BAB 37Wanita tua itu memperhatikan anak gadisnya yang sedari tadi melamun. Padahal siaran TV tidak seburuk dan semembosankan itu, namun gairah hidup dari gadis itu seperti telah habis.Ibu Hesti masih mengaduk teh melati yang ia buat. Sepertinya ada yang tidak beres dengan anak itu. Setelah mengaduk tehnya, ia berjalan dan menyimpan teh tersebut di atas meja depan Nicha.“Kenapa sedari tadi ibu lihat kau kurang bersemangat, apa kau sakit?” tanyanya dengan wajah penuh khawatir.Nicha menggeleng. “Aku tidak sakit bu, cuma aku kurang tidur saja semalam,” jawabnya lemah.“Oh ya, kenapa?” tanyanya balik.“Aku belum merasakan sembuh, aku masih sering merasa was-was tapi Gilang semalam meneleponku dan mengatakan aku tidak usah ke klinik lagi, seolah dia mengucapkan kata perpisahan.” Matanya sayu saat menjelaskan kegundahannya, “akhir-akhir ini, dia sering sekali memberiku motivasi kehidupan, apa mungkin dia memang tidak ingin berteman denganku lagi bu?”“Tidak Nicha, itu tidak benar. Ibu ak
Gadis itu mengambil masker yang ada di dalam tas lalu memakainya. Ia agak menyesal karena tidak memakai hoodie saat keluar hari ini padahal biasanya ia akan selalu mengantisipasi.Nicha tidak tahu harus ke mana, ia tidak ingin pulang ke rumah dulu, ia merasa ingin santai di jalan Malioboro yang telah menjadi kawasan tiga jalan yang membentang dari tugu Yogyakarta hingga sampai ke persimpangan kilometer.Banyak sekali orang yang berlalu lalang di sekitar sana, beberapa anak sekolah dan juga orang tua yang sibuk bekerja, Nicha juga melihat banyaknya motor yang terparkir dengan rapi di sekitar Grand Inna Malioboro.“Sudah 12 tahun lamanya, siapa juga yang masih mengenali wajahku kecuali teman-teman lamaku,” gumam Nicha mencoba untuk memberanikan diri dan menghilangkan keresahannya.Gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sana.Seorang lelaki masih terdiam di dalam mobilnya, matanya tidak pernah berpaling dari sosok wanita yang berjalan sendirian di sana.Sungguh kurang kerja
“Apa kau mencintai Rangga?"Nicha membulatkan matanya mendengar pertanyaan Gilang yang tiba-tiba begitu. Ia mengedipkan matanya berulag kali, seperti sedang bingung dan tidak bisa menjawab.“Ke –kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Nicha balik.“Jawab saja,” singkat Gilang yang masih berkonsentrasi dalam menyetirnya.Dari waktu yang Nicha habiskan dengan Rangga, banyak sekali keraguan dibenaknya tapi terkadang, ia juga merasa dicintai.Seumur hidupnya, ia tidak pernah punya hubungan dengan seorang laki-laki, Nicha juga tidak pernah dekat sebelumnya, pengalamannya sangat minim.Bagaimana harus menjawabnya. Padahal jika ia cinta, Nicha pasti akan yakin dan cepat menjawabnya. Gilang melirik Nicha karena belum juga mendapat jawaban. “Emm.. i-iya, aku mencintainya. Hahaha kenapa kau bertanya seperti itu, dasar konyol!” Nicha memukul bahu Gilang dengan pelan sambil tertawa.Gilang ikut terseyum dengan penuh paksaan padahal hatinya sakit sekali mendengarnya. “Begitu ya,” ujarnya singkat
Wanita itu menyimpan kembali handphonenya di meja lebar yang dipenuhi oleh kertas undangan berwarna ungu. Ia cemberut dan tidak bersemangat sekali hari itu karena suatu hal.“Dasar pembohong,” gumamnya.Matanya melirik seorang pria yang sedang serius berbicara dengan ayahnya. Laki-laki yang tinggal menghitung hari akan menjadi suaminya, ia senang rasanya agak legah bisa melihat jodoh di masa depannya.Benar kata orang-orang, Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, bagaimana introvertnya orang itu, walaupun ia tidak punya teman sekali pun ia akan tetap mendapatkan jodoh. Tuhan telah mengatur dari arah mana saja jodoh itu datang.Walaupun kau tinggal di hutan, kau akan ditemukan oleh seorang pengembala yang mencari rusa. Semua itu adalah takdirnya.Nicha mengerutkan alisnya, menajamkan penglihatannya karena ia seperti melihat seseorang yang sudah lama pergi. Seperti dirinya tapi itu bukanlah dia, Adnan dan Rangga jelas orang yang berbeda.“Nicha?”“iya, kenapa?”Rangga tersenyum d
