Raisa berjalan lebih dulu ke ruang makan sementara Lian mengikuti di belakangnya. Kami duduk di kursi kosong yang telah di sediakan. Raisa duduk di samping Mahesa. Sementara Lian duduk tepat di depan dia.
Lian memandang satu persatu orang yang ada di sana sampai tepat pandangannya terhenti pada orang tua Mahesa. Raline, Mama dari Mahesa memberikan senyumnya padaku. Lian yang menyadari telah di beri senyum olehnya langsung membalas senyum itu meskipun terlihat kaku.
Sampai pandanganku tertuju pada Mahesa yang saat itu juga memandangku, membuat kami terdiam dan tidak mengatakan sepatah kata pun. Padahal yang seharusnya terjadi bukan begitu. Seharusnya kami saling berbincang santai dan saling menanyakan kabar kami masing-masing. Namun yang terjadi seperti mimpi buruk saja. Mahesa tak lagi jadi laki-laki yang dulu sangat aku cintai, parasnya dingin dan datar. Tak ada lagi wajah berseri senang saat melihatku. Dia memang cocok seperti itu biar aku tak lagi menyerah dengan perasaan benciku padanya.
Dan aku yakin saat ini aku pun memperlihatkan raut wajah tak senang padanya. Itu bisa terlihat dengan sikap kaku yang dimilikinya saat ini.
Seperti inikah rasanya pura-pura tidak mengenal laki-laki yang dulunya sangat ku cintai?
Dia pun juga melakukan hal yang sama sepertiku. Berpura-pura tidak kenal. Padahal dulu dia yang menggenggam tanganku, padahal dulu dia yang menyuarakan isi hatinya kalau hanya aku yang dia cintai, padahal dulu dia yang selalu berjanji tidak akan pernah melepasku.
Namun, setelah aku melihat sendiri dari satu titik ke titik lain perpisahan kami yang sangat menyakitkan. Bisa ku lihat bagaimana dia dengan mudahnya menggantikan aku dengan wanita lain. Dia tidak bisa mengatakan pada orang tuanya bahwa aku ini wanita yang tadinya adalah pacar dan juga calon istrinya. Dari sanalah aku bisa menyimpulkan sesuatu kalau ternyata Mahesa tak sebaik itu.
***
Acara makan malam itu bisa di bilang sangat santai dengan percakapan santai para orang tua dan tentunya percakapan santai antara Raisa dan Mahesa yang terjadi di depanku ini. Aku tidak menyangka kalau aku berada di sini hanyalah sebagai pelengkap saja. Hanya bisa menjadi pendengar yang baik antara semua orang yang ada di meja makan sampai Mama dari Mahesa bertanya padaku saat aku mengaduk-aduk makan yang membuatku tidak begitu berselera.
"Nama anak gadismu siapa ya jeng?" tanya Raline sembari melirikku yang masih saja menunduk. Tidak tau kalau saat itu sedang di bicarakan.
"Oh itu Lian. Kakak Raisa."
"Lian, Tante dengar kamu sekarang sedang kuliah ya?"
Begitu namaku di sebut, aku langsung menaruh sendok itu di piring. Aku mencoba untuk bersikap sopan pada kedua orangtua Mahesa. Meskipun aku tau, aku sudah tidak bersemangat untuk berada di sini.
"Benar Tante. Aku masih kuliah semester 5."
"Wah kalau begitu sama dengan Mahesa ya."
Ku lirik Mahesa yang saat ini di sebut oleh Raline. Dia menegakkan duduknya begitu namanya di sebut oleh Mamanya. Wajahnya masih saja terlihat datar seperti biasa tanpa ada usaha untuk menanggapi ucapan Mamanya. Sudah ku duga, seharusnya aku juga bersikap sama seperti dia. Bersikap acuh meskipun aku tau banyak tentang hubungan kami.
"Kamu kuliah dimana sayang?"
"Aku kuliah di UNSI Tante."
"UNSI? itu kan kampusnya Mahesa juga. Wah kebetulan banget ya. Jangan-jangan kalian satu jurusan lagi atau satu angkatan juga?"
