilan Mahesa yang sedikit berantakan. Raisa mengernyit memandang laki-laki itu yang tidak rapi seperti biasanya. Namun berbeda dengan Mahesa. Dia malah tampak terkejut mendapati Raisa berdiri di
Merasa istirahatku sudah cukup, aku pun membuka mata dan merenggangkan tanganku. Setelah tidur panjang dan meminum obat yang di beri Lian, pusingku sudah menghilang. Aku melihat ke sekeliling dan sempat merasa tak sadar aku dimana. Kini aku mendapati aku berada di dalam kosong dan tak berpenghuni.Aku beranjak ke kamar mandi untuk membasuh mukaku lalu keluar untuk mengganti pakaianku yang terasa lembab dan sudah berbau keringat. Pendingin ruangan yang menyala tidak membuat suhu tubuhku menjadi dingin malah membuatku berkeringat. Mungkin efek dari aku meminum obat itu yang membuat aku merasakan sedikit lebih berkeringat.Kakiku melangkah keluar dan mencari dimana keberadaan Lian. Dia berjanji menungguku dan ku pastikan dia masih berada di rumah ini.Ternyata Lian sedang memasak sesuatu di dapur. Baunya harum dan sepertinya dia lumayan jago memasak. Mahesa berdeham dan Lian pun menoleh untuk melihat. Mahesa berdiri di depan pintu su
"Aku tahu kamu semalam sama siapa Mahesa."Lian pagi itu datang ke rumah Mahesa dengan sengaja karna dia tahu harus melakukan sesuatu. Lian butuh penjelasan dan Mahesa harus memberitahunya kalau tidak dia harus melakukan sesuatu menekannya agar menjauh dari hidup mereka."Masuk!" Mahesa berucap tegas dan memerintah. Mahesa menyingkir memberi jalan untuk Lian masuk ke dalamnya."Aku tidak mau berlama-lama di sini Mahesa. Aku harus kerja dan aku butuh penjelasanmu sekarang. Aku tidak mau berbohong jawablah jujur dan aku segera pergi.""Aku salah apalagi?""Kamu yang mengantar Raisa tadi malam? Mama khawatir saat tahu Raisa tidak ada di rumah tadi malam. Dia meneleponku dan menanyakan apakah Raisa ada di tempatku atau tidak dan jawabannya siapa lagi kalau bukan ada di rumahmu. Kamu menyuruhnya untuk ke rumahmu? Malam-malam begitu?""Duduk lah aku sedang pusing terlalu banyak alkohol yang ku minum semalam."Lian tetap berdiri di san
Aku merasa sedang bermimpi saat ini. Sesuatu yang mustahil aku lakukan dan itu demi satu nama Mahesa. Ya karna dia aku berada di sini. Di suatu club yang tidak pernah aku injak dimana pun itu.Suara alunan musik terdengar begitu keras dari luar dan itu membuat telinga yang tidak terbiasa mendengar suara musik ini ingin menutup telinga namun rasanya sangat bodoh, orang lain terbiasa lalu mengapa aku harus menutup telinga demi semua itu. Aku biarkan semua itu dan bersikap sewajarnya.Seperti dugaanku tidak hanya musik yang mengalun begitu keras aroma pekat dari alkohol bercampur dengan nikotin tercium ke dalam indera penciumanku."Oh yang benar saja, aku tak menyukai bau ini, mengapa dia membiarkanku masuk dan mencium aroma ini," gerutuku dalam hati.Mahesa meneleponku dan aku terpaksa menemuinya karna ku tahu dari suaranya dia terdengar sangat membutuhkanku. Nekat aku pun datang ke sini untuk mencarinya.Begitu berada di dalam aku
Bugg ...Satu pukulan mengenai mata Mahesa, Alex ingin memukulnya kembali namun langsung di tangkis oleh Mahesa. Mahesa waspada dan tak lupa menahan diri agar tak tersulut emosi. Tadinya dia tidak tahu kalau Alex akan memukulnya. Setelah pukulan menyentuh wajahnya baru dia sadar kalau dia dalam bahaya.Mahesa menyeringai, memandang satu arah dimana lawannya saat ini sedang berdiri tegak memandang sengit ke arahnya.Mahesa memang tak belajar beladiri tapi dia tahu harus bertindak bagaimana saat ini. Mengalah tak akan pernah membuat lawannya tahu kalau yang sebenarnya dari satu pukulan itu tidak akan baik untuk ke depannya. Memukul memang tidak sulit tapi tak kan bisa menyelesaikan masalah. Itu yang sebenarnya dia inginkan untuk Alex sendiri. Kalau dia suka memukul pasti ke depannya juga sikapnya tak jauh berbeda. Bagaimana dengan Lian nantinya kalau mereka bersama?Mahesa mengusap hidungnya dengan cepat lalu memasang kuda-kuda dan segera