Rekam medik atas nama pasien Ileanna Hanicha tergeletak begitu saja di atas meja, tak jauh dari sana juga masih tersimpan dengan rapi undangan dengan nama yang sama. Undangan tersebut agak kusut, mungkin karena sudah beberapa jam terus saja dipegang oleh lelaki itu.Sisa 2 hari lagi, maka semuanya akan selesai.Jika Nicha sudah menjadi istri orang lain, lebih baik Gilang benar-benar pergi dari hidup wanita itu. Semua demi kesembuhannya sendiri.“Saat aku membantumu untuk sembuh, kau malah membuat luka untukku.”Ia mengakui ketidakprofesionalnya, tapi ini tidaklah disengaja, cinta itu datang sendiri.Mungkin ucapan Henry benar tempo hari. Bahwasanya, Gilang tidak pernah menganggap Nicha sebagai pasien, namun Gilang sedari dulu menganggap Nicha adalah seorang teman lama yang telah kembali.Otaknya mencari alasan untuk membenarkan perasaannya sekarang ini, tapi itu semua tak ada gunanya karena bagaimana pun juga, Nicha akan tetap memilih orang lain.Laki-laki itu menjadikan lengan kiriny
BAB 42Mata gadis berambut panjang bergelombang itu sayu. Ia tidak pernah melepaskan pandangannya pada objek lain selain punggung seorang lelaki yang membelakanginya.laki-laki itu terus terdiam, tak mampu untuk berbicara.“Jangan diam saja, aku tahu kakak sudah lama tahu tentang perasaanku, tapi kenapa... kenapa kakak selalu saja berpura-pura bodoh dan tidak tahu apapun. Aku benci dengan keadaan itu!”“Maafkan aku Zia, banyak hal yang tidak bisa aku beritahu.”“Kakak mencintai wanita lain, kan?”Zia menggoyang-goyangkan lengan Gilang dengan pelan. tenaganya terasa berkurang karena hal ini. “Aku tidak percaya dengan ucapan kak Henry, aku ingin dengar dari kak Gilang,” lanjut Zia.“Jangan diam saja, jika kakak takut menyakitiku, tidak apa, bilang saja agar semua selesai.” Air matanya terus berjatuhan, Zia tak dapat membendungnya lagi, seolah dunianya runtuh seketika saat Gilang berbalik dan melihat wajah lembabnya.“Aku mencintai Nicha.”Zia menggelengkan kepalanya tak percaya, firasat
Henry masih tidak percaya dengan keadaan saat ini, saat suara Gilang menghilang begitu saja di telepon, Henry panik sekali. Dipikirannya saat itu adalah mungkin saja sahabat terbaiknya itu telah meninggal dunia.Apalagi saat ia sampai di tempat kejadian dan melihat Gilang penuh darah di kepalanya, nyawanya juga hampir melayang saking syoknya.Untung saja, ada mobil yang lewat dan berhenti. Henry bersyukur bertemu orang baik dan mereka langsung ke rumah sakit saat itu juga.Sudah sejam terlewati dan ia bernapas legah karena Gilang sudah siuman. Ia masih memperhatikan Gilang yang berbaring dikasur rumah sakit.Seorang dokter datang dan menanyakan keadaan Gilang. “Bagaimana keadaanmu, apa yang kau rasakan?” tanya Izzam selaku dokter yang menangani Gilang saat kecelakaan.Gilang menjawab seadanya. “Hanya pusing sedikit.” Zia yang duduk disebelah Gilang menatap kakaknya.“Kak, dia bisa cepat pulih, kan?” tanyanya dengan wajah khawatir.Dokter Izzam dengan santainya menjawab. “Ini tidak par
“Gilang Adriano, aku mencintaimu.” Yeri dan Henry melongo dan mata mereka sama-sama membulat sempurna. Sedangkan untuk orang yang dituju hanya diam saja tanpa ekspresi sedikit pun. Gilang menyimpan tangannya di kedua saku celananya lalu kembali berjalan seperti tidak pernah terjadi apapun. Ia melewati Zia begitu saja. Sikapnya membuat Zia begitu kesal penuh dengan emosi, tangan wanita dengan dress hitam itu mengepal dengan keras hingga terlihat jelas buku-buku tangannya. Napasnya memburu menahan emosi yang ingin meledak. Bukan cuma itu namun juga ia menahan malu didepan Henry dan kekasihnya. “Kau tidak dengar!” Zia berbalik melihatnya. Gilang berhenti melangkah. Bukan karena ucapan dari Zia namun karena dokter Izzam kini berada dihadapannya. Mata mereka bertemu. Izzam tersenyum miring, apalagi saat melihat adiknya sedang mengemis cinta dari lelaki didepannya. “Besok-besok kau tak usah ke sini lagi kalau pemandangannya seperti ini, bikin sakit mata saja,” ujarnya sambil memegang