Aku melirik Mahesa kembali. Dia masih saja diam tanpa menanggapi perkataan Mamanya. Suasana makan di sana menjadi canggung karna hanya aku saja yang menjawab pertanyaan itu sementara yang lainnya sibuk menyimak obrolan antara aku dan Raline. Bagaimana mungkin aku yang selalu menjawab pertanyaan itu sementara yang lain tidak mengalihkan pembicaraan. Aku rasa aku akan semakin terpojok jika Raline terus menerus bertanya padaku. Bisa-bisa dia bertanya sampai aku punya pacar atau tidak.
"Aku nggak tau. Mungkin saja Tante, aku tidak pandai bergaul soalnya. Aku selalu saja pulang dan pergi. Tidak tau siapa-siapa. Maaf."
"Ah tidak apa-apa. Barangkali kamu kenal sama Lian, Mahesa? Kalau kalian satu kampus, kalian bisa pulang pergi bareng. Kita kan udah jadi saudara. Benar begitu Jeng?" tanya Raline yang kemudian di susul dengan senyumnya yang merekah. Terlihat sekali bagaimana wajah cantik itu melekat sempurna di wajahnya itu.
"Maaf Tante rasanya tidak perlu. Aku bisa pulang dan pergi sendiri. Aku tidak mau merepotkan Mahesa. Mahesa bisa saja sibuk dengan kuliahnya dan dia juga pasti sibuk dengan hubungannya sama Raisa. Aku nggak mau jadi penganggu dalam hubungan mereka."
"Kakak kenapa bilang begitu, aku nggak apa kok kalau Kak Mahesa bisa membantu Kak Lian. Aku tidak merasa terbebani. Aku akan senang hati melihat betapa akrabnya keluarga ini."
"Raisa kenapa begitu. Lian saja tidak mau kenapa kamu memaksa dia harus ikut tawaran kamu? Mama rasa Lian sudah bisa mengurus dirinya sendiri jadi tidak perlu ikut campur Mahesa segala."
Merasa tidak nyaman dengan situasinya aku lebih baik memilih untuk pergi dari sini. Karna sedari tadi yang aku rasa, mereka hanya diam dan menyimak. Aku seperti orang yang bersalah saja. Daripada aku menjadi sasaran nantinya, lebih baik aku undur diri. Aku tau jika aku terlalu banyak bicara pasti Mama akan memarahiku karna aku tidak sopan. Mahesa yang seharusnya berbicara, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak mau begini.
"Maaf Tante, aku harus ke toilet. permisi semuanya."
Aku langsung pergi ke toilet supaya aku tidak lagi di tanya-tanya. Sampai di toilet dan mengunci pintunya. Yang ku lakukan hanyalah berdiam diri dengan meruntuki nasibku. Sampai kapan aku harus berpura-pura begini. Aku ingin cepat lulus dan pergi dari rumah ini agar aku tidak di pertemukan lagi sama Mahesa dan keluarganya.
Lima menit berlalu aku keluar dari toilet dan keluar diam-diam ke taman belakang. Aku duduk di ayunan sambil menunduk. Pikiranku masih belum tenang karna pertanyaan yang di berikan Raline.
"Sudah ku duga kamu pasti pergi ke sini."
Suara khas itu sudah sangat aku kenali. Siapa lagi kalau bukan Mahesa yang berdiri di sana. Aku tidak mengangkat kepala untuk melihatnya. Untuk apa? Dia tidak berusaha untuk membantuku tadi. Malah bersikap acuh seolah tidak tau apa-apa. Baiklah kalau begitu, aku akan melakukan hal yang sama.
"Ngapain kamu ke sini? Kamu nggak takut ada yang tau kalau kamu ketemu aku. Nanti di kira kita ada apa-apa lagi. Aku nggak mau di bilang perebut pacar orang ya. Lebih baik kamu pergi sana. Balik ke dalam bersama dengan Raisa."
Mahesa mendecak kemudian dan aku makin membenci itu.
"Pergi sana gue nggak suka sama lo!" bentak Lian pada Mahesa dan itu sukses membuat si tersangka alias Mahesa benggong detik itu juga.
