Henry masih tidak percaya dengan keadaan saat ini, saat suara Gilang menghilang begitu saja di telepon, Henry panik sekali. Dipikirannya saat itu adalah mungkin saja sahabat terbaiknya itu telah meninggal dunia.Apalagi saat ia sampai di tempat kejadian dan melihat Gilang penuh darah di kepalanya, nyawanya juga hampir melayang saking syoknya.Untung saja, ada mobil yang lewat dan berhenti. Henry bersyukur bertemu orang baik dan mereka langsung ke rumah sakit saat itu juga.Sudah sejam terlewati dan ia bernapas legah karena Gilang sudah siuman. Ia masih memperhatikan Gilang yang berbaring dikasur rumah sakit.Seorang dokter datang dan menanyakan keadaan Gilang. “Bagaimana keadaanmu, apa yang kau rasakan?” tanya Izzam selaku dokter yang menangani Gilang saat kecelakaan.Gilang menjawab seadanya. “Hanya pusing sedikit.” Zia yang duduk disebelah Gilang menatap kakaknya.“Kak, dia bisa cepat pulih, kan?” tanyanya dengan wajah khawatir.Dokter Izzam dengan santainya menjawab. “Ini tidak par
“Gilang Adriano, aku mencintaimu.” Yeri dan Henry melongo dan mata mereka sama-sama membulat sempurna. Sedangkan untuk orang yang dituju hanya diam saja tanpa ekspresi sedikit pun. Gilang menyimpan tangannya di kedua saku celananya lalu kembali berjalan seperti tidak pernah terjadi apapun. Ia melewati Zia begitu saja. Sikapnya membuat Zia begitu kesal penuh dengan emosi, tangan wanita dengan dress hitam itu mengepal dengan keras hingga terlihat jelas buku-buku tangannya. Napasnya memburu menahan emosi yang ingin meledak. Bukan cuma itu namun juga ia menahan malu didepan Henry dan kekasihnya. “Kau tidak dengar!” Zia berbalik melihatnya. Gilang berhenti melangkah. Bukan karena ucapan dari Zia namun karena dokter Izzam kini berada dihadapannya. Mata mereka bertemu. Izzam tersenyum miring, apalagi saat melihat adiknya sedang mengemis cinta dari lelaki didepannya. “Besok-besok kau tak usah ke sini lagi kalau pemandangannya seperti ini, bikin sakit mata saja,” ujarnya sambil memegang
“Nicha, karena aku sudah punya tanggungan sekarang, jadi aku tidak boleh membiarkan kulkas kosong, makanya aku akan memberikanmu uang untuk keperluan sehari-hari.” Laki-laki dengan kaos orange itu mengeluarkan dompetnya.Nicha dapat melihat dompet yang cukup tebal dengan isi uang dan beberapa kartu kredit didalamnya. Mungkin ekspektasinya terlalu tinggi ketika ia malah membayangkan jika setengah uang tersebut akan diberikan padanya.“Ini untuk belanja bahan makanan hari ini.” Rangga memberikan Nicha uang seratus ribu rupiah.Nicha tentu keberatan, ia mulai mengemukakan pendapatnya. “Ini hanya untuk hari ini?” tanyanya yang langsung diangguki Rangga.“Bagaimana jika berikan aku uang untuk seminggu, maksudku kita harus mengisi kulkas itu sampai penuh agar aku tidak usah setiap hari keluar rumah untuk belanja di pasar.”Nicha berpikir akan lebih baik begitu, ia tidak akan lelah dan juga repot.“Sayang, apa sih susahnya ke pasar, lagian itu kan tugasmu.” Rangga tersenyum lalu duduk di sofa
BAB 44“Gilang Adriano, aku mencintaimu.”Yeri dan Henry melongo dan mata mereka sama-sama membulat sempurna. Sedangkan untuk orang yang dituju hanya diam saja tanpa ekspresi sedikit pun.Gilang menyimpan tangannya di kedua saku celananya lalu kembali berjalan seperti tidak pernah terjadi apapun. Ia melewati Zia begitu saja.Sikapnya membuat Zia begitu kesal penuh dengan emosi, tangan wanita dengan dress hitam itu mengepal dengan keras hingga terlihat jelas buku-buku tangannya.Napasnya memburu menahan emosi yang ingin meledak. Bukan cuma itu namun juga ia menahan malu didepan Henry dan kekasihnya.“Kau tidak dengar!” Zia berbalik melihatnya.Gilang berhenti melangkah. Bukan karena ucapan dari Zia namun karena dokter Izzam kini berada dihadapannya.Mata mereka bertemu. Izzam tersenyum miring, apalagi saat melihat adiknya sedang mengemis cinta dari lelaki didepannya. “Besok-besok kau tak usah ke sini lagi kalau pemandangannya seperti ini, bikin sakit mata saja,” ujarnya sambil memegang
