“Pak?”Pria dengan jas hitam itu beralih dari berkas yang menumpuk di mejanya. “Oh Rangga. Ada apa?” tanyanya sembari memperbaiki kaca matanya.Rangga tersenyum kikuk. “Bapak sibuk ya? Maaf mengganggu waktu bapak. Boleh aku meminta nomor dokter Gilang?” “Oh tentu Rangga. Sebentar ya,” ujarnya sambil mengetik nama di handphonenya. Matanya memicing, ia mencoba melihat jelas layar handphone tersebut. “Bapak sudah terlalu tua,jadi agak rabun,” ujarnya sambil tertawa kecil.Rangga langsung berinisiatif membantu Pak Faris. “Biar aku bantu pak,” katanya seraya mengambil handphone pak Faris lalu segera melihat nama Gilang di sana.“Tapi kenapa kau memintanya?” tanya pak Faris tiba-tiba.Rangga tersenyum tipis. “Aku cuma ingin berbicara padanya soal Nicha, aku ingin tahu keadaan Nicha pak,” alasannya.Pak Faris tersenyum dengan bangganya. Seperti ia merasa pilihannya adalah hal yang sangat tepat untuk anak gadisnya. Pak Faris tidak akan ragu dan khawatir jika nantinya ia wafat di kemudian har
“Terima kasih sudah mengantarku ayah,” ujar Nicha sembari membuka sabuk pengamannya.Pak Faris hanya mengangguk pelan. “Kalau nanti kau mau di jembut, telepon Rangga saja ya,” katanya.Nicha mengangguk. “Baiklah ayah,” balas Nicha bercermin di kaca spion untuk mengatur poninya yang agak berantakan karena saat di perjalanan terkena angin.“Oh ya. kemarin Rangga meminta nomor telepon dokter Gilang.” Pak Faris baru ingat kejadian kemarin.Nicha menghentikan aktifitasnya. “Benarkah?” Ia melihat ayahnya kaget. Selintas banyak pikiran negatif muncul di otaknya.“Kenapa dia meminta nomor Gilang?” tanyanya lagi.“Rangga bilang banyak yang ingin ia bicarakan dengan dokter tentang perkembanganmu,” jelas ayahnya.Nicha mengangkat alisnya masih kaget. “Kenapa kau kaget begitu?” tanya pak Faris.Raut wajah wanita itu langsung berubah. Ia tersenyum ringan. “Tidak ada apa-apa ayah, kalau begitu aku pergi dulu ya,” pamitnya agak tergesa-gesa.Nicha keluar dari mobil dan langsung menyeberang untuk mas
“Aku mau bertanya. Ayahku bilang kalau Rangga kemarin meminta nomor teleponmu, apa dia mengatakan sesuatu?”Rangga seseorang yang sangat sulit untuk ditebak, sebagaimana pun Gilang mencoba membacanya. Mengenai apa yang Rangga katakan padanya malam itu, semuanya masih tidak bisa dinilai semata. Tapi yang Gilang ketahui adalah, laki-laki tersebut menyimpan sesuatu dan mungkin mempunyai misi tertentu untuk tujuan yang disembunyikannya.“Ya, kami bahkan bertemu kemarin.”“Kalian bertemu? Ayahku bilang, Rangga ingin menanyakan soal perkembanganku, benarkah hanya itu?”Gilang berpikir lagi, ia ingin jujur tentang apa yang Rangga katakan padanya tapi ia tidak ingin Nicha sakit hati jika mendengarnya.“Ya, dia bertanya tentang bagaimana kau selama pengobatan, cuma itu,” dusta Gilang.“Benarkah cuma itu, dia tidak menyinggung kejadian waktu itu?” tanya Nicha yang tidak puas dengan jawaban Gilang.“Dia mungkin sudah melupakannya Nicha.” Sekali lagi Gilang berbohong karena tidak siap untuk membe
Sebagian orang Indonesia tidak suka dengan panas. Apalagi wanita, hampir seluruh wanita di negara itu tidak menyukai terik matahari. Tapi, tidak dengan gadis dengan rambut bergelombang cokelat itu. Dengan dress merah khas musim panas ala eropa, ia berdiri di pinggir pantai, lengan putih mulus yang terlihat begitu saja menampakkan betapa gadis itu merawat dirinya dengan baik. Bahkan rambutnya panjang sepinggangnya menari-nari bersama angin sepoi-sepoi di pantai siang hari itu. Kepalanya mendongak ke atas saat melihat beberapa burung terbang di atas air laut yang biru tersebut. Ia menghela napas. “Aku merindukanmu,” katanya dengan suara pelan. Sudah sebulan ini Zia tidak pernah bertemu dengan Gilang. Kakaknya Izzam hari itu menegur bagaimana cara kerja Zia di butik dan gadis itu menyadari kesalahannya. Makanya sebulan ini ia mencoba untuk mandiri dan tidak bertemu dengan Gilang. Alasannya ia ingin fokus untuk bekerja namun dilubuk hatinya yang terdalam, ia ingin laki-laki itu mencari