Lian sedang tidak baik-baik saja saat ini. Bagaimana bisa baik-baik saja kalau mata ini memandang begitu jelas keberadaan Mahesa yang ada di hadapannya namun berpura-pura lupa seolah tidak tau siapa aku yang sebenarnya.Jelas saja itu membuatku sakit hati yang begitu dalam pada dirinya. Apalagi semua itu dia lakukan di depan kedua orangtuaku dan juga kedua orangtuanya.Kemarin Mahesa pernah bilang padaku kalau dia melakukan hubungan dengan adikku adalah sebuah keterpaksaan. Namun yang ku lihat tidak begitu. Dengan sabarnya dia memperlakukan adikku sebagai orang yang di kasihinya. Menanggapi setiap obrolan Raisa seperti orang yang sudah kenal satu sama lainnya dan terkadang tidak sungkan memperlihatkan kemesraan di depan banyak orang. Apa begitu yang dinamakan keterpaksaan?Ah benar-benar munafik. Kata-kata yang diberi tidak sama dengan realita yang ada. Lian tidak pernah meragukan bakat akting terpendam yang dimiliki seorang Mahesa. Mahesa patu
Satu kuliah telah terlewati, tinggal satu kuliah lagi dan setelahnya hari ini selesai. Lian dan Zia keluar kelas untuk makan siang terlebih dahulu lalu setelahnya kami masuk kelas lagi untuk kuliah.Saat kami melewati lapangan, Lian tak sengaja melihat Mahesa yang berjalan bersama dengan teman-temannya mengarah pergi ke tempat yang sama yaitu kantin. Lian berusaha untuk diam meskipun Lian tau kalau Mahesa yang sedang berjalan di sana juga tak sengaja melihat ke arahnya.Begitu sampai di kantin, suasana ramai sangat terasa di sana. Memang jam sekarang adalah jam istirahat, makanya banyak yang makan di jam-jam segini. Begitu juga dengan meja yang ada di kantin itu, semuanya sudah terlihat terisi."Wah ramai sekali ya, kita bisa nggak ya makan di sini? Penuh, kayaknya nggak akan bisa deh. Kecewa," ujar Zia yang melihat betapa banyaknya orang yang berada di sana."Kalau gitu kita beli roti saja lalu makan di taman, gimana?" Zia kembali
"Yah hujan, gimana kita bisa pulang ya," ujar Zia yang saat ini sedang berdiri di sampingku. Kami mau pulang ke rumah tapi hujan turun seketika membuat kami berteduh di halte kampus."Kita tunggu sebentar lagi aja. Kali aja hujannya berhenti. Nggak usah kecewa gitu ah kayak kenapa aja.""Bener sih. Tapi ini deres banget Lian. Kayaknya kita bakalan pulang telat nanti deh. Bisa-bisa kita pulang jam setengah tujuh lewat."Lian berusaha acuh dengan menggerakkan bahunya ke atas. Tak tau harus bilang apa di saat seperti ini. Hujan adalah anugerah dari Allah, siapa yang tau akan diturunkan hujan saat kami mau pulang.Bersabar, itu yang bisa Lian lakukan sekarang. Menerobos hujan sama saja dengan berakhir dengan baju yang akan basah nantinya dan akan tercetak bagaimana bentuk tubuh bagian atasnya saat ini.Lian menggunakan kemeja putih longgar yang nyaman untuk Lian kenakan jika ada acara at
Mobil Mahesa berhenti di depan rumahku. Aku sudah bilang sama dia kalau aku di turunkan saja tak jauh dari rumah. Tapi Mahesa tetap keukeh sama pendiriannya dan bilang kalau dia tidak mau aku kehujanan. Alhasil yang terjadi sekarang membuat aku tidak bisa berkutik di depan Mama dan Raisa.Suara mobil Mahesa yang berhenti itu terdengar sampai ke dalam rumah dan itu membuat Raisa langsung membuka pintu dan berteriak senang memanggil nama Mahesa.Namun setelah aku keluar dari mobil Mahesa. Raut wajah senang Raisa itu tergantikan dengan raut wajah binggung bercampur penasaran. Kenapa bisa aku ada di dalam mobil pacarnya.Aku langsung berlari ke depan teras begitu keluar dari mobil dan berdiri di depan Raisa dan juga Mama yang baru saja datang dari dalam rumah."Kakak sama Kak Mahesa kenapa bisa satu mobil.""Itu." Aku merasa kesulitan untuk mengatakannya. Ada perasaan tidak enak ma