Bulan-bulan telah terlewati, pernikahan yang dijalani Nicha mungkin lebih hambar dari pada sebuah sayur yang lupa digarami. Tidak ada rasa manis sama sekali, hingga membuat Nicha bertanya-tanya, apa sebenarnya Rangga tidak pernah mencintainya.Hidup yang ia jalani hanya membersihkan rumah setiap hari, menyiapkan makanan, dan mencoba mencari hobi yang dapat membuatnya tidak bosan. Ia selalu bertanya, apakah kehidupan seorang istri seperti ini?Tentu saja tidak, karena ia bahkan tidak pernah disentuh oleh suaminya sendiri.Hal yang membuat Nicha sangat berubah adalah ketika belum menikah, ia bisa marah dan kesal pada Rangga tapi setelah menikah, Rangga menjadi sangat dominan dari padanya, apapun yang Rangga katakan meski Nicha sebenarnya keberatan, wanita itu akan menurutinya.Semua pertanyaan yang ingin Nicha sampaikan hanya bisa terpendam begitu saja, Rangga selalu memberikan ucapan manis yang dapat membuat hatinya luluh tapi Rangga tidak pernah membuktikan apapun padanya.Sungguh per
“Aku –“Gilang menatap lawan bicaranya dengan tajam.Rangga menyerigai. “Sebegitu curiganya kah kau denganku. Kau harus tahu, jika aku suka bermain-main, contohnya mempermainkanmu dengan Nicha haha.”Gilang mengepalkan tangannya dengan keras. Ia menatapnya dengan tidak percaya. “Hidup bukan permainan Rangga, kau telah menikahi seorang perempuan yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya, ayahnya sudah mempercayakan dia padamu. Aku tidak apa-apa kau sakiti, tapi jangan dia,” jelas Gilang.Rangga menepuk tangannya dan tertawa keras mendengar ucapan Gilang. “Nicha adalah tanggung jawabku sekarang, apa hakmu mengatakan itu, karena kau mencintainya!?”“Ya! aku mencintainya!” Gilang spontan mengatakan hal tersebut dengan emosi.Rangga terdiam mematung. “Sayangnya dia milikku sekarang,” katanya dengan senyuman puas. Pria berjas hitam tersebut mengelus bahu Gilang sebelum meninggalkan tempat itu.Bodoh sekali. Pria itu hanya berniat memanas-manasi dirinya tapi kenapa ia malah terbawa suasa
“Nicha!!!”Wanita itu segera berdiri setelah mendengar namanya disebut dengan lantang. Adrenalinnya meningkat, jantungnya berdebar sangat cepat, seolah ia telah tertangkap basah.Nicha menunduk dan terdiam seperti patung, tangannya ia genggam sendiri setelah rasa takut menghantuinya. Kenapa ia jadi seperti ini, setelah tinggal beberapa bulan dengan Rangga ia jadi sangat penakut.Di depannya kini berdiri laki-laki besar yang menatapnya dengan tajam. “Apa yang kau lakukan, sudah ku bilang jangan sekali-kali mendekat di kamar ini!” bentak Rangga yang baru saja pulang kantor.“Kau masih ku diamkan ya. Jika aku bertindak, kau akan tahu akibatnya sendiri,” ancam Rangga.“Lihat aku!” Nicha masih menunduk karena ketakutan yang semakin menghantuinya.Tangan besar Rangga langsung memegang dagu Nicha dengan kasar agar wanita itu mau melihatnya. Nicha membulatkan matanya saat mata mereka bertemu, mata Rangga sangat menakutkan, seakan ia mengintimidasi Nicha dengan sangat keras.“Aku beritahu seka
Suara melengking dari kereta api terdengar cukup keras di stasiun kereta api Yogyakarta. Stasiun utama kota Yogyakarta tersebut dekat dengan objek wisata serta pusat perbelanjaan kawasan Malioboro.Itulah mengapa tempat tersebut tidak pernah tidak ramai dikunjungi apalagi malam hari seperti ini. Sekitar pukul sembilan malam, kereta yang ditumpangi oleh Gilang sampai dengan selamat.Gilang baru saja pulang dari Jakarta menghadiri sebuah pertemuan dan pelatihan selama seminggu. Gilang berjalan melewati beberapa orang di stasiun itu, tangannya ia simpan di saku celana jeansnya lalu dengan santainya ia mendengarkan musik dengan earphone yang melekat di telinganya.Di gedung putih bertuliskan stasiun Yogyakarta bercahaya terang itu. Gilang berhenti sejenak setelah ia melihat seorang wanita telah berdiri tersenyum melihatnya sembari melambaikan sebelah tangannya.Wanita itu menghampiri Gilang. “Kau menungguku, Zia?” tanya pria itu.Zia mengangguk. “Tentu, aku sudah sejam lebih di sini,” jaw
“Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta
Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi
Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang
Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah
“Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.
“Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra
“Maaf, aku tidak melihat teleponmu,” ujar Gilang sembari menangis.Ditatapnya Zia yang begitu kasihan, matanya yang mulai gelas, suhu tubuhnya yang juga mulai dingin belum lagi darah masih jatuh bercucuran di dadanya.Zia menggeleng. “Tak apa, yang penting kau selamat, aku bersyukur,” ujar Zia.Wanita itu bersyukur melihat Gilang masih hidup dan tidak terluka sedikit pun, itu mungkin adalah tujuan akhirnya.Ia tidak menyesal sama sekali telah berkorban dengan nyawanya untuk pria yang dicintainya, meski cintainya tak akan pernah terbalaskan namun ia legah kalau pria itu bersama wanita yang dipercayakannya.Meski dulu Zia membenci Nicha, tapi ia sadar jika hanya Nicha tempat bahagia untuk Gilang. Zia percaya kedepannya bahwa hanya Nicha lah yang dapat membuat hidup Gilang bahagia, nyaman dan damai.Zia rela jika Nicha menjadi wanita sandaran Gilang disaat pria tersebut lelah, Zia rela jika Nicha menjadi tempat ternyaman untuk Gilang pulang, dan Zia rela jika Nicha suatu hari melahirkan
BAB 93“Aku ingin meresmikan hari ini.”Nicha mengedipkan kedua matanya lalu natap Gilang dalam. “Hah, apa maksudmu?” tanyanya tak paham.otaknya belum bisa mencerna apa perkataan lelaki itu. “Bisakah kau tinggal sebentar saja di sini, nanti aku akan mengantarmu pulang jam sepuluh?” tanyanya balik.Nicha mengangguk. “Ya, tentu. Tapi apa maksudmu meresmikan?”Gilang tersenyum. Ia perlahan memegang tangan Nicha dengan lembut. “Menurutku selama ini hubungan kita tak pernah resmi, aku tidak bisa mengatakan kau milikku jika Rangga masih berstatus sebagai suamimu, namun mulai hari ini juga, kau akhirnya menjadi seorang wanita yang sendiri lagi, aku legah dan tentunya bahagia. Jadi –“Nicha memperhatikan bicara Gilang dengan seksama. “Jadi?” katanya.“Jadi, emmm.” Gilang melepas kedua tangannya lalu merogoh saku celana hitamnya.Dengan jantung yang berdebar kencang, Nicha menunggu Gilang mengambil sesuatu tersebut.Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kotak berbentuk hati berwarna mer
Perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Tuhan.Ada seseorang yang singgah hanya menjadi ujian bagi kita, tapi ada juga seseorang yang benar-benar ingin menetap dihati kita, itulah yang namanya jodoh.Seberapa jauhnya dan lamanya waktu itu, kita akan tetap bertemu dengannya kembali jika memang ia adalah jodoh terbaik untuk kita.Itulah yang Nicha pahami.Bahwa ia kini sedang dihadapkan dua pilihan. Antara bertahan dengan yang lama tapi menderita atau akhiri semuanya dan menjalani hidup baru bersama orang baru yang selama ini telah ada selalu bersamanya.Tentu semuanya pasti tahu jawabannya, ‘kan?Hari itu tepat selesainya sidang perceraian Nicha dan Rangga. Tak ada persidangan lagi, karena ini telah berakhir. Rangga kalah.Pak Faris hari itu tidak datang ke persidangan, laki-laki tua tersebut memilih tidak bertemu dengan Rangga, bahkan ia telah menyiapkan kejutan dihari Rangga akan kembali bekerja.Ya. Itu adalah surat pemecatannya.Rangga sungguh geram, marah dan merasa dipermaink