“Kenapa kau tidak pernah mengatakan kalau kau ke Bali! Sial, kapan aku ke sana!”Henry memegangi kepalanya dengan frustasi namun sepersekian detik ia kembali menatap mata gadis itu dengan antusias. “Lalu bagaimana di sana, apa banyak cewek cantik yang memakai bikini?”Gadis tersebut menjawabnya dengan santai. “Jika aku membawa kak Henry ke sana, aku akan malu besar.”Gilang tertawa kecil mendengar ucapan Zia. Seperti biasa, jika mereka berkumpul Gilang akan menjadi pendengar bagi dua orang yang selalu saja bertengkar.Untunglah Henry dan Zia datang malam ini jadi itu bisa meringankan hati Gilang setelah mendapatkan pesan dari Rangga. Meski itu tak dapat mengubah kenyataan tapi ia akhirnya bisa sedikit tertawa.Setelah mengobrol cukup lama. Zia yang mulai mengantuk izin untuk pulang, ia memang sangat lelah karena ia tidak pernah beristirahat dan langsung menemui Gilang. “Kak antar aku pulang ya,” ujarnya.“Tidak bisa. Nanti pacarku marah,” tolak Henry dengan nada bercanda.“Kalau begit
BAB 37Wanita tua itu memperhatikan anak gadisnya yang sedari tadi melamun. Padahal siaran TV tidak seburuk dan semembosankan itu, namun gairah hidup dari gadis itu seperti telah habis.Ibu Hesti masih mengaduk teh melati yang ia buat. Sepertinya ada yang tidak beres dengan anak itu. Setelah mengaduk tehnya, ia berjalan dan menyimpan teh tersebut di atas meja depan Nicha.“Kenapa sedari tadi ibu lihat kau kurang bersemangat, apa kau sakit?” tanyanya dengan wajah penuh khawatir.Nicha menggeleng. “Aku tidak sakit bu, cuma aku kurang tidur saja semalam,” jawabnya lemah.“Oh ya, kenapa?” tanyanya balik.“Aku belum merasakan sembuh, aku masih sering merasa was-was tapi Gilang semalam meneleponku dan mengatakan aku tidak usah ke klinik lagi, seolah dia mengucapkan kata perpisahan.” Matanya sayu saat menjelaskan kegundahannya, “akhir-akhir ini, dia sering sekali memberiku motivasi kehidupan, apa mungkin dia memang tidak ingin berteman denganku lagi bu?”“Tidak Nicha, itu tidak benar. Ibu ak
Gadis itu mengambil masker yang ada di dalam tas lalu memakainya. Ia agak menyesal karena tidak memakai hoodie saat keluar hari ini padahal biasanya ia akan selalu mengantisipasi.Nicha tidak tahu harus ke mana, ia tidak ingin pulang ke rumah dulu, ia merasa ingin santai di jalan Malioboro yang telah menjadi kawasan tiga jalan yang membentang dari tugu Yogyakarta hingga sampai ke persimpangan kilometer.Banyak sekali orang yang berlalu lalang di sekitar sana, beberapa anak sekolah dan juga orang tua yang sibuk bekerja, Nicha juga melihat banyaknya motor yang terparkir dengan rapi di sekitar Grand Inna Malioboro.“Sudah 12 tahun lamanya, siapa juga yang masih mengenali wajahku kecuali teman-teman lamaku,” gumam Nicha mencoba untuk memberanikan diri dan menghilangkan keresahannya.Gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sana.Seorang lelaki masih terdiam di dalam mobilnya, matanya tidak pernah berpaling dari sosok wanita yang berjalan sendirian di sana.Sungguh kurang kerja
“Apa kau mencintai Rangga?"Nicha membulatkan matanya mendengar pertanyaan Gilang yang tiba-tiba begitu. Ia mengedipkan matanya berulag kali, seperti sedang bingung dan tidak bisa menjawab.“Ke –kenapa kau bertanya seperti itu?” tanya Nicha balik.“Jawab saja,” singkat Gilang yang masih berkonsentrasi dalam menyetirnya.Dari waktu yang Nicha habiskan dengan Rangga, banyak sekali keraguan dibenaknya tapi terkadang, ia juga merasa dicintai.Seumur hidupnya, ia tidak pernah punya hubungan dengan seorang laki-laki, Nicha juga tidak pernah dekat sebelumnya, pengalamannya sangat minim.Bagaimana harus menjawabnya. Padahal jika ia cinta, Nicha pasti akan yakin dan cepat menjawabnya. Gilang melirik Nicha karena belum juga mendapat jawaban. “Emm.. i-iya, aku mencintainya. Hahaha kenapa kau bertanya seperti itu, dasar konyol!” Nicha memukul bahu Gilang dengan pelan sambil tertawa.Gilang ikut terseyum dengan penuh paksaan padahal hatinya sakit sekali mendengarnya. “Begitu ya,” ujarnya singkat
“Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta
Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi
Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang
Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah
“Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.
“Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra
“Maaf, aku tidak melihat teleponmu,” ujar Gilang sembari menangis.Ditatapnya Zia yang begitu kasihan, matanya yang mulai gelas, suhu tubuhnya yang juga mulai dingin belum lagi darah masih jatuh bercucuran di dadanya.Zia menggeleng. “Tak apa, yang penting kau selamat, aku bersyukur,” ujar Zia.Wanita itu bersyukur melihat Gilang masih hidup dan tidak terluka sedikit pun, itu mungkin adalah tujuan akhirnya.Ia tidak menyesal sama sekali telah berkorban dengan nyawanya untuk pria yang dicintainya, meski cintainya tak akan pernah terbalaskan namun ia legah kalau pria itu bersama wanita yang dipercayakannya.Meski dulu Zia membenci Nicha, tapi ia sadar jika hanya Nicha tempat bahagia untuk Gilang. Zia percaya kedepannya bahwa hanya Nicha lah yang dapat membuat hidup Gilang bahagia, nyaman dan damai.Zia rela jika Nicha menjadi wanita sandaran Gilang disaat pria tersebut lelah, Zia rela jika Nicha menjadi tempat ternyaman untuk Gilang pulang, dan Zia rela jika Nicha suatu hari melahirkan
BAB 93“Aku ingin meresmikan hari ini.”Nicha mengedipkan kedua matanya lalu natap Gilang dalam. “Hah, apa maksudmu?” tanyanya tak paham.otaknya belum bisa mencerna apa perkataan lelaki itu. “Bisakah kau tinggal sebentar saja di sini, nanti aku akan mengantarmu pulang jam sepuluh?” tanyanya balik.Nicha mengangguk. “Ya, tentu. Tapi apa maksudmu meresmikan?”Gilang tersenyum. Ia perlahan memegang tangan Nicha dengan lembut. “Menurutku selama ini hubungan kita tak pernah resmi, aku tidak bisa mengatakan kau milikku jika Rangga masih berstatus sebagai suamimu, namun mulai hari ini juga, kau akhirnya menjadi seorang wanita yang sendiri lagi, aku legah dan tentunya bahagia. Jadi –“Nicha memperhatikan bicara Gilang dengan seksama. “Jadi?” katanya.“Jadi, emmm.” Gilang melepas kedua tangannya lalu merogoh saku celana hitamnya.Dengan jantung yang berdebar kencang, Nicha menunggu Gilang mengambil sesuatu tersebut.Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kotak berbentuk hati berwarna mer
Perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Tuhan.Ada seseorang yang singgah hanya menjadi ujian bagi kita, tapi ada juga seseorang yang benar-benar ingin menetap dihati kita, itulah yang namanya jodoh.Seberapa jauhnya dan lamanya waktu itu, kita akan tetap bertemu dengannya kembali jika memang ia adalah jodoh terbaik untuk kita.Itulah yang Nicha pahami.Bahwa ia kini sedang dihadapkan dua pilihan. Antara bertahan dengan yang lama tapi menderita atau akhiri semuanya dan menjalani hidup baru bersama orang baru yang selama ini telah ada selalu bersamanya.Tentu semuanya pasti tahu jawabannya, ‘kan?Hari itu tepat selesainya sidang perceraian Nicha dan Rangga. Tak ada persidangan lagi, karena ini telah berakhir. Rangga kalah.Pak Faris hari itu tidak datang ke persidangan, laki-laki tua tersebut memilih tidak bertemu dengan Rangga, bahkan ia telah menyiapkan kejutan dihari Rangga akan kembali bekerja.Ya. Itu adalah surat pemecatannya.Rangga sungguh geram, marah dan merasa dipermaink