Sebelumnya Lian tidak mengetahui apa yang tengah terjadi antara Raisa dengan Mahesa. Namun, setelah Raisa menceritakan tentang Mahesa yang suka menceritakan wanita lain di saat mereka sedang bersama membuat Lian miris mengetahui hal itu.Sebagai wanita sekaligus Kakak dari Raisa sendiri. Lian tidak bisa menerima atas kenyataan yang terjadi antara mereka berdua. Berani benar Mahesa cerita tentang wanita lain di saat mereka sedang bersama. Memangnya adikku itu dianggap apa? Aku sebagai Kakaknya tidak bisa terima. Apa sih yang ada di dalam pikiran Mahesa itu? Aku tidak suka dia memperlakukan adikku seperti itu. Seperti tidak dianggap sama sekali.Bagaimana pun Mahesa kan sudah menginginkan Raisa sebagai pacar sekaligus calon istri untuknya kelak. Untuk masa depannya. Masa ya Raisa harus menderita begini. Siapa sih yang mau mendengarkan wanita lain di saat mereka sedang bersama. Padahal yang Lian dengar hubungan mereka juga belum terlalu lama tapi Raisa sudah mendapatkan k
Lian tidak bisa pergi karna tangannya saat ini di tahan oleh laki-laki yang tidak tau siapa sebenarnya.Lian melihat dari bawah sampai atas bagaimana penampilan laki-laki itu dan tak di sangka penampilan yang hadir di depannya Lian rasa sangat mengagumkan. Bisa di bilang boleh juga. Lian berusaha untuk tidak memberikan emosi berlebih dan ingin tau apa yang diinginkan laki-laki ini selanjutnya."Eh kita belum kenalan. Ayo kita kenalan dulu. Aku pengen tau kamu."Mendengar hal tidak berguna ini membuat Lian memutar bola matanya, lelah akibat pertemuan dengan laki-laki yang tidak di kenal ini di depan matanya.Jadi laki-laki ini mencegahnya untuk tidak pergi hanya ingin berkenalan. Basi!"Eh kamu itu cegat aku begini karna kamu mau kenalan sama aku? Begitu? ck. ck. ck. Aku nggak ada waktu buat ngeladenin kamu sekarang ya. Kamu salah orang kayaknya deh kalau ngajak aku kenalan. Sorry, aku mau masuk kuliah."Lian langsung beranjak per
"Zia aku ke rak sastra dulu ya. Aku pengen baca-baca novel di sana, kali aja ada novel baru yang baru aja terbit," ujar Lian begitu kami memasuki toko buku yang terbilang lumayan besar yang berada di pusat kota B itu.Zia mengangguk cepat dan Lian pun langsung melangkah ke arah rak yang bertuliskan sastra di atas raknya."Wah lumayan juga buku-buku yang ada di sini. Lumayan banyak dan sepertinya lengkap," ucap Lian dalam hati. Lalu matanya memandang satu persatu judul buku yang ada di rak buku itu beserta ringkasan cerita yang ada di belakangnya sampai pencariannya ke rak buku paling bawah namun buku yang ada di sana tidak ada yang membuatnya selera untuk membeli salah satunya.Lian pun mencari ke sebelahnya, tak dia sangka saat Lian melihat ke rak sebelah. Seorang laki-laki menjatuhkan satu buku yang dia pegang ke lantai dan menimbulkan bunyi bum yang teramat keras akibat dari buku yang terjatuh itu.Lian yang melihat seseorang menjatuh
Seperti dugaan Lian setelah nomer ponselnya di simpan oleh laki-laki yang bernama Axel itu. Tepat malam harinya saat Lian mau beranjak tidur, Axel mengirimkan pesan padanya. Isinya memang nggak lebih dari sekedar pedekate membosankan ala-ala anak muda yang sering Lian tau. Di dalam pesannya, Axel berkata hai lagi apa, udah makan belum, kamu lagi apa dan kata-kata lain yang sangat membosankan yang Lian tau itu tidak lah terlalu penting. Maka dari itu, pesan itu diabaikannya dan lebih baik Lian memilih tidur agar besok Lian bisa pergi ke kampus pagi-pagi seperti biasanya.Tok... Tok... Tok...Baru saja Lian mau menutup tubuhnya dengan menggunakan selimut lalu memejamkan mata. Pintu kamarnya diketuk entah oleh siapa. Setelah orang itu berkata, baru Lian mengerti kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Raisa dengan sikap tidak sabaran."Kak bukain pintunya dong Kak, aku mau ngomong, kok pintunya di kunci sih Kak. Aku jadi nggak bisa masuk nih Kak